Dewandra tidak pernah mengira bahwa ia akan bertemu dengan mantan istrinya di tempat seperti ini. Hampir enam tahun ia tidak melihat Kikan dan sekarang apa yang wanita itu lakukan di sini dengan pakaian super seksi?
Dewandra hampir berpikir jika sekarang ia sedang berhalusinasi. Namun ia segera menyadari jika wanita yang saat ini berdiri menatapnya memang sungguh Kikan, mantan istrinya sendiri.Dewandra segera beranjak dari duduknya untuk menghampiri Kikan yang mematung di tempatnya. Pria itu menatap tajam, memindai Kikan dari ujung kaki hingga kepala. Hingga sepersekian detik kemudian Dewandra memutuskan untuk melucuti jas miliknya lalu menyampirkannya ke bahu Kikan.Tentu saja sikap Dewandra saat ini mengundang perhatian teman-temannya. Tidak terkecuali Manda yang sudah menganga dengan mata membulat sempurna.“Apa yang kamu lakukan di sini?” Suara Dewandra terdengar tinggi. Ia tidak senang melihat keberadaan Kikan dengan pakaian super seksi di tempat ini.Kedua kening Kikan saling bertaut satu sama lain. Ada apa dengan pria aneh ini? Apa yang dia lakukan barusan?Belum sempat Kikan membuka mulutnya untuk melontarkan pertanyaan, Dewandra lebih dulu menyeretnya keluar dari ruangan itu. Kikan berusaha melepaskan genggaman tangan pria asing yang tiba-tiba menyeretnya keluar. Namun tidak semudah yang Kikan bayangkan sebab cengkeraman tangannya benar-benar kuat.“Apa sih yang kamu lakukan?” tanya Kikan saat Dewandra melepaskan cengkeraman tangannya.“Seharusnya aku yang bertanya begitu. Apa yang kamu lakukan di sini dengan pakaian seperti ini!” bentak Dewandra.Kikan tersentak saat Dewandra membentaknya seperti itu. “Loh! Kenapa kamu membentakku? Kita nggak saling kenal jadi kurasa bukan hal yang baik untuk kamu membentakku seperti tadi!” balasnya ikut membentak.Kali ini giliran Dewandra yang tersentak saat mendengar ucapan Kikan kepadanya. Apa wanita ini sedang bercanda atau bagaimana? Sebenci itukah Kikan kepadanya sampai harus berpura-pura tidak mengenalnya?“Mau ke mana lagi kamu?” Dewandra menangkap tangan Kikan saat wanita itu mengembalikan jas yang dia sampirkan dan siap membuka langkah untuk pergi dari sana.“Bukan urusan Anda, Pak! Saya mau ke mana itu terserah saya,” jawab Kikan dingin.Kikan berniat kembali ke ruangan sebab ia yakin Manda pasti menunggunya dengan kebingungan. Sebenarnya ia sendiri pun bingung. Mengapa pria aneh ini tiba-tiba menyeretnya keluar kemudian membentaknya seolah mereka saling kenal?“Aku tahu kamu pasti ingin kembali ke ruangan itu. Tidak akan ku biarkan, sekarang kamu ikut aku pergi dari tempat ini.” Dewandra kembali menangkap tangan Kikan lalu menyeretnya keluar dari kelab malam.Sepanjang langkahnya Kikan terus berontak. Berusaha melepaskan tangannya dari cengkeraman pria aneh yang sangat menjengkelkan ini.Dewandra tidak menggubris reaksi Kikan yang terus berontak. Pria bertubuh jangkung itu hanya terus menyeret Kikan hingga keluar dari tempat gemerlap itu. Memasukkannya ke dalam mobil lalu mengemudikan mobilnya menjauh dari kelab malam.“Katakan di mana alamat rumah kamu. Aku akan mengantar kamu pulang.” Dewandra menatap Kikan yang memasang wajah marah di passenger seat.Selain merasa marah, sebenarnya Kikan juga merasa sedikit takut. Sekarang ia duduk di dalam mobil ini bersama pria asing yang sok akrab dengannya. Terlebih lagi pakaian Kikan yang terlalu seksi, bahkan paha mulusnya terekspos dengan sempurna. Kikan terus berpikir bagaimana jika pria di sampingnya ini akan berbuat tindakan tak senonoh kepadanya.“Siapa bilang kamu boleh mengantarku pulang? Jangan menghalangi penghasilan orang lain, ya! Cepat antar aku kembali ke kelab karena aku harus bekerja,” ucap Kikan, suaranya lebih seperti memerintah daripada meminta.Kedua mata Dewandra membelalak sempurna. Bagaimana bisa ibu dari anaknya berakhir seperti ini setelah perceraian mereka? Apa kehidupan Kikan sangat sulit hingga harus bekerja di tempat seperti kelab malam?“Sejak kapan kamu bekerja di tempat seperti itu?” tanya Dewandra terus melajukan mobilnya, pria itu sama sekali tak memiliki keinginan untuk memutar balik mobilnya kembali ke kelab malam.Tidak ada jawaban dari Kikan. Wanita itu diam seribu bahasa dengan raut wajahnya yang masih terlihat tak bersahabat.“Oke, kalau kamu tidak mau menjawab. Sekarang aku tanya lagi, di mana rumah kamu?” Dewandra kembali menujukan pandangan ke samping kirinya. Sekarang mobilnya sudah berada cukup jauh dari kelab malam dan Dewandra tidak tahu ke mana ia harus mengantar Kikan.Kikan masih membungkam mulutnya sebab rasa jengkel atas tindakan lancang dari Dewandra kepadanya. Andai saja ia tidak berpakaian seksi seperti sekarang, Kikan pastikan untuk minta diturunkan di tepi jalan lalu kembali ke kelab malam mendatangi Manda. Namun Kikan tidak bisa melakukan itu sebab terlalu berisiko baginya untuk berada di luar dengan pakaian seksi seperti ini.“Kalau kamu tidak memberi tahuku alamat rumahmu, maka aku tidak punya pilihan selain membawamu ke rumahku.”Tentu saja ucapan Dewandra tadi membuat Kikan langsung membulatkan mata. Pria ini tidak waras, ya? Kenapa dia harus membawa Kikan ke rumahnya? Apa dia pikir Kikan ini wanita murahan yang bisa dibawa ke rumah sesuka hatinya?“Kamu pikir saya ini apa? Saya bukan wanita murahan yang bisa kamu bawa pulang ke rumah sesuka hati kamu ya! Dasar bajingan.” Kikan tidak tahan untuk tidak mengumpat. Ia merasa pria ini baru saja melukai harga dirinya.“Loh, sekarang kamu bicara soal murahan? Kamu saja melakukan pekerjaan yang membuat orang-orang berpikir kamu adalah wanita yang seperti itu. Apanya yang salah? Lagi pula aku tidak pernah mengatakan kamu murahan, kamu sendiri yang mengatakannya.” Dewandra berargumen.Kikan melipat kedua tangannya. Sementara tatapannya mengarah tajam pada sosok Dewandra yang entah mengapa kian menjengkelkan di matanya.“Kamu memang nggak mengatakannya. Tapi sikap kamu jelas kalau kamu berpikir demikian! Kamu tiba-tiba menyeret saya keluar dari ruangan lalu memarahi saya seolah kita saling kenal. Terus kamu menyeret saya lagi keluar dari kelab dan memasukkan saya ke dalam mobilmu. Apa itu namanya kalau kamu nggak berpikir saya ini wanita murahan? Kamu bertindak sembarangan dan sesukanya!”Kepala Dewandra mendadak terasa pening. Haruskah mereka berdebat seperti ini lagi saat kembali bertemu setelah sekian tahun?“Aku hanya mengkhawatirkan kamu.” Suara Dewandra melemah. Ia tidak akan mendebat Kikan lagi, Dewandra lelah.Kikan memutar matanya dengan malas. “Kamu nggak perlu mengkhawatirkan saya. Kita adalah orang asing, untuk apa kamu khawatir?”Apa pria zaman sekarang semuanya seperti ini? Ini bukan pertama kalinya Kikan bertemu pria semacam ini. Kikan tahu persis jika sekarang pria yang duduk di sampingnya ini sedang menebarkan umpan. Namun maaf-maaf saja, Kikan tidak akan memakan umpannya itu untuk berakhir masuk ke dalam perangkapnya.Dewandra menarik napas sedalam mungkin. Lalu mengembuskannya dengan perlahan melalui belah bibirnya yang sedikit terbuka. “Aku tahu kita sekarang adalah orang asing. Tapi bagaimanapun aku tetap mengkhawatirkan kamu.”Kikan merasa semakin jengkel dengan sikap Dewandra. Ia tidak mengerti mengapa harus bertemu dengan orang seperti ini? Kikan merasa dirinya sangat sial malam ini.“Dasar orang aneh. Sudah kukatakan berkali-kali kalau aku nggak mengenalnya, kenapa dia harus mempersulitku seperti ini?” Kikan bergumam pelan. Namun ucapannya tidak begitu pelan sampai kedua telinga Dewandra masih bisa menangkapnya.“Apa kamu sangat membenciku sampai harus berpura-pura tidak kenal seperti ini?”Lagi? Berapa kali lagi Kikan harus mengatakannya bahwa ia tidak mengenal pria ini, sih!“Saya bukannya membenci kamu, tapi kita memang nggak saling kenal satu sama lain. Ini adalah pertama kalinya saya bertemu kamu. Paham nggak sih?”Dewandra benar-benar tidak mengerti. Ah tidak. Yang benar adalah Dewandra merasa sangat bingung sekarang. Apa dia salah mengenali orang atau bagaimana? Tapi Dewandra seribu persen yakin jika wanita yang duduk di sampingnya saat ini adalah Kikan, mantan istrinya.Keheningan seketika membalut saat Dewandra tenggelam dalam pikirannya. Dan Kikan mulai gelisah mendapati pria di sampingnya itu tiba-tiba terdiam. Kikan tidak bisa berhenti untuk berpikiran buruk terhadap pria di sampingnya ini. Bisa saja ia terdiam sekarang karena sedang memikirkan sesuatu yang vulgar.“Apartemen Sky, antar aku ke sana.” Kikan membuka suara tanpa menatap lawan bicaranya.Kedua mata Dewandra setengah mendelik. “Apartemen Sky?” ujarnya mengulangi dan Kikan langsung mengangguk mengiyakan.Dewandra segera mengubah rute tujuannya menuju Apartemen Sky. Jalanan malam ini sangat sunyi. Membuat Dewandra bisa dengan leluasa melajukan mobilnya dengan kecepatan berapa pun.Tak perlu waktu lama hingga kendaraan berjenis SUV itu tiba di tempat tujuan. Saat roda mobilnya berhenti bergerak dan Kikan bersiap untuk turun, buru-buru Dewandra kembali melontarkan pertanyaan.“Jadi, kamu benar-benar tidak mengingatku?”Tepat pukul lima pagi bel apartemen Kikan berbunyi. Semalaman suntuk Kikan tidak bisa tidur sebab ia tidak bisa menghubungi Manda karena ponselnya tertinggal di kelab malam. Kikan segera berlari menuju pintu dan mendapati Manda berdiri di baliknya.“Manda, syukurlah kamu ke mari,” ucap Kikan lalu membawa Manda masuk ke dalam.Manda melangkah dengan kedua mata yang sangat mengantuk. Sekujur tubuhnya juga terasa sangat lelah. Namun wanita itu tersenyum dengan begitu lebar sebab di dalam tasnya terdapat banyak uang tunai. Tidak sia-sia semalaman ia habiskan untuk menari dan menemani para pria kaya itu duduk minum.“Kikan, aku merasa sangat penasaran kenapa pria itu membawa kamu pergi. Tapi sekarang aku sangat mengantuk dan pengen tidur.” Manda melangkah menuju kamar Kikan. Kedua matanya sudah tidak bisa menahan rasa kantuk yang sedari tadi menyerang.Kikan memapah Manda menuju kamarnya lalu merebahkan sahabat baiknya itu ke atas ranjang. “Sekarang kamu tidur dulu. Aku akan menceritakanny
Dewandra masih terus memikirkan pertemuannya dengan Kikan tadi malam. Dan bagaimana wanita itu bersikeras jika mereka tidak saling kenal benar-benar mengganggu pikirannya. Terlebih lagi sekarang wanita itu bekerja di kelab malam, Dewandra merasa Kikan sungguh keterlaluan.“Apa benar aku salah mengenali orang? Tapi aku sangat yakin jika wanita itu adalah Kikan! Bagaimana bisa aku tidak mengenalinya meski sekian tahun telah berlalu. Ini tidak benar, aku harus mencari tahu apa yang terjadi sebenarnya.”Dewandra atau yang lebih sering dipanggil Dewa itu segera meraih ponselnya untuk menghubungi sekretarisnya. Dewa perlu tahu yang sebenarnya terjadi, maka dari itu ia ingin sekretarisnya itu mencari tahu apa yang terjadi dengan Kikan si mantan istrinya itu.Tidak perlu waktu lama hingga panggilan Dewa bersama sekretarisnya berhasil tersambung. Terdengar suara sang sekretaris yang masih sangat mengantuk di seberang telepon.“Halo, Pak Dewa?” sapa Chiko dengan suara mengantuknya.Dewa membetu
Setelah kehilangan pekerjaannya karena sebuah kesalahpahaman. Sekarang Kikan telah resmi menjadi seorang pengangguran. Padahal pekerjaan itu sudah susah payah ia dapatkan. Sekarang usianya hampir menginjak angka tiga puluh tahun. Seperti yang Kikan tahu, tidak banyak peluang yang dia miliki untuk mendapatkan pekerjaan impian. Syukur-syukur kalau dia segera mendapatkan pekerjaan dalam waktu dekat ini. Kikan menghela napas berat. Salah satu tangannya terulur merogoh dompet di dalam tas untuk menghitung ada berapa lembar lagi rupiah yang tersisa. Apakah akan cukup untuknya bertahan hingga mendapatkan pekerjaan baru atau tidak? “Astaga, uang ini mungkin hanya akan bertahan sampai akhir pekan saja.” Helaan napas Kikan semakin berat. Saat kepalanya terasa begitu pening luar biasa, kedua netra Kikan tak sengaja menangkap sebuah amplop berwarna cokelat yang cukup tebal berada di dalam tasnya. Benar juga! Kikan belum mengembalikan uang yang Dewa titipkan kepada Adelia yang katanya sih untuk
Kikan tidak tahu harus bereaksi seperti apa usai mendengar semua cerita dari Terry. Ternyata hubungan mereka tidak ‘biasa saja’ seperti yang Kikan pikir. Bagi Terry, Kikan adalah penyelamatnya. Sama seperti Kikan yang menganggap Manda adalah penyelamat hidupnya. Pantas saja wanita itu terlihat sangat gembira dan bahkan bersyukur saat mereka bertemu kembali. “Aku mungkin nggak akan bisa hidup sampai sekarang kalau saja waktu itu kamu nggak menyelamatkan aku. Cuman kamu satu-satunya yang menganggapku sebagai manusia dan mau berteman sama aku.” Kehidupan semasa Sekolah Menengas Atas adalah kehidupan yang paling berat untuk Terry. Memiliki ibu yang merupakan seorang wanita penghibur dan pemuas nafsu para lelaki merupakan suatu hal yang sangat membebani Terry. Tidak ada yang mau berteman dengannya dan bahkan mereka memperlakukan Terry seolah ia bukan manusia. Tapi hal yang berbeda Kikan lakukan. Wanita itu justru menerima Terry tanpa menghakimi sama sekali. Sejak saat itulah Kikan adala
Seperti yang sudah Kikan janjikan kepada Terry bahwa ia akan datang tepat waktu hari ini. Dengan semangat yang begitu menggebu, Kikan berdiri di samping Terry yang sedari tadi menjelaskan dengan begitu rinci hal-hal apa saja yang harus wanita itu lakukan semasa bekerja di cafe ini. “Di sini sistem kerjanya terbagi menjadi dua shift. Kemudian pukul sembilan malam cafe sudah benar-benar harus tutup, jadi kita nggak akan menerima orderan lagi setengah jam sebelum itu apapun alasannya.” Kikan mengangguk paham. Semua hal yang Terry jelaskan dan ajarkan kepadanya secara kilat dapat Kikan pahami dengan begitu mudah. “Sepertinya kamu sudah paham. Kalau gitu, mau sarapan bareng nggak? Kamu pasti belum sarapan ‘kan?” Terry berani bertaruh jika Kikan tidak sempat sarapan sebelum datang ke mari. Dan sebenarnya asumsi Terry sama sekali tidak salah. Kikan memang belum sarapan untuk mengisi perutnya yang bahkan terasa sangat lapar sekarang. Bagaimana wanita itu tidak kelaparan jika sejak tadi ma
Lonceng yang terpasang di pintu cafe berbunyi saat seseorang mendorong pintu itu hingga terbuka. Detik berikutnya muncul sosok pria yang begitu tinggi dengan setelan jas yang membalut tubuhnya dan berjalan masuk hingga ke dalam. Kikan merasa seolah waktu berjalan dengan sangat lambat saat kedua matanya menangkap sosok yang begitu tinggi dan rupawan itu. Pria itu, di mana Kikan pernah melihatnya? Benarkah dia manusia dan bukan malaikat maut yang ingin mencabut nyawa nya? “Kikan?” seru pria itu. Kening Kikan sedikit berkerut. Rasa-rasanya suara ini pernah ia dengar sebelumnya di suatu tempat. Tapi di mana? “Akhirnya kita bertemu di tempat yang pantas. Senang melihatmu berada di sini daripada kelab malam.” Ah benar juga! Kelab malam! Kikan seketika bisa mengingat pertemuan mereka saat pria itu menyinggung soal kelab malam. Dia ‘kan pria yang sama yang tiba-tiba menyeretnya keluar dari ruangan lalu memarahinya seolah mereka saling kenal. Yup! Pria jangkung nan rupawan yang berdiri di
Kikan menarik napas sedalam mungkin sementara kedua matanya terpejam dengan rapat. Di telinganya masih terngiang suara Dewandra yang melontarkan pertanyaan yang mampu membuat wanita itu jengkel setengah mati. Sebisa mungkin Kikan mengendalikan emosi yang hampir meledak di dalam dirinya. “Apa dia sudah nggak waras? Kenapa dia terus bersikap dan melontarkan pertanyaan yang membuatku nggak nyaman?” Kikan mendengus sebal bersamaan dengan kedua matanya yang dibuka perlahan. Tiba-tiba saja ia merasa sangat kepanasan. Kikan tidak mengerti, kenapa setiap kali bertemu dengan Dewandra ia selalu dibuat kesal? Apa salah Kikan sebenarnya? “Bukankah pertanyaannya semacam itu termasuk lancang? Nggak seharusnya dia bertanya soal itu kepada orang asing, ‘kan?” Kikan semakin dibuat bingung. “Apanya yang lancang?” Kikan terkesiap dan langsung memutar tubuhnya ke belakang saat suara seseorang memasuki indra pendengarannya. Kikan tidak berpikir akan ada orang lain di sini selain dirinya. “Arman ...,”
Di ruangannya, Dewandra yang baru saja selesai dari sebuah rapat penting menghempaskan diri di kursi kerjanya. Kedua matanya tak sengaja menangkap sebuah map yang nampak asing. Kemudian ia tiba-tiba teringat dengan laporan yang Chiko bicarakan tadi pagi, lantas pria itupun segera meraih map tersebut lalu membukanya. Dengan cermat Dewandra membaca satu per satu baris kalimat yang tertuang di sana. Tatapannya nampak begitu serius. Bahkan bisa dikatakan bahwa sekarang pria itu merasa tegang sekaligus terkejut dalam waktu bersamaan. “Pantas saja dia bersikeras tidak mengenalku. Rupanya dia kehilangan ingatannya.” Pria itu bergumam pelan saat netranya menangkap baris kalimat yang melaporkan tentang insiden kecelakaan yang dialami Kikan. Selama ini Dewandra selalu meyakini bahwa ia membenci Kikan. Tapi hal berlawanan ia rasakan saat mereka kembali bertemu. Dan sekarang saat ia mengetahui apa yang terjadi dengan wanita itu beberapa tahun terakhir ini membuatnya tiba-tiba merasa kasihan sek
“Kikan! Syukurlah kamu sadar!” Dewandra sampai berdiri dari duduk saat mendapati Kikan sudah siuman. Pria itu tampak bersyukur dan langsung memanggil dokter untuk memeriksa keadaan mantan istrinya itu. Kikan berusaha duduk sambil merasakan nyeri di kepalanya. Potongan demi potongan ingatan mulai membayangi dan Kikan hampir menjerit karena kepalanya semakin sakit. “Tante Kikan!” Kikan sontak menoleh ke samping saat mendengar suara Rosetta menggema. Bocah kecil itu langsung berlari dan memeluk Kikan sambil menangis. Sementara di belakangnya—Handi—ayah Dewandra, datang menyusul dan langsung menyapa Kikan dengan ramah. Tak lama setelah itu, Dewandra kembali bersama seorang dokter dan Kikan langsung mendapat pemeriksaan. “Aku … mendapatkan ingatan saat kita menikah dulu,” ucap Kikan sambil memandangi Dewandra setelah dokter selesai memeriksa dan pergi dari ruangan. Dewandra tidak bisa menutupi rasa terkejutnya mendengar pengakuan dari Kikan. Dewandra tidak tahu harus mengatakan apa.
Sekembalinya dari supermarket, Kikan langsung menyimpan stok belanjaan dan menyusunnya dengan rapi. Sebelum bergulat dengan peralatan memasak untuk makan siang, Kikan berniat membersihkan beberapa sudut ruangan di dalam rumah ini. Ruangan pertama yang Kikan datangi adalah kamar Rosetta. Kikan mengembangkan senyuman saat mengamati seluruh ruangan bocah kecil itu. Beberapa boneka dan buku tampak berhamburan di lantai.Kikan melangkah maju dan mulai membersihkan ruangan tersebut. Entah mengapa perasaannya begitu senang seolah sedang membersihkan kamar putrinya sendiri."Apa ini?" Kikan meraih selembar kertas yang terselip di antara buku-buku. Ternyata sebuah tulisan berisi tentang dirinya. Kikan membaca tulisan tersebut dengan mata berkaca-kaca. Sebuah tulisan yang tidak terlalu rapi yang ditulis sendiri oleh Rosetta. Di dalam tulisannya, Rosetta menyebutkan betapa dia sangat bahagia telah mengenal Kikan."Ya Tuhan, bocah ini sangat manis. Tante juga menyukaimu, Tata," gumamnya sambil
Dewandra kembali dibuat pusing setelah memikirkan ucapan ayahnya saat pria tua itu berkunjung tadi. Jujur saja, hingga sekarang persoalan tentang pulihnya ingatan Kikan masih membebani Dewandra hingga mengganggu ketenangannya. Entah bagaimana wanita itu akan bereaksi jika ingatannya kembali pulih, Dewandra jadi ngeri sendiri. “Apa aku harus memintanya untuk tinggal di sini agar bisa mengawasinya? Aku sudah bertindak sejauh ini. Semuanya akan kembali kacau jika Kikan mendapatkan kembali ingatannya, bukan?” Dewandra bergumam gelisah. Dalam pikiran Dewandra, jika di masa lalu ia gagal mempertahankan Kikan di sisinya, maka tidak kali ini. Ia tidak bisa kehilangan Kikan lagi seperti sebelumnya. Meski ia harus menjadi orang jahat sekalipun—Dewandra tidak keberatan untuk menghalangi ingatan Kikan kembali seperti semula. Yang hanya Dewandra pikirkan adalah Kikan harus bersama dirinya dan juga Rosetta. “Tapi dia pasti menolak untuk menginap. Argh! Ini benar-benar membuatku pusing.” Dewandra
Tidak ada yang tahu tentang masa depan. Begitupun dengan Dewandra yang tidak pernah tahu bahwa hal semacam ini akan terjadi setelah perceraiannya dengan Kikan. Tidak pernah sekalipun ia berpikir bahwa ia akan kembali bertemu dengan Kikan yang kehilangan ingatan. Dan yang lebih tidak pernah ia pikirkan selain hal itu adalah saat Kikan yang mendadak menjadi seorang pengasuh untuk putri mereka sendiri. Rasanya bagaikan sebuah lelucon. Lelucon yang membuat Dewandra merasa sangat tergelitik hingga tak sadar menyematkan senyum lebar di bibirnya. Setelah Kikan memutuskan untuk pergi meninggalkan dirinya dan putri mereka beberapa tahun silam. Setiap hari Dewandra selalu menanamkan kebenciannya untuk sang mantan istri. Ia bertekad untuk membalas rasa sakit itu jika di kemudian hari mereka kembali bertemu. Namun semua rencananya gagal begitu saja karena ternyata perasaannya terhadap Kikan masih belum usai. Siapa yang menyangka? Bahkan Dewandra sendiri tidak menyangka akan sekacau itu. Sement
“Kenapa sih kamu selalu bela dia? Harusnya kamu marah karena dia mengacaukan kencan buta itu. Kamu tahu sendiri ‘kan sesibuk apa Vino! Dia jadi buang-buang waktu!” Erik menumpahkan kekesalannya usai mendengar kabar dari Vino bahwa kencan butanya bersama Kikan berakhir dengan cepat karena Wanita itu mendadak harus pergi. “Aku gak bisa marah juga karena sebenarnya kita juga salah di sini. Kita mengatur kencan buta itu tanpa persetujuan Kikan. Sebelumnya aku juga udah bilang ‘kan kalau sekarang Kikan nggak berminat untuk menjalin suatu hubungan, tapi kamu bersikeras karena Vino meminta.” Salah satu kening Erik terangkat sedikit ke atas. Ia merasa tersinggung sebab kini Manda berbalik menyalahkan dirinya. “Oh, jadi sekarang kamu menyalahkan aku? Begitu? Aku benar-benar heran sama kamu. Apa sih istimewanya Kikan sampai kamu selalu bela dia daripada aku!” Helaan napas pelan berembus keluar dari mulut Manda. Sumpah demi semesta Manda tidak ingin ribut dengan kekasihnya karena masalah ini l
“Tante!” Kedatangan Kikan di kediaman Dewandra langsung disambut oleh Rosetta yang menghambur ke pelukannya dengan mata sedikit sembap. Di belakangnya terlihat Chiko yang berjalan menyusul kemudian berhenti tak jauh dari mereka. “Maaf karena menghubungi kamu di luar jam kerja. Tapi Rosetta terus merengek meminta saya untuk menghubungi kamu. Saya juga jadi sedikit panik melihat dia menangis ketakutan karena papanya pingsan.” Chiko mengungkapkan penyesalannya. “Bukan apa-apa. Aku paham kamu merasa panik karena Rosetta menangis ketakutan. Akupun sama paniknya saat mendapat telepon tadi.” Chiko mengangguk pelan. “Pak Dewa pasti kelelahan. Jarang sekali dia sampai pingsan seperti hari ini,” ucapnya memberi tahu pokok utama dari semua kepanikan ini. Entah bagaimana jadinya jika seandainya ia tidak datang tadi. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Rosetta. “Lalu bagaimana keadaan Pak Dewa sekarang?” “Dia sudah siuman, sekarang sedang beristirahat di kamarnya. Uhm, dia sedikit kesa
“Apa sih yang kamu lakukan, Manda? Kenapa kamu bohong soal pesta ulang tahun Citra?” Tahu apa yang paling menjengkelkan bagi Kikan? Yup! Saat Manda membohonginya untuk hal-hal tidak masuk akal. Dan yang paling membuat Kikan jengkel setengah mati sekarang adalah karena Manda mengatur kencan buta untuk dirinya. Sumpah demi semesta, Kikan tidak mau kencan buta. “Sorry, aku akan memohon pengampunan kamu setelah kita pulang nanti. Tapi untuk sekarang kamu harus segera duduk ke sana karena aku sama Erik sudah bersusah payah mengatur ini.” “Apa? Kamu sama Erik?” Kedua mata Kikan hampir membulat saat Manda menyeret nama Erik ke dalam acara kencan buta ini. Bagaimana bisa pria itu juga ikut terlibat? Kikan benar-benar dibuat meradang. “Pelankan suara kamu. Jadi, pria yang duduk di sana itu temennya Erik. Sekarang kamu ke sana dan samperin dia dengan senyuman. Oke?” Manda mengacungkan kedua telunjuknya lalu mendorong kedua sudut bibir Kikan ke atas hingga membentuk senyuman. Kemudian membali
Dewandra masuk ke dalam rumah dengan langkah gontai sementara tangan kirinya sibuk melucuti dasi serta beberapa kancing kemejanya. Hari ini sungguh melelahkan bagi pria itu. Namun saat kakinya menapak di lorong yang akan membawanya ke ruang tengah, sebuah aroma yang begitu lezat menguar menggelitik hidungnya. Kedua matanya yang sempat lesu mendadak terbuka sedikit lebih lebar dari sebelumnya. Aroma ini. Bukankah aroma ini adalah aroma dari makanan kesukaannya? Dewandra pun memilih untuk bergegas ke dapur dan pria itu langsung tersadarkan dengan keberadaan Kikan yang mengenakan apron merah muda di tubuhnya. Benar juga. Dewandra lupa kalau wanita itu kini bekerja menjadi pengasuh putrinya—uhm, sebenarnya putri mereka berdua. “Hey, baru datang? Maaf kalau aku lancang memasak di dapur kamu. Tapi Rosetta merengek minta dibuatkan makanan.” Kikan membuka suara saat melihat Dewandra berdiri tak jauh darinya. Sementara dirinya sibuk menghidangkan makanan ke atas meja makan. Dewandra segera
“Tante Kikan!” Rosetta berteriak histeris saat melihat presensi Kikan yang tengah berdiri sembari tersenyum di ambang pintu kamarnya. Bocah kecil itu sama sekali tidak mengira akan melihat Kikan di kediaman mereka. Dengan cepat ia turun dari atas ranjang dan berlari mendatangi Kikan kemudian menghamburkan pelukan. Kikan membalas pelukan Rosetta dengan tak kalah erat dari pelukan yang bocah kecil itu berikan. Keduanya sama-sama terlihat begitu senang dilihat dari tarikan senyum mereka yang begitu lebar. Rosetta bahkan meminta Kikan untuk berjongkok agar ia bisa mendaratkan kecupan hangatnya di kedua pipi Kikan. Sementara tak jauh dari mereka, Dewandra memperhatikan dalam diam. Pria jangkung itu berdiri sembari menyematkan senyuman. Dalam hatinya ingin sekali ikut bergabung dengan kedua orang itu untuk berpelukan. “Tata kangen banget sama Tante Kikan,” seru bocah itu lagi. Senyuman di bibirnya kian melebar dan satu detik kemudian ia kembali melingkarkan pelukan. “Tante juga kangen b