“Bagaimana keadaan di belakang sana?” tanya Dewandra di sela menyetirnya. “Rosetta ketiduran.” Kikan menjawab pelan. Dengan sangat hati-hati wanita itu berusaha membetulkan posisi Rosetta yang tertidur di pelukannya agar terasa nyaman. “Oh ya?” Kikan hanya mengangguk saat matanya dengan Dewandra bertemu di spion tengah. Pria itu tersenyum seolah ada kepuasan di dalam hatinya saat melihat pemandangan yang seharusnya membuat ia terharu. Namun alih-alih emosional, Dewandra justru merasa sangat senang dan juga puas. Melihat betapa Rosetta merasa sangat nyaman tertidur di dalam pelukan Kikan, Dewandra sangat yakin jika bocah kecil itu pasti merasakan hal yang sama dengannya. Rosetta pasti merasa senang sehingga tertidur dengan sangat pulas seperti sekarang ini. “Kurasa kamu nggak perlu mengantarku pulang. Langsung saja ke rumah kalian, aku nggak ingin membangunkan Rosetta. Dia tidur nyenyak banget sekarang.” Bagaimana bisa Kikan begitu tega membangunkan Rosetta yang tertidur pulas ket
“Bu Reana, saya ingin mengucapkan terima kasih banyak kepada Ibu. Maaf karena baru sekarang menemui Ibu dan bicara secara langsung. Saya sadar bahwa saya tidak seharusnya—” “Untuk apa kamu berterima kasih apalagi sampai meminta maaf begini? Di antara kita tidak ada permasalahan apapun yang mengharuskan kamu berterima kasih atau meminta maaf kepada saya,” potong Bu Reana dengan cepat, “Tapi kalau kamu berterima kasih untuk masalah apartemen, sungguh kamu tidak perlu melakukannya. Karena apartemen itu bukan milik saya lagi. Saya sudah menjualnya, jadi berterima kasihlah kepada pemilik baru itu.” Wanita berprofesi sebagai desainer terkenal itu hanya berasumsi jika rasa terima kasih yang Kikan sampaikan berkaitan dengan unit apartemen yang ditempatinya sekarang. Jika pemikirannya memang benar, maka Kikan datang pada orang yang salah. Jelas jawaban yang Kikan dengar tadi sangat membingungkan baginya. Ia sama sekali tidak mengira jika apartemen itu sudah berpindah tangan ke orang lain. Da
“Kenapa kamu melakukan semua ini? Maksudku, kenapa kamu begitu baik?” Kikan menatap Dewandra dengan serius. Kikan hanya tidak mengerti kenapa Dewandra memperlakukannya demikian. Apakah karena memang terlalu baik atau karena memiliki tujuan tersendiri? Yang jelas Kikan sama sekali tidak bisa menemukan jawaban atas semua hal yang pria itu lakukan kepadanya. “Aku berasumsi jika hal ini bukan suatu kebetulan. Kamu sengaja ‘kan? Tapi yang membuatku sama sekali nggak mengerti adalah alasan di balik kamu melakukannya. Aku seharusnya berterima kasih, tapi aku juga merasa kamu cukup lancang. Kenapa kamu sangat ingin mencampuri kehidupanku?” Mungkin untuk sebagian orang akan menganggap tindakan Dewandra sekarang adalah hal yang romantis. Tapi, ayolah, orang ini adalah Kikan—wanita dengan pemikiran yang tidak sederhana sama sekali. Kikan malah beranggapan bahwa Dewandra sedikit lancang dan hal itu nyaris membuatnya ketakutan. “Kenapa aku merasa kalau kamu tahu segalanya tentangku? Tolong kata
Manda duduk dengan ekspresi tertegun sementara matanya tak lepas dari sosok Rosetta yang saat ini duduk di samping Kikan. Di dalam kepalanya ada beribu pertanyaan yang entah kenapa ia bingung bagaimana harus mengutarakannya. “Jadi dia yang namanya Rosetta?” Manda bertanya tanpa menatap Kikan, pandangannya masih sibuk memindai Rosetta yang duduk dengan sopan. “Iya. Kamu bisa memanggilnya Tata,” sahut Kikan lalu tersenyum menatap Rosetta yang juga tersenyum menatapnya. Manda mengangguk paham. Namun bukan hal itu yang sangat ingin diketahuinya. Ada hal penting lain yang ingin ia ketahui dengan langsung melontarkan pertanyaannya pada bocah kecil bernama Rosetta itu. “Tata, apa benar kamu ke sini karena keinginan sendiri dan bukan karena Papa?” Kikan langsung berdecak pelan saat mendengar pertanyaan Manda. Menurutnya sangat tidak sopan bertanya seperti itu meski Rosetta masih anak kecil. Namun Manda sama sekali tak menggubris Kikan, ia bertanya seperti tadi untuk memastikan daripada ma
“Boleh aku bertanya siapa Pria yang mengganggu kalian tadi? Sepertinya kalian saling kenal.” Dewandra bertanya setelah memastikan kondisi Kikan sudah jauh lebih tenang. Ia merasa harus tahu siapa Pria yang mengganggu mantan istrinya itu—apa harus dibereskan atau bisa dibiarkan begitu saja. Kikan mengerjap beberapa saat sebelum akhirnya membuka suara. Kikan hanya merasa bingung. Apakah ia harus menjawab pertanyaan itu atau tidak, tetapi pada akhirnya ia menjawab juga. “Namanya Rafi, aku mengenalnya beberapa bulan lalu saat bekerja dengan Bu Reana. Pria tadi juga bekerja di sana dan hubungan kami sangat bagus untuk sesama rekan kerja. Dia memperlakukanku dengan baik dan juga sangat perhatian. Kupikir hal itu dia lakukan karena kami adalah rekan kerja, tanpa aku sadari ternyata dia punya niat yang lain.” Kikan menjelaskan dengan lugas. “Lalu kenapa dia bersikap seagresif itu? Kamu bahkan sampai ketakutan,” tanya Dewandra lagi. Kikan menundukkan kepalanya ke bawah. Sekujur tubuhnya m
Dewandra dibuat terpana saat melihat Kikan dengan balutan midi dress berwarna putih berdiri tepat di depannya. Saking cantiknya Dewandra sampai tak berkedip untuk beberapa detik lamanya. Pria itu berdiri mematung sementara pikirannya hampir teralihkan. “Di mana Rosetta?” tanya Kikan. Kedua matanya lantas mengedar untuk mencari keberadaan bocah kecil itu. Barangkali ia tertinggal di belakang namun lorong di sana benar-benar sunyi senyap dan ia tidak bisa menemukan keberadaan Rosetta. “Uhm, dia menunggu di mobil bersama Chiko,” sahut Dewandra dengan raut wajah yang tiba-tiba berubah tak bersahabat pada detik berikutnya. “Bukankah kemarin sudah kuperingatkan untuk jangan berdandan terlalu cantik. Kenapa kamu tidak menurut? Kamu sengaja melakukan hal ini untuk membuatku merasa tidak tenang?” Dewandra akui ia sangat senang melihat Kikan yang begitu cantik siang ini. Namun di sisi lain ia merasa tidak rela jika pria lain juga harus melihat kecantikan Kikan yang menurutnya begitu sempurna
Kikan tersenyum lebar melihat sambutan antusias dari bocah kecil yang ia sukai itu. Lalu membalas pelukan yang Rosetta berikan seraya mengusap punggungnya yang mungil. “Tata seneng banget! Tante, gimana setelah pesta nanti kita makan ice cream lagi?” tanyanya dengan seulas senyum lebar yang menampilkan deretan giginya. “Boleh. Tapi, Tata perlu izin dulu sama Papa.” Rosetta mengangguk antusias. Bocah kecil itu kemudian menatap ke arah ayahnya yang duduk di passenger seat depan lalu meminta izin. Sebenarnya Dewandra sudah menyimak obrolan mereka sedari tadi. Tentu saja ia akan memberikan izin. Rasanya ia tak sampai hati jika harus melarang padahal Rosetta sudah begitu bersemangat. “Papa akan mengizinkan meski kemarin kamu sudah makan ice cream. Anggap hari ini adalah pengecualian.” Rosetta langsung bersorak dan tak bisa menyembunyikan perasaan senangnya sama sekali. Ia pun kembali menghamburkan diri memeluk Kikan yang juga tersenyum senang bersamanya. Melihat hal itu membuat
“Hei, bagaimana dengan pesta nya?” Dewandra menghampiri putrinya yang berdiri di samping Kikan dengan wajah sendu. Sedetik kemudian pandangannya beralih menatap Kikan dan bertanya apa yang terjadi tanpa mengeluarkan suara. Kikan hanya menggelengkan kepala dan menjawab dengan sedikit berbisik saat Rosetta berjalan melalui mereka. “Nanti akan kuceritakan,” ujarnya kemudian menyusul Rosetta yang sudah berdiri di samping mobil sang Ayah. Dewandra tidak tahu apa yang terjadi. Tetapi melihat bagaimana ekspresi putrinya sekarang, ia berasumsi jika sesuatu yang cukup serius baru saja menimpa anak itu. Ia pun ikut melangkah untuk menyusul Rosetta dan Kikan yang sudah menunggu kemudian masuk bersamaan ke dalam mobilnya yang terparkir. Dewandra melirik putrinya yang duduk sendirian di kursi belakang. Bocah kecil itu masih terlihat murung dengan pandangan yang menatap ke jendela. Ingin sekali Dewandra bertanya kepada Kikan namun tak ia lakukan sebab Kikan sudah memberikan kode untuk tidak memba