Laila pergi dari rumah malam itu juga. Satpam rumah itu sempat curiga nyonya mudanya keluar pada larut malam dan menanyakan kemana perginya. Laila terpaksa berdusta dan bilang pada satpam itu bahwa ia akan menyusul suaminya ke rumah sakit. Pak Agung dan Dika tentu saja sudah terlelap di kamarnya masing-masing. Tanpa menghiraukan lagi kecurigaan satpam itu, Laila segera menaiki taksi online yang sudah dipesannya beberapa saat lalu. Tujuannya malam itu hanya satu tempat.Laila sudah tiba di sebuah apartemen. Ia memandang ke atas gedung yang memiliki tujuh lantai itu. Laila sempat meragu. Tapi ia tidak memiliki tempat lain yang bisa dijadikan tujuan selain tempat itu.Laila memasuki lift dan memencet tombol angka lima sebagai tujuannya. Rasanya sangat lambat hingga bunyi denting menyadarkannya.Laila sudah berdiri di depan satu unit apartemen itu. setelah memencet bel dan menunggu beberapa saat. Sang empunya rumah pun muncul.“Lail..”“Boleh aku menginap disini malam ini?” Tanyanya.Rais
“Apa sebegitu inginnya kamu terlepas dariku?” Malik mendesis. Giginya bergemeletakan karena amarahnya membuncah. Entah kepada siapa amarah itu ditujukan, yang jelas penyesalan karena berlarut-larut mendiamkan istrinya sampai menjadi akhir yang gila seperti ini.“Kita memang menikah bukan karena saling cinta, kita menikah karena terpaksa. Tapi bagiku pernikahan tidak sebercanda ini Laila. Aku benar-benar serius tentang ucapanku bahwa aku tidak pernah dan tidak akan menceraikanmu.” Lanjut Malik.Laila berhasil membuatnya kalut. Bahkan ia hampir tak mengenali dirinya sendiri hanya karena wanita yang dulu sempat ia remehkan. Malik merasa de javu dengan apa yang ia alami sekarang. Dia sudah pernah patah hati. Dia sudah pernah ditinggalkan. Namun, Malik harus masih bersyukur bahwa Laila meninggalkannya bukan karena lelaki lain. Malik harus bersyukur bahwa Laila pergi hanya karena dirinya sendiri.Malik menyugar rambutnya asal. Mendudukkan bokongnya hingga memantul di ranjang lalu menunduk m
Sejak kepergian Laila, hanya satu tempat yang mungkin bisa membawa Malik pada istrinya. Universitas. Kampus Laila adalah tempat pertama yang ia datangi hingga berhari-hari. Laila masih harus menyelesaikan studinya, itu sebabnya kampus itu pasti didatangi istrinya entah hari ini, esok, atau lusa.Dan juga, setelah menelfon mertuanya kemarin, Malik yakin Laila tidak akan kembali ke Cianjur. Mungkin Laila masih ingin menjaga nama baiknya? Mungkinkah Laila tidak ingin orang tuanya berpikiran buruk padanya?Malik menunggu di dalam mobil mengawasi setiap mahasisiwi yang berlalu lalang keluar masuk di gedung itu. Fakultas Psikologi. Ah, setidaknya Malik tahu, apa konsentrasi yang dipilih Laila untuk studi kuliahnya. Hanya sedikit itu dan sudah membuatnya berbangga hati.Sepanjang hari selama tujuh hari dalam satu minggu itu Malik menggunakan waktu kerjanya untuk memantau Laila yang entah akan muncul di kampus atau tidak. Sementara pekerjaan di kantornya bisa menunggu. Beruntung Malik memilik
Pemandangan dari balkon apartemen setidaknya bisa membuat Laila sedikit rileks dan sekedar menghilangkan kebosanan. Sudah dua minggu sejak ia meninggalkan rumah Bagaskara dan suaminya. Rasanya, masih sangat asing baginya. Dulu, Laila juga merasa demikian, yang biasanya ia tidur sendirian di kasur seadanya di kos nya, lalu dengan cepat berubah dan terbiasa tidur berdampingan dengan Malik di ranjang mewahnya. Kini, Laila kembali bergelung sendirian.Badannya juga semakin tak enak. Dari hari ke hari Laila merasakan mual yang semakin sulit ditahannya. Setiap pagi, setidaknya ia akan menghabiskan setengah jam berada di depan closet untuk menuntaskan rasa mualnya yang menjadi-jadi. Laila masih tidak berpikir bahwa mungkin dirinya hamil. Dia tidak pernah mengerti hal itu, meskipun ia perempuan dan itu adalah pengetahuan dasar tentang kehamilan, tapi pikiran Laila terlalu pelik untuk menduga ke arah sana.Jadwal datang bulan yang seharusnya sudah didapatkannya sejak keluar dari rumah Bagaskar
Di luar klinik. Satu mobil van berwarna hitam tengah berhenti di seberang klinik. Orang di dalamnya tengah memperhatikan klinik tempat Raisa membawa wanita lain ke dalamnya. Mobil itu sudah sejak tadi mengikuti Raisa sejak dari kampus.Mereka lah orang yang di sewa Malik untuk membuntuti Raisa. Beberapa saat lalu, orang itu sudah mengirimkan gambar kepada Malik, foto Raisa yang tergesa masuk ke dalam ambulance bersama wanita yang berada di atas tandu.Foto itu hanya menampakkan telapak kaki Laila yang tidak terbungkus apapun. Dan juga Raisa yang terus berada di sampingnya hingga menutupi objek foto itu. Seandainya terlihat baju atau setidaknya jemari kiri wanita yang sedang ditandu itu, Malik pasti akan mengenali istrinya, entah dari baju atau cincin yang digunakannya.Malik menggeram di tempat duduk kantornya. Bagaimana bisa ia mengenali hanya dari telapak kaki. Rasanya mustahil. Ia bahkan tak begitu ingat rupa kaki istrinya. Astaga. Malik lagi-lagi mengumpat dirinya sendiri. Ternyat
Tubuh lemah Laila bergelung tanpa selimut di malam panjang yang dingin. Di luar, hujan semakin deras seiring derasnya pula air mata dari netra lembutnya. Ia sama sekali tidak mampu memejamkan matanya setelah mengusir suaminya sendiri. Dia pikir hatinya akan menjadi lebih lega dan tenang jika sendirian. Ternyata, bahkan matanya pun tak mampu memejam sedikitpun dan terus mengeluarkan air mata kesedihan. Raga dan jiwanya terlampau lelah, tapi pikirannya tak mampu diajak berkompromi agar rehat sejenak. Mata Laila memerah karena terus menangis dan juga membentuk kantung hitam di bawahnya karena tidur semalaman. Raisa yang baru saja selesai menghangatkan susu, terkejut saat berbalik dan mendapati wajah seram tapi menyedihkan dari sahabatnya. “Kamu baik-baik aja? Enggak tidur semalaman?” Tebak Raisa. Raisa sudah seperti dokter pribadi Laila selama ia menumpang hidup disana. Raisa rewel, cerewet persis seperti ibunya saat ia sakit. Raisa akan terus menanyakan keadaan Laila hampir setiap 1
Sudah dua hari sejak pengusiran dirinya dari rumah Raisa. Malik sedang mempersiapkan hati dan jiwanya, serta meneguhkan tekadnya untuk memberikan Laila waktu menyendiri. Ia juga sepertinya perlu waktu untuk berpikir rasional dan merencanakan masa depannya dengan Laila tanpa ada intervensi dari mamanya.Pembuktian dirinya bahwa dia adalah anak yang berbakti dan patuh rasanya tidak akan cukup untuk mamanya jika keinginan orang tua itu melenceng dari apa yang memang sudah ditakdirkan untuk Malik.Tapi, bagaimana caranya meyakinkan mamanya bahwa Laila lah wanita satu-satunya yang akan menemani selama sisa hidupnya?Malik terus memantau istrinya melalui orang suruhan yang ia perintahkan untuk selalu standby mengawasi Laila.Tadi pagi, rentetan bunyi denting menandakan pesan masuk di ponselnya. Puluhan foto. Laila sedang berjalan keluar bersama Raisa, hanya berkeliling dan sesekali singgah di satu dua tempat semacam studio seni.Malik ikut tersenyum memandangi satu foto Laila yang tengah me
“Hai..” Sapa Malik begitu pintu di depannya mengayun terbuka.Malik menyerahkan sebuket bunga. Sekelompok bunga mawar putih di tengah dan dikelilingi Aster biru. Bunga itu melambangkan isi hati Malik yang berharap Laila lah yang akan menjadi cinta sejatinya.Beberapa saat lalu Malik segera menepikan mobilnya saat melewati toko bunga. Ia teringat misinya. Tidak mungkin melakukan pendekatan tanpa bunga, pikirnya.Setelah bertanya ini dan itu pada sang florist, pilihan Malik jatuh pada mawar putih dan aster biru. Perpaduan yang baginya sangat luar biasa romantis dan menyentuh. Namun, ia masih belum tahu apakah yang ia lakukan itu akan menyentuh wanitanya.Sesuai dengan arti bunga aster itu, Malik menaruh harapan masa depan cintanya pada Laila. semoga saja wanita itu menyadari ketulusan dirinya dan mau kembali padanya.Jeda yang diberikan Laila harusnya cukup bagi keduanya untuk menjernihkan pikiran. Kini waktunya bagi Malik untuk memulai kembali dengan langkah yang benar dan hati yang tu