Ternyata saat itu, Hans datang lagi ke villa dalam keadaan mabok. Wajar saja, jika Bi Uti memanggilku dengan suara ketakutan. Aku yang terkejut melihat kondisi Hans, langsung membawanya ke kamar. Aku dan Bi Uti membantunya mengganti pakaian. Tercium sangat menyengat sekali alcohol dari mulutnya.
Hans mencengkram pergelangan tanganku dengan kuat. Aku tidak tahu apa yang menyebabkan dirinya sampai meminum alcohol terlalu banyak. Setahuku, dia bukan pemabok dulu, mungkin pergaulannya sudah merubah kebiasaannya.“Sebentar, aku bantu melepaskan sepatumu dulu,” ucapku kepada Hans yang setengah tidak sadarkan diri. Dia membual beberapa kalimat yang tidak aku mengerti apa yang sedang ia ucapkan. mendnegar bualannya itu, aku dan Bi Uti terus membantunya untuk berganti pakaian. Melepaskan sepatu dan kaos kakinya, kemudian membantunya untuk mengganti kemeja dan jasnya dengan kaus biasa.“Bi, minta tolong ambilkan air putih hangat saja?” pintaku.Bi Uti langsung mengambil air putih hangat itu. Setelah Bi Uti pergi dari kamar itu, Hans menarik tubuhku dan memeluk tubuhku dengan erat. Sampai aku merasa sulit untuk bernafas. Aku tidak tahan dengan bau alcohol dari mulutnya, aku berusaha untuk melepaskan pelukan dari Hans, tapi pelukannya semakin erat. Jika dilihat dari kondisi Hans, sepertinya ia baru saja selesai meeting bersama dengan clientnya, karena kemeja dan jas yang ia gunakan berbeda dengan jas dan kemeja yang ia gunakan sebelumya saat datang ke villa ini.“Aku mohon, lepaskan. Aku sulit untuk bernafas,” pintaku kepada Hans.“Biarkan saja, kamu mulikku. Aku tidak akan melepaskanmu,” ucapnya. Aku turut prihatin melihat perubahan yang terjadi pada diri Hans. Dia laki-laki baik yang aku kenal berubah menjadi seorang pemabok? Siapa yang dapat memperkirakan bahwa hal ini akan terjadi? Tidak ada.“Ini Tuan air hangatnya,” ucap Bi Uti memberikan air. Hans tidak menerima air itu. Ia malah menangkisa tangan Bi Uti dan air itupun membasahi lantai. Aku dan Bi Uti terkejut, tapi aku dan Bi Uti tidak bisa marah kepadanya, selain dia adalah pemilik villa ini, kami hanya menumpang. Dia juga dalam keaadaan tidak sadarkan diri. Mana mungkin kami memarahi orang yang tidak sadarkan diri? Bi Uti hendak merapikan pecahan dari gelas itu, namun Hans menyuruhnya untuk keluar dari dalam kamar.“Keluar!” perintah Hans.“Cepat keluar! Tinggalkan kami berdua saja,” ucap Hans untuk kedua kalinya. Bi Uti keluar dari dalam kamar itu. Benar apa yang aku duga, Hans melakukan hal itu lagi kepadaku, jika sebelumnya dalam keadaan sadar, kali ini ia melakukannya dalam keadaan tidak sadarkan diri. Tapi, kali ini ia memperlakukan aku lebih lembut, lebih baik dari pada ketika ia sedang sadarkan diri. Aku melakukan penolakan, aku berusaha keluar dari kamar itu, tapi telapak kakiku menginjak pecahan gelas, sehingga terluka. Hans tidak peduli terhadap luka di telapak kakiku itu. Ia terus melakukannya, aku menahan rasa malu sekaligus rasa sakit di telapak kakiku saat itu. Setelah semuanya ia lakukan kepadaku, dengan begitu saja ia tertidur di dekatku yang tidak mengenakan sehelai pakaian. Aku menarik selimut untuk menutupi tubuhku, kemudian berusaha untuk menyembuhkan luka yang ada di telapak kakiku.“Hiks hiks hiks,” tangisku mulai membasahi pipi.Apakah aku hanya pemuas nafsu dan pelampiasan amarahnya saja? Pikirku saat itu. Ketika ia sedang marah ia datang dan melampiaskan amarahnya kepadaku, ketika ia mabokpun ia datang dan melampiaskan nafsunya kepadaku. Apakah aku dalam hidupnya sudah tidak ternilai. Terkadang aku merasa, rasa itu masih ada dalam hatinya untukku. Terkadang juga realita membuat aku sadar diri, aku bukan apa-apa untuknya dan tidak kaan pernah menjadi berharga di mata orang lain. Perempuan sepertiku tidak ada yang menginginkannya. Kehormatan sudah tidak aku miliki, apalagi harga diri. Bahkan jika diibaratkan sebuah barang, tidak ada yang ingin memungut diriku. Lantas untuk apa aku memperlihatkan diriku kepada dunia. Kesucian yang bahkan saat ia menjadi pacarku saja tidak aku berikan. Tetapi, saat ia bukan siapa-siapaku malah ia dapatkan. Malam itu, aku hanya terdiam merenungi diriku yang tidak pernah beruntung. Padahal di dekatku adalah laki-laki yang sangat aku cintai, dulu. Aku merasa jijik mengakui bahwa aku pernah mencintai dirinya. Aku merasa jijik untuk mengakui bahwa aku pernah sangat menginginkannya. Saat ini, ia yang sudah merenggut satu-satunya yang aku miliki.*** Keesokan paginya, aku sudah terbangun lebih dulu sebelum Hans bangun, tiba-tiba ponselnya bordering. Aku kira itu adalah Deyna, istrinya. Tapi, bukan. Itu adalah panggilan dari sekertaris pribadinya.“Hallo,” sambut Hans yang terbangun. Sekertaris pribadinya memberitahu Hans bahwa penerbangan pesawat menuju tempat tujuan Hans 4 jam lagi. Hans langsung bergegas mandi. Aku hanya terdiam, ketika Hans mandi, aku merapikan semua yang terlihat berantakan di dalam kamar itu. Aku tidak memulai topic apapun bersama dengan Hans. Tiba-tiba saja, Hans menyuruhku untuk segera mandi dan membawa barang-barang secukupnya. Ia mengajakku untuk menemaninya melakukan perjalanan ke luar kota. Aku terkejut, ada sedikit curiga pada diriku untuknya. Ketika Hans saja tidak bisa bersikap lebih baik kepadaku, untuk apa dia mengajakku menemaninya melakukan perjalanan, aku tidak ingin jika selama perjalanan, aku hanyalah pelampiasannya saja.“Temani saya melakukan perjalanan,” ajak Hans tanpa basa-basi.“Cepat, ikuti saja apa kata saya, saya tidak mau menerima alasan apapun, kamu packing barang-barangmu, 2 jam lagi, kita berangkat,” ucap Hans. Aku maish terdiam dalam artian aku menolak perintah Hans. Melihat aku dengan sikapku, Hans langsung menarikku ke dalam kamar mandi dan mengguyur tubuhku dengan air. Aku kaget, ia melakukan hal yang biasanya dilakukan oleh ibu tiri kepada anak tirinya, begitu kata orang kebanyakan.“Lanjutkan mandinya,” ucap Hans melemparkan shower itu kepadaku dan pergi meninggalkan aku di dalam kamar mandi. Sekali lagi, kekerasan itu ia lakukan kepadaku. Aku menangis untuk kesekian kalinya lagi hanya karena kekerasan yang ia lakukan kepadaku. Tidak ada yang tahu, seperti apa jeritanku dalam kamar mandi itu. Ingin rasanya, aku menuntut keadilan, tapi aku bukan siapa-siapa di dunia ini.“Bantu nyonya untuk mempacking barang-barang bawaannya, cepat!” perintah Hans kepada Bi Uti. Sama sepertiku, Bi Uti tidak mengerti apa maksud Hans menyuruhku untuk pergi. Ia hanya melaksanakn perintah yang Hans inginkan. Setelah aku selesai mandi, aku melihat sudah ada sepasang pakaian yang disiapkan di atas tempat tidur. Terlihat sangat tertutup, dengan beberapa lapisan baju yang ada.Aku memakainya,“Tidak masalah. Masih aman, pakaian itu cukup sopan, digunakan untuk menemui seorang client,” gerutuku saat itu. Aku beramsumsi bahwa Hans akan mengajakku untuk melakukan perjalanan bisnis. Karena yang memberitahu jadwalnya adalah sekertaris pribadinya. Tapi aku tidak tahu, jika ternyata perjalanan yang kami lakukan adalah perjalanan untuk menghabiskan waktu berdua.Hans masih mencintaiku?Aku berusaha untuk tidak memikirkan hal itu.Hans membawaku ke sebuat hotel megah di sekitar usat kota yang ramai. Ada banyak gedung-gedung pencakar langit yang tinggi, kendaraan berlalulalang dengan sangat leluasa. Aku hanya menatapanya dari ketinggian kamar hotel. Di kamar hotel itu, hanya ada aku dan Hans. Dia menjadi lebih pendiam dan tenang.“Baik, saya akan segera ke tempat tujuan,” ucap Hans pada seseorang dalam panggilan.Aku hanya menjadi pendengar, tidak bertanya apapaun tentang kegiatan yang akaan kami lakukan di kota ini. Jika sebelum berangkat ia mengatakan ingin menghabiskan waktu berdua bersama denganku, mungkin itu hanya tipu muslihatnya saja, ia sebenarnya hanya berniat agar aku dapat menemaninya melakukan perjalanan ini.Aku merapikan semua barang-barang bawaan kami ke dalam lemari yang telah disediakan, seraya membayangkan seandainya saja di kamar hotel ini aku dan Hans adalah seorang suami sitri yang sah, aku sangat bahagia sekali bisa menghabiskan waktu be
“Rebahkan tubuhmu,” ucap Hans memberi perintah kepadaku.“Aku mohon jangan lakukan itu,” pintaku.“Cepat tidak perlu negosiasi. Ingat keluargamu punya hutang, dan kamu harus melunasinya,” tutur Hans.Hans melepaskan pakaiannya satu persatu, aku mengingat dengan jelas bagaimana keluargaku menjual diriku sebagai pelunasan hutang kepada Hans, aku memang mencintainya, tetapi menikahi seseorang yang sudah memiliki seorang istri. Statusku sebagai seorang istri hanya menjadi alat melahirkan anak untuk meneruskan tahta keluarga Hans.“Tunggu apa lagi?” tanya Hans dengan penuh emosi.Aku tidak melakukan apa yang ia perintahkan, tanpa berpikir panjang, Hans menarik tubuhku dan meleparkan ke tempat tidur. Aku tidak pernah menyangka Hans berubah kepadaku. Tidak pernah aku temui dirinya yang arogan seperti saat ini, dulu.“Tolong jangan lakukan itu kepadaku,” pintaku.Aku memberikan tubuhku kepada laki-laki yang sangat aku cintai. Dengan keterpaksaan dan rasa ingin segera mengakhiri malam ini.
“Silahkan masuk Tuan,” ucap asisten rumah tangga mempersilahkan Hans untuk masuk ke dalam. “Bi, saya takut,” ucapku kepada salah satu asisten rumah tangga, sebut saja namanya Bi Uti.“Sabar ya nyonya, tapi kalau nyonya tidak keluar, Tuan pasti akan lebih marah lagi,” ucap Bi Uti.“Panggilkan Kiara, cepat!” ucap Hans kepada seorang penjaga. Penjaga itu menghampiri diriku di dapur, ia melihat aku yang sedang ketakutan. Seisi villa itu mengerti apa yang aku rasakan, mereka tahu alasan kenapa aku ada di villa itu. Mereka sangat bersimpati kepada diriku, tapi di sisi lain, mereka hanya menjalankan tugasnya saja.“Nyonya, Tuan sudah memanggil,” ucap penjaga itu. Dengan keterpaksaan aku melangkahkan kakiku. Dengan langkah penuh keraguan dan ketakutan aku mendekatinya. Hans menjadi seperti monster di hadapanku saat itu. Dulu, dia adalah tempatku menceritakan segalanya, siapa sangka bahwa saat ini dia adalah orang yang sangat aku takuti.“Apa lagi yang akan ia lakukan
“Usap air matamu,” ucapnya.“Anda siapa ya?” tanyaku.“Lex,” jawabnya singkat.Tidak lama dari ia memberitahu namanya, ia langsung pergi kembali ke villanya. Sepertinya ia sedang menerima telepon dari seseorang. Aku tidak tahu ada apa, tetapi aku merasa dia baik dan sangat berwibawa.“Terima kasih, Tuan,” teriakku.Ia menolehkan kepalanya kepadaku dan tersenyum seraya melangkahkan kakinya meninggalkan pekarangan villaku. Aku bisa merasakan ketulusannya. Tidak lama dari itu aku kembali ke dalam dan tidak sengaja melihat Bi Uti sedang membuat masakan di dapur. Aku terkejut pada sebuah capsul pengantar tidur di dekatnya.“Bi? Ini?” tanyaku seraya mengangkat dan menunjukkan capsul itu.Dengan wajah panic, Bi Uti menjawab, “Maaf nyonya, maaf. Saya sengaja mencampurkan capsul itu ke minuman Tuan, sekali lagi saya minta maaf nyonya,”Aku yakin Bi Uti tidak akan melakukan hal seperti ini tanpa adanya alasan, benar saja. Ketika aku bertanya mengapa ia mencampurkan capsul itu, ia hanya tidka
Aku berusaha untuk tidak memikirkan hal itu.Hans membawaku ke sebuat hotel megah di sekitar usat kota yang ramai. Ada banyak gedung-gedung pencakar langit yang tinggi, kendaraan berlalulalang dengan sangat leluasa. Aku hanya menatapanya dari ketinggian kamar hotel. Di kamar hotel itu, hanya ada aku dan Hans. Dia menjadi lebih pendiam dan tenang.“Baik, saya akan segera ke tempat tujuan,” ucap Hans pada seseorang dalam panggilan.Aku hanya menjadi pendengar, tidak bertanya apapaun tentang kegiatan yang akaan kami lakukan di kota ini. Jika sebelum berangkat ia mengatakan ingin menghabiskan waktu berdua bersama denganku, mungkin itu hanya tipu muslihatnya saja, ia sebenarnya hanya berniat agar aku dapat menemaninya melakukan perjalanan ini.Aku merapikan semua barang-barang bawaan kami ke dalam lemari yang telah disediakan, seraya membayangkan seandainya saja di kamar hotel ini aku dan Hans adalah seorang suami sitri yang sah, aku sangat bahagia sekali bisa menghabiskan waktu be
Ternyata saat itu, Hans datang lagi ke villa dalam keadaan mabok. Wajar saja, jika Bi Uti memanggilku dengan suara ketakutan. Aku yang terkejut melihat kondisi Hans, langsung membawanya ke kamar. Aku dan Bi Uti membantunya mengganti pakaian. Tercium sangat menyengat sekali alcohol dari mulutnya.Hans mencengkram pergelangan tanganku dengan kuat. Aku tidak tahu apa yang menyebabkan dirinya sampai meminum alcohol terlalu banyak. Setahuku, dia bukan pemabok dulu, mungkin pergaulannya sudah merubah kebiasaannya.“Sebentar, aku bantu melepaskan sepatumu dulu,” ucapku kepada Hans yang setengah tidak sadarkan diri.Dia membual beberapa kalimat yang tidak aku mengerti apa yang sedang ia ucapkan. mendnegar bualannya itu, aku dan Bi Uti terus membantunya untuk berganti pakaian. Melepaskan sepatu dan kaos kakinya, kemudian membantunya untuk mengganti kemeja dan jasnya dengan kaus biasa.“Bi, minta tolong ambilkan air putih hangat saja?” pintaku.Bi Uti langsung mengambil air putih hangat
“Usap air matamu,” ucapnya.“Anda siapa ya?” tanyaku.“Lex,” jawabnya singkat.Tidak lama dari ia memberitahu namanya, ia langsung pergi kembali ke villanya. Sepertinya ia sedang menerima telepon dari seseorang. Aku tidak tahu ada apa, tetapi aku merasa dia baik dan sangat berwibawa.“Terima kasih, Tuan,” teriakku.Ia menolehkan kepalanya kepadaku dan tersenyum seraya melangkahkan kakinya meninggalkan pekarangan villaku. Aku bisa merasakan ketulusannya. Tidak lama dari itu aku kembali ke dalam dan tidak sengaja melihat Bi Uti sedang membuat masakan di dapur. Aku terkejut pada sebuah capsul pengantar tidur di dekatnya.“Bi? Ini?” tanyaku seraya mengangkat dan menunjukkan capsul itu.Dengan wajah panic, Bi Uti menjawab, “Maaf nyonya, maaf. Saya sengaja mencampurkan capsul itu ke minuman Tuan, sekali lagi saya minta maaf nyonya,”Aku yakin Bi Uti tidak akan melakukan hal seperti ini tanpa adanya alasan, benar saja. Ketika aku bertanya mengapa ia mencampurkan capsul itu, ia hanya tidka
“Silahkan masuk Tuan,” ucap asisten rumah tangga mempersilahkan Hans untuk masuk ke dalam. “Bi, saya takut,” ucapku kepada salah satu asisten rumah tangga, sebut saja namanya Bi Uti.“Sabar ya nyonya, tapi kalau nyonya tidak keluar, Tuan pasti akan lebih marah lagi,” ucap Bi Uti.“Panggilkan Kiara, cepat!” ucap Hans kepada seorang penjaga. Penjaga itu menghampiri diriku di dapur, ia melihat aku yang sedang ketakutan. Seisi villa itu mengerti apa yang aku rasakan, mereka tahu alasan kenapa aku ada di villa itu. Mereka sangat bersimpati kepada diriku, tapi di sisi lain, mereka hanya menjalankan tugasnya saja.“Nyonya, Tuan sudah memanggil,” ucap penjaga itu. Dengan keterpaksaan aku melangkahkan kakiku. Dengan langkah penuh keraguan dan ketakutan aku mendekatinya. Hans menjadi seperti monster di hadapanku saat itu. Dulu, dia adalah tempatku menceritakan segalanya, siapa sangka bahwa saat ini dia adalah orang yang sangat aku takuti.“Apa lagi yang akan ia lakukan
“Rebahkan tubuhmu,” ucap Hans memberi perintah kepadaku.“Aku mohon jangan lakukan itu,” pintaku.“Cepat tidak perlu negosiasi. Ingat keluargamu punya hutang, dan kamu harus melunasinya,” tutur Hans.Hans melepaskan pakaiannya satu persatu, aku mengingat dengan jelas bagaimana keluargaku menjual diriku sebagai pelunasan hutang kepada Hans, aku memang mencintainya, tetapi menikahi seseorang yang sudah memiliki seorang istri. Statusku sebagai seorang istri hanya menjadi alat melahirkan anak untuk meneruskan tahta keluarga Hans.“Tunggu apa lagi?” tanya Hans dengan penuh emosi.Aku tidak melakukan apa yang ia perintahkan, tanpa berpikir panjang, Hans menarik tubuhku dan meleparkan ke tempat tidur. Aku tidak pernah menyangka Hans berubah kepadaku. Tidak pernah aku temui dirinya yang arogan seperti saat ini, dulu.“Tolong jangan lakukan itu kepadaku,” pintaku.Aku memberikan tubuhku kepada laki-laki yang sangat aku cintai. Dengan keterpaksaan dan rasa ingin segera mengakhiri malam ini.