“Mau kemana buru-buru begitu?” Bapak yang baru saja pulang dari sawah mengernyit melihat istrinya setengah menyeret Laila terburu menuruni undakan teras rumah.“Ke Bidan. Bapak mungkin akan dapet cucu baru.. Cepat—cepat” Tukasnya seraya melintasi suaminya begitu saja. Sedangkan Laila hanya mengerjap dan mengikuti langkah antusias sang Ibu.“Pelan-pelan Bu, kasihan Lail.” Bapak memperingatkan istrinya karena membawa Laila yang kemungkinan memang hamil. Bapak yang sudah berpengalaman setidaknya tiga kali mengenali tanda-tanda saat istrinya hamil sebenarnya menaruh curiga sejak awal kedatangan putrinya itu.“Oh, iya.. Ibu terlalu bersemangat,”“Malik mana?” Pertanyaan Bapak kembali menghentikan langkah Ibu.“Loh, Ibu kira nyusul di belakang, Padahal harus cepat, kita butuh mobilnya.”“Butuh mobilnya aja? Memangnya Ibu bisa nyetir?”“Aduh, Pak. Begituan dibahas. Bapak ngerti maksud Ibu, kan?” Ibu mencibir Bapak.Tak lama, Malik muncul dengan membawa kunci mobilnya.“Naik mobil aja, Bu. Bi
Rasanya sudah lama sekali Laila tidak merasakan kehangatan sentuhan tangan suaminya. Laki-laki yang pertama kali memberikan kenyamanan saat berada di dekatnya. Pagi setelah cumbuan semalaman itu, Laila harus berat hati melepas Malik kembali ke kota. Itu adalah hari pertama mereka berbaikan, dan sekarang mereka harus terpisah lagi untuk sementara karena permintaannya sendiri. “Kamu kalau di sini cuma sebentar-sebentar. Apa nggak betah di rumah Ibu?” Ujar Ibu yang kecewa saat Malik berpamitan akan kembali ke kota. Beberapa saat lalu, Laila sudah mengatakan pada Bapak dan Ibunya bahwa Malik akan kembali tanpa dirinya. Wanita itu mengatakan bahwa ia masih sangat merindukan suasana rumah dan pedesaan. Ibu memang memendam kerinduan yang sama dalamnya dengan sang anak, tapi kenapa harus sendirian. Seharusnya Malik juga ikut menemani apalagi istrinya sedang hamil. Perdebatan itu nyatanya masih harus berlangsung saat waktunya berpamitan tiba. “Bukan gitu, Bu. Mas Malik, kan, harus kerja.. S
Ternyata satu bulan lebih berlalu begitu saja tanpa disadari oleh Mahardika. Kepulangannya meski sedikit mengobati kerinduan orang tuanya, juga sebagai pengganti adiknya yang harus pergi terusir dari rumah karena katanya mengabaikan istrinya. Sudah Mahardika bilang, Malik itu laki-laki yang tidak pernah mengerti wanita. Urusan wanita baginya hanya cinta dan memuja. Sementara hubungan dua kepala antara pria dan wanita tidak sesederhana itu. Tapi Malik nekad menikah dengan wanita yang baru dikenal tiga bulan. Sekarang, wanitanya pergi dari sisinya karena adiknya itu lebih mengutamakan omongan mamanya. Seharusnya tidak ada yang salah mengikuti omongan orang tua, dan memang suatu keharusan mentaati perintah orang tua terlebih mama. Tapi perkara Mamanya itu menjadikan orang lain tersakiti, apalagi Laila adalah mantunya, istri dari anak kesayangannya sendiri. Tanpa mendengarkan dulu dua kepala yang berbeda, Malik percaya begitu saya semua yang diucapkan sang mama, hingga membuat wanitanya
Malik bersenandung saat mobilnya memasuki halaman rumah milik orang tuanya. Suasana hatinya sedang baik. Jarak yang terbentang antara dirinya dan istrinya sudah melebur meski ia belum menyelesaikan sebagian kesalahpahaman mereka.Juga, seorang Ibu mertua yang begitu menyayanginya. Suasana hangat di rumah itu membuat Malik sebenarnya enggan untuk cepat-cepat kembali ke kota. Tapi urusannya juga tidak bisa ditunda lagi.Malik masuk melalui pintu samping yang langsung berhadapan dengan kolam ikan milik Papanya. Dia juga melihat jelas kakaknya yang menyesap sesuatu dari cangkir keramik dan melamun, sepertinya.Penampilan kakaknya itu dari dulu tidak berubah, casual dan lebih condong pada acak-acakan. Setidaknya, dulu rambutnya belum sepanjang sekarang, cambangnya juga tak seberantakan itu. apa Yang membuatnya hingga melupakan tampilan luar yang dulu sangat ia jaga itu.Malik mendekat. Rupanya langkah kakinya itu tak disadari oleh kakaknya dan membuat laki-laki gondrong itu hampir tersedak
“Papamu juga masih ngambek sama Mama, Mal. Tolong kamu jangan ikut-iukutan pergi.” Pinta Mama Lina. Ia tak bisa lagi menyembunyikan rasa malunya karena ketahuan berbohong pada anaknya itu.Selama ketiadaan Malik di rumah itu, hampir setiap malam Pak Agung terus mengoceh soal kebijaksanaan, soal usia tua, soal masa depan anak-anak dan juga soal bumi yang selalu berputar. Yang di atas tidak akan selalu di atas.Mereka berdua sudah menjalani kehidupan yang pahit dulunya, kalau sekarang mereka sudah diberi waktu untuk menikmati kelapangan, seharunya menjadikan mereka pribadi yang pandai bersyukur. Begitu yang diutarakan Pak Agung setiap hari selama satu bulan itu.Pak Agung memang tidak secara langsung menyalahkan Mama Lina, tapi sikapnya yang menjadi tak acuh diartikan oleh Lina sebagai ngambek dan menyalahkannya atas semua tragedi yang terjadi di rumah itu.“Itu semua salah Mama. Mama yang terlalu memuja Gladis yang menurut Malik tidak ada apa-apanya dibanding Laila.”“Jadi kamu menyal
Beberapa jam sebelumnya.Laila sedang bersiap saat pesan-pesan di ponselnya terus berdatangan. Siapa lagi kalau bukan Malik, suaminya.Rentetan pesan itu selalu berakhir sama. Sebuah pertanyaan yang selalu membuat Laila tersenyum geli.‘Sudah makan? Kapan mau kembali ke kota? Mas sudah rindu.’‘Vitaminnya sudah diminum? Mas rindu. Kapan Mas bisa menjemputmu?’‘Lail, Mas kangen. Kamu lagi apa? Apa anakku baik-baik aja? Apa dia rewel? Hubungi Mas kapan aja kalau kamu sudah siap dijemput.’‘Lail. Kapan kamu mau kembali? Mas kangen sekali. Mas punya kejutan untukmu.’“Ternyata dia bisa semanis ini..” Gumam Laila seorang diri seraya tersenyum menekuni pesan-pesan itu tanpa niat membalasnya.Biarkan. Biarkan Malik kembali belingsatan sendirian karena menunggu dirinya sekali lagi.Suaminya itu selalu menanyakan kapan dia akan kembali. Dan juga, setiap pesannya selalu terselip kalimat rindu. Sekarang, laki-laki arogan itu tidak canggung mengutarakan isi hatinya.Atau, karena hanya lewat pesan
Beberapa saat sebelum kedatangan Laila.Malik berdecak kesal karena sosok yang tiba-tiba muncul dari balik pintu ruangannya. Apa yang dilakukan sekretarisnya sampai ia tak mampu mencegah perempuan itu menerobos ruangannya.“Mau apa lagi?” Tukas Malik tanpa niatan membalas tatapan tamu tak diundangnya. Ia masih fokus pada ponselnya dan membaca berulang-ulang pesannya pada Laila yang tidak berbalas.Malik menekan tombol telepon pada nomor Laila. menghubungi istrinya karena tak membalas pesannya. Nyatanya, teleponnya pun tak mendapat jawaban. Malik semakin mendengus.“Aku kangen.. Udah lama ditinggal istrimu apa kamu nggak kangen belaian perempuan?” Goda wanita itu.Pakaian minim yang dikenakan perempuan itu membuat Malik malah jijik. Ia berusaha keras menghindari menatap Gladis meski perempuan itu kini telah merapat padanya.“Jangan sombong gitu kenapa, sih?” Gladis membelai dengan jari telunjuknya menyusuri bahu dan lengan Malik. Menggoda. Dan semakin membuat Malik bergidik jijik.Mali
“Mas..” Panggil Laila. Malik mendongak dan tersenyum. Hatinya masih mendongkol soal keberadaan gladis yanng begitu dekat dengan malik tadi. belum tertuntaskan marahnya kini ia dibuat sebal lagi oleh suaminya. Apa suaminya tidak tahu kalau mengabarkan kehamilan di usia yang masih muda adalah pamali. Laila geram. “Kamu perlu sesuatu lagi? Maaf, kalau Mas jadi mengabaikanmu, pekerjaan Mas masih banyak.” Sahut Malik dari balik meja kerjanya. “Bukan masalah itu, apa Mas sudah memberitahu semua orang bahwa aku hamil?” Desak Laila. Wajahnya muram tak tertahankan. Akumulasi kekesalan karena keberadaan perempuan yang baginya seperti parasit itu dan juga kabar kehamilannya yang disebarluaskan. Malik melebarkan matanya. “Apa itu mengganggumu?” “Mas enggak pernah denger soal pamali soal kehamilan?” Malik merapatkan dahinya dan menggeleng. “Pamali kenapa?” “Nggak boleh mengabarkan kehamilan yang masih muda. Kata orang tua dulu, pamali.” Jelas Laila sembari membuang muka sebal. Malik semak
Beberapa bulan kemudian.Tangis balita memenuhi ruangan. Suaranya menggema riuh rendah, padahal hanya satu bayi. Cucu kebanggaan Keluarga Bagaskara telah hadir di tengah-tengah kesunyian yang melanda rumah besar itu.Bu Lina bahagia luar biasa, ingin rasanya terus menimang-nimang kalau saja ia bisa. Sayangnya, ia sudah harus beristirat tidak diperbolehkan terlalu lelah oleh dokter. Sejak sebulan yang lalu Bu Lina harus kembali menggunakan tongkat untuk membantu berjalan dan kursi roda jika diperlukan, beliau terpeleset sewaktu di kamar mandi, dan riwayat patah tulang dahulu kala menjadikan kecelakaan kali itu bukan hanya terpeleset biasa. Tapi membuka luka lama dan memperparahnya.Padahal ingin sekali ia menikmati waktu menimang-nimang cucu satu-satunya saat itu.Sambil terus bersemoga agar Mahardika dan Raisa segera diberi keturunan.Ya. Mahardika berhasil meyakinkan orang tua Raisa bahwa ia benar-benar menginginkan Raisa dan mencintainya.Beberapa bulan yang lalu.Dengan tangan berg
Malik memegang ponselnya diputar-putar lalu berhenti dan mencari aplikasi pesan. Menatapnya lama, lalu kembali memainkan ponselnya.Sekian kalinya lalu ia berhenti dan mantap mengirimkan sebuah pesan.‘Wanita memang butuh kepastian, Bang. Tapi mereka juga tidak akan suka dengan kesemena-menaan. Aku udah pernah melakukan itu, jadi Abang tidak perlu mengulangi kesalahanku. Dia ada di rumahku sekarang kalau Abang mau meluruskan masalah kalian.’Pesan yang cukup panjang. Lalu Malik tutup dengan helaan nafas panjang. Ia tidak tahu masalah apa yang Dika lalui hingga mendapatkan status duda itu. Tapi melihat kesembronoan Dika, rasanya Malik segera mengerti bagaimana sikap Mahardika jika berhadapan dengan perempuan.Benar-benar mirip dengannya. Beruntungnya, Laila cukup mau bersabar menghadapinya dan mau memaafkan semua tingkah lakunya hingga ia tidak jadi menyandang status duda itu. Jika saja… Ah, jangan sampai. Malik tak mau berandai-andai.Laila dan Raisa bercengkerama sekian lamanya hingg
Laila disambut pelukan hangat suaminya begitu tubuhnya muncul dari balik pintu besi lapas yang menjulang tinggi. Gurat kekhawatiran sangat jelas di wajah suamiya, sebab takut kalau-kalau Gladis gelap mata dan menyerang istrinya yang tengah berbadan dua. “Kamu enggak apa-apa kan, Sayang?” Tanya Malik segera setelah melepaskan pelukannya. Meraba-raba wajah dan tubuh istrinya memastikan tidak ada yang kurang dan bertambah. Bertambah ada luka atau lebam. “Enggak apa-apa Mas. Kami cuma ngobrol kok.” “Aku takut kalau sampai dia nekad.” Katanya sambil menuntun Laila memasuki mobil. “Mbak Gladis kasihan sekali, Mas. wajahnya tirus dan kelihatan sangat tertekan. Tubuhnya kurus sementara perutnya menggembung buncit.. Aku enggak tega.” Ia kembali mengingat rupa Gladis sebelum dan sesudah peristiwa itu. Dulu, Gladis adalah perempuan yang cantik. Tubuhnya tinggi dan montok. Wajahnya merah segar tidak seperti yang ia lihat baru saja. Matanya yang belok terlihat semakin belok karena semakin t
Suasana rumah besar keluarga Bagaskara kini semakin akrab untuk Laila terlebih ketika mama mertuanya sudah berubah untuknya. Sudah menerimanya dan semakin sayang padanya.Bermacam-macam hadiah yang diberikan sang mertua untuknya, terutama untuk kebutuhan ibu hamil dan menyusui.Sepulangnya dari Bali, Laila dan Malik tidak langsung ke rumahnya sendiri. Tapi terlebih dulu ke rumah orang tuanya, melepas rindu sekaligus memberikan oleh-oleh yang dibawanya.Ternyata, bukan hanya dia yang memberikan oleh-oleh itu, Laila juga menerima hadiah yang telah disebutkan tadi dari ibu mertuanya.“Ini banyak sekali, Ma..” Kata Laila terharu sekaligus terperangah.Lina mengeluarkan semua belanjaannya berkarton-karton paper bag untuk Laila.“Mama tadinya ingin sekalian belanja baju bayi untuk anakmu, karena kamu pasti lelah setelah perjalanan dari Bali. Kandungan mu juga semakin besar. Tapi Mama enggak mau lancang, ini anak pertama kalian, pasti kalian antusias ingin belanja kebutuhannya sendiri.” Ungk
“Kamu jangan main-main! Lamar-lamar anak orang! Siapa dia, siapa orang tuanya, dari mana asalnya kita enggak tahu. Hanya karena dia adalah teman Laila kemudian kita akan menerimanya? Apa orang tuanya tahu kamu membawanya kemari?” Cecar Mama Lina sepeninggal Raisa.Meski dalam hati ia ikut tergelak sebab anak sulungnya meminta dilamarkan seorang gadis. Namun. Ia tetap tidak bisa menerima sikap sembrono Dika, anaknya.“Kamu itu sudah tua, Dika. Jangan main-main soal menikah.” Lanjutnya ketika jawaban yang diharapkan tak kunjung keluar.“Dika enggak main-main, Ma.” Jawab Dika sungguh-sungguh.Pak Agung hanya duduk mendengarkan celotehan istrinya yang ditanggapi anak sulungnya biasa-biasa saja. Benar-benar duplikat Agung Bagaskara.“Lalu dimana rumahnya? Siapa orang tuanya?” Tanya Lina lagi.Dika menggeleng. “Dika hanya tau apartemennya, tapi rumah orang tuanya Dika belum tanya.”“Lihat anakmu, Pa. Papa sebut dia dewasa? Umurnya saja yang tua, tapi pikirannya, ya ampun… Papa saja yang uru
Surya sore menyemburat menembus pohon-pohon di taman itu hingga menciptakan bias dan pendar yang menyapa dua insan yang duduk di sana. Duduk berjauhan bak orang asing. Satu perempuan dan satu laki-laki, tidak saling menatap tapi gesture mereka mengisyarakatkan bahwa mereka serasi menjadi sepasang kekasih. Tatapan mengernyit dari si perempuan dan wajah datar si laki-laki mempertegas bahwa hubungan mereka memang sedang berjarak. “Maksudnya apa?” Tanya Raisa tak sabar. “Ikutlah ke rumahku.” “Iya, tapi untuk apa? Ngomong yang jelas! Bisa enggak sih jadi laki-laki yang tegas gitu. Ngomong sepotong-potong bikin aku bingung. Sikapmu itu bikin aku bingung tau enggak. sebentar ngasih perhatian, sebentar ngilang.. Sekarang tiba-tiba ngajak ke rumah? Untuk apa? Aku sudah pernah ke rumahmu dan sudah kenal orang tuamu ngomong-ngomong, kalau itu maumu. Enggak perlu kalau setelah ini kamu akan tiba-tiba ngilang lagi.” Cecar Raisa. Ia sudah tak tahan lagi bermain tarik ulur seperti ini. Ia merasa
Tok tok tokPintu kamar Lina diketuk lembut dari luar. Sudah hampir tiga hari ia tak keluar kamar dan menolak ditemui Dika, anak sulungnya.Lina mendengus. Sejujurnya ia sudah terlalu tua untuk merajuk, tapi apa yang dilakukan Mahardika menurutnya telah keterlaluan dan menyakitinya.“Ma.. Dika mohon buka pintunya.” Seru Dika dari balik pintu.“Temui dia, Ma. Sudah berhari-hari mama enggak keluar kamar. Dika juga berhari-hari seperti orang gila karena terkurung di dalam rumah. Padahal dia harus ke kantor membantu Papa.” Bujuk Pak Agung.“Papa yakin dia sudah benar berubah? Dia enggak akan pergi lagi?” Bu Lina menelisik mata suaminya mencari kesungguhan disana. Meminta keyakinan dan diyakinkan sebenarnya.“Papa yakin.” Jawab Pak Agung.Bukan apa-apa, Bu Lina hanya ingin di usianya senjanya semua anak-anaknya berada di dekatnya. Rejeki bisa nanti dicari, dan pengalaman, dia rasa sudah cukup bagi Dika menghabiskan bertahun-tahun untuk mencari pengalaman itu di luar belantara sana.Tok tok
“Apa maksudmu?” Tanya Lina pelan-pelan. Sejujurnya dadanya sudah bergejolak marah karena anak sulungnya ternyata menyembunyikan berita besar.“Dika sudah pernah menikah.” Jawab Dika singkat.Dika sudah tak mungkin lagi berkelit. Ia harus jujur sekarang juga atau mamanya akan terus menuntutnya soal menikah. Namun, reaksi mamanya sungguh diluar dugaan.“Bicara yang benar, Mahardika! Mamamu yang tua ini enggak ngerti. Menikah dengan siapa? Dimana? Kenapa enggak bilang sama mama dan papamu?” Bentak Lina yang sudah sabar dengan sikap Dika yang santai dan cuek.“Maafin Dika, Ma.”“Siapa? Siapa yang kamu nikahi? Dimana dia sekarang?” Cecar Lina lagi. Melihat Dika hanya diam, membuat kesabaran Lina semakin menipis.“Katakan Dika! Jangan diam saja? Mau ditaruh mana muka mama kalau sampai kamu menelantarkan anak gadis orang!”“Dika tidak pernah menelantarkannya, Dika mencintainya, tapi orang tuanya yang tidak menyukai Dika karena menurutnya Dika menelantarkan anaknya karena Dika terlalu lama pe
Satu bulan kemudian.“Sudah siap?”Laila mengangguk merona. Sambil terus menyunggingkan senyum mereka akan melakukan perjalanan ke Bali karena ingin menikmati baby moon sekaligus honey moon mereka yang tak pernah terlaksana.Malik menyeret koper di tangan kirinya dan tangan kanannya menggenggam tangan Laila erat. Berjalan menyusuri lorong resort tempat mereka menginap. Mereka memilih daerah uluwatu dan kintamani untuk menghabiskan masa baby moon mereka selama satu minggu.Menyewa resort di tepi pantai untuk menikmati masa-masa tinggal berdua dan memperdalam hubungan mereka setelah berbagai badai yang menyambut awal rumah tangga mereka.Malik sudah sepenuhnya pulih, ia memutuskan untuk sebentar mengambil libur sebelum kembali benar-benar terjun mengurusi perusahaan sang papa.Lagi-lagi, Dika lah yang dijadikannya tumbal. Terpaksa masih harus memenuhi permintaannya yang seperti tak kunjung ada ujungnya. Dika bahkan tak bisa menikmati waktu kencan berdua.Ya, kencan. Dika sudah memantapk