“Silahkan masuk Tuan,” ucap asisten rumah tangga mempersilahkan Hans untuk masuk ke dalam.
“Bi, saya takut,” ucapku kepada salah satu asisten rumah tangga, sebut saja namanya Bi Uti.“Sabar ya nyonya, tapi kalau nyonya tidak keluar, Tuan pasti akan lebih marah lagi,” ucap Bi Uti.“Panggilkan Kiara, cepat!” ucap Hans kepada seorang penjaga. Penjaga itu menghampiri diriku di dapur, ia melihat aku yang sedang ketakutan. Seisi villa itu mengerti apa yang aku rasakan, mereka tahu alasan kenapa aku ada di villa itu. Mereka sangat bersimpati kepada diriku, tapi di sisi lain, mereka hanya menjalankan tugasnya saja.“Nyonya, Tuan sudah memanggil,” ucap penjaga itu. Dengan keterpaksaan aku melangkahkan kakiku. Dengan langkah penuh keraguan dan ketakutan aku mendekatinya. Hans menjadi seperti monster di hadapanku saat itu. Dulu, dia adalah tempatku menceritakan segalanya, siapa sangka bahwa saat ini dia adalah orang yang sangat aku takuti.“Apa lagi yang akan ia lakukan kepadaku? Mengapa dia yang sangat aku cintai hanya menjadikan aku bahan pemuas nafsunya?” pikirku. Aku bisa melihat punggungnya, dia yang sedang duduk di sofa ruang tamu dengan kaki yang diangkat seperti seorang raja yang sedang duduk di sebuah singgasana sementara aku hanya seorang budak yang mengemis kasihan kepadanya. Aku berjalan mendekatinya.“Ada apa Hans?” tanyaku takut.“Mendekatlah, cepat!” perintah Hans. Ketika hanya tertinggal satu langkahku untuk sampai di dekatnya. Dia menarik tanganku dengan kasar, dia menjatuhkan tubuhku ke lantai. Semua yang ada di ruangan itu melihat kejadian tersebut. Aku bisa melihat tatapan ketidakberdayaan dari mereka. Mereka berniat untuk menolongku tapi, mereka tidak punya kuasa apa-apa untuk melakukan hal itu.“Pergi!” Hans memberi perintah kepada beberapa penjaga dan asisten rumah tangga untuk segera pergi dari tempat itu. Mereka mengikuti perintah Hans. Aku tidak bisa memendam air mata yang sedari tadi sudah aku tahan di hadapannya. Biarkan saja aku terlihat lemah di hadapannya. Karena, pada dasarnya, memang sudah tidak ada sedikitpun kekuatan dalam diriku untuk mendapatkan perlakukan seperti manusia seutuhnya di villa itu ketika ada Hans. Tanpa basa basi lagi, Hans menarik tanganku dan menempatkan tubuhku ke tembok. Ia mendekatiku, ia mencengkram pipiku, aku tidak bisa menatap amarah yang ia berikan lewat matanya. Aku bisa merasakan sakit fisik yang sudah aku terima darinya. Tapi ada sakit yang lebih tidak tertahankan, yaitu sakit pada hatiku.“Bagaimana? Apakah kamu sudah hamil?” tanya Hans tiba-tiba. Aku tidak merasakan gejala itu terjadi pada diriku. Baru berselang beberapa hari dari kejadian di hotel malam itu. Aku tidak merasakan sedikitpun mual ataupun pusing beberapa hari ini. Aku hanya menggelengkan kepala saja, sebagai jawaban bahwa aku belum hamil. Dengan wajah sangat kesal, Hans melepaskan cengkaraman tangannya dari pipiku. Aku merasa sedikit lega, terasa cengkaraman tangan Hans sangat menyakitkan. Hans membuang wajahnya dari hadapanku, seperti terlihat sanagt kesal. Aku berusaha untuk menenangkan diriku, aku berharap setelah ini Hans akan keluar dari villa itu. Aku ingat betul, saat itu aku dan Hans ada di sebuah café coffee, Hans yang saat itu datang menghampiri diriku dengan wajah muram. Ia tidak pernah menunjukkan ekspresi muram itu kepadaku, ketika ia bercerita bahwa keluarganya sudah menyiapkan perempuan dari keluarga ternama di kota ini untuk menjadi pendamping hidupnya, saat itu aku tahu kenapa wajahnya muram.“Deyna anak dari keluarga terpandang di kota ini,” jawab Hans saat aku tanya siapa perempuan itu. Aku sudah tidak bisa berkata apa-apa saat itu. Aku juga tidak mungkin menentang perjodohan yang terjadi antara dua keluarga besar. Orangtua mereka sudah terikat perjodohan dari kakek moyangnya. Hans sudah sempat menentang adanya perjodohan itu, tapi ia diberi peringatan akan di keluarkan dari nama alih waris keluarganya. Saat itu, aku hanya menatap dirinya yang sedang bingung harus melakukan apa. Mengetahui diriku yang belum juga hamil selang seminggu setelah kejadian itu, Hans sedikit jengkel. Seandainya ingin, dia pasti akan melampiaskan semua kemarahannya kepadaku saat itu. Siapa sangka setelah bertahun-tahun tidak bertemu, dia bisa melupakan dengan mudah kenangan indah saat bersama denganku.“Permisi Tuan, minumannya,” ucap Bi Uti mengantarkan minuman untuk Hans.“Hans?” panggilku memulai pembicaraan ketika aku merasa suasana sudah mulai dingin. Hans melihat kepadaku dengan tatapan penuh tanya. Ia mendongakkan kepalanya kepadaku, aku tidak tahu apa yang harus aku ucapkan kepadanya. Ingin mengungkapkan semua unek-unek yang ada pada hati dan pikirankupun rasanya mustahil. Ia juga tidak akan mengerti.“Jika ada yang ingin dikatakan, katakan saja,” ucap Hans sedikit merendahkan suaranya.“Kamu terlihat lelah sekali, mungkin bisa istirahat saja terlebih dulu, aku siapkan kamar untukmu,” ucapku berinisiatif menyiapkan tempat untuk Hans beristirahat. Pada saat itu, aku tidak benar-benar berinisiatif untuk menyiapkan kamar agar Hans bisa beristirahat. Aku hanya sedang meminimalisir terjadinya sesuatu yang tidak aku inginkan. Aku takut, ketika mengetahui bahwa aku belum juga hamil anaknya, ia akan melakukan hal itu lagi. Dan aku belum siap, ketika Hans harus menikmati tubuhku lagi. Menunggunya tidur adalah sebuah keindahan tersendiri bagiku, ketika dapat melihat raut wajahnya yang tenag sedang beristirahat. Tidak ada yang berubah pada dirinya, terkecuali untuk wataknya. Tapi, aku yakin, Hans masih penyayang dan lemah lembut. Aku merasa bahwa dia berada di bawah tekanan, makanya ia meluapkan emosinya terhadapku.“Selamat tidur Hans, mimpi indah,” bisikku di telinganya. Aku membantu menarik selimut untuknya, terasa sangat dingin sekali di ruangan itu. Padahal AC kamar sengaja aku matikan, maklum tempat ini berada di puncak. Curah hujan yang tidak tahu kapan akan turun, bahkan seharian penuh, akan membuat daerah sekitar tempat ini seperti digenangi es.“Jangan pergi,” ucap Hans ketika aku membantu menarik selimutnya.Tangan Hans menggenggam tanganku, terlihat matanya masih terpejam. Sepertinya ia sedang mengigau (berbicara ketika tertidur) aku berusaha untuk tetap tenang. Hans sedang berada di dalam alam bawah sadarnya, dan aku tidak mungkin menanyakan hal itu.“Hans, akupun tidak ingin meninggalkanmu saat ini,” gerutuku hatiku menatap wajahnya. Seandainya ia mengatakan hal ini ketika matanya terbuka, aku sangat bahagia, setidaknya ia bisa jujur kepada dirinya sendiri. Bahwa, ia masih menginginkan aku untuk berada di dekatnya.“Jangan! Jangan berekspetasi berlebihan!” ucapku untuk diriku sendiri. Aku berlari menuju halaman belakang villa itu. Aku menangisi setiap hal yang sudah aku lewati bersama Hans. Tiba-tiba saja seseorang mengulurkan tangannya kepadaku dan memberikan sebuah kain. Aku melihat itu tangan seorang laki-laki, aku segera menolah, ternyata di adalah laki-laki yang sama dengan laki-laki yang aku lihat tadi.“Uhuk,” aku mendengar batuk laki-laki yang tidak aku kenal itu.“Usap air matamu,” ucapnya.“Anda siapa ya?” tanyaku.“Lex,” jawabnya singkat.Tidak lama dari ia memberitahu namanya, ia langsung pergi kembali ke villanya. Sepertinya ia sedang menerima telepon dari seseorang. Aku tidak tahu ada apa, tetapi aku merasa dia baik dan sangat berwibawa.“Terima kasih, Tuan,” teriakku.Ia menolehkan kepalanya kepadaku dan tersenyum seraya melangkahkan kakinya meninggalkan pekarangan villaku. Aku bisa merasakan ketulusannya. Tidak lama dari itu aku kembali ke dalam dan tidak sengaja melihat Bi Uti sedang membuat masakan di dapur. Aku terkejut pada sebuah capsul pengantar tidur di dekatnya.“Bi? Ini?” tanyaku seraya mengangkat dan menunjukkan capsul itu.Dengan wajah panic, Bi Uti menjawab, “Maaf nyonya, maaf. Saya sengaja mencampurkan capsul itu ke minuman Tuan, sekali lagi saya minta maaf nyonya,”Aku yakin Bi Uti tidak akan melakukan hal seperti ini tanpa adanya alasan, benar saja. Ketika aku bertanya mengapa ia mencampurkan capsul itu, ia hanya tidka
Ternyata saat itu, Hans datang lagi ke villa dalam keadaan mabok. Wajar saja, jika Bi Uti memanggilku dengan suara ketakutan. Aku yang terkejut melihat kondisi Hans, langsung membawanya ke kamar. Aku dan Bi Uti membantunya mengganti pakaian. Tercium sangat menyengat sekali alcohol dari mulutnya.Hans mencengkram pergelangan tanganku dengan kuat. Aku tidak tahu apa yang menyebabkan dirinya sampai meminum alcohol terlalu banyak. Setahuku, dia bukan pemabok dulu, mungkin pergaulannya sudah merubah kebiasaannya.“Sebentar, aku bantu melepaskan sepatumu dulu,” ucapku kepada Hans yang setengah tidak sadarkan diri.Dia membual beberapa kalimat yang tidak aku mengerti apa yang sedang ia ucapkan. mendnegar bualannya itu, aku dan Bi Uti terus membantunya untuk berganti pakaian. Melepaskan sepatu dan kaos kakinya, kemudian membantunya untuk mengganti kemeja dan jasnya dengan kaus biasa.“Bi, minta tolong ambilkan air putih hangat saja?” pintaku.Bi Uti langsung mengambil air putih hangat
Aku berusaha untuk tidak memikirkan hal itu.Hans membawaku ke sebuat hotel megah di sekitar usat kota yang ramai. Ada banyak gedung-gedung pencakar langit yang tinggi, kendaraan berlalulalang dengan sangat leluasa. Aku hanya menatapanya dari ketinggian kamar hotel. Di kamar hotel itu, hanya ada aku dan Hans. Dia menjadi lebih pendiam dan tenang.“Baik, saya akan segera ke tempat tujuan,” ucap Hans pada seseorang dalam panggilan.Aku hanya menjadi pendengar, tidak bertanya apapaun tentang kegiatan yang akaan kami lakukan di kota ini. Jika sebelum berangkat ia mengatakan ingin menghabiskan waktu berdua bersama denganku, mungkin itu hanya tipu muslihatnya saja, ia sebenarnya hanya berniat agar aku dapat menemaninya melakukan perjalanan ini.Aku merapikan semua barang-barang bawaan kami ke dalam lemari yang telah disediakan, seraya membayangkan seandainya saja di kamar hotel ini aku dan Hans adalah seorang suami sitri yang sah, aku sangat bahagia sekali bisa menghabiskan waktu be
“Rebahkan tubuhmu,” ucap Hans memberi perintah kepadaku.“Aku mohon jangan lakukan itu,” pintaku.“Cepat tidak perlu negosiasi. Ingat keluargamu punya hutang, dan kamu harus melunasinya,” tutur Hans.Hans melepaskan pakaiannya satu persatu, aku mengingat dengan jelas bagaimana keluargaku menjual diriku sebagai pelunasan hutang kepada Hans, aku memang mencintainya, tetapi menikahi seseorang yang sudah memiliki seorang istri. Statusku sebagai seorang istri hanya menjadi alat melahirkan anak untuk meneruskan tahta keluarga Hans.“Tunggu apa lagi?” tanya Hans dengan penuh emosi.Aku tidak melakukan apa yang ia perintahkan, tanpa berpikir panjang, Hans menarik tubuhku dan meleparkan ke tempat tidur. Aku tidak pernah menyangka Hans berubah kepadaku. Tidak pernah aku temui dirinya yang arogan seperti saat ini, dulu.“Tolong jangan lakukan itu kepadaku,” pintaku.Aku memberikan tubuhku kepada laki-laki yang sangat aku cintai. Dengan keterpaksaan dan rasa ingin segera mengakhiri malam ini.
Aku berusaha untuk tidak memikirkan hal itu.Hans membawaku ke sebuat hotel megah di sekitar usat kota yang ramai. Ada banyak gedung-gedung pencakar langit yang tinggi, kendaraan berlalulalang dengan sangat leluasa. Aku hanya menatapanya dari ketinggian kamar hotel. Di kamar hotel itu, hanya ada aku dan Hans. Dia menjadi lebih pendiam dan tenang.“Baik, saya akan segera ke tempat tujuan,” ucap Hans pada seseorang dalam panggilan.Aku hanya menjadi pendengar, tidak bertanya apapaun tentang kegiatan yang akaan kami lakukan di kota ini. Jika sebelum berangkat ia mengatakan ingin menghabiskan waktu berdua bersama denganku, mungkin itu hanya tipu muslihatnya saja, ia sebenarnya hanya berniat agar aku dapat menemaninya melakukan perjalanan ini.Aku merapikan semua barang-barang bawaan kami ke dalam lemari yang telah disediakan, seraya membayangkan seandainya saja di kamar hotel ini aku dan Hans adalah seorang suami sitri yang sah, aku sangat bahagia sekali bisa menghabiskan waktu be
Ternyata saat itu, Hans datang lagi ke villa dalam keadaan mabok. Wajar saja, jika Bi Uti memanggilku dengan suara ketakutan. Aku yang terkejut melihat kondisi Hans, langsung membawanya ke kamar. Aku dan Bi Uti membantunya mengganti pakaian. Tercium sangat menyengat sekali alcohol dari mulutnya.Hans mencengkram pergelangan tanganku dengan kuat. Aku tidak tahu apa yang menyebabkan dirinya sampai meminum alcohol terlalu banyak. Setahuku, dia bukan pemabok dulu, mungkin pergaulannya sudah merubah kebiasaannya.“Sebentar, aku bantu melepaskan sepatumu dulu,” ucapku kepada Hans yang setengah tidak sadarkan diri.Dia membual beberapa kalimat yang tidak aku mengerti apa yang sedang ia ucapkan. mendnegar bualannya itu, aku dan Bi Uti terus membantunya untuk berganti pakaian. Melepaskan sepatu dan kaos kakinya, kemudian membantunya untuk mengganti kemeja dan jasnya dengan kaus biasa.“Bi, minta tolong ambilkan air putih hangat saja?” pintaku.Bi Uti langsung mengambil air putih hangat
“Usap air matamu,” ucapnya.“Anda siapa ya?” tanyaku.“Lex,” jawabnya singkat.Tidak lama dari ia memberitahu namanya, ia langsung pergi kembali ke villanya. Sepertinya ia sedang menerima telepon dari seseorang. Aku tidak tahu ada apa, tetapi aku merasa dia baik dan sangat berwibawa.“Terima kasih, Tuan,” teriakku.Ia menolehkan kepalanya kepadaku dan tersenyum seraya melangkahkan kakinya meninggalkan pekarangan villaku. Aku bisa merasakan ketulusannya. Tidak lama dari itu aku kembali ke dalam dan tidak sengaja melihat Bi Uti sedang membuat masakan di dapur. Aku terkejut pada sebuah capsul pengantar tidur di dekatnya.“Bi? Ini?” tanyaku seraya mengangkat dan menunjukkan capsul itu.Dengan wajah panic, Bi Uti menjawab, “Maaf nyonya, maaf. Saya sengaja mencampurkan capsul itu ke minuman Tuan, sekali lagi saya minta maaf nyonya,”Aku yakin Bi Uti tidak akan melakukan hal seperti ini tanpa adanya alasan, benar saja. Ketika aku bertanya mengapa ia mencampurkan capsul itu, ia hanya tidka
“Silahkan masuk Tuan,” ucap asisten rumah tangga mempersilahkan Hans untuk masuk ke dalam. “Bi, saya takut,” ucapku kepada salah satu asisten rumah tangga, sebut saja namanya Bi Uti.“Sabar ya nyonya, tapi kalau nyonya tidak keluar, Tuan pasti akan lebih marah lagi,” ucap Bi Uti.“Panggilkan Kiara, cepat!” ucap Hans kepada seorang penjaga. Penjaga itu menghampiri diriku di dapur, ia melihat aku yang sedang ketakutan. Seisi villa itu mengerti apa yang aku rasakan, mereka tahu alasan kenapa aku ada di villa itu. Mereka sangat bersimpati kepada diriku, tapi di sisi lain, mereka hanya menjalankan tugasnya saja.“Nyonya, Tuan sudah memanggil,” ucap penjaga itu. Dengan keterpaksaan aku melangkahkan kakiku. Dengan langkah penuh keraguan dan ketakutan aku mendekatinya. Hans menjadi seperti monster di hadapanku saat itu. Dulu, dia adalah tempatku menceritakan segalanya, siapa sangka bahwa saat ini dia adalah orang yang sangat aku takuti.“Apa lagi yang akan ia lakukan
“Rebahkan tubuhmu,” ucap Hans memberi perintah kepadaku.“Aku mohon jangan lakukan itu,” pintaku.“Cepat tidak perlu negosiasi. Ingat keluargamu punya hutang, dan kamu harus melunasinya,” tutur Hans.Hans melepaskan pakaiannya satu persatu, aku mengingat dengan jelas bagaimana keluargaku menjual diriku sebagai pelunasan hutang kepada Hans, aku memang mencintainya, tetapi menikahi seseorang yang sudah memiliki seorang istri. Statusku sebagai seorang istri hanya menjadi alat melahirkan anak untuk meneruskan tahta keluarga Hans.“Tunggu apa lagi?” tanya Hans dengan penuh emosi.Aku tidak melakukan apa yang ia perintahkan, tanpa berpikir panjang, Hans menarik tubuhku dan meleparkan ke tempat tidur. Aku tidak pernah menyangka Hans berubah kepadaku. Tidak pernah aku temui dirinya yang arogan seperti saat ini, dulu.“Tolong jangan lakukan itu kepadaku,” pintaku.Aku memberikan tubuhku kepada laki-laki yang sangat aku cintai. Dengan keterpaksaan dan rasa ingin segera mengakhiri malam ini.