“Rebahkan tubuhmu,” ucap Hans memberi perintah kepadaku.
“Aku mohon jangan lakukan itu,” pintaku.“Cepat tidak perlu negosiasi. Ingat keluargamu punya hutang, dan kamu harus melunasinya,” tutur Hans. Hans melepaskan pakaiannya satu persatu, aku mengingat dengan jelas bagaimana keluargaku menjual diriku sebagai pelunasan hutang kepada Hans, aku memang mencintainya, tetapi menikahi seseorang yang sudah memiliki seorang istri. Statusku sebagai seorang istri hanya menjadi alat melahirkan anak untuk meneruskan tahta keluarga Hans.“Tunggu apa lagi?” tanya Hans dengan penuh emosi. Aku tidak melakukan apa yang ia perintahkan, tanpa berpikir panjang, Hans menarik tubuhku dan meleparkan ke tempat tidur. Aku tidak pernah menyangka Hans berubah kepadaku. Tidak pernah aku temui dirinya yang arogan seperti saat ini, dulu.“Tolong jangan lakukan itu kepadaku,” pintaku. Aku memberikan tubuhku kepada laki-laki yang sangat aku cintai. Dengan keterpaksaan dan rasa ingin segera mengakhiri malam ini. Aku merasa sangat menjijikan, dinikmati oleh seorang laki-laki yang sudah memiliki istri. Sekalipun aku sangat mencintainya, aku merasa sudah tidak ada rasa cinta darinya untukku, sementara aku yang berusaha menjauh dari kenangan masa lalu tentangnya, kini harus berhadapan dengan dirinya lagi.“Lepaskan pakaianmu,” ucap Hans sekali lagi.“Apakah tugasku disini hanya sebagai pemuas nafsumu?” tanyaku. Aku tetap tidak melakukan apa yang ia perintahkan. Aku malah berusaha untuk menutupi tubuhku dengan selimut yang ada di dekatku. Aku melihat dirinya yang semakin mendekatiku, aku berusaha untuk menghindarinya tapi tidak bisa.“Kamu sudah tahu tugasmu, untuk apa kamu menghindar begitu?” tanya Hans dengan suara tinggi. Aku melihat dirinya seperti seekor singa yang tidak sengaja dibangunkan ketika sedang tidur. Sementara aku di matanya saat ini sebagai mangsanya. Matanya terus membidik diriku, mengikuti setiap pergerakanku. Aku tidak bisa menghindarinya lagi.“Gila kamu Hans,” ucapku kepada Hans.Ia melakukan apa yang menurutnya perlu dilakukan. Tidak ada pergerakan penuh cinta di atas sebuah tempat tidur kamar hotel itu. Yang tersisa hanya sebuah kepasrahan dan ketidakberdayaan.“Kejam kamu Hans,” gerutuku.“Brakkk!” suara pintu ditutup olehnya.Setelah tugasnya selesai, ia meninggalkan aku di kamar hotel itu, ia bergegas pergi tanpa basa basi lagi. Aku hanya meratapi keadaanku saat itu. Bersama dengan kepergiannya maka, sudah berakhir hidupku. Semuanya sudah ia rasakan dari tubuhku. Dengan isak tangis aku mengambil pakaianku yang berserakan di lantai dan mengenakannya kembali.“Bagaimana bisa takdir yang Tuhan berikan begitu menyakitkan aku? Bagaimana bisa tidak ada titik terang dalam hidupku. Apa mungkin sisa umurku akan aku habiskan dengan takdirku yang seperti ini?” tanyaku pada diriku sendiri. Tidak ada keluarga yang tega memberikan hidup anggota keluargnya sendiri kepada orang lain. Mereka sudah tahu apa tujuan dari Hans dan Deyna kepadaku, tapi mereka tetap mengiyakannya. Hidup tanpa perlindungan orangtua memang sepertiku. Orangtuaku sudah lama kembali kepada Tuhan sejak aku berusia 12 tahun. Saat ini aku berusia 25 tahun, sudah 13 tahun aku tumbuh dan berkembang tanpa bimbingan seorang ibu dan perlindungan seorang ayah. Selama itu, aku tinggal bersama dengan bibi dan paman beserta 3 anaknya. Sejak usia 17 tahun, mereka sudah menyuruhku untuk bekerja. Aku menghasilkan uang untuk membayar biaya kontrakan yang kami tempati.“Tuhan apakah masih ada yang tersisa untuk aku syukuri?” tanyaku kepada Tuhan saat itu. Kiara Adya Caroline, nama yang ayah dan bundaku berikan. Aku ingat mereka pernah menceritakan alasan mereka mengambil nama itu, dari nama itu mereka berharap aku akan tumbuh menjadi seorang gadis yang mandiri dan bisa menerangi hidupku serta hidup orang-orang sekitarku. Tapi pada kenyataannya, tidak demikian.“Tok tok tok,” suara ketukan pintu terdengar. Aku bergegas mengenakan pakaianku saat itu. Kemudian membukakan pintu dan melihat ke luar, ternyata seorang perempuan sudah menungguku di luar kamar sejak tadi. Dia adalah asisten pribadi yang Hans suruh untuk menjemputku dan mengantarkan aku ke sebuah villa di pinggir kota.“Selama kamu menjalani kontrak pernikahan yang telah kita sepakati bersama, kamu bisa menempati villa ini. Tapi ingat satu hal, jangan karena kami memfasilitasi, kamu malah ngelunjak. Ingat! Tujuan utamamu kami tempatkan di villa ini. Tidak perlu merasa bak seorang ratu.,” ucap Deyna.Hans dan Deyna memberiku fasilitas mulai dari tempat tinggal, asisten rumah tangga, serta kendaraan dan biaya hidup selama aku mengandung anaknya. Villa yang mereka berikan sangat besar, aku bahkan tidak tahu di villa sebesar ini aku harus berbuat apa. Aku hanya tinggal bersama dengan 2 orang asisten rumah tangga.“Silahkan nyonya, hari ini ada salad buah yang sengaja saya buatkan untuk nyonya,” ucap asisten rumah tangga di villa itu.“Terima kasih banyak,” ucapku. Villa ini jauh dari akses ke kota dan jauh dari kerumunan orang-orang. Dengan kondisiku yang seperti ini aku merasa seperti seorang simpanan. Bedanya, jika beberapa orang menjadi simpanan dari istri muda, aku menjadi simpanan dari masyarakat luas. Keberadaanku tidak ada yang mengetahuinya. Dari yang aku tahu, hanya Hans dan Deyna saja yang tahu bahwa Deyna tidak bisa memberikan keturunan untuk keluarga mereka. Dengan demikian, keluarga besar Hans tidak tahu hal tersebut. Itu mungkin alasan utama, mereka menyembunyikan aku di villa ini.“Setidaknya aku tidak menjadi gelandangan di jalan. Selain itu, puji syukur mereka menempatkan aku pada orang-orang sebaik bibi,” pikirku. Aku sadari dengan sangat, anak yang nantinya lahir dari rahimku adalah anak aku dan Hans. Tapi, dunia tidak akan menganggapnya demikian, anak itu akhirnya akan diakui menjadi anak Hans dan Deyna. Aku menatap ke jendela rumah, aku melihat seseorang di villa sebelah, tampaknya ia tengah masuk ke dalam mobilnya. Terlihat seperti pribadi yang sangat tegas. Kaki yang dengan gagah melangkah menuju mobilnya. Aku tidak tahu ada apa, aku merasa tertarik melihat laki-laki berambut klimis itu. Ingin rasanya aku meminta bantuan kepadanya.“Siapa laki-laki itu?” tanyaku dalam pikirku.Terlepas dari tatapanku ke belakang punggung laki-laki itu tiba-tiba saja aku dikejutkan oleh seorang penjaga.“Tuan datang,” seru seorang penjaga memberitahu. Hans datang ke villa itu untuk pertama kalinya setelah beberapa hari lalu ia melakukan hubungan intim denganku. Aku kira ia tidak akan datang ke villa ini. Setidaknya aku tidak perlu merasa jijik ketika melihat wajah laki-laki yang aku anggap orang baik ternyata sudah berubah menjadi titisan iblis tidak berhati.“Dimana Kiara?” tanya Hans dengan suara lantang dari depan pintu villa. Hans suamiku, bahkan hubungan kami sah dimata agama, tetapi kenapa dia tidak bisa memperlakukan aku bak seorang istri. Naasnya, ketika menikahi seorang laki-laki yang aku cintai tetapi menjadikan aku alat pemuas nafsunya. Terkadang aku berpikir kapan nasibku akan berubah.“Kiara!” teriak Hans sekali lagi.“Silahkan masuk Tuan,” ucap asisten rumah tangga mempersilahkan Hans untuk masuk ke dalam. “Bi, saya takut,” ucapku kepada salah satu asisten rumah tangga, sebut saja namanya Bi Uti.“Sabar ya nyonya, tapi kalau nyonya tidak keluar, Tuan pasti akan lebih marah lagi,” ucap Bi Uti.“Panggilkan Kiara, cepat!” ucap Hans kepada seorang penjaga. Penjaga itu menghampiri diriku di dapur, ia melihat aku yang sedang ketakutan. Seisi villa itu mengerti apa yang aku rasakan, mereka tahu alasan kenapa aku ada di villa itu. Mereka sangat bersimpati kepada diriku, tapi di sisi lain, mereka hanya menjalankan tugasnya saja.“Nyonya, Tuan sudah memanggil,” ucap penjaga itu. Dengan keterpaksaan aku melangkahkan kakiku. Dengan langkah penuh keraguan dan ketakutan aku mendekatinya. Hans menjadi seperti monster di hadapanku saat itu. Dulu, dia adalah tempatku menceritakan segalanya, siapa sangka bahwa saat ini dia adalah orang yang sangat aku takuti.“Apa lagi yang akan ia lakukan
“Usap air matamu,” ucapnya.“Anda siapa ya?” tanyaku.“Lex,” jawabnya singkat.Tidak lama dari ia memberitahu namanya, ia langsung pergi kembali ke villanya. Sepertinya ia sedang menerima telepon dari seseorang. Aku tidak tahu ada apa, tetapi aku merasa dia baik dan sangat berwibawa.“Terima kasih, Tuan,” teriakku.Ia menolehkan kepalanya kepadaku dan tersenyum seraya melangkahkan kakinya meninggalkan pekarangan villaku. Aku bisa merasakan ketulusannya. Tidak lama dari itu aku kembali ke dalam dan tidak sengaja melihat Bi Uti sedang membuat masakan di dapur. Aku terkejut pada sebuah capsul pengantar tidur di dekatnya.“Bi? Ini?” tanyaku seraya mengangkat dan menunjukkan capsul itu.Dengan wajah panic, Bi Uti menjawab, “Maaf nyonya, maaf. Saya sengaja mencampurkan capsul itu ke minuman Tuan, sekali lagi saya minta maaf nyonya,”Aku yakin Bi Uti tidak akan melakukan hal seperti ini tanpa adanya alasan, benar saja. Ketika aku bertanya mengapa ia mencampurkan capsul itu, ia hanya tidka
Ternyata saat itu, Hans datang lagi ke villa dalam keadaan mabok. Wajar saja, jika Bi Uti memanggilku dengan suara ketakutan. Aku yang terkejut melihat kondisi Hans, langsung membawanya ke kamar. Aku dan Bi Uti membantunya mengganti pakaian. Tercium sangat menyengat sekali alcohol dari mulutnya.Hans mencengkram pergelangan tanganku dengan kuat. Aku tidak tahu apa yang menyebabkan dirinya sampai meminum alcohol terlalu banyak. Setahuku, dia bukan pemabok dulu, mungkin pergaulannya sudah merubah kebiasaannya.“Sebentar, aku bantu melepaskan sepatumu dulu,” ucapku kepada Hans yang setengah tidak sadarkan diri.Dia membual beberapa kalimat yang tidak aku mengerti apa yang sedang ia ucapkan. mendnegar bualannya itu, aku dan Bi Uti terus membantunya untuk berganti pakaian. Melepaskan sepatu dan kaos kakinya, kemudian membantunya untuk mengganti kemeja dan jasnya dengan kaus biasa.“Bi, minta tolong ambilkan air putih hangat saja?” pintaku.Bi Uti langsung mengambil air putih hangat
Aku berusaha untuk tidak memikirkan hal itu.Hans membawaku ke sebuat hotel megah di sekitar usat kota yang ramai. Ada banyak gedung-gedung pencakar langit yang tinggi, kendaraan berlalulalang dengan sangat leluasa. Aku hanya menatapanya dari ketinggian kamar hotel. Di kamar hotel itu, hanya ada aku dan Hans. Dia menjadi lebih pendiam dan tenang.“Baik, saya akan segera ke tempat tujuan,” ucap Hans pada seseorang dalam panggilan.Aku hanya menjadi pendengar, tidak bertanya apapaun tentang kegiatan yang akaan kami lakukan di kota ini. Jika sebelum berangkat ia mengatakan ingin menghabiskan waktu berdua bersama denganku, mungkin itu hanya tipu muslihatnya saja, ia sebenarnya hanya berniat agar aku dapat menemaninya melakukan perjalanan ini.Aku merapikan semua barang-barang bawaan kami ke dalam lemari yang telah disediakan, seraya membayangkan seandainya saja di kamar hotel ini aku dan Hans adalah seorang suami sitri yang sah, aku sangat bahagia sekali bisa menghabiskan waktu be
Aku berusaha untuk tidak memikirkan hal itu.Hans membawaku ke sebuat hotel megah di sekitar usat kota yang ramai. Ada banyak gedung-gedung pencakar langit yang tinggi, kendaraan berlalulalang dengan sangat leluasa. Aku hanya menatapanya dari ketinggian kamar hotel. Di kamar hotel itu, hanya ada aku dan Hans. Dia menjadi lebih pendiam dan tenang.“Baik, saya akan segera ke tempat tujuan,” ucap Hans pada seseorang dalam panggilan.Aku hanya menjadi pendengar, tidak bertanya apapaun tentang kegiatan yang akaan kami lakukan di kota ini. Jika sebelum berangkat ia mengatakan ingin menghabiskan waktu berdua bersama denganku, mungkin itu hanya tipu muslihatnya saja, ia sebenarnya hanya berniat agar aku dapat menemaninya melakukan perjalanan ini.Aku merapikan semua barang-barang bawaan kami ke dalam lemari yang telah disediakan, seraya membayangkan seandainya saja di kamar hotel ini aku dan Hans adalah seorang suami sitri yang sah, aku sangat bahagia sekali bisa menghabiskan waktu be
Ternyata saat itu, Hans datang lagi ke villa dalam keadaan mabok. Wajar saja, jika Bi Uti memanggilku dengan suara ketakutan. Aku yang terkejut melihat kondisi Hans, langsung membawanya ke kamar. Aku dan Bi Uti membantunya mengganti pakaian. Tercium sangat menyengat sekali alcohol dari mulutnya.Hans mencengkram pergelangan tanganku dengan kuat. Aku tidak tahu apa yang menyebabkan dirinya sampai meminum alcohol terlalu banyak. Setahuku, dia bukan pemabok dulu, mungkin pergaulannya sudah merubah kebiasaannya.“Sebentar, aku bantu melepaskan sepatumu dulu,” ucapku kepada Hans yang setengah tidak sadarkan diri.Dia membual beberapa kalimat yang tidak aku mengerti apa yang sedang ia ucapkan. mendnegar bualannya itu, aku dan Bi Uti terus membantunya untuk berganti pakaian. Melepaskan sepatu dan kaos kakinya, kemudian membantunya untuk mengganti kemeja dan jasnya dengan kaus biasa.“Bi, minta tolong ambilkan air putih hangat saja?” pintaku.Bi Uti langsung mengambil air putih hangat
“Usap air matamu,” ucapnya.“Anda siapa ya?” tanyaku.“Lex,” jawabnya singkat.Tidak lama dari ia memberitahu namanya, ia langsung pergi kembali ke villanya. Sepertinya ia sedang menerima telepon dari seseorang. Aku tidak tahu ada apa, tetapi aku merasa dia baik dan sangat berwibawa.“Terima kasih, Tuan,” teriakku.Ia menolehkan kepalanya kepadaku dan tersenyum seraya melangkahkan kakinya meninggalkan pekarangan villaku. Aku bisa merasakan ketulusannya. Tidak lama dari itu aku kembali ke dalam dan tidak sengaja melihat Bi Uti sedang membuat masakan di dapur. Aku terkejut pada sebuah capsul pengantar tidur di dekatnya.“Bi? Ini?” tanyaku seraya mengangkat dan menunjukkan capsul itu.Dengan wajah panic, Bi Uti menjawab, “Maaf nyonya, maaf. Saya sengaja mencampurkan capsul itu ke minuman Tuan, sekali lagi saya minta maaf nyonya,”Aku yakin Bi Uti tidak akan melakukan hal seperti ini tanpa adanya alasan, benar saja. Ketika aku bertanya mengapa ia mencampurkan capsul itu, ia hanya tidka
“Silahkan masuk Tuan,” ucap asisten rumah tangga mempersilahkan Hans untuk masuk ke dalam. “Bi, saya takut,” ucapku kepada salah satu asisten rumah tangga, sebut saja namanya Bi Uti.“Sabar ya nyonya, tapi kalau nyonya tidak keluar, Tuan pasti akan lebih marah lagi,” ucap Bi Uti.“Panggilkan Kiara, cepat!” ucap Hans kepada seorang penjaga. Penjaga itu menghampiri diriku di dapur, ia melihat aku yang sedang ketakutan. Seisi villa itu mengerti apa yang aku rasakan, mereka tahu alasan kenapa aku ada di villa itu. Mereka sangat bersimpati kepada diriku, tapi di sisi lain, mereka hanya menjalankan tugasnya saja.“Nyonya, Tuan sudah memanggil,” ucap penjaga itu. Dengan keterpaksaan aku melangkahkan kakiku. Dengan langkah penuh keraguan dan ketakutan aku mendekatinya. Hans menjadi seperti monster di hadapanku saat itu. Dulu, dia adalah tempatku menceritakan segalanya, siapa sangka bahwa saat ini dia adalah orang yang sangat aku takuti.“Apa lagi yang akan ia lakukan
“Rebahkan tubuhmu,” ucap Hans memberi perintah kepadaku.“Aku mohon jangan lakukan itu,” pintaku.“Cepat tidak perlu negosiasi. Ingat keluargamu punya hutang, dan kamu harus melunasinya,” tutur Hans.Hans melepaskan pakaiannya satu persatu, aku mengingat dengan jelas bagaimana keluargaku menjual diriku sebagai pelunasan hutang kepada Hans, aku memang mencintainya, tetapi menikahi seseorang yang sudah memiliki seorang istri. Statusku sebagai seorang istri hanya menjadi alat melahirkan anak untuk meneruskan tahta keluarga Hans.“Tunggu apa lagi?” tanya Hans dengan penuh emosi.Aku tidak melakukan apa yang ia perintahkan, tanpa berpikir panjang, Hans menarik tubuhku dan meleparkan ke tempat tidur. Aku tidak pernah menyangka Hans berubah kepadaku. Tidak pernah aku temui dirinya yang arogan seperti saat ini, dulu.“Tolong jangan lakukan itu kepadaku,” pintaku.Aku memberikan tubuhku kepada laki-laki yang sangat aku cintai. Dengan keterpaksaan dan rasa ingin segera mengakhiri malam ini.