Seperti yang sudah Kikan janjikan kepada Terry bahwa ia akan datang tepat waktu hari ini. Dengan semangat yang begitu menggebu, Kikan berdiri di samping Terry yang sedari tadi menjelaskan dengan begitu rinci hal-hal apa saja yang harus wanita itu lakukan semasa bekerja di cafe ini.
“Di sini sistem kerjanya terbagi menjadi dua shift. Kemudian pukul sembilan malam cafe sudah benar-benar harus tutup, jadi kita nggak akan menerima orderan lagi setengah jam sebelum itu apapun alasannya.”
Kikan mengangguk paham. Semua hal yang Terry jelaskan dan ajarkan kepadanya secara kilat dapat Kikan pahami dengan begitu mudah.
“Sepertinya kamu sudah paham. Kalau gitu, mau sarapan bareng nggak? Kamu pasti belum sarapan ‘kan?”
Terry berani bertaruh jika Kikan tidak sempat sarapan sebelum datang ke mari. Dan sebenarnya asumsi Terry sama sekali tidak salah. Kikan memang belum sarapan untuk mengisi perutnya yang bahkan terasa sangat lapar sekarang.
Bagaimana wanita itu tidak kelaparan jika sejak tadi malam ia belum makan. Demi mengirit uangnya yang tersisa tak seberapa itu, Kikan sampai harus melewatkan makan malam.
“Hari ini aku sengaja minta suamiku bikinin bekal untuk kamu sekalian. Ayo, ikuti aku. Kita sarapan bersama di ruanganku.”
Kikan berjalan mengekor tepat di belakang Terry. Tadi Terry jelas menyebutkan bahwa ia meminta suaminya untuk membuatkan bekal untuk Kikan sekalian. Wah, Kikan berpikir hal itu sangat menarik.
“Jadi, suami kamu yang membuat bekal. Bukan kamu?”
Terry menoleh ke belakang di mana Kikan berjalan mengekorinya. Wanita itu tersenyum lebar. Merasa tersipu namun sebenarnya merasa bangga di dalam hatinya.
“Yah, begitulah. Aku beruntung menikah dengan Kevin. Dia benar-benar merawatku dengan baik,” kata Terry. Kedua matanya menyiratkan betapa ia sangat bangga dengan pria bernama Kevin itu.
Kikan ikut tersenyum dengan lebar. Entah mengapa ia merasa ikut bergembira mendengar hal itu. “Syukurlah kalau dia merawat kamu dengan baik. Senang mendengarnya,” sahutnya tulus.
Salah satu tangan Terry terulur untuk mendorong pintu ruangannya hingga terbuka lebar. Kemudian mempersilakan wanita penyelamatnya itu untuk segera mengambil posisi duduk di sofa empuk miliknya.
“Aku nggak tahu hari ini dia masak apa. Tapi aku jamin kalau masakan Kevin yang terbaik. Dia koki yang handal di kediaman kami.” Mengingat dirinya sama sekali tidak bisa memasak, Terry dengan lantang mengakui kehandalan sang suami dalam hal memasak.
“Wah, kurasa dia memang benar-benar pandai memasak. Dia bahkan menata makanan ini dengan sangat baik.” Kikan menganga takjub saat berhasil membuka wadah bekal dan mendapati bento dengan bentuk yang begitu apik di sana.
“Sekarang cepat cicipi. Aku yakin kamu pasti nggak akan bisa berkata-kata dan ketagihan untuk memakannya sampai habis,” kata Terry seraya menyodorkan alat makan kepada Kikan.
Satu suapan pertama Kikan benar-benar dibuat takjub karena Terry sama sekali tidak bergurau soal cita rasa masakan suaminya. “Wah, kamu benar. Rasanya sangat lezat!” seru Kikan kemudian lanjut dengan suapan kedua nya.
Sesaat Kikan memikirkan jika Terry sangatlah beruntung. Lihat saja bagaimana wanita itu hidup sekarang. Setidaknya Terry memiliki kehidupan yang layak serta suami yang mencintainya dengan tulus.
Tidak seperti dirinya yang hidup dikejar hutang. Lihat saja dirinya, Kikan bahkan bekerja sebagai seorang waitress di usianya sekarang. Bahkan tempat tinggal yang ia tempati bukan miliknya sendiri.
“Oh iya, Kikan. Aku boleh tanya sesuatu?”
Kikan mengangguk pelan tanpa menahan kunyahan di mulutnya.
“Apa ingatan kamu masih belum sepenuhnya kembali? Dan gimana soal kehidupan kamu dulu, apa kamu pernah menikah atau ... uhm sorry aku nggak bermaksud untuk lancang. Aku hanya ingin tahu lebih banyak soal kamu.”
Kunyahan di mulut Kikan perlahan melemah. Namun sedetik kemudian segera ia lanjutkan lalu menelannya tanpa tersisa.
“Sebenarnya aku juga nggak tahu karena aku sama sekali nggak bisa mengingatnya. Apa aku pernah menikah atau memiliki hubungan semacam itu, aku sama sekali nggak ingat. Tapi sepertinya aku memang belum pernah menikah karena nggak ada satupun petunjuk soal itu. Saat aku terbangun dari koma dulu, hanya Manda yang ada di sampingku hingga detik ini.”
Kikan meyakini jika memang seandainya ia memiliki keluarga ataupun pasangan, maka orang itu akan ada di sampingnya saat ia terbangun. Namun yang ia dapati hanya Manda seorang dan tidak ada yang lain. Dan di saat Kikan menanyai Manda perihal keluarganya, wanita itu mengklaim jika Kikan hidup sebatang kara.
Satu-satunya orang yang menjadi keluarga Kikan adalah pamannya yang tinggal di kampung. Dan sayangnya pria tua itu harus mengembuskan napas terakhir karena penyakit kronis yang dideritanya tujuh tahun silam.
“Aku hanya memiliki Manda sebagai orang terdekatku sekaligus keluargaku.” Kikan menambahkan.
“Aku nggak tahu siapa Manda yang kamu maksud. Tapi aku bersyukur karena kamu memiliki dia. Dan kalau kamu nggak keberatan, kamu juga bisa menganggapku sebagai keluarga kamu, Kikan.”
Kikan hanya membalas ucapan Terry dengan seulas senyum yang ia sematkan di bibir ranumnya. Tanpa mampu membalas dengan sepatah kalimat pun sebab Kikan tiba-tiba merasa emosional.
Selama ini selain Manda tidak ada satupun orang yang begitu peduli kepadanya. Dan sekarang ia tiba-tiba mendapat perlakuan seperti ini dari Terry. Sontak saja hal itu langsung memicu perasaannya dan membuat Kikan merasa tersenyuh sekaligus terharu di waktu yang sama.
“Berkat kamu aku makan enak pagi ini. Terima kasih,” ucap Kikan saat semua makanan yang ada di kotak bekal berhasil pindah ke perutnya.
Terry tersenyum penuh arti. “Sama-sama. Gimana kalau besok, ah tidak, gimana kalau setiap hari kita sarapan bersama?” usulnya.
Kikan bergumam panjang. “Memangnya kamu nggak sarapan di rumah bersama suami kamu?” tanyanya. Yang Kikan tahu ‘kan Terry memiliki suami. Seharusnya wanita itu sarapan bersama suaminya alih-alih bersama Kikan seperti yang wanita itu usulkan.
“Karena pekerjaan kami yang sama-sama padat, kami memutuskan untuk nggak sarapan di rumah. Tapi kami menggantinya dengan makan malam bersama setiap hari.”
Kikan terkekeh pelan saat mendengar hal itu. “Terry, terima kasih untuk niat baik kamu. Tapi aku nggak bisa menerima hal itu karena aku nggak mau merepotkan suami kamu karena harus membuat tambahan bekal untukku setiap hari.”
Memangnya Kikan ini siapa sampai harus dibuatkan bekal setiap hari oleh suami orang? Bukankah jadi terkesan aneh kalau ia menerima tanpa rasa malu? Ah, menolak seperti ini sudah benar untuk Kikan lakukan.
“Hmm, padahal aku udah senang banget bisa sarapan bersama kayak gini,” sahut Terry terlihat kecewa.
Melihat kekecewaan di wajah Terry, Kikan hanya menanggapinya dengan seulas senyum tipis nan menawan yang tersemat di bibirnya.
Lonceng yang terpasang di pintu cafe berbunyi saat seseorang mendorong pintu itu hingga terbuka. Detik berikutnya muncul sosok pria yang begitu tinggi dengan setelan jas yang membalut tubuhnya dan berjalan masuk hingga ke dalam. Kikan merasa seolah waktu berjalan dengan sangat lambat saat kedua matanya menangkap sosok yang begitu tinggi dan rupawan itu. Pria itu, di mana Kikan pernah melihatnya? Benarkah dia manusia dan bukan malaikat maut yang ingin mencabut nyawa nya? “Kikan?” seru pria itu. Kening Kikan sedikit berkerut. Rasa-rasanya suara ini pernah ia dengar sebelumnya di suatu tempat. Tapi di mana? “Akhirnya kita bertemu di tempat yang pantas. Senang melihatmu berada di sini daripada kelab malam.” Ah benar juga! Kelab malam! Kikan seketika bisa mengingat pertemuan mereka saat pria itu menyinggung soal kelab malam. Dia ‘kan pria yang sama yang tiba-tiba menyeretnya keluar dari ruangan lalu memarahinya seolah mereka saling kenal. Yup! Pria jangkung nan rupawan yang berdiri di
Kikan menarik napas sedalam mungkin sementara kedua matanya terpejam dengan rapat. Di telinganya masih terngiang suara Dewandra yang melontarkan pertanyaan yang mampu membuat wanita itu jengkel setengah mati. Sebisa mungkin Kikan mengendalikan emosi yang hampir meledak di dalam dirinya. “Apa dia sudah nggak waras? Kenapa dia terus bersikap dan melontarkan pertanyaan yang membuatku nggak nyaman?” Kikan mendengus sebal bersamaan dengan kedua matanya yang dibuka perlahan. Tiba-tiba saja ia merasa sangat kepanasan. Kikan tidak mengerti, kenapa setiap kali bertemu dengan Dewandra ia selalu dibuat kesal? Apa salah Kikan sebenarnya? “Bukankah pertanyaannya semacam itu termasuk lancang? Nggak seharusnya dia bertanya soal itu kepada orang asing, ‘kan?” Kikan semakin dibuat bingung. “Apanya yang lancang?” Kikan terkesiap dan langsung memutar tubuhnya ke belakang saat suara seseorang memasuki indra pendengarannya. Kikan tidak berpikir akan ada orang lain di sini selain dirinya. “Arman ...,”
Di ruangannya, Dewandra yang baru saja selesai dari sebuah rapat penting menghempaskan diri di kursi kerjanya. Kedua matanya tak sengaja menangkap sebuah map yang nampak asing. Kemudian ia tiba-tiba teringat dengan laporan yang Chiko bicarakan tadi pagi, lantas pria itupun segera meraih map tersebut lalu membukanya. Dengan cermat Dewandra membaca satu per satu baris kalimat yang tertuang di sana. Tatapannya nampak begitu serius. Bahkan bisa dikatakan bahwa sekarang pria itu merasa tegang sekaligus terkejut dalam waktu bersamaan. “Pantas saja dia bersikeras tidak mengenalku. Rupanya dia kehilangan ingatannya.” Pria itu bergumam pelan saat netranya menangkap baris kalimat yang melaporkan tentang insiden kecelakaan yang dialami Kikan. Selama ini Dewandra selalu meyakini bahwa ia membenci Kikan. Tapi hal berlawanan ia rasakan saat mereka kembali bertemu. Dan sekarang saat ia mengetahui apa yang terjadi dengan wanita itu beberapa tahun terakhir ini membuatnya tiba-tiba merasa kasihan sek
Hampir lima belas menit berlalu sejak Dewandra meminta izin untuk menjawab panggilan telepon yang katanya sangat mendesak itu. Di posisinya duduk sekarang, kedua mata Kikan menangkap sosok Dewandra yang tengah berbincang dengan seseorang melalui telepon berdiri tidak jauh dari meja mereka. Pria itu terlihat begitu serius, entah apa yang dia bicarakan sampai-sampai wajahnya begitu kaku. Sejujurnya Kikan merasa sangat gelisah sekarang. Selain karena merasa tidak nyaman duduk santai di tempat seperti ini, wanita itu juga merasa khawatir tidak akan bisa kembali tepat waktu karena sebentar lagi jam istirahatnya akan berakhir. Kikan sendiri bisa sampai berada di restoran mewah ini karena kegigihannya ingin mengembalikan segepok uang tunai yang Dewandra titipkan kepada Adelia malam itu. Kikan sudah mengambil keputusan untuk tidak menerimanya karena menurutnya tidak ada alasan sama sekali untuk ia menerima uang itu. Kruk! Kikan tidak bisa menahan rasa laparnya setelah aroma masakan yang be
Entah bagaimana Kikan harus menjelaskan perasaannya sekarang. Mendapat telepon pagi-pagi sekali dari mantan atasannya dulu, yang memberi tahukan dirinya bahwa Kikan bisa menempati apartemen ini selama yang ia mau. Kikan sungguh tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Sejujurnya Kikan merasa senang, tetapi di lain sisi ia juga merasa keheranan. Atas dasar apa mantan atasannya itu mau meminjamkan apartemen ini kepada Kikan? Terlebih lagi wanita itu sama sekali tak menyinggung persoalan biaya sewa ataupun semacamnya. “Bukankah ini adalah kabar yang bagus? Meski membingungkan, setidaknya ini berita yang bagus, ‘kan?” Nada bicaranya sedikit lemah. Entah mengapa Kikan tak bisa merasa antusias. Seperti yang sering Manda katakan. Bahwa ia tidak bisa mengerti jalan pikiran Kikan. Manda selalu menganggap Kikan memiliki pemikiran yang begitu rumit dan berkelok. Tak jarang pula Manda sampai menceramahi Kikan sebab sahabatnya itu terlalu pemikir. “Setidaknya aku nggak perlu memikirkan soal tempa
“Ada apa dengan ekspresi kamu?” tanya Dewandra sembari menatap Chiko yang datang dengan wajah super masam. “Bukan apa-apa, Pak. Hanya saja pagi ini saya sedang sial,” sahut Chiko lalu ikut duduk di samping atasannya itu, “Oh iya, Pak. Tadi saat saya berada di dalam lift Apartemen Sky, sepertinya saya bertemu dengan wanita itu,” sambungnya. Kedua kening Dewandra hampir bertaut saat mendengar ucapan sekretarisnya. “Maksud kamu Kikan?” tanyanya memastikan, ia ragu apakah wanita yang dimaksud Chiko sama dengan yang ia pikirkan sekarang. Pria dengan tinggi 180 centi meter yang duduk di samping Dewandra itu lantas mengangguk. “Benar, Pak. Saya yakin itu dia. Dan kalau saya tidak salah mendengar, dia dan temannya ... nah itu mereka!” seru Chiko spontan saat melihat presensi Kikan dan Manda dari kejauhan. Secara alamiah tubuh Dewandra seketika berbalik ke arah belakang dan matanya langsung mengunci pada sosok Kikan yang berjalan ke arah mereka. “Baru saja saya ingin bilang kalau dia dan t
“Kamu yakin baik-baik aja?” Manda bertanya dengan khawatir. “Harus berapa kali aku bilang sampai kamu percaya kalau aku baik-baik aja sih, Manda? Kamu bisa lihat sendiri kalau aku beneran baik-baik aja. Sebenarnya aku juga nggak perlu dibawa ke rumah sakit, paling beberapa hari juga sembuh sendiri.” Kikan mengembuskan napas pelan. Ia sama sekali tak pernah membayangkan bahwa akan berakhir di rumah sakit seperti sekarang ini. “Aku cuman khawatir, Kikan. Sebelumnya kamu pernah mengalami kecelakaan sampai hilang ingatan, aku takut kondisi kamu memburuk karena insiden tadi.” Dengan wajah super cemas yang tercetak di wajahnya, Manda mengatakan betapa ia mencemaskan sahabatnya itu. Embusan napas yang tadinya pelan kini berubah menjadi berat. “Maaf dan terima kasih karena sudah mengkhawatirkanku. Tapi aku beneran baik-baik aja sekarang, Manda. Kamu nggak perlu secemas ini,” kata Kikan lembut. Manda menundukkan kepalanya ke bawah. Ia tidak bisa membayangkan jika seandainya terjadi sesuatu
“Apa? Kamu bicara apa tadi? Aku nggak bisa mendengarnya dengan jelas.” Kikan menolehkan kepalanya ke belakang. “Bukan apa-apa,” sahut Dewandra seraya memberikan senyuman. Detik itu juga Kikan langsung meluruskan pandangannya kembali ke depan. Sebenarnya bukan sesuatu yang menyenangkan bagi Kikan berinteraksi seperti ini dengan Dewandra. Seberapa keras pun ia memikirkan, Kikan tidak bisa mendapatkan pembenaran atas interaksi mereka berdua. See? Bukankah Kikan terlalu pemikir seperti yang Manda katakan? Kesan pertama Kikan terhadap Dewandra terlanjur kurang bagus. Hal itu dilandasi oleh sikap Dewandra kepadanya pada pertemuan pertama mereka di kelab malam. Baik beberapa waktu yang lalu maupun saat ini, pria itu benar-benar sangat menyebalkan di mata Kikan. “Kamu nggak perlu mengantarku. Aku bisa naik taksi untuk pulang.” Kikan kembali membuka suara. “Dan untuk biaya pengobatan, aku akan membayarnya bulan depan.” Mendengar hal itu tentu saja membuat Dewandra merasa tergelitik. Pria i
“Kikan! Syukurlah kamu sadar!” Dewandra sampai berdiri dari duduk saat mendapati Kikan sudah siuman. Pria itu tampak bersyukur dan langsung memanggil dokter untuk memeriksa keadaan mantan istrinya itu. Kikan berusaha duduk sambil merasakan nyeri di kepalanya. Potongan demi potongan ingatan mulai membayangi dan Kikan hampir menjerit karena kepalanya semakin sakit. “Tante Kikan!” Kikan sontak menoleh ke samping saat mendengar suara Rosetta menggema. Bocah kecil itu langsung berlari dan memeluk Kikan sambil menangis. Sementara di belakangnya—Handi—ayah Dewandra, datang menyusul dan langsung menyapa Kikan dengan ramah. Tak lama setelah itu, Dewandra kembali bersama seorang dokter dan Kikan langsung mendapat pemeriksaan. “Aku … mendapatkan ingatan saat kita menikah dulu,” ucap Kikan sambil memandangi Dewandra setelah dokter selesai memeriksa dan pergi dari ruangan. Dewandra tidak bisa menutupi rasa terkejutnya mendengar pengakuan dari Kikan. Dewandra tidak tahu harus mengatakan apa.
Sekembalinya dari supermarket, Kikan langsung menyimpan stok belanjaan dan menyusunnya dengan rapi. Sebelum bergulat dengan peralatan memasak untuk makan siang, Kikan berniat membersihkan beberapa sudut ruangan di dalam rumah ini. Ruangan pertama yang Kikan datangi adalah kamar Rosetta. Kikan mengembangkan senyuman saat mengamati seluruh ruangan bocah kecil itu. Beberapa boneka dan buku tampak berhamburan di lantai.Kikan melangkah maju dan mulai membersihkan ruangan tersebut. Entah mengapa perasaannya begitu senang seolah sedang membersihkan kamar putrinya sendiri."Apa ini?" Kikan meraih selembar kertas yang terselip di antara buku-buku. Ternyata sebuah tulisan berisi tentang dirinya. Kikan membaca tulisan tersebut dengan mata berkaca-kaca. Sebuah tulisan yang tidak terlalu rapi yang ditulis sendiri oleh Rosetta. Di dalam tulisannya, Rosetta menyebutkan betapa dia sangat bahagia telah mengenal Kikan."Ya Tuhan, bocah ini sangat manis. Tante juga menyukaimu, Tata," gumamnya sambil
Dewandra kembali dibuat pusing setelah memikirkan ucapan ayahnya saat pria tua itu berkunjung tadi. Jujur saja, hingga sekarang persoalan tentang pulihnya ingatan Kikan masih membebani Dewandra hingga mengganggu ketenangannya. Entah bagaimana wanita itu akan bereaksi jika ingatannya kembali pulih, Dewandra jadi ngeri sendiri. “Apa aku harus memintanya untuk tinggal di sini agar bisa mengawasinya? Aku sudah bertindak sejauh ini. Semuanya akan kembali kacau jika Kikan mendapatkan kembali ingatannya, bukan?” Dewandra bergumam gelisah. Dalam pikiran Dewandra, jika di masa lalu ia gagal mempertahankan Kikan di sisinya, maka tidak kali ini. Ia tidak bisa kehilangan Kikan lagi seperti sebelumnya. Meski ia harus menjadi orang jahat sekalipun—Dewandra tidak keberatan untuk menghalangi ingatan Kikan kembali seperti semula. Yang hanya Dewandra pikirkan adalah Kikan harus bersama dirinya dan juga Rosetta. “Tapi dia pasti menolak untuk menginap. Argh! Ini benar-benar membuatku pusing.” Dewandra
Tidak ada yang tahu tentang masa depan. Begitupun dengan Dewandra yang tidak pernah tahu bahwa hal semacam ini akan terjadi setelah perceraiannya dengan Kikan. Tidak pernah sekalipun ia berpikir bahwa ia akan kembali bertemu dengan Kikan yang kehilangan ingatan. Dan yang lebih tidak pernah ia pikirkan selain hal itu adalah saat Kikan yang mendadak menjadi seorang pengasuh untuk putri mereka sendiri. Rasanya bagaikan sebuah lelucon. Lelucon yang membuat Dewandra merasa sangat tergelitik hingga tak sadar menyematkan senyum lebar di bibirnya. Setelah Kikan memutuskan untuk pergi meninggalkan dirinya dan putri mereka beberapa tahun silam. Setiap hari Dewandra selalu menanamkan kebenciannya untuk sang mantan istri. Ia bertekad untuk membalas rasa sakit itu jika di kemudian hari mereka kembali bertemu. Namun semua rencananya gagal begitu saja karena ternyata perasaannya terhadap Kikan masih belum usai. Siapa yang menyangka? Bahkan Dewandra sendiri tidak menyangka akan sekacau itu. Sement
“Kenapa sih kamu selalu bela dia? Harusnya kamu marah karena dia mengacaukan kencan buta itu. Kamu tahu sendiri ‘kan sesibuk apa Vino! Dia jadi buang-buang waktu!” Erik menumpahkan kekesalannya usai mendengar kabar dari Vino bahwa kencan butanya bersama Kikan berakhir dengan cepat karena Wanita itu mendadak harus pergi. “Aku gak bisa marah juga karena sebenarnya kita juga salah di sini. Kita mengatur kencan buta itu tanpa persetujuan Kikan. Sebelumnya aku juga udah bilang ‘kan kalau sekarang Kikan nggak berminat untuk menjalin suatu hubungan, tapi kamu bersikeras karena Vino meminta.” Salah satu kening Erik terangkat sedikit ke atas. Ia merasa tersinggung sebab kini Manda berbalik menyalahkan dirinya. “Oh, jadi sekarang kamu menyalahkan aku? Begitu? Aku benar-benar heran sama kamu. Apa sih istimewanya Kikan sampai kamu selalu bela dia daripada aku!” Helaan napas pelan berembus keluar dari mulut Manda. Sumpah demi semesta Manda tidak ingin ribut dengan kekasihnya karena masalah ini l
“Tante!” Kedatangan Kikan di kediaman Dewandra langsung disambut oleh Rosetta yang menghambur ke pelukannya dengan mata sedikit sembap. Di belakangnya terlihat Chiko yang berjalan menyusul kemudian berhenti tak jauh dari mereka. “Maaf karena menghubungi kamu di luar jam kerja. Tapi Rosetta terus merengek meminta saya untuk menghubungi kamu. Saya juga jadi sedikit panik melihat dia menangis ketakutan karena papanya pingsan.” Chiko mengungkapkan penyesalannya. “Bukan apa-apa. Aku paham kamu merasa panik karena Rosetta menangis ketakutan. Akupun sama paniknya saat mendapat telepon tadi.” Chiko mengangguk pelan. “Pak Dewa pasti kelelahan. Jarang sekali dia sampai pingsan seperti hari ini,” ucapnya memberi tahu pokok utama dari semua kepanikan ini. Entah bagaimana jadinya jika seandainya ia tidak datang tadi. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Rosetta. “Lalu bagaimana keadaan Pak Dewa sekarang?” “Dia sudah siuman, sekarang sedang beristirahat di kamarnya. Uhm, dia sedikit kesa
“Apa sih yang kamu lakukan, Manda? Kenapa kamu bohong soal pesta ulang tahun Citra?” Tahu apa yang paling menjengkelkan bagi Kikan? Yup! Saat Manda membohonginya untuk hal-hal tidak masuk akal. Dan yang paling membuat Kikan jengkel setengah mati sekarang adalah karena Manda mengatur kencan buta untuk dirinya. Sumpah demi semesta, Kikan tidak mau kencan buta. “Sorry, aku akan memohon pengampunan kamu setelah kita pulang nanti. Tapi untuk sekarang kamu harus segera duduk ke sana karena aku sama Erik sudah bersusah payah mengatur ini.” “Apa? Kamu sama Erik?” Kedua mata Kikan hampir membulat saat Manda menyeret nama Erik ke dalam acara kencan buta ini. Bagaimana bisa pria itu juga ikut terlibat? Kikan benar-benar dibuat meradang. “Pelankan suara kamu. Jadi, pria yang duduk di sana itu temennya Erik. Sekarang kamu ke sana dan samperin dia dengan senyuman. Oke?” Manda mengacungkan kedua telunjuknya lalu mendorong kedua sudut bibir Kikan ke atas hingga membentuk senyuman. Kemudian membali
Dewandra masuk ke dalam rumah dengan langkah gontai sementara tangan kirinya sibuk melucuti dasi serta beberapa kancing kemejanya. Hari ini sungguh melelahkan bagi pria itu. Namun saat kakinya menapak di lorong yang akan membawanya ke ruang tengah, sebuah aroma yang begitu lezat menguar menggelitik hidungnya. Kedua matanya yang sempat lesu mendadak terbuka sedikit lebih lebar dari sebelumnya. Aroma ini. Bukankah aroma ini adalah aroma dari makanan kesukaannya? Dewandra pun memilih untuk bergegas ke dapur dan pria itu langsung tersadarkan dengan keberadaan Kikan yang mengenakan apron merah muda di tubuhnya. Benar juga. Dewandra lupa kalau wanita itu kini bekerja menjadi pengasuh putrinya—uhm, sebenarnya putri mereka berdua. “Hey, baru datang? Maaf kalau aku lancang memasak di dapur kamu. Tapi Rosetta merengek minta dibuatkan makanan.” Kikan membuka suara saat melihat Dewandra berdiri tak jauh darinya. Sementara dirinya sibuk menghidangkan makanan ke atas meja makan. Dewandra segera
“Tante Kikan!” Rosetta berteriak histeris saat melihat presensi Kikan yang tengah berdiri sembari tersenyum di ambang pintu kamarnya. Bocah kecil itu sama sekali tidak mengira akan melihat Kikan di kediaman mereka. Dengan cepat ia turun dari atas ranjang dan berlari mendatangi Kikan kemudian menghamburkan pelukan. Kikan membalas pelukan Rosetta dengan tak kalah erat dari pelukan yang bocah kecil itu berikan. Keduanya sama-sama terlihat begitu senang dilihat dari tarikan senyum mereka yang begitu lebar. Rosetta bahkan meminta Kikan untuk berjongkok agar ia bisa mendaratkan kecupan hangatnya di kedua pipi Kikan. Sementara tak jauh dari mereka, Dewandra memperhatikan dalam diam. Pria jangkung itu berdiri sembari menyematkan senyuman. Dalam hatinya ingin sekali ikut bergabung dengan kedua orang itu untuk berpelukan. “Tata kangen banget sama Tante Kikan,” seru bocah itu lagi. Senyuman di bibirnya kian melebar dan satu detik kemudian ia kembali melingkarkan pelukan. “Tante juga kangen b