Tubuh lemah Laila bergelung tanpa selimut di malam panjang yang dingin. Di luar, hujan semakin deras seiring derasnya pula air mata dari netra lembutnya. Ia sama sekali tidak mampu memejamkan matanya setelah mengusir suaminya sendiri. Dia pikir hatinya akan menjadi lebih lega dan tenang jika sendirian. Ternyata, bahkan matanya pun tak mampu memejam sedikitpun dan terus mengeluarkan air mata kesedihan. Raga dan jiwanya terlampau lelah, tapi pikirannya tak mampu diajak berkompromi agar rehat sejenak. Mata Laila memerah karena terus menangis dan juga membentuk kantung hitam di bawahnya karena tidur semalaman. Raisa yang baru saja selesai menghangatkan susu, terkejut saat berbalik dan mendapati wajah seram tapi menyedihkan dari sahabatnya. “Kamu baik-baik aja? Enggak tidur semalaman?” Tebak Raisa. Raisa sudah seperti dokter pribadi Laila selama ia menumpang hidup disana. Raisa rewel, cerewet persis seperti ibunya saat ia sakit. Raisa akan terus menanyakan keadaan Laila hampir setiap 1
Sudah dua hari sejak pengusiran dirinya dari rumah Raisa. Malik sedang mempersiapkan hati dan jiwanya, serta meneguhkan tekadnya untuk memberikan Laila waktu menyendiri. Ia juga sepertinya perlu waktu untuk berpikir rasional dan merencanakan masa depannya dengan Laila tanpa ada intervensi dari mamanya.Pembuktian dirinya bahwa dia adalah anak yang berbakti dan patuh rasanya tidak akan cukup untuk mamanya jika keinginan orang tua itu melenceng dari apa yang memang sudah ditakdirkan untuk Malik.Tapi, bagaimana caranya meyakinkan mamanya bahwa Laila lah wanita satu-satunya yang akan menemani selama sisa hidupnya?Malik terus memantau istrinya melalui orang suruhan yang ia perintahkan untuk selalu standby mengawasi Laila.Tadi pagi, rentetan bunyi denting menandakan pesan masuk di ponselnya. Puluhan foto. Laila sedang berjalan keluar bersama Raisa, hanya berkeliling dan sesekali singgah di satu dua tempat semacam studio seni.Malik ikut tersenyum memandangi satu foto Laila yang tengah me
“Hai..” Sapa Malik begitu pintu di depannya mengayun terbuka.Malik menyerahkan sebuket bunga. Sekelompok bunga mawar putih di tengah dan dikelilingi Aster biru. Bunga itu melambangkan isi hati Malik yang berharap Laila lah yang akan menjadi cinta sejatinya.Beberapa saat lalu Malik segera menepikan mobilnya saat melewati toko bunga. Ia teringat misinya. Tidak mungkin melakukan pendekatan tanpa bunga, pikirnya.Setelah bertanya ini dan itu pada sang florist, pilihan Malik jatuh pada mawar putih dan aster biru. Perpaduan yang baginya sangat luar biasa romantis dan menyentuh. Namun, ia masih belum tahu apakah yang ia lakukan itu akan menyentuh wanitanya.Sesuai dengan arti bunga aster itu, Malik menaruh harapan masa depan cintanya pada Laila. semoga saja wanita itu menyadari ketulusan dirinya dan mau kembali padanya.Jeda yang diberikan Laila harusnya cukup bagi keduanya untuk menjernihkan pikiran. Kini waktunya bagi Malik untuk memulai kembali dengan langkah yang benar dan hati yang tu
Laila menutup pintu setelah yakin Malik benar-benar lenyap dari rumahnya. Ia bahkan melongok hingga tepi jalan untuk melihat mobil SUV putih suaminya hilang di tikungan.“Aku juga sangat merindukanmu, Mas. Maafkan Laila.” Desisnya dengan punggung masih menempel di pintu. Laila meraba perutnya. Rasanya masih bergejolak mual hingga merambat pening di kepalanya.“Apa kamu juga merindukan Papamu?” Bisiknya pada janin dalam perutnya.Laila sudah terbiasa dengan kehamilannya. Mual yang setiap pagi masih melandanya, kini tak terlalu membuatnya takut. Dan juga, Laila sudah memiliki cara ampuh untuk meredakan mual paginya itu. Bayinya sedang meminta perhatian, dan sepertinya bayinya tahu bahwa ibunya juga sedang merindukan Papanya.Laila selalu menyebut nama Malik setiap kali ia berbicara pada janinnya. Dan setiap nama itu disebut ia merasa dirinya lebih baik dan mualnya mereda. Entah benar berhubungan atau tidak, Laila hanya melakukannya karena terbukti membuatnya lebih waras.Kerinduannya me
Laila menarik tangan Malik agar menjauhi pintu rumahnya. Ternyata, tarikan itu berlangsung hingga mereka semakin menjauhi rumah dan keluar komplek perumahan. Malik hanya diam mengikuti Laila sekaligus menikmati genggaman tangan Laila yang semakin ia eratkan. Mungkin Laila belum menyadari apa yang dilakukan Malik di belakangnya.Laki-laki itu mengambil ponsel dari sakunya dengan tangan kanan, lalu memotret genggaman tangan itu tanpa sepengetahuan Laila. Sangat kekanakan jika mengingat usia Malik. Tapi bukankah cinta bisa membuat setiap orang tak memandang usia menjadi kekanak-kanakan dan konyol.Laila tidak ingin Raisa merecoki mereka berdua. Walaupun rasanya tidak mungkin jika mengingat sifat Raisa. Sahabatnya itu tidak akan berani membuka mulut membocorkan rahasia mereka kalau tidak seijin Laila. Hanya saja, tidak pantas Raisa mendengar apa yang akan mereka berdua bicarakan.“Ada Raisa..” Hanya itu kalimat pendek yang diucapkan Laila. Laki-laki mana yang tidak besar kepala saat wanit
Bagi Laila, hari berlalu begitu sangat amat lambat. Hingga kebosanan cepat merambat dan merayapi hari-harinya yang hanya diisi dengan latihan menulis tangan. Laila hampir tak pernah lagi menyentuh tugas akhirnya. Dosen Pembimbingnya hanya pernah sekali mengirimkan pesan tentang progress penelitiannya, Laila menjawab dengan jujur bahwa ia sama sekali belum memulainya karena kondisi kesehatannya akhir-akhir ini. Mungkin mood-swing-nya di pagi hari yang membuat ia tidak pernah bisa berkonsentrasi saat mengerjakan tugas akhirnya. Setiap baru mau memulai, kepala Laila tiba-tiba menjadi terasa berputar-putar. Ia bahkan jarang sekali menyentuh ponselnya jika bukan karena pesan atau telepon yang harus ia segera balas.Berbeda pula di lain tempat. Rasanya hari berlalu begitu cepat bagi Malik. Pekerjaan kantor yang sempat ditinggalkannya rupanya menenggelamkan dirinya hingga tak merasakan hari telah berlalu begitu cepat dan esok kembali menemui akhir pekan.Ponselnya dari tadi terus berdering,
“Mau kemana buru-buru begitu?” Bapak yang baru saja pulang dari sawah mengernyit melihat istrinya setengah menyeret Laila terburu menuruni undakan teras rumah.“Ke Bidan. Bapak mungkin akan dapet cucu baru.. Cepat—cepat” Tukasnya seraya melintasi suaminya begitu saja. Sedangkan Laila hanya mengerjap dan mengikuti langkah antusias sang Ibu.“Pelan-pelan Bu, kasihan Lail.” Bapak memperingatkan istrinya karena membawa Laila yang kemungkinan memang hamil. Bapak yang sudah berpengalaman setidaknya tiga kali mengenali tanda-tanda saat istrinya hamil sebenarnya menaruh curiga sejak awal kedatangan putrinya itu.“Oh, iya.. Ibu terlalu bersemangat,”“Malik mana?” Pertanyaan Bapak kembali menghentikan langkah Ibu.“Loh, Ibu kira nyusul di belakang, Padahal harus cepat, kita butuh mobilnya.”“Butuh mobilnya aja? Memangnya Ibu bisa nyetir?”“Aduh, Pak. Begituan dibahas. Bapak ngerti maksud Ibu, kan?” Ibu mencibir Bapak.Tak lama, Malik muncul dengan membawa kunci mobilnya.“Naik mobil aja, Bu. Bi
Rasanya sudah lama sekali Laila tidak merasakan kehangatan sentuhan tangan suaminya. Laki-laki yang pertama kali memberikan kenyamanan saat berada di dekatnya. Pagi setelah cumbuan semalaman itu, Laila harus berat hati melepas Malik kembali ke kota. Itu adalah hari pertama mereka berbaikan, dan sekarang mereka harus terpisah lagi untuk sementara karena permintaannya sendiri. “Kamu kalau di sini cuma sebentar-sebentar. Apa nggak betah di rumah Ibu?” Ujar Ibu yang kecewa saat Malik berpamitan akan kembali ke kota. Beberapa saat lalu, Laila sudah mengatakan pada Bapak dan Ibunya bahwa Malik akan kembali tanpa dirinya. Wanita itu mengatakan bahwa ia masih sangat merindukan suasana rumah dan pedesaan. Ibu memang memendam kerinduan yang sama dalamnya dengan sang anak, tapi kenapa harus sendirian. Seharusnya Malik juga ikut menemani apalagi istrinya sedang hamil. Perdebatan itu nyatanya masih harus berlangsung saat waktunya berpamitan tiba. “Bukan gitu, Bu. Mas Malik, kan, harus kerja.. S