Mobil Malik melaju membelah jalanan beton yang kuat yang menghubungkan Cianjur dan Kota Jakarta. Laila belum mengatakan apapun atau menjelaskan apapun padanya soal kepulangan mereka yang sangat mendadak. Dua hari ini Laila semakin bertingkah sekehendak dirinya sendiri tanpa memikirkan perasaan orang lain.Malik hanya diam menunggu Laila yang berinisiatif menjelaskan. Namun kenyataannya, sepanjang jalan itu Laila hanya menceracau tentang hal remeh temeh. Padahal, ia sudah membantunya memperlancar kebohongannya pada sang Ibu walau Malik masih tidak sadar bahwa Laila benar-benar berbohong. Malik merasa bersalah pada mertuanya yang terlihat sangat kecewa pada mereka.Mobil mereka sudah berhenti di carport rumah Bagaskara. Keduanya masih bergeming, tidak ada satupun yang memulai membuka pintu. Laila kira, Malik akan segera membukakan pintunya. Melakukan hal-hal romantis speerti yang ia tonton di film-film. Sementara Malik kira, Laila diam karena akan menjelaskan apa yang ia ingin ketahui.
Tok Tok Tok “Masuk!” Teriak Malik dari dalam ruangannya. “Selamat siang Bapak Malik. Saya bawakan makan siang untuk Bapak..” Sapa Laila dengan nada seceria mungkin sambil mengangkat tentengan bekal makan siang, tak lupa ia mengulas senyum secantik mungkin agar dingin es di hati suaminya mencair. Di meja singgasananya, Malik mengulas senyum tipis. Tipis sekali sampai Laila tak menyadarinya. Tapi jelas matanya berpendar bahagia. Hatinya menghangat, rasa penat karena permalasahan di perusahaan tiba-tiba hilang karena senyuman istrinya. Pundaknya yang sedari kemarin terasa berat, kini ringan karena kedatangan istrinya yang membawa bekal untuknya. “Kemarilah..” Kata Malik. dan tidak perlu waktu lama, Laila sudah berada di depan meja suaminya. Meletakkan bekal makan siangnya di antara tumpukan berkas-berkas yang tidak dimengerti Laila. Meja itu penuh dengan tumpukan map, kertas, berkas, tablet da laptop yang semuanya menyala menunjukkan tabel-tabel. Semuanya itu cukup menunjukkan pada L
Sore itu, hujan dengan intensitas ringan menyambut kepulangan Laila dari kampus. Laila melangkah dengan hati ringan karena urusannya dipermudah oleh Tuhan. Benar-benar dipermudah. Mungkin ini yang dinamakan berkah menikah. Ah, dan yang pasti adalah doa dari orang tuanya.Beberapa saat yang lalu, Dosen pembimbingnya bersedia memberikan bimbingan hari itu juga setelah Laila menghubunginya beberapa menit sebelumnya. Laila mengajukan objek penelitiannya berikut dengan rumah sakit yang akan dia gunakan sebagai rujukan. Juga hipotesa penelitiannya sebagai gambaran besar yang akan menuntun langkahnya dalam penelitian itu. Dosennya tak banyak berkomentar, hanya sedikit memberikan saran sekaligus sebuah kartu nama seorang dokter psikiater yang akan membantu Laila.“Hubungi beliau, dan katakan padanya bahwa kamu mahasiswa saya. Beliau akan membantumu.”Betapa terkejutnya Laila. Tentu saja wanita itu senang bukan kepalang. Seperti kata pepatah sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Laila tidak
Laila merasa tiba-tiba menjadi sama sekali tidak berguna. Saat ini ia tengah duduk lemas setelah dituntun oleh Bi Mina dan Mbak Yani menuju kamarnya. Kelebatan ingatan mertuanya yang terguling dari lantai atas ke lantai bawah yang menyisakan bunyi debuman membuat Laila bergeming. Membuat Laila kelu dan lemas.Untuk pertama kalinya, Laila membuat orang lain celaka karena kecerobohannya. Oh, setelah diingat-ingat ini kali kedua orang lain celaka karenanya. Dan siapa sangka keduanya adalah anak dan ibu yang sekarang menjadi bagian dalam kehidupannya.Laila hanya bergeming saat Bi Mina menawarkan macam-macam untuknya. Teh hangat yang sudah tidak lagi hangat juga sama sekali belum tersentuh oleh Laila. Bi Mina masih menunggu wanita muda itu mengucapkan satu atau dua kata. Bi Mina mengkhawatirkan wanita muda itu. Laila yang sejak awal tidak pernah diterima sebagai anggota keluarga baru oleh Lina serta harus merasakan banyak tekanan dari Lina, mertuanya.Bi Mina dan semua asisten di rumah it
Kecelakaan yang menimpa istrinya itu tiba-tiba saja mengingatkannya pada anak sulungnya yang sudah sekian tahun tidak pulang. Sebenarnya bukan tidak ingat, Pak Agung hanya mencoba mengabaikan karena kemauan mereka yang sama-sama keras. Yang pada akhirnya Pak Agung lah yang harus mengalah demi anaknya itu.Pak Agung sedang mencoba menghubungi anak pertamanya. Setelah sekian kali terhubung hingga terputus dengan sendirinya. Akhirnya suara anak sulungnya terdengar menyahut, telefonnya tersambung.“Di mana kamu sekarang?” Tanya Pak Agung tanpa basa-basi. Suaranya datar menuju ketus.“Kanada.” Sahut Dika singkat.“Pulanglah! Mamamu kecelakaan.” Katanya.“Kecelakaan? Bagaimana bisa?”“Pulanglah. Kamu harus pulang. Kali ini Papa tidak bisa mentolerir lagi kemauanmu.”“Iya, Pa. Iya. Dika cari jadwal keberangkatan pesawat yang paling cepat.”Mahardika Satya Bagaskara. Anak sulung Agung dan Lina yang sudah sekian tahun tidak pernah menampakkan dirinya di Nusantara. Dia hanya sibuk berkeliling m
Siang yang cukup terik setelah hujan semalam dengan sekejap mengeringkan dedaunan yang basah. Tapi aroma basah tanah masih tercium di indera penciuman. Seseorang yang tinggi tegap dengan backpacker di punggungnya tengah menghidu aroma rumah yang sudah lama ditinggalkannya. Dika -Mahardika- anak sulung di rumah Bagaskara itu baru saja tiba setelah belasan jam penerbangannya dari Vancouver, Kanada. Berdiri tegak di depan pintu gerbang. Menyapa Pak Budi yang sedang mengernyit menatapnya. Tukang kebun itu tentu saja pangling melihat tampilan berbeda dari tuannya. Dika masih sangat tampan dan bersih saat meninggalkan rumah itu beberapa tahun yang lalu. Kini meski masih tampan, hanya saja terkaburkan oleh cambang yang tumbuh lebat tak terawat, kacamata hitam yang masih bertengger di hidungnya, kaos oblong dan celana cargo bercorak tentara. Pak Budi hampir saja mengusirnya kalau ia tak segera melepas kacamatanya dan menyapa laki-laki tua itu. “Ya ampun, Den Dika, saya kira siapa.. Pangling.
“Bagaimana keadaan Mama, Pa?” Dika sudah berada di rumah sakit malam itu. Setelah dirasanya cukup beristirahat. Dika segera mengunjungi mamanya yang masih memejamkan matanya.“Bersyukurlah Mamamu tidak kenapa-kenapa. Hanya gegar otak ringan. Tapi cedera di tulang belakangnya cukup parah yang membuat mama mungkin tidak akan bisa duduk untuk sementara waktu.” Jawab Pak Agung. Laki-laki tua itu tak henti-hentinya menelanjangi anaknya dengan tatapan penuh takjub. Bukan takjub karena anaknya membanggakan, justru karena rupa anaknya yang menurutnya sangat tidak rupawan sama sekali. Baginya tidak ada yang dibanggakan dari sekedar jalan-jalan mengililingi dunia.“Syukurlah.. Malik mana?”“Seharusnya di rumah. Kalian belum bertemu?”“Aku baru aja bangun dan langsung kemari. Tapi aku udah ketemu sama istrinya. Ketemu dimana Malik sama istrinya itu? Sama sekali bukan selera Malik ku rasa.” Dika yang sedang membenahi selimut mamanya yang tersingkap beralih pandang ke arah Papanya yang sedang memb
Laila pergi dari rumah malam itu juga. Satpam rumah itu sempat curiga nyonya mudanya keluar pada larut malam dan menanyakan kemana perginya. Laila terpaksa berdusta dan bilang pada satpam itu bahwa ia akan menyusul suaminya ke rumah sakit. Pak Agung dan Dika tentu saja sudah terlelap di kamarnya masing-masing. Tanpa menghiraukan lagi kecurigaan satpam itu, Laila segera menaiki taksi online yang sudah dipesannya beberapa saat lalu. Tujuannya malam itu hanya satu tempat.Laila sudah tiba di sebuah apartemen. Ia memandang ke atas gedung yang memiliki tujuh lantai itu. Laila sempat meragu. Tapi ia tidak memiliki tempat lain yang bisa dijadikan tujuan selain tempat itu.Laila memasuki lift dan memencet tombol angka lima sebagai tujuannya. Rasanya sangat lambat hingga bunyi denting menyadarkannya.Laila sudah berdiri di depan satu unit apartemen itu. setelah memencet bel dan menunggu beberapa saat. Sang empunya rumah pun muncul.“Lail..”“Boleh aku menginap disini malam ini?” Tanyanya.Rais
Beberapa bulan kemudian.Tangis balita memenuhi ruangan. Suaranya menggema riuh rendah, padahal hanya satu bayi. Cucu kebanggaan Keluarga Bagaskara telah hadir di tengah-tengah kesunyian yang melanda rumah besar itu.Bu Lina bahagia luar biasa, ingin rasanya terus menimang-nimang kalau saja ia bisa. Sayangnya, ia sudah harus beristirat tidak diperbolehkan terlalu lelah oleh dokter. Sejak sebulan yang lalu Bu Lina harus kembali menggunakan tongkat untuk membantu berjalan dan kursi roda jika diperlukan, beliau terpeleset sewaktu di kamar mandi, dan riwayat patah tulang dahulu kala menjadikan kecelakaan kali itu bukan hanya terpeleset biasa. Tapi membuka luka lama dan memperparahnya.Padahal ingin sekali ia menikmati waktu menimang-nimang cucu satu-satunya saat itu.Sambil terus bersemoga agar Mahardika dan Raisa segera diberi keturunan.Ya. Mahardika berhasil meyakinkan orang tua Raisa bahwa ia benar-benar menginginkan Raisa dan mencintainya.Beberapa bulan yang lalu.Dengan tangan berg
Malik memegang ponselnya diputar-putar lalu berhenti dan mencari aplikasi pesan. Menatapnya lama, lalu kembali memainkan ponselnya.Sekian kalinya lalu ia berhenti dan mantap mengirimkan sebuah pesan.‘Wanita memang butuh kepastian, Bang. Tapi mereka juga tidak akan suka dengan kesemena-menaan. Aku udah pernah melakukan itu, jadi Abang tidak perlu mengulangi kesalahanku. Dia ada di rumahku sekarang kalau Abang mau meluruskan masalah kalian.’Pesan yang cukup panjang. Lalu Malik tutup dengan helaan nafas panjang. Ia tidak tahu masalah apa yang Dika lalui hingga mendapatkan status duda itu. Tapi melihat kesembronoan Dika, rasanya Malik segera mengerti bagaimana sikap Mahardika jika berhadapan dengan perempuan.Benar-benar mirip dengannya. Beruntungnya, Laila cukup mau bersabar menghadapinya dan mau memaafkan semua tingkah lakunya hingga ia tidak jadi menyandang status duda itu. Jika saja… Ah, jangan sampai. Malik tak mau berandai-andai.Laila dan Raisa bercengkerama sekian lamanya hingg
Laila disambut pelukan hangat suaminya begitu tubuhnya muncul dari balik pintu besi lapas yang menjulang tinggi. Gurat kekhawatiran sangat jelas di wajah suamiya, sebab takut kalau-kalau Gladis gelap mata dan menyerang istrinya yang tengah berbadan dua. “Kamu enggak apa-apa kan, Sayang?” Tanya Malik segera setelah melepaskan pelukannya. Meraba-raba wajah dan tubuh istrinya memastikan tidak ada yang kurang dan bertambah. Bertambah ada luka atau lebam. “Enggak apa-apa Mas. Kami cuma ngobrol kok.” “Aku takut kalau sampai dia nekad.” Katanya sambil menuntun Laila memasuki mobil. “Mbak Gladis kasihan sekali, Mas. wajahnya tirus dan kelihatan sangat tertekan. Tubuhnya kurus sementara perutnya menggembung buncit.. Aku enggak tega.” Ia kembali mengingat rupa Gladis sebelum dan sesudah peristiwa itu. Dulu, Gladis adalah perempuan yang cantik. Tubuhnya tinggi dan montok. Wajahnya merah segar tidak seperti yang ia lihat baru saja. Matanya yang belok terlihat semakin belok karena semakin t
Suasana rumah besar keluarga Bagaskara kini semakin akrab untuk Laila terlebih ketika mama mertuanya sudah berubah untuknya. Sudah menerimanya dan semakin sayang padanya.Bermacam-macam hadiah yang diberikan sang mertua untuknya, terutama untuk kebutuhan ibu hamil dan menyusui.Sepulangnya dari Bali, Laila dan Malik tidak langsung ke rumahnya sendiri. Tapi terlebih dulu ke rumah orang tuanya, melepas rindu sekaligus memberikan oleh-oleh yang dibawanya.Ternyata, bukan hanya dia yang memberikan oleh-oleh itu, Laila juga menerima hadiah yang telah disebutkan tadi dari ibu mertuanya.“Ini banyak sekali, Ma..” Kata Laila terharu sekaligus terperangah.Lina mengeluarkan semua belanjaannya berkarton-karton paper bag untuk Laila.“Mama tadinya ingin sekalian belanja baju bayi untuk anakmu, karena kamu pasti lelah setelah perjalanan dari Bali. Kandungan mu juga semakin besar. Tapi Mama enggak mau lancang, ini anak pertama kalian, pasti kalian antusias ingin belanja kebutuhannya sendiri.” Ungk
“Kamu jangan main-main! Lamar-lamar anak orang! Siapa dia, siapa orang tuanya, dari mana asalnya kita enggak tahu. Hanya karena dia adalah teman Laila kemudian kita akan menerimanya? Apa orang tuanya tahu kamu membawanya kemari?” Cecar Mama Lina sepeninggal Raisa.Meski dalam hati ia ikut tergelak sebab anak sulungnya meminta dilamarkan seorang gadis. Namun. Ia tetap tidak bisa menerima sikap sembrono Dika, anaknya.“Kamu itu sudah tua, Dika. Jangan main-main soal menikah.” Lanjutnya ketika jawaban yang diharapkan tak kunjung keluar.“Dika enggak main-main, Ma.” Jawab Dika sungguh-sungguh.Pak Agung hanya duduk mendengarkan celotehan istrinya yang ditanggapi anak sulungnya biasa-biasa saja. Benar-benar duplikat Agung Bagaskara.“Lalu dimana rumahnya? Siapa orang tuanya?” Tanya Lina lagi.Dika menggeleng. “Dika hanya tau apartemennya, tapi rumah orang tuanya Dika belum tanya.”“Lihat anakmu, Pa. Papa sebut dia dewasa? Umurnya saja yang tua, tapi pikirannya, ya ampun… Papa saja yang uru
Surya sore menyemburat menembus pohon-pohon di taman itu hingga menciptakan bias dan pendar yang menyapa dua insan yang duduk di sana. Duduk berjauhan bak orang asing. Satu perempuan dan satu laki-laki, tidak saling menatap tapi gesture mereka mengisyarakatkan bahwa mereka serasi menjadi sepasang kekasih. Tatapan mengernyit dari si perempuan dan wajah datar si laki-laki mempertegas bahwa hubungan mereka memang sedang berjarak. “Maksudnya apa?” Tanya Raisa tak sabar. “Ikutlah ke rumahku.” “Iya, tapi untuk apa? Ngomong yang jelas! Bisa enggak sih jadi laki-laki yang tegas gitu. Ngomong sepotong-potong bikin aku bingung. Sikapmu itu bikin aku bingung tau enggak. sebentar ngasih perhatian, sebentar ngilang.. Sekarang tiba-tiba ngajak ke rumah? Untuk apa? Aku sudah pernah ke rumahmu dan sudah kenal orang tuamu ngomong-ngomong, kalau itu maumu. Enggak perlu kalau setelah ini kamu akan tiba-tiba ngilang lagi.” Cecar Raisa. Ia sudah tak tahan lagi bermain tarik ulur seperti ini. Ia merasa
Tok tok tokPintu kamar Lina diketuk lembut dari luar. Sudah hampir tiga hari ia tak keluar kamar dan menolak ditemui Dika, anak sulungnya.Lina mendengus. Sejujurnya ia sudah terlalu tua untuk merajuk, tapi apa yang dilakukan Mahardika menurutnya telah keterlaluan dan menyakitinya.“Ma.. Dika mohon buka pintunya.” Seru Dika dari balik pintu.“Temui dia, Ma. Sudah berhari-hari mama enggak keluar kamar. Dika juga berhari-hari seperti orang gila karena terkurung di dalam rumah. Padahal dia harus ke kantor membantu Papa.” Bujuk Pak Agung.“Papa yakin dia sudah benar berubah? Dia enggak akan pergi lagi?” Bu Lina menelisik mata suaminya mencari kesungguhan disana. Meminta keyakinan dan diyakinkan sebenarnya.“Papa yakin.” Jawab Pak Agung.Bukan apa-apa, Bu Lina hanya ingin di usianya senjanya semua anak-anaknya berada di dekatnya. Rejeki bisa nanti dicari, dan pengalaman, dia rasa sudah cukup bagi Dika menghabiskan bertahun-tahun untuk mencari pengalaman itu di luar belantara sana.Tok tok
“Apa maksudmu?” Tanya Lina pelan-pelan. Sejujurnya dadanya sudah bergejolak marah karena anak sulungnya ternyata menyembunyikan berita besar.“Dika sudah pernah menikah.” Jawab Dika singkat.Dika sudah tak mungkin lagi berkelit. Ia harus jujur sekarang juga atau mamanya akan terus menuntutnya soal menikah. Namun, reaksi mamanya sungguh diluar dugaan.“Bicara yang benar, Mahardika! Mamamu yang tua ini enggak ngerti. Menikah dengan siapa? Dimana? Kenapa enggak bilang sama mama dan papamu?” Bentak Lina yang sudah sabar dengan sikap Dika yang santai dan cuek.“Maafin Dika, Ma.”“Siapa? Siapa yang kamu nikahi? Dimana dia sekarang?” Cecar Lina lagi. Melihat Dika hanya diam, membuat kesabaran Lina semakin menipis.“Katakan Dika! Jangan diam saja? Mau ditaruh mana muka mama kalau sampai kamu menelantarkan anak gadis orang!”“Dika tidak pernah menelantarkannya, Dika mencintainya, tapi orang tuanya yang tidak menyukai Dika karena menurutnya Dika menelantarkan anaknya karena Dika terlalu lama pe
Satu bulan kemudian.“Sudah siap?”Laila mengangguk merona. Sambil terus menyunggingkan senyum mereka akan melakukan perjalanan ke Bali karena ingin menikmati baby moon sekaligus honey moon mereka yang tak pernah terlaksana.Malik menyeret koper di tangan kirinya dan tangan kanannya menggenggam tangan Laila erat. Berjalan menyusuri lorong resort tempat mereka menginap. Mereka memilih daerah uluwatu dan kintamani untuk menghabiskan masa baby moon mereka selama satu minggu.Menyewa resort di tepi pantai untuk menikmati masa-masa tinggal berdua dan memperdalam hubungan mereka setelah berbagai badai yang menyambut awal rumah tangga mereka.Malik sudah sepenuhnya pulih, ia memutuskan untuk sebentar mengambil libur sebelum kembali benar-benar terjun mengurusi perusahaan sang papa.Lagi-lagi, Dika lah yang dijadikannya tumbal. Terpaksa masih harus memenuhi permintaannya yang seperti tak kunjung ada ujungnya. Dika bahkan tak bisa menikmati waktu kencan berdua.Ya, kencan. Dika sudah memantapk