“Apa? Kamu bicara apa tadi? Aku nggak bisa mendengarnya dengan jelas.” Kikan menolehkan kepalanya ke belakang. “Bukan apa-apa,” sahut Dewandra seraya memberikan senyuman. Detik itu juga Kikan langsung meluruskan pandangannya kembali ke depan. Sebenarnya bukan sesuatu yang menyenangkan bagi Kikan berinteraksi seperti ini dengan Dewandra. Seberapa keras pun ia memikirkan, Kikan tidak bisa mendapatkan pembenaran atas interaksi mereka berdua. See? Bukankah Kikan terlalu pemikir seperti yang Manda katakan? Kesan pertama Kikan terhadap Dewandra terlanjur kurang bagus. Hal itu dilandasi oleh sikap Dewandra kepadanya pada pertemuan pertama mereka di kelab malam. Baik beberapa waktu yang lalu maupun saat ini, pria itu benar-benar sangat menyebalkan di mata Kikan. “Kamu nggak perlu mengantarku. Aku bisa naik taksi untuk pulang.” Kikan kembali membuka suara. “Dan untuk biaya pengobatan, aku akan membayarnya bulan depan.” Mendengar hal itu tentu saja membuat Dewandra merasa tergelitik. Pria i
“Kamu nggak perlu repot-repot ikut turun. Aku bisa jalan sendiri sampai depan unit apartemenku.” Kikan membuka suara saat melihat pergerakan Dewandra yang nampak ingin ikut turun dari mobilnya. “Berapa kali harus kukatakan? Jangan menolakku.” Ayolah, dia itu Dewandra si pria paling keras kepala. Sia-sia saja Kikan mengerahkan usaha untuk menolak pria itu, Dewandra selalu pada pendiriannya. Apa boleh buat? Kikan tidak bisa berkata-kata lagi. Ia hanya bisa terdiam saat melihat Dewandra bergegas turun dari mobil lalu berjalan menuju pintu belakang tepat di mana Rosetta sedang duduk. Dengan begitu lembut Dewandra meminta putrinya untuk turun sementara tangan kirinya langsung menyambar handle pintu depan untuk membukakan Kikan. Tanpa bersuara sepatah kata pun, Dewandra langsung menyambar tas milik Kikan lalu meminta putrinya untuk membantu membawakan. “Tata, Papa minta tolong bawakan tas teman Papa ya,” kata pria itu lalu menyerahkan tas milik Kikan. Dengan senyum lebar yang tersemat di
Tok! Tok! Tok! “Kikan, buka! Ini aku, Manda!” Mendengar suara sahabatnya dari balik pintu, Kikan buru-buru membukakan pintu untuk sahabatnya itu. Kikan sedikit tercengang melihat barang-barang yang dibawa Manda. Di tangan kanannya Manda memeluk satu buket bunga yang cukup besar, sementara di tangan kirinya terdapat dua buah paper bag berukuran sedang. “Apa yang kamu bawa?” tanya Kikan seraya menutup pintu. “Buket bunga buat kamu, katanya dari Dewandra. Dan yang ini juga dari dia, sepertinya isinya makanan,” sahut Manda seraya menyerahkan buket bunga ke pelukan Kikan lalu meletakkan paper bag ke atas meja. “Dari Dewandra? Kok bisa?” Manda langsung mengedikkan bahunya saat mendengar pertanyaan konyol dari Kikan. Bagaimana Manda bisa tahu persoalan itu? Seharusnya tanyakan saja kepada orang yang bersangkutan, bukan? “Mungkin karena dia tertarik sama kamu. Coba baca catatannya, di sana tertulis ‘cepat sembuh ya’ dan ada emot senyumnya. Nah, bener ‘kan! Aku rasa dia memang tertarik s
“Aku nggak pernah bilang untuk setuju makan siang bersama kamu. Kamu dengan seenaknya memutuskan sendiri lalu datang tanpa persetujuan dariku. Kamu—” “Apa gunanya berbicara seperti itu sekarang? Kamu duduk di sini bersamaku artinya kamu setuju. Jangan berpikiran lagi, ayo makan.” Kikan menggenggam kuat tangannya di bawah meja. Rasa kesalnya seperti sudah mencapai puncak. Kikan semakin kukuh memberi gelar ‘menyebalkan’ pada pria di seberangnya itu. Dewandra si paling menyebalkan. “Aku di sini karena kamu memaksaku untuk ikut.” Suara Kikan terdengar penuh penekanan. Raut jengkelnya terang-terangan ia tunjukkan. “Oh ya? Kapan aku melakukannya? Seingatku aku tidak pernah memaksa kamu untuk ikut. Kamu sendiri yang ingin ikut secara suka rela.” Dewandra mengembangkan senyumnya. Kikan menggigit bibir bawahnya sebelum akhirnya menghela napas berat. “Dengan kamu yang bersikeras nggak akan pergi sampai aku membukakan pintu dan setuju untuk ikut, sama saja dengan kamu memaksaku. Kamu bahkan
“Bagaimana keadaan di belakang sana?” tanya Dewandra di sela menyetirnya. “Rosetta ketiduran.” Kikan menjawab pelan. Dengan sangat hati-hati wanita itu berusaha membetulkan posisi Rosetta yang tertidur di pelukannya agar terasa nyaman. “Oh ya?” Kikan hanya mengangguk saat matanya dengan Dewandra bertemu di spion tengah. Pria itu tersenyum seolah ada kepuasan di dalam hatinya saat melihat pemandangan yang seharusnya membuat ia terharu. Namun alih-alih emosional, Dewandra justru merasa sangat senang dan juga puas. Melihat betapa Rosetta merasa sangat nyaman tertidur di dalam pelukan Kikan, Dewandra sangat yakin jika bocah kecil itu pasti merasakan hal yang sama dengannya. Rosetta pasti merasa senang sehingga tertidur dengan sangat pulas seperti sekarang ini. “Kurasa kamu nggak perlu mengantarku pulang. Langsung saja ke rumah kalian, aku nggak ingin membangunkan Rosetta. Dia tidur nyenyak banget sekarang.” Bagaimana bisa Kikan begitu tega membangunkan Rosetta yang tertidur pulas ket
“Bu Reana, saya ingin mengucapkan terima kasih banyak kepada Ibu. Maaf karena baru sekarang menemui Ibu dan bicara secara langsung. Saya sadar bahwa saya tidak seharusnya—” “Untuk apa kamu berterima kasih apalagi sampai meminta maaf begini? Di antara kita tidak ada permasalahan apapun yang mengharuskan kamu berterima kasih atau meminta maaf kepada saya,” potong Bu Reana dengan cepat, “Tapi kalau kamu berterima kasih untuk masalah apartemen, sungguh kamu tidak perlu melakukannya. Karena apartemen itu bukan milik saya lagi. Saya sudah menjualnya, jadi berterima kasihlah kepada pemilik baru itu.” Wanita berprofesi sebagai desainer terkenal itu hanya berasumsi jika rasa terima kasih yang Kikan sampaikan berkaitan dengan unit apartemen yang ditempatinya sekarang. Jika pemikirannya memang benar, maka Kikan datang pada orang yang salah. Jelas jawaban yang Kikan dengar tadi sangat membingungkan baginya. Ia sama sekali tidak mengira jika apartemen itu sudah berpindah tangan ke orang lain. Da
“Kenapa kamu melakukan semua ini? Maksudku, kenapa kamu begitu baik?” Kikan menatap Dewandra dengan serius. Kikan hanya tidak mengerti kenapa Dewandra memperlakukannya demikian. Apakah karena memang terlalu baik atau karena memiliki tujuan tersendiri? Yang jelas Kikan sama sekali tidak bisa menemukan jawaban atas semua hal yang pria itu lakukan kepadanya. “Aku berasumsi jika hal ini bukan suatu kebetulan. Kamu sengaja ‘kan? Tapi yang membuatku sama sekali nggak mengerti adalah alasan di balik kamu melakukannya. Aku seharusnya berterima kasih, tapi aku juga merasa kamu cukup lancang. Kenapa kamu sangat ingin mencampuri kehidupanku?” Mungkin untuk sebagian orang akan menganggap tindakan Dewandra sekarang adalah hal yang romantis. Tapi, ayolah, orang ini adalah Kikan—wanita dengan pemikiran yang tidak sederhana sama sekali. Kikan malah beranggapan bahwa Dewandra sedikit lancang dan hal itu nyaris membuatnya ketakutan. “Kenapa aku merasa kalau kamu tahu segalanya tentangku? Tolong kata
Manda duduk dengan ekspresi tertegun sementara matanya tak lepas dari sosok Rosetta yang saat ini duduk di samping Kikan. Di dalam kepalanya ada beribu pertanyaan yang entah kenapa ia bingung bagaimana harus mengutarakannya. “Jadi dia yang namanya Rosetta?” Manda bertanya tanpa menatap Kikan, pandangannya masih sibuk memindai Rosetta yang duduk dengan sopan. “Iya. Kamu bisa memanggilnya Tata,” sahut Kikan lalu tersenyum menatap Rosetta yang juga tersenyum menatapnya. Manda mengangguk paham. Namun bukan hal itu yang sangat ingin diketahuinya. Ada hal penting lain yang ingin ia ketahui dengan langsung melontarkan pertanyaannya pada bocah kecil bernama Rosetta itu. “Tata, apa benar kamu ke sini karena keinginan sendiri dan bukan karena Papa?” Kikan langsung berdecak pelan saat mendengar pertanyaan Manda. Menurutnya sangat tidak sopan bertanya seperti itu meski Rosetta masih anak kecil. Namun Manda sama sekali tak menggubris Kikan, ia bertanya seperti tadi untuk memastikan daripada ma
Kikan berdiri di dapur, masih mengenakan piyamanya, sibuk menyiapkan sarapan. Aroma kopi yang baru diseduh bercampur dengan wangi roti panggang memenuhi ruangan. Ia tersenyum puas melihat meja yang kini sudah tertata rapi—segelas kopi untuk Dewandra, segelas susu untuk Rosetta, dan piring berisi omelet serta roti panggang.Langkah kaki terdengar mendekat, dan tak lama kemudian, sepasang lengan melingkari pinggangnya dari belakang.“Rajin sekali,” bisik Dewandra di dekat telinganya, suaranya masih berat karena baru bangun tidur.Kikan tersenyum kecil, meski pipinya merona. “Kalau bukan aku, siapa lagi yang mau menyiapkan sarapan buat suami sendiri?” godanya.Dewandra tertawa pelan, mengecup pipi Kikan sekilas sebelum akhirnya melepaskan pelukan dan mengambil secangkir kopi.Kikan melirik sekilas ke arahnya dan tersenyum. “Ayo sarapan sebelum Rosetta bangun,” ajaknya.Mereka duduk berdua menikmati sarapan dalam suasana tenang dan intim. Sekali-sekali, Dewandra mencuri pandang ke arah Kik
Setelah resepsi yang penuh kebahagiaan dan tawa, Dewandra membawa Kikan ke rumah mereka—rumah yang kini benar-benar menjadi milik mereka berdua, tanpa bayang-bayang masa lalu yang menyakitkan.Begitu memasuki kamar, Kikan terdiam. Kamar itu telah dihias dengan sangat indah—kelopak mawar putih tersebar di atas ranjang, lilin-lilin kecil menyala lembut di sudut ruangan, menciptakan suasana yang begitu hangat dan romantis.Dewandra berdiri di belakangnya, memerhatikan ekspresi Kikan yang terlihat gugup, namun matanya bersinar lembut.“Kamu suka?” tanyanya pelan.Kikan berbalik, menatap pria yang kini sah menjadi suaminya kembali. Ia mengangguk. “Sangat indah,” sahutnya tersenyum.Dewandra tersenyum tipis, lalu mendekat. “Aku ingin malam ini menjadi malam yang spesial untuk kita.”Kikan menahan napas ketika Dewandra mengangkat tangannya, kemudian menyentuh pipinya dengan kelembutan yang begitu menenangkan. “Aku masih tidak percaya kalau akhirnya kita sampai di titik ini,” bisiknya.Dewandr
Setelah malam yang penuh kehangatan itu, hubungan antara Kikan dan Dewandra semakin erat. Kikan masih sering terbangun dengan perasaan tidak percaya bahwa ia benar-benar telah menerima lamaran pria itu lagi. Ada kegugupan, ada ketakutan, tetapi yang paling mendominasi adalah perasaan bahagia yang perlahan-lahan memenuhi hatinya.Di rumah, Rosetta menjadi orang yang paling gembira mendengar kabar itu.“Jadi Tante Kikan bakal jadi Mama beneran lagi?” seru Rosetta dengan mata berbinar.Kikan tertawa sambil mengusap kepala gadis kecil itu. “Mama dari dulu tetap mamamu, Tata.”“Tapi kali ini aku bisa bilang ke semua orang! Mama dan Papa bakal menikah lagi! Aku bakal punya keluarga lengkap!” Rosetta melompat-lompat kegirangan, membuat Dewandra dan Kikan tak bisa menahan tawa.“Kita harus buat pesta, Pa!” lanjut Rosetta dengan penuh semangat.Dewandra mengangkat alis. “Pesta?”“Iya! Aku mau jadi flower girl!”Kikan dan Dewandra saling berpandangan sebelum akhirnya tersenyum.“Baiklah,” kata D
Waktu berlalu dengan cepat sejak Rosetta mengetahui kebenaran tentang Kikan. Hubungan mereka semakin erat, dan tanpa Kikan sadari, hari-harinya kini selalu diwarnai dengan canda tawa bocah kecil itu. Namun, di sisi lain, ada sesuatu yang lain—sesuatu yang perlahan mulai berubah dalam dirinya terhadap Dewandra.Pria itu tidak lagi mendesaknya untuk segera memberi jawaban tentang rujuk, tapi Kikan tahu Dewandra masih menyimpan harapan. Dan kini, setelah berminggu-minggu, ia mengajak Kikan makan malam di luar. Bukan sekadar makan malam biasa, tapi sesuatu yang dirancang dengan sangat sempurna.Kikan berdiri di depan cermin menatap pantulan dirinya dengan ragu. Gaun berwarna merah marun yang membalut tubuhnya terlihat begitu anggun, sederhana namun tetap elegan. Ia bahkan merasa sedikit gugup, sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan.Saat ia membuka pintu apartemen, Dewandra sudah menunggunya di depan sana. Pria itu mengenakan setelan jas berwarna hitam, tampak lebih berkarisma dari biasa
Beberapa hari kemudianBeberapa hari kemudianBeberapa hari kemudian, Kikan dan Dewandra akhirnya sepakat. Sudah terlalu lama mereka menyembunyikan kebenaran ini, dan Rosetta berhak tahu siapa ibunya sebenarnya.Siang itu, mereka duduk di ruang tamu menunggu Rosetta yang masih asyik bermain dengan bonekanya di lantai. Kikan menggigit bibirnya dengan gugup, sementara Dewandra meremas tangannya sendiri, mencoba menyusun kata-kata yang tepat.“Apa menurutmu dia akan marah?” bisik Kikan pelan.Dewandra menoleh padanya, lalu tersenyum kecil. “Aku rasa tidak. Tapi dia mungkin akan terkejut.”Kikan menghela napas, lalu menatap Rosetta yang masih belum sadar akan percakapan serius yang menunggunya.“Tata,” panggil Dewandra lembut.Bocah itu menoleh cepat. “Iya, Papa?”“Kemari sebentar, Sayang. Papa dan Tante Kikan punya sesuatu yang penting untuk dibicarakan,” ujar Dewandra sambil menepuk sofa di sampingnya.Rosetta berdiri dan berjalan mendekat. Wajahnya penuh rasa ingin tahu. “Apa itu?” tanya
Akhir pekan pun tiba. Sejak pagi, Rosetta sudah bersemangat berlarian ke sana kemari di dalam rumah untuk memastikan semua yang dibutuhkan telah siap. Ia mengenakan gaun berwarna kuning dengan topi kecil yang menghiasi kepalanya.“Tante Kikan, Papa, ayo cepat! Tata sudah nggak sabar!” seru Rosetta, lalu menarik tangan Kikan dan Dewandra bersamaan.Kikan terkekeh melihat antusiasme bocah itu, sementara Dewandra hanya menggelengkan kepala pelan. “Iya, iya, kita berangkat sekarang,” ucapnya sebelum meraih keranjang piknik yang sudah dipersiapkan.Mereka pergi ke taman besar di pinggiran kota. Cuaca sangat cerah, angin berembus sepoi-sepoi, dan suara anak-anak lain yang bermain terdengar di kejauhan. Kikan menggelar tikar piknik di bawah pohon rindang, sementara Dewandra membantu Rosetta melepas sepatunya agar bisa berlari di atas rumput.“Tata mau main dulu!” Rosetta berseru sebelum berlari ke taman bermain.“Jangan jauh-jauh, ya!” Pesan Dewandra yang hanya dibalas anggukan cepat oleh put
Beberapa hari kemudian, meski perasaan canggung masih menyelimuti, Kikan tetap datang ke kediaman Dewandra untuk menjalankan pekerjaannya sebagai pengasuh Rosetta. Ia tetap bersikap profesional, menjaga jarak yang seharusnya antara dirinya dan sang anak.Namun, perhatiannya semakin bertambah setiap harinya. Ada momen-momen di mana ia tertegun, menatap Rosetta lebih lama dari biasanya, dan tak jarang ia menangis terharu ketika bocah itu menunjukkan kasih sayang kepadanya tanpa tahu bahwa ia sebenarnya adalah ibu kandungnya.“Tante Kikan, lihat! Aku menggambar keluarga kita!” seru Rosetta dengan antusias, memperlihatkan gambar tiga sosok—seorang pria, seorang wanita, dan seorang anak kecil yang berpegangan tangan.Kikan menelan ludah. Dadanya sesak saat melihat dirinya tergambar di sana, berdiri di samping Dewandra dan Rosetta. Ia tersenyum, berusaha menahan air matanya. “Gambar Tata sangat bagus. Tante suka,” ucapnya lembut, lalu mengusap kepala bocah itu dengan penuh kasih.Baik Kikan
“Kikan! Syukurlah kamu sadar!” Dewandra sampai berdiri dari duduk saat mendapati Kikan sudah siuman. Pria itu tampak bersyukur dan langsung memanggil dokter untuk memeriksa keadaan mantan istrinya itu. Kikan berusaha duduk sambil merasakan nyeri di kepalanya. Potongan demi potongan ingatan mulai membayangi dan Kikan hampir menjerit karena kepalanya semakin sakit. “Tante Kikan!” Kikan sontak menoleh ke samping saat mendengar suara Rosetta menggema. Bocah kecil itu langsung berlari dan memeluk Kikan sambil menangis. Sementara di belakangnya—Handi—ayah Dewandra, datang menyusul dan langsung menyapa Kikan dengan ramah. Tak lama setelah itu, Dewandra kembali bersama seorang dokter dan Kikan langsung mendapat pemeriksaan. “Aku … mendapatkan ingatan saat kita menikah dulu,” ucap Kikan sambil memandangi Dewandra setelah dokter selesai memeriksa dan pergi dari ruangan. Dewandra tidak bisa menutupi rasa terkejutnya mendengar pengakuan dari Kikan. Dewandra tidak tahu harus mengatakan apa.
Sekembalinya dari supermarket, Kikan langsung menyimpan stok belanjaan dan menyusunnya dengan rapi. Sebelum bergulat dengan peralatan memasak untuk makan siang, Kikan berniat membersihkan beberapa sudut ruangan di dalam rumah ini. Ruangan pertama yang Kikan datangi adalah kamar Rosetta. Kikan mengembangkan senyuman saat mengamati seluruh ruangan bocah kecil itu. Beberapa boneka dan buku tampak berhamburan di lantai.Kikan melangkah maju dan mulai membersihkan ruangan tersebut. Entah mengapa perasaannya begitu senang seolah sedang membersihkan kamar putrinya sendiri."Apa ini?" Kikan meraih selembar kertas yang terselip di antara buku-buku. Ternyata sebuah tulisan berisi tentang dirinya. Kikan membaca tulisan tersebut dengan mata berkaca-kaca. Sebuah tulisan yang tidak terlalu rapi yang ditulis sendiri oleh Rosetta. Di dalam tulisannya, Rosetta menyebutkan betapa dia sangat bahagia telah mengenal Kikan."Ya Tuhan, bocah ini sangat manis. Tante juga menyukaimu, Tata," gumamnya sambil