Laila merasa tiba-tiba menjadi sama sekali tidak berguna. Saat ini ia tengah duduk lemas setelah dituntun oleh Bi Mina dan Mbak Yani menuju kamarnya. Kelebatan ingatan mertuanya yang terguling dari lantai atas ke lantai bawah yang menyisakan bunyi debuman membuat Laila bergeming. Membuat Laila kelu dan lemas.Untuk pertama kalinya, Laila membuat orang lain celaka karena kecerobohannya. Oh, setelah diingat-ingat ini kali kedua orang lain celaka karenanya. Dan siapa sangka keduanya adalah anak dan ibu yang sekarang menjadi bagian dalam kehidupannya.Laila hanya bergeming saat Bi Mina menawarkan macam-macam untuknya. Teh hangat yang sudah tidak lagi hangat juga sama sekali belum tersentuh oleh Laila. Bi Mina masih menunggu wanita muda itu mengucapkan satu atau dua kata. Bi Mina mengkhawatirkan wanita muda itu. Laila yang sejak awal tidak pernah diterima sebagai anggota keluarga baru oleh Lina serta harus merasakan banyak tekanan dari Lina, mertuanya.Bi Mina dan semua asisten di rumah it
Kecelakaan yang menimpa istrinya itu tiba-tiba saja mengingatkannya pada anak sulungnya yang sudah sekian tahun tidak pulang. Sebenarnya bukan tidak ingat, Pak Agung hanya mencoba mengabaikan karena kemauan mereka yang sama-sama keras. Yang pada akhirnya Pak Agung lah yang harus mengalah demi anaknya itu.Pak Agung sedang mencoba menghubungi anak pertamanya. Setelah sekian kali terhubung hingga terputus dengan sendirinya. Akhirnya suara anak sulungnya terdengar menyahut, telefonnya tersambung.“Di mana kamu sekarang?” Tanya Pak Agung tanpa basa-basi. Suaranya datar menuju ketus.“Kanada.” Sahut Dika singkat.“Pulanglah! Mamamu kecelakaan.” Katanya.“Kecelakaan? Bagaimana bisa?”“Pulanglah. Kamu harus pulang. Kali ini Papa tidak bisa mentolerir lagi kemauanmu.”“Iya, Pa. Iya. Dika cari jadwal keberangkatan pesawat yang paling cepat.”Mahardika Satya Bagaskara. Anak sulung Agung dan Lina yang sudah sekian tahun tidak pernah menampakkan dirinya di Nusantara. Dia hanya sibuk berkeliling m
Siang yang cukup terik setelah hujan semalam dengan sekejap mengeringkan dedaunan yang basah. Tapi aroma basah tanah masih tercium di indera penciuman. Seseorang yang tinggi tegap dengan backpacker di punggungnya tengah menghidu aroma rumah yang sudah lama ditinggalkannya. Dika -Mahardika- anak sulung di rumah Bagaskara itu baru saja tiba setelah belasan jam penerbangannya dari Vancouver, Kanada. Berdiri tegak di depan pintu gerbang. Menyapa Pak Budi yang sedang mengernyit menatapnya. Tukang kebun itu tentu saja pangling melihat tampilan berbeda dari tuannya. Dika masih sangat tampan dan bersih saat meninggalkan rumah itu beberapa tahun yang lalu. Kini meski masih tampan, hanya saja terkaburkan oleh cambang yang tumbuh lebat tak terawat, kacamata hitam yang masih bertengger di hidungnya, kaos oblong dan celana cargo bercorak tentara. Pak Budi hampir saja mengusirnya kalau ia tak segera melepas kacamatanya dan menyapa laki-laki tua itu. “Ya ampun, Den Dika, saya kira siapa.. Pangling.
“Bagaimana keadaan Mama, Pa?” Dika sudah berada di rumah sakit malam itu. Setelah dirasanya cukup beristirahat. Dika segera mengunjungi mamanya yang masih memejamkan matanya.“Bersyukurlah Mamamu tidak kenapa-kenapa. Hanya gegar otak ringan. Tapi cedera di tulang belakangnya cukup parah yang membuat mama mungkin tidak akan bisa duduk untuk sementara waktu.” Jawab Pak Agung. Laki-laki tua itu tak henti-hentinya menelanjangi anaknya dengan tatapan penuh takjub. Bukan takjub karena anaknya membanggakan, justru karena rupa anaknya yang menurutnya sangat tidak rupawan sama sekali. Baginya tidak ada yang dibanggakan dari sekedar jalan-jalan mengililingi dunia.“Syukurlah.. Malik mana?”“Seharusnya di rumah. Kalian belum bertemu?”“Aku baru aja bangun dan langsung kemari. Tapi aku udah ketemu sama istrinya. Ketemu dimana Malik sama istrinya itu? Sama sekali bukan selera Malik ku rasa.” Dika yang sedang membenahi selimut mamanya yang tersingkap beralih pandang ke arah Papanya yang sedang memb
Laila pergi dari rumah malam itu juga. Satpam rumah itu sempat curiga nyonya mudanya keluar pada larut malam dan menanyakan kemana perginya. Laila terpaksa berdusta dan bilang pada satpam itu bahwa ia akan menyusul suaminya ke rumah sakit. Pak Agung dan Dika tentu saja sudah terlelap di kamarnya masing-masing. Tanpa menghiraukan lagi kecurigaan satpam itu, Laila segera menaiki taksi online yang sudah dipesannya beberapa saat lalu. Tujuannya malam itu hanya satu tempat.Laila sudah tiba di sebuah apartemen. Ia memandang ke atas gedung yang memiliki tujuh lantai itu. Laila sempat meragu. Tapi ia tidak memiliki tempat lain yang bisa dijadikan tujuan selain tempat itu.Laila memasuki lift dan memencet tombol angka lima sebagai tujuannya. Rasanya sangat lambat hingga bunyi denting menyadarkannya.Laila sudah berdiri di depan satu unit apartemen itu. setelah memencet bel dan menunggu beberapa saat. Sang empunya rumah pun muncul.“Lail..”“Boleh aku menginap disini malam ini?” Tanyanya.Rais
“Apa sebegitu inginnya kamu terlepas dariku?” Malik mendesis. Giginya bergemeletakan karena amarahnya membuncah. Entah kepada siapa amarah itu ditujukan, yang jelas penyesalan karena berlarut-larut mendiamkan istrinya sampai menjadi akhir yang gila seperti ini.“Kita memang menikah bukan karena saling cinta, kita menikah karena terpaksa. Tapi bagiku pernikahan tidak sebercanda ini Laila. Aku benar-benar serius tentang ucapanku bahwa aku tidak pernah dan tidak akan menceraikanmu.” Lanjut Malik.Laila berhasil membuatnya kalut. Bahkan ia hampir tak mengenali dirinya sendiri hanya karena wanita yang dulu sempat ia remehkan. Malik merasa de javu dengan apa yang ia alami sekarang. Dia sudah pernah patah hati. Dia sudah pernah ditinggalkan. Namun, Malik harus masih bersyukur bahwa Laila meninggalkannya bukan karena lelaki lain. Malik harus bersyukur bahwa Laila pergi hanya karena dirinya sendiri.Malik menyugar rambutnya asal. Mendudukkan bokongnya hingga memantul di ranjang lalu menunduk m
Sejak kepergian Laila, hanya satu tempat yang mungkin bisa membawa Malik pada istrinya. Universitas. Kampus Laila adalah tempat pertama yang ia datangi hingga berhari-hari. Laila masih harus menyelesaikan studinya, itu sebabnya kampus itu pasti didatangi istrinya entah hari ini, esok, atau lusa.Dan juga, setelah menelfon mertuanya kemarin, Malik yakin Laila tidak akan kembali ke Cianjur. Mungkin Laila masih ingin menjaga nama baiknya? Mungkinkah Laila tidak ingin orang tuanya berpikiran buruk padanya?Malik menunggu di dalam mobil mengawasi setiap mahasisiwi yang berlalu lalang keluar masuk di gedung itu. Fakultas Psikologi. Ah, setidaknya Malik tahu, apa konsentrasi yang dipilih Laila untuk studi kuliahnya. Hanya sedikit itu dan sudah membuatnya berbangga hati.Sepanjang hari selama tujuh hari dalam satu minggu itu Malik menggunakan waktu kerjanya untuk memantau Laila yang entah akan muncul di kampus atau tidak. Sementara pekerjaan di kantornya bisa menunggu. Beruntung Malik memilik
Pemandangan dari balkon apartemen setidaknya bisa membuat Laila sedikit rileks dan sekedar menghilangkan kebosanan. Sudah dua minggu sejak ia meninggalkan rumah Bagaskara dan suaminya. Rasanya, masih sangat asing baginya. Dulu, Laila juga merasa demikian, yang biasanya ia tidur sendirian di kasur seadanya di kos nya, lalu dengan cepat berubah dan terbiasa tidur berdampingan dengan Malik di ranjang mewahnya. Kini, Laila kembali bergelung sendirian.Badannya juga semakin tak enak. Dari hari ke hari Laila merasakan mual yang semakin sulit ditahannya. Setiap pagi, setidaknya ia akan menghabiskan setengah jam berada di depan closet untuk menuntaskan rasa mualnya yang menjadi-jadi. Laila masih tidak berpikir bahwa mungkin dirinya hamil. Dia tidak pernah mengerti hal itu, meskipun ia perempuan dan itu adalah pengetahuan dasar tentang kehamilan, tapi pikiran Laila terlalu pelik untuk menduga ke arah sana.Jadwal datang bulan yang seharusnya sudah didapatkannya sejak keluar dari rumah Bagaskar