Hampir lima belas menit berlalu sejak Dewandra meminta izin untuk menjawab panggilan telepon yang katanya sangat mendesak itu. Di posisinya duduk sekarang, kedua mata Kikan menangkap sosok Dewandra yang tengah berbincang dengan seseorang melalui telepon berdiri tidak jauh dari meja mereka. Pria itu terlihat begitu serius, entah apa yang dia bicarakan sampai-sampai wajahnya begitu kaku. Sejujurnya Kikan merasa sangat gelisah sekarang. Selain karena merasa tidak nyaman duduk santai di tempat seperti ini, wanita itu juga merasa khawatir tidak akan bisa kembali tepat waktu karena sebentar lagi jam istirahatnya akan berakhir. Kikan sendiri bisa sampai berada di restoran mewah ini karena kegigihannya ingin mengembalikan segepok uang tunai yang Dewandra titipkan kepada Adelia malam itu. Kikan sudah mengambil keputusan untuk tidak menerimanya karena menurutnya tidak ada alasan sama sekali untuk ia menerima uang itu. Kruk! Kikan tidak bisa menahan rasa laparnya setelah aroma masakan yang be
Entah bagaimana Kikan harus menjelaskan perasaannya sekarang. Mendapat telepon pagi-pagi sekali dari mantan atasannya dulu, yang memberi tahukan dirinya bahwa Kikan bisa menempati apartemen ini selama yang ia mau. Kikan sungguh tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Sejujurnya Kikan merasa senang, tetapi di lain sisi ia juga merasa keheranan. Atas dasar apa mantan atasannya itu mau meminjamkan apartemen ini kepada Kikan? Terlebih lagi wanita itu sama sekali tak menyinggung persoalan biaya sewa ataupun semacamnya. “Bukankah ini adalah kabar yang bagus? Meski membingungkan, setidaknya ini berita yang bagus, ‘kan?” Nada bicaranya sedikit lemah. Entah mengapa Kikan tak bisa merasa antusias. Seperti yang sering Manda katakan. Bahwa ia tidak bisa mengerti jalan pikiran Kikan. Manda selalu menganggap Kikan memiliki pemikiran yang begitu rumit dan berkelok. Tak jarang pula Manda sampai menceramahi Kikan sebab sahabatnya itu terlalu pemikir. “Setidaknya aku nggak perlu memikirkan soal tempa
“Ada apa dengan ekspresi kamu?” tanya Dewandra sembari menatap Chiko yang datang dengan wajah super masam. “Bukan apa-apa, Pak. Hanya saja pagi ini saya sedang sial,” sahut Chiko lalu ikut duduk di samping atasannya itu, “Oh iya, Pak. Tadi saat saya berada di dalam lift Apartemen Sky, sepertinya saya bertemu dengan wanita itu,” sambungnya. Kedua kening Dewandra hampir bertaut saat mendengar ucapan sekretarisnya. “Maksud kamu Kikan?” tanyanya memastikan, ia ragu apakah wanita yang dimaksud Chiko sama dengan yang ia pikirkan sekarang. Pria dengan tinggi 180 centi meter yang duduk di samping Dewandra itu lantas mengangguk. “Benar, Pak. Saya yakin itu dia. Dan kalau saya tidak salah mendengar, dia dan temannya ... nah itu mereka!” seru Chiko spontan saat melihat presensi Kikan dan Manda dari kejauhan. Secara alamiah tubuh Dewandra seketika berbalik ke arah belakang dan matanya langsung mengunci pada sosok Kikan yang berjalan ke arah mereka. “Baru saja saya ingin bilang kalau dia dan t
“Kamu yakin baik-baik aja?” Manda bertanya dengan khawatir. “Harus berapa kali aku bilang sampai kamu percaya kalau aku baik-baik aja sih, Manda? Kamu bisa lihat sendiri kalau aku beneran baik-baik aja. Sebenarnya aku juga nggak perlu dibawa ke rumah sakit, paling beberapa hari juga sembuh sendiri.” Kikan mengembuskan napas pelan. Ia sama sekali tak pernah membayangkan bahwa akan berakhir di rumah sakit seperti sekarang ini. “Aku cuman khawatir, Kikan. Sebelumnya kamu pernah mengalami kecelakaan sampai hilang ingatan, aku takut kondisi kamu memburuk karena insiden tadi.” Dengan wajah super cemas yang tercetak di wajahnya, Manda mengatakan betapa ia mencemaskan sahabatnya itu. Embusan napas yang tadinya pelan kini berubah menjadi berat. “Maaf dan terima kasih karena sudah mengkhawatirkanku. Tapi aku beneran baik-baik aja sekarang, Manda. Kamu nggak perlu secemas ini,” kata Kikan lembut. Manda menundukkan kepalanya ke bawah. Ia tidak bisa membayangkan jika seandainya terjadi sesuatu
“Apa? Kamu bicara apa tadi? Aku nggak bisa mendengarnya dengan jelas.” Kikan menolehkan kepalanya ke belakang. “Bukan apa-apa,” sahut Dewandra seraya memberikan senyuman. Detik itu juga Kikan langsung meluruskan pandangannya kembali ke depan. Sebenarnya bukan sesuatu yang menyenangkan bagi Kikan berinteraksi seperti ini dengan Dewandra. Seberapa keras pun ia memikirkan, Kikan tidak bisa mendapatkan pembenaran atas interaksi mereka berdua. See? Bukankah Kikan terlalu pemikir seperti yang Manda katakan? Kesan pertama Kikan terhadap Dewandra terlanjur kurang bagus. Hal itu dilandasi oleh sikap Dewandra kepadanya pada pertemuan pertama mereka di kelab malam. Baik beberapa waktu yang lalu maupun saat ini, pria itu benar-benar sangat menyebalkan di mata Kikan. “Kamu nggak perlu mengantarku. Aku bisa naik taksi untuk pulang.” Kikan kembali membuka suara. “Dan untuk biaya pengobatan, aku akan membayarnya bulan depan.” Mendengar hal itu tentu saja membuat Dewandra merasa tergelitik. Pria i
“Kamu nggak perlu repot-repot ikut turun. Aku bisa jalan sendiri sampai depan unit apartemenku.” Kikan membuka suara saat melihat pergerakan Dewandra yang nampak ingin ikut turun dari mobilnya. “Berapa kali harus kukatakan? Jangan menolakku.” Ayolah, dia itu Dewandra si pria paling keras kepala. Sia-sia saja Kikan mengerahkan usaha untuk menolak pria itu, Dewandra selalu pada pendiriannya. Apa boleh buat? Kikan tidak bisa berkata-kata lagi. Ia hanya bisa terdiam saat melihat Dewandra bergegas turun dari mobil lalu berjalan menuju pintu belakang tepat di mana Rosetta sedang duduk. Dengan begitu lembut Dewandra meminta putrinya untuk turun sementara tangan kirinya langsung menyambar handle pintu depan untuk membukakan Kikan. Tanpa bersuara sepatah kata pun, Dewandra langsung menyambar tas milik Kikan lalu meminta putrinya untuk membantu membawakan. “Tata, Papa minta tolong bawakan tas teman Papa ya,” kata pria itu lalu menyerahkan tas milik Kikan. Dengan senyum lebar yang tersemat di
Tok! Tok! Tok! “Kikan, buka! Ini aku, Manda!” Mendengar suara sahabatnya dari balik pintu, Kikan buru-buru membukakan pintu untuk sahabatnya itu. Kikan sedikit tercengang melihat barang-barang yang dibawa Manda. Di tangan kanannya Manda memeluk satu buket bunga yang cukup besar, sementara di tangan kirinya terdapat dua buah paper bag berukuran sedang. “Apa yang kamu bawa?” tanya Kikan seraya menutup pintu. “Buket bunga buat kamu, katanya dari Dewandra. Dan yang ini juga dari dia, sepertinya isinya makanan,” sahut Manda seraya menyerahkan buket bunga ke pelukan Kikan lalu meletakkan paper bag ke atas meja. “Dari Dewandra? Kok bisa?” Manda langsung mengedikkan bahunya saat mendengar pertanyaan konyol dari Kikan. Bagaimana Manda bisa tahu persoalan itu? Seharusnya tanyakan saja kepada orang yang bersangkutan, bukan? “Mungkin karena dia tertarik sama kamu. Coba baca catatannya, di sana tertulis ‘cepat sembuh ya’ dan ada emot senyumnya. Nah, bener ‘kan! Aku rasa dia memang tertarik s
“Aku nggak pernah bilang untuk setuju makan siang bersama kamu. Kamu dengan seenaknya memutuskan sendiri lalu datang tanpa persetujuan dariku. Kamu—” “Apa gunanya berbicara seperti itu sekarang? Kamu duduk di sini bersamaku artinya kamu setuju. Jangan berpikiran lagi, ayo makan.” Kikan menggenggam kuat tangannya di bawah meja. Rasa kesalnya seperti sudah mencapai puncak. Kikan semakin kukuh memberi gelar ‘menyebalkan’ pada pria di seberangnya itu. Dewandra si paling menyebalkan. “Aku di sini karena kamu memaksaku untuk ikut.” Suara Kikan terdengar penuh penekanan. Raut jengkelnya terang-terangan ia tunjukkan. “Oh ya? Kapan aku melakukannya? Seingatku aku tidak pernah memaksa kamu untuk ikut. Kamu sendiri yang ingin ikut secara suka rela.” Dewandra mengembangkan senyumnya. Kikan menggigit bibir bawahnya sebelum akhirnya menghela napas berat. “Dengan kamu yang bersikeras nggak akan pergi sampai aku membukakan pintu dan setuju untuk ikut, sama saja dengan kamu memaksaku. Kamu bahkan
“Kikan! Syukurlah kamu sadar!” Dewandra sampai berdiri dari duduk saat mendapati Kikan sudah siuman. Pria itu tampak bersyukur dan langsung memanggil dokter untuk memeriksa keadaan mantan istrinya itu. Kikan berusaha duduk sambil merasakan nyeri di kepalanya. Potongan demi potongan ingatan mulai membayangi dan Kikan hampir menjerit karena kepalanya semakin sakit. “Tante Kikan!” Kikan sontak menoleh ke samping saat mendengar suara Rosetta menggema. Bocah kecil itu langsung berlari dan memeluk Kikan sambil menangis. Sementara di belakangnya—Handi—ayah Dewandra, datang menyusul dan langsung menyapa Kikan dengan ramah. Tak lama setelah itu, Dewandra kembali bersama seorang dokter dan Kikan langsung mendapat pemeriksaan. “Aku … mendapatkan ingatan saat kita menikah dulu,” ucap Kikan sambil memandangi Dewandra setelah dokter selesai memeriksa dan pergi dari ruangan. Dewandra tidak bisa menutupi rasa terkejutnya mendengar pengakuan dari Kikan. Dewandra tidak tahu harus mengatakan apa.
Sekembalinya dari supermarket, Kikan langsung menyimpan stok belanjaan dan menyusunnya dengan rapi. Sebelum bergulat dengan peralatan memasak untuk makan siang, Kikan berniat membersihkan beberapa sudut ruangan di dalam rumah ini. Ruangan pertama yang Kikan datangi adalah kamar Rosetta. Kikan mengembangkan senyuman saat mengamati seluruh ruangan bocah kecil itu. Beberapa boneka dan buku tampak berhamburan di lantai.Kikan melangkah maju dan mulai membersihkan ruangan tersebut. Entah mengapa perasaannya begitu senang seolah sedang membersihkan kamar putrinya sendiri."Apa ini?" Kikan meraih selembar kertas yang terselip di antara buku-buku. Ternyata sebuah tulisan berisi tentang dirinya. Kikan membaca tulisan tersebut dengan mata berkaca-kaca. Sebuah tulisan yang tidak terlalu rapi yang ditulis sendiri oleh Rosetta. Di dalam tulisannya, Rosetta menyebutkan betapa dia sangat bahagia telah mengenal Kikan."Ya Tuhan, bocah ini sangat manis. Tante juga menyukaimu, Tata," gumamnya sambil
Dewandra kembali dibuat pusing setelah memikirkan ucapan ayahnya saat pria tua itu berkunjung tadi. Jujur saja, hingga sekarang persoalan tentang pulihnya ingatan Kikan masih membebani Dewandra hingga mengganggu ketenangannya. Entah bagaimana wanita itu akan bereaksi jika ingatannya kembali pulih, Dewandra jadi ngeri sendiri. “Apa aku harus memintanya untuk tinggal di sini agar bisa mengawasinya? Aku sudah bertindak sejauh ini. Semuanya akan kembali kacau jika Kikan mendapatkan kembali ingatannya, bukan?” Dewandra bergumam gelisah. Dalam pikiran Dewandra, jika di masa lalu ia gagal mempertahankan Kikan di sisinya, maka tidak kali ini. Ia tidak bisa kehilangan Kikan lagi seperti sebelumnya. Meski ia harus menjadi orang jahat sekalipun—Dewandra tidak keberatan untuk menghalangi ingatan Kikan kembali seperti semula. Yang hanya Dewandra pikirkan adalah Kikan harus bersama dirinya dan juga Rosetta. “Tapi dia pasti menolak untuk menginap. Argh! Ini benar-benar membuatku pusing.” Dewandra
Tidak ada yang tahu tentang masa depan. Begitupun dengan Dewandra yang tidak pernah tahu bahwa hal semacam ini akan terjadi setelah perceraiannya dengan Kikan. Tidak pernah sekalipun ia berpikir bahwa ia akan kembali bertemu dengan Kikan yang kehilangan ingatan. Dan yang lebih tidak pernah ia pikirkan selain hal itu adalah saat Kikan yang mendadak menjadi seorang pengasuh untuk putri mereka sendiri. Rasanya bagaikan sebuah lelucon. Lelucon yang membuat Dewandra merasa sangat tergelitik hingga tak sadar menyematkan senyum lebar di bibirnya. Setelah Kikan memutuskan untuk pergi meninggalkan dirinya dan putri mereka beberapa tahun silam. Setiap hari Dewandra selalu menanamkan kebenciannya untuk sang mantan istri. Ia bertekad untuk membalas rasa sakit itu jika di kemudian hari mereka kembali bertemu. Namun semua rencananya gagal begitu saja karena ternyata perasaannya terhadap Kikan masih belum usai. Siapa yang menyangka? Bahkan Dewandra sendiri tidak menyangka akan sekacau itu. Sement
“Kenapa sih kamu selalu bela dia? Harusnya kamu marah karena dia mengacaukan kencan buta itu. Kamu tahu sendiri ‘kan sesibuk apa Vino! Dia jadi buang-buang waktu!” Erik menumpahkan kekesalannya usai mendengar kabar dari Vino bahwa kencan butanya bersama Kikan berakhir dengan cepat karena Wanita itu mendadak harus pergi. “Aku gak bisa marah juga karena sebenarnya kita juga salah di sini. Kita mengatur kencan buta itu tanpa persetujuan Kikan. Sebelumnya aku juga udah bilang ‘kan kalau sekarang Kikan nggak berminat untuk menjalin suatu hubungan, tapi kamu bersikeras karena Vino meminta.” Salah satu kening Erik terangkat sedikit ke atas. Ia merasa tersinggung sebab kini Manda berbalik menyalahkan dirinya. “Oh, jadi sekarang kamu menyalahkan aku? Begitu? Aku benar-benar heran sama kamu. Apa sih istimewanya Kikan sampai kamu selalu bela dia daripada aku!” Helaan napas pelan berembus keluar dari mulut Manda. Sumpah demi semesta Manda tidak ingin ribut dengan kekasihnya karena masalah ini l
“Tante!” Kedatangan Kikan di kediaman Dewandra langsung disambut oleh Rosetta yang menghambur ke pelukannya dengan mata sedikit sembap. Di belakangnya terlihat Chiko yang berjalan menyusul kemudian berhenti tak jauh dari mereka. “Maaf karena menghubungi kamu di luar jam kerja. Tapi Rosetta terus merengek meminta saya untuk menghubungi kamu. Saya juga jadi sedikit panik melihat dia menangis ketakutan karena papanya pingsan.” Chiko mengungkapkan penyesalannya. “Bukan apa-apa. Aku paham kamu merasa panik karena Rosetta menangis ketakutan. Akupun sama paniknya saat mendapat telepon tadi.” Chiko mengangguk pelan. “Pak Dewa pasti kelelahan. Jarang sekali dia sampai pingsan seperti hari ini,” ucapnya memberi tahu pokok utama dari semua kepanikan ini. Entah bagaimana jadinya jika seandainya ia tidak datang tadi. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Rosetta. “Lalu bagaimana keadaan Pak Dewa sekarang?” “Dia sudah siuman, sekarang sedang beristirahat di kamarnya. Uhm, dia sedikit kesa
“Apa sih yang kamu lakukan, Manda? Kenapa kamu bohong soal pesta ulang tahun Citra?” Tahu apa yang paling menjengkelkan bagi Kikan? Yup! Saat Manda membohonginya untuk hal-hal tidak masuk akal. Dan yang paling membuat Kikan jengkel setengah mati sekarang adalah karena Manda mengatur kencan buta untuk dirinya. Sumpah demi semesta, Kikan tidak mau kencan buta. “Sorry, aku akan memohon pengampunan kamu setelah kita pulang nanti. Tapi untuk sekarang kamu harus segera duduk ke sana karena aku sama Erik sudah bersusah payah mengatur ini.” “Apa? Kamu sama Erik?” Kedua mata Kikan hampir membulat saat Manda menyeret nama Erik ke dalam acara kencan buta ini. Bagaimana bisa pria itu juga ikut terlibat? Kikan benar-benar dibuat meradang. “Pelankan suara kamu. Jadi, pria yang duduk di sana itu temennya Erik. Sekarang kamu ke sana dan samperin dia dengan senyuman. Oke?” Manda mengacungkan kedua telunjuknya lalu mendorong kedua sudut bibir Kikan ke atas hingga membentuk senyuman. Kemudian membali
Dewandra masuk ke dalam rumah dengan langkah gontai sementara tangan kirinya sibuk melucuti dasi serta beberapa kancing kemejanya. Hari ini sungguh melelahkan bagi pria itu. Namun saat kakinya menapak di lorong yang akan membawanya ke ruang tengah, sebuah aroma yang begitu lezat menguar menggelitik hidungnya. Kedua matanya yang sempat lesu mendadak terbuka sedikit lebih lebar dari sebelumnya. Aroma ini. Bukankah aroma ini adalah aroma dari makanan kesukaannya? Dewandra pun memilih untuk bergegas ke dapur dan pria itu langsung tersadarkan dengan keberadaan Kikan yang mengenakan apron merah muda di tubuhnya. Benar juga. Dewandra lupa kalau wanita itu kini bekerja menjadi pengasuh putrinya—uhm, sebenarnya putri mereka berdua. “Hey, baru datang? Maaf kalau aku lancang memasak di dapur kamu. Tapi Rosetta merengek minta dibuatkan makanan.” Kikan membuka suara saat melihat Dewandra berdiri tak jauh darinya. Sementara dirinya sibuk menghidangkan makanan ke atas meja makan. Dewandra segera
“Tante Kikan!” Rosetta berteriak histeris saat melihat presensi Kikan yang tengah berdiri sembari tersenyum di ambang pintu kamarnya. Bocah kecil itu sama sekali tidak mengira akan melihat Kikan di kediaman mereka. Dengan cepat ia turun dari atas ranjang dan berlari mendatangi Kikan kemudian menghamburkan pelukan. Kikan membalas pelukan Rosetta dengan tak kalah erat dari pelukan yang bocah kecil itu berikan. Keduanya sama-sama terlihat begitu senang dilihat dari tarikan senyum mereka yang begitu lebar. Rosetta bahkan meminta Kikan untuk berjongkok agar ia bisa mendaratkan kecupan hangatnya di kedua pipi Kikan. Sementara tak jauh dari mereka, Dewandra memperhatikan dalam diam. Pria jangkung itu berdiri sembari menyematkan senyuman. Dalam hatinya ingin sekali ikut bergabung dengan kedua orang itu untuk berpelukan. “Tata kangen banget sama Tante Kikan,” seru bocah itu lagi. Senyuman di bibirnya kian melebar dan satu detik kemudian ia kembali melingkarkan pelukan. “Tante juga kangen b