“Usap air matamu,” ucapnya.
“Anda siapa ya?” tanyaku.“Lex,” jawabnya singkat. Tidak lama dari ia memberitahu namanya, ia langsung pergi kembali ke villanya. Sepertinya ia sedang menerima telepon dari seseorang. Aku tidak tahu ada apa, tetapi aku merasa dia baik dan sangat berwibawa.“Terima kasih, Tuan,” teriakku.Ia menolehkan kepalanya kepadaku dan tersenyum seraya melangkahkan kakinya meninggalkan pekarangan villaku. Aku bisa merasakan ketulusannya. Tidak lama dari itu aku kembali ke dalam dan tidak sengaja melihat Bi Uti sedang membuat masakan di dapur. Aku terkejut pada sebuah capsul pengantar tidur di dekatnya.“Bi? Ini?” tanyaku seraya mengangkat dan menunjukkan capsul itu.Dengan wajah panic, Bi Uti menjawab, “Maaf nyonya, maaf. Saya sengaja mencampurkan capsul itu ke minuman Tuan, sekali lagi saya minta maaf nyonya,” Aku yakin Bi Uti tidak akan melakukan hal seperti ini tanpa adanya alasan, benar saja. Ketika aku bertanya mengapa ia mencampurkan capsul itu, ia hanya tidka ingin bjika Hnas melakukan hal-hal yang akan menyakitiku, ia sengaja melakukan hal ini hanya untuk melindungiku.Aku memeluk Bi Uti dan berkata, “Terima kasih ya Bi,” Bi Uti menyambut pelukanku dengan hangat, ia membalas pelukanku lagi. Aku kembali merasakan hangatnya pelukan seorang ibu ketika itu. Walaupun, tidak sehangat pelukan bunda ketika aku merengek karena kehujanan di pinggir jalan.“Sudah lama aku tidak merasakan pelukan setulus ini lepas kepergian Bunda,” pikirku.***“Dimana Tuan?” suara itu mengagetkan diriku. Deyna datang untuk menjemput Hans pulang. Sementara Hans masih tertidur pulas di dalam kamar. Deyna masuk dan melihat diriku, dengan tatapan mata menusuk seraya mendorong diriku ke sofa, ia bertanya layaknya seorang mafia kepadaku.“Dimana suamiku?” tanyanya.“Dia tertidur di dalam kamar,” jawabku. Mendengar hal itu, Deyna murka. Ia segera membangunkan Hans. Anehnya, ia bisa bersikap sangat lembut ketika bersama dengan Hans, berebda ketika bertemu denganku. Aku kira sosok Deyna adalah sosok perempuan arogan yang akan bersikap kasar pada semua orang, tapi tidak kepada Hans. Berarti bukan Deyna yang membuat Hans tertekan. Tidak mungkin dengan suara lemah lembut Deyna, Hans akan merasa tertekan. Saat itu, aku hanya dapat mendengarkan pembicaraan mereka dari luar saja. Jika ditanya, apakah aku sakit hati mendengar pembicaraan romantic mereka yang saling bujuk membujuk, tentu saja iya. Aku merasa seperti orang asing dan untuk apa ada di dalam kehidupan mereka saat ini? Aku dan Hans sudah lama berpisah, tapi kenapa hatiku masih saja menginginkan diirnya. Seperti sesak dan sulut untuk berkata, itu yang aku rasakan setiap melihat Hans bersama dengan Deyna. Kisah masa lalu yang aku kira sudah usai, kini menyambung kembali dengan cerita yang berbeda tetapi tetap dengan orang yang sama. Tanpa aku sadari, air mataku jatuh membasahi pipi, mengingat kekejaman yang sudah dunia berikan kepadaku. Aku disini menahan setiap rasa sakit yang ia berikan, sementara ia bersama dengan istri sahnya sedang bermanja-manjaan. Ya Tuhan, apakah akan ada cinta untukku? Atau memang seperti ini takdir yang engkau tetapkan untukku?Tidak ada yang tahu.“Sayang? Ayok kita pulang,” ajak Deyna kepada Hans. Mereka lewat di depanku begitu saja. Deyna dan Hans berjalan seraya berpegangan tangan. Aku hanya melihat tangan mereka yang saling bergandengan berjalan melewati diriku. Aku tidak ingin, rasa ini memenjara diriku untuk terus menangisi laki-laki yang sudah beristri dan tidak akan pernah menjadi milikku.Terdengar suara mobil Hans yang sudah meninggalkan villa ini. Tidak ada satu orangpun yang tahu, seperti apa rasa sakit yang aku rasakan saat itu. Menangispun hanya sedang buang-buang tenaga. Ketika diriku masih harus dituntut kuat oleh keadaan.“Tuhan apakah tidak ada titik terang darimu untuk takdir hidupku? Kenapa semua penderitaan ini tidak ada akhirnya? Tidak cukupkah kau mengambil orang-orang terkasihku?” tanyaku.Aku sadar saat itu aku sedang tidak bisa berpikir secara jernih, alhasil aku malah menyalahkan Tuhan. Hari ini berlalu begitu saja, dengan tangisan, rasa sakit dan tidak penerimaan. Lagi, lagi dan lagi aku merasakan sebuah tamparan hebat yang mendarat di hatiku. Penyadaran bahwa aku hanya seorang perempuan yang dijadikan alat membayar hutang keluarga.“Aku merindukanmu Bunda,” gerutuku seraya melihat foto Bundaku.“Nyonya, makan malam,” panggil Bi Uti ke dalam kamarku. Bi Uti adalah satu-satunya orang yang selalu mengingatkan agar aku tepat waktu untuk makan dan berisirahat. Dia sangat menjaga pola makanku. Aku sering bercerita kepadanya tentang kemalanganku. Tapi, tidak semua, aku sadar, dia adalah orang yang bekerja untuk Hans. Jika suatu hari nanti, Hans memaksanya untuk mengatakan semua, maka akan terungkap semua yang aku ceritakan kepada Bi Uti. Aku memilih diam untuk beberapa hal mengenai diriku dan Hans kepada Bi Uti. Tapi, tidak menyurutkan rasa kagumku kepadanya. Aku bukan anaknya, tapi ia sudah seprti ibuku sendiri. Berbicara sendiri kepada bintang-bintang itu. Menceritakan semua yang sudah aku lalui beberapa hari ini. Gila, ya katakan saja demikian. Aku tidak tahu harus menjabarkan diriku seperti apa.“Aku tahu ini bukanlah hal yang mudah untuk aku lewati sendiri. Maaf Tuhan, jika aku bukan insanmu yang pandai bersyukur. Maaf aku malah menyalahkan Engkau atas apa yang telah terjadi,” ucapku mengingat apa yang telah terjadi hari ini.Aku melihat ada salah satu bintang yang mengeluarkan cahayanya sehingga keberadaannya lebih unggul dibandingkan bintang-bintang yang lain. Tiba-tiba aku mendengar suara Bunda disertai dengan angina malam yang menyejukkan.“Anakku, ini memang tidak mudah. Bunda tahu, ini jalan yang sulit untuk kamu lalui. Teapi, percayalah kamu akan bahagia di suatu hari nanti. Akan ada seseorang yang membahagiakanmu, menerima kekurangan serta kelebihanmu. Ketulusannya yang akan membuat kamu luluh, percayalah. Tidak untuk hari ini, tetapi aka nada pelangi setelah badai, bukan?” seperti itu suara yang aku dengar.“Bunda, Bunda, Bunda,” aku seperti mencari dari mana asal suara itu.Seketika aku merasa seperti diberi sebuah teka-teki, atau hanya sugestiku saja? Karena aku terlalu merindukan kehadiran Bunda? Aku tidak tahu apa maksud yang sedang dicoba untuk disampaikan. Tetapi, yang aku tahu itu sama seperti suara Bundaku.“Kita sudah tidak lagi ada di bumi yang sama Bunda, tetapi bantu selalu anakmu ini. Suatu saat kita akan bersama lagi, Bunda tunggu aku disana ya,” gerutuku seraya menatap bintang.“Nyonya,” panggil Bi Uti malam-malam.Ada apa? Suara Bi Uti seperti sangat ketakutan. Tanpa berpikir panjang lagi, aku turun dan menemui Bi Uti di bawah. Siapa sangka hal ini terjadi.“Nyonya mari ikut saya,” ajak Bi Uti.Ternyata saat itu, Hans datang lagi ke villa dalam keadaan mabok. Wajar saja, jika Bi Uti memanggilku dengan suara ketakutan. Aku yang terkejut melihat kondisi Hans, langsung membawanya ke kamar. Aku dan Bi Uti membantunya mengganti pakaian. Tercium sangat menyengat sekali alcohol dari mulutnya.Hans mencengkram pergelangan tanganku dengan kuat. Aku tidak tahu apa yang menyebabkan dirinya sampai meminum alcohol terlalu banyak. Setahuku, dia bukan pemabok dulu, mungkin pergaulannya sudah merubah kebiasaannya.“Sebentar, aku bantu melepaskan sepatumu dulu,” ucapku kepada Hans yang setengah tidak sadarkan diri.Dia membual beberapa kalimat yang tidak aku mengerti apa yang sedang ia ucapkan. mendnegar bualannya itu, aku dan Bi Uti terus membantunya untuk berganti pakaian. Melepaskan sepatu dan kaos kakinya, kemudian membantunya untuk mengganti kemeja dan jasnya dengan kaus biasa.“Bi, minta tolong ambilkan air putih hangat saja?” pintaku.Bi Uti langsung mengambil air putih hangat
Aku berusaha untuk tidak memikirkan hal itu.Hans membawaku ke sebuat hotel megah di sekitar usat kota yang ramai. Ada banyak gedung-gedung pencakar langit yang tinggi, kendaraan berlalulalang dengan sangat leluasa. Aku hanya menatapanya dari ketinggian kamar hotel. Di kamar hotel itu, hanya ada aku dan Hans. Dia menjadi lebih pendiam dan tenang.“Baik, saya akan segera ke tempat tujuan,” ucap Hans pada seseorang dalam panggilan.Aku hanya menjadi pendengar, tidak bertanya apapaun tentang kegiatan yang akaan kami lakukan di kota ini. Jika sebelum berangkat ia mengatakan ingin menghabiskan waktu berdua bersama denganku, mungkin itu hanya tipu muslihatnya saja, ia sebenarnya hanya berniat agar aku dapat menemaninya melakukan perjalanan ini.Aku merapikan semua barang-barang bawaan kami ke dalam lemari yang telah disediakan, seraya membayangkan seandainya saja di kamar hotel ini aku dan Hans adalah seorang suami sitri yang sah, aku sangat bahagia sekali bisa menghabiskan waktu be
“Rebahkan tubuhmu,” ucap Hans memberi perintah kepadaku.“Aku mohon jangan lakukan itu,” pintaku.“Cepat tidak perlu negosiasi. Ingat keluargamu punya hutang, dan kamu harus melunasinya,” tutur Hans.Hans melepaskan pakaiannya satu persatu, aku mengingat dengan jelas bagaimana keluargaku menjual diriku sebagai pelunasan hutang kepada Hans, aku memang mencintainya, tetapi menikahi seseorang yang sudah memiliki seorang istri. Statusku sebagai seorang istri hanya menjadi alat melahirkan anak untuk meneruskan tahta keluarga Hans.“Tunggu apa lagi?” tanya Hans dengan penuh emosi.Aku tidak melakukan apa yang ia perintahkan, tanpa berpikir panjang, Hans menarik tubuhku dan meleparkan ke tempat tidur. Aku tidak pernah menyangka Hans berubah kepadaku. Tidak pernah aku temui dirinya yang arogan seperti saat ini, dulu.“Tolong jangan lakukan itu kepadaku,” pintaku.Aku memberikan tubuhku kepada laki-laki yang sangat aku cintai. Dengan keterpaksaan dan rasa ingin segera mengakhiri malam ini.
“Silahkan masuk Tuan,” ucap asisten rumah tangga mempersilahkan Hans untuk masuk ke dalam. “Bi, saya takut,” ucapku kepada salah satu asisten rumah tangga, sebut saja namanya Bi Uti.“Sabar ya nyonya, tapi kalau nyonya tidak keluar, Tuan pasti akan lebih marah lagi,” ucap Bi Uti.“Panggilkan Kiara, cepat!” ucap Hans kepada seorang penjaga. Penjaga itu menghampiri diriku di dapur, ia melihat aku yang sedang ketakutan. Seisi villa itu mengerti apa yang aku rasakan, mereka tahu alasan kenapa aku ada di villa itu. Mereka sangat bersimpati kepada diriku, tapi di sisi lain, mereka hanya menjalankan tugasnya saja.“Nyonya, Tuan sudah memanggil,” ucap penjaga itu. Dengan keterpaksaan aku melangkahkan kakiku. Dengan langkah penuh keraguan dan ketakutan aku mendekatinya. Hans menjadi seperti monster di hadapanku saat itu. Dulu, dia adalah tempatku menceritakan segalanya, siapa sangka bahwa saat ini dia adalah orang yang sangat aku takuti.“Apa lagi yang akan ia lakukan
Aku berusaha untuk tidak memikirkan hal itu.Hans membawaku ke sebuat hotel megah di sekitar usat kota yang ramai. Ada banyak gedung-gedung pencakar langit yang tinggi, kendaraan berlalulalang dengan sangat leluasa. Aku hanya menatapanya dari ketinggian kamar hotel. Di kamar hotel itu, hanya ada aku dan Hans. Dia menjadi lebih pendiam dan tenang.“Baik, saya akan segera ke tempat tujuan,” ucap Hans pada seseorang dalam panggilan.Aku hanya menjadi pendengar, tidak bertanya apapaun tentang kegiatan yang akaan kami lakukan di kota ini. Jika sebelum berangkat ia mengatakan ingin menghabiskan waktu berdua bersama denganku, mungkin itu hanya tipu muslihatnya saja, ia sebenarnya hanya berniat agar aku dapat menemaninya melakukan perjalanan ini.Aku merapikan semua barang-barang bawaan kami ke dalam lemari yang telah disediakan, seraya membayangkan seandainya saja di kamar hotel ini aku dan Hans adalah seorang suami sitri yang sah, aku sangat bahagia sekali bisa menghabiskan waktu be
Ternyata saat itu, Hans datang lagi ke villa dalam keadaan mabok. Wajar saja, jika Bi Uti memanggilku dengan suara ketakutan. Aku yang terkejut melihat kondisi Hans, langsung membawanya ke kamar. Aku dan Bi Uti membantunya mengganti pakaian. Tercium sangat menyengat sekali alcohol dari mulutnya.Hans mencengkram pergelangan tanganku dengan kuat. Aku tidak tahu apa yang menyebabkan dirinya sampai meminum alcohol terlalu banyak. Setahuku, dia bukan pemabok dulu, mungkin pergaulannya sudah merubah kebiasaannya.“Sebentar, aku bantu melepaskan sepatumu dulu,” ucapku kepada Hans yang setengah tidak sadarkan diri.Dia membual beberapa kalimat yang tidak aku mengerti apa yang sedang ia ucapkan. mendnegar bualannya itu, aku dan Bi Uti terus membantunya untuk berganti pakaian. Melepaskan sepatu dan kaos kakinya, kemudian membantunya untuk mengganti kemeja dan jasnya dengan kaus biasa.“Bi, minta tolong ambilkan air putih hangat saja?” pintaku.Bi Uti langsung mengambil air putih hangat
“Usap air matamu,” ucapnya.“Anda siapa ya?” tanyaku.“Lex,” jawabnya singkat.Tidak lama dari ia memberitahu namanya, ia langsung pergi kembali ke villanya. Sepertinya ia sedang menerima telepon dari seseorang. Aku tidak tahu ada apa, tetapi aku merasa dia baik dan sangat berwibawa.“Terima kasih, Tuan,” teriakku.Ia menolehkan kepalanya kepadaku dan tersenyum seraya melangkahkan kakinya meninggalkan pekarangan villaku. Aku bisa merasakan ketulusannya. Tidak lama dari itu aku kembali ke dalam dan tidak sengaja melihat Bi Uti sedang membuat masakan di dapur. Aku terkejut pada sebuah capsul pengantar tidur di dekatnya.“Bi? Ini?” tanyaku seraya mengangkat dan menunjukkan capsul itu.Dengan wajah panic, Bi Uti menjawab, “Maaf nyonya, maaf. Saya sengaja mencampurkan capsul itu ke minuman Tuan, sekali lagi saya minta maaf nyonya,”Aku yakin Bi Uti tidak akan melakukan hal seperti ini tanpa adanya alasan, benar saja. Ketika aku bertanya mengapa ia mencampurkan capsul itu, ia hanya tidka
“Silahkan masuk Tuan,” ucap asisten rumah tangga mempersilahkan Hans untuk masuk ke dalam. “Bi, saya takut,” ucapku kepada salah satu asisten rumah tangga, sebut saja namanya Bi Uti.“Sabar ya nyonya, tapi kalau nyonya tidak keluar, Tuan pasti akan lebih marah lagi,” ucap Bi Uti.“Panggilkan Kiara, cepat!” ucap Hans kepada seorang penjaga. Penjaga itu menghampiri diriku di dapur, ia melihat aku yang sedang ketakutan. Seisi villa itu mengerti apa yang aku rasakan, mereka tahu alasan kenapa aku ada di villa itu. Mereka sangat bersimpati kepada diriku, tapi di sisi lain, mereka hanya menjalankan tugasnya saja.“Nyonya, Tuan sudah memanggil,” ucap penjaga itu. Dengan keterpaksaan aku melangkahkan kakiku. Dengan langkah penuh keraguan dan ketakutan aku mendekatinya. Hans menjadi seperti monster di hadapanku saat itu. Dulu, dia adalah tempatku menceritakan segalanya, siapa sangka bahwa saat ini dia adalah orang yang sangat aku takuti.“Apa lagi yang akan ia lakukan
“Rebahkan tubuhmu,” ucap Hans memberi perintah kepadaku.“Aku mohon jangan lakukan itu,” pintaku.“Cepat tidak perlu negosiasi. Ingat keluargamu punya hutang, dan kamu harus melunasinya,” tutur Hans.Hans melepaskan pakaiannya satu persatu, aku mengingat dengan jelas bagaimana keluargaku menjual diriku sebagai pelunasan hutang kepada Hans, aku memang mencintainya, tetapi menikahi seseorang yang sudah memiliki seorang istri. Statusku sebagai seorang istri hanya menjadi alat melahirkan anak untuk meneruskan tahta keluarga Hans.“Tunggu apa lagi?” tanya Hans dengan penuh emosi.Aku tidak melakukan apa yang ia perintahkan, tanpa berpikir panjang, Hans menarik tubuhku dan meleparkan ke tempat tidur. Aku tidak pernah menyangka Hans berubah kepadaku. Tidak pernah aku temui dirinya yang arogan seperti saat ini, dulu.“Tolong jangan lakukan itu kepadaku,” pintaku.Aku memberikan tubuhku kepada laki-laki yang sangat aku cintai. Dengan keterpaksaan dan rasa ingin segera mengakhiri malam ini.