Malik bersenandung saat mobilnya memasuki halaman rumah milik orang tuanya. Suasana hatinya sedang baik. Jarak yang terbentang antara dirinya dan istrinya sudah melebur meski ia belum menyelesaikan sebagian kesalahpahaman mereka.Juga, seorang Ibu mertua yang begitu menyayanginya. Suasana hangat di rumah itu membuat Malik sebenarnya enggan untuk cepat-cepat kembali ke kota. Tapi urusannya juga tidak bisa ditunda lagi.Malik masuk melalui pintu samping yang langsung berhadapan dengan kolam ikan milik Papanya. Dia juga melihat jelas kakaknya yang menyesap sesuatu dari cangkir keramik dan melamun, sepertinya.Penampilan kakaknya itu dari dulu tidak berubah, casual dan lebih condong pada acak-acakan. Setidaknya, dulu rambutnya belum sepanjang sekarang, cambangnya juga tak seberantakan itu. apa Yang membuatnya hingga melupakan tampilan luar yang dulu sangat ia jaga itu.Malik mendekat. Rupanya langkah kakinya itu tak disadari oleh kakaknya dan membuat laki-laki gondrong itu hampir tersedak
“Papamu juga masih ngambek sama Mama, Mal. Tolong kamu jangan ikut-iukutan pergi.” Pinta Mama Lina. Ia tak bisa lagi menyembunyikan rasa malunya karena ketahuan berbohong pada anaknya itu.Selama ketiadaan Malik di rumah itu, hampir setiap malam Pak Agung terus mengoceh soal kebijaksanaan, soal usia tua, soal masa depan anak-anak dan juga soal bumi yang selalu berputar. Yang di atas tidak akan selalu di atas.Mereka berdua sudah menjalani kehidupan yang pahit dulunya, kalau sekarang mereka sudah diberi waktu untuk menikmati kelapangan, seharunya menjadikan mereka pribadi yang pandai bersyukur. Begitu yang diutarakan Pak Agung setiap hari selama satu bulan itu.Pak Agung memang tidak secara langsung menyalahkan Mama Lina, tapi sikapnya yang menjadi tak acuh diartikan oleh Lina sebagai ngambek dan menyalahkannya atas semua tragedi yang terjadi di rumah itu.“Itu semua salah Mama. Mama yang terlalu memuja Gladis yang menurut Malik tidak ada apa-apanya dibanding Laila.”“Jadi kamu menyal
Beberapa jam sebelumnya.Laila sedang bersiap saat pesan-pesan di ponselnya terus berdatangan. Siapa lagi kalau bukan Malik, suaminya.Rentetan pesan itu selalu berakhir sama. Sebuah pertanyaan yang selalu membuat Laila tersenyum geli.‘Sudah makan? Kapan mau kembali ke kota? Mas sudah rindu.’‘Vitaminnya sudah diminum? Mas rindu. Kapan Mas bisa menjemputmu?’‘Lail, Mas kangen. Kamu lagi apa? Apa anakku baik-baik aja? Apa dia rewel? Hubungi Mas kapan aja kalau kamu sudah siap dijemput.’‘Lail. Kapan kamu mau kembali? Mas kangen sekali. Mas punya kejutan untukmu.’“Ternyata dia bisa semanis ini..” Gumam Laila seorang diri seraya tersenyum menekuni pesan-pesan itu tanpa niat membalasnya.Biarkan. Biarkan Malik kembali belingsatan sendirian karena menunggu dirinya sekali lagi.Suaminya itu selalu menanyakan kapan dia akan kembali. Dan juga, setiap pesannya selalu terselip kalimat rindu. Sekarang, laki-laki arogan itu tidak canggung mengutarakan isi hatinya.Atau, karena hanya lewat pesan
Beberapa saat sebelum kedatangan Laila.Malik berdecak kesal karena sosok yang tiba-tiba muncul dari balik pintu ruangannya. Apa yang dilakukan sekretarisnya sampai ia tak mampu mencegah perempuan itu menerobos ruangannya.“Mau apa lagi?” Tukas Malik tanpa niatan membalas tatapan tamu tak diundangnya. Ia masih fokus pada ponselnya dan membaca berulang-ulang pesannya pada Laila yang tidak berbalas.Malik menekan tombol telepon pada nomor Laila. menghubungi istrinya karena tak membalas pesannya. Nyatanya, teleponnya pun tak mendapat jawaban. Malik semakin mendengus.“Aku kangen.. Udah lama ditinggal istrimu apa kamu nggak kangen belaian perempuan?” Goda wanita itu.Pakaian minim yang dikenakan perempuan itu membuat Malik malah jijik. Ia berusaha keras menghindari menatap Gladis meski perempuan itu kini telah merapat padanya.“Jangan sombong gitu kenapa, sih?” Gladis membelai dengan jari telunjuknya menyusuri bahu dan lengan Malik. Menggoda. Dan semakin membuat Malik bergidik jijik.Mali
“Mas..” Panggil Laila. Malik mendongak dan tersenyum. Hatinya masih mendongkol soal keberadaan gladis yanng begitu dekat dengan malik tadi. belum tertuntaskan marahnya kini ia dibuat sebal lagi oleh suaminya. Apa suaminya tidak tahu kalau mengabarkan kehamilan di usia yang masih muda adalah pamali. Laila geram. “Kamu perlu sesuatu lagi? Maaf, kalau Mas jadi mengabaikanmu, pekerjaan Mas masih banyak.” Sahut Malik dari balik meja kerjanya. “Bukan masalah itu, apa Mas sudah memberitahu semua orang bahwa aku hamil?” Desak Laila. Wajahnya muram tak tertahankan. Akumulasi kekesalan karena keberadaan perempuan yang baginya seperti parasit itu dan juga kabar kehamilannya yang disebarluaskan. Malik melebarkan matanya. “Apa itu mengganggumu?” “Mas enggak pernah denger soal pamali soal kehamilan?” Malik merapatkan dahinya dan menggeleng. “Pamali kenapa?” “Nggak boleh mengabarkan kehamilan yang masih muda. Kata orang tua dulu, pamali.” Jelas Laila sembari membuang muka sebal. Malik semak
Suasana Malik hari itu sejujurnya sedang tidak baik-baik saja. manager lapangan di kalimantan mengirim bahwa suasana disana sedang memanas. Masyarakat sedang panas-panasnya meminta pertanggungjawaban karena tambang kepemilikian keluarga Malik diduga menggunakan lahan ilegal dan mencemari lingkungan disana.Sudah berhari-hari Malik berkutat dengan masalah itu. meski belum sampai pada titik Pak Agung yang turun tangan, Malik sudah dilimpahi kuasa oleh Papanya untuk menyelesaikannya.Pikirannya semakin pelik saat kemunculan Gladis. Perempuan itu tak henti-hentinya memprovokasi dirinya.Tapi, kedatangan Laila bak nafas untuknya. Malik sudah menunggu istrinya sekian hari. Rindu, Malik merindukan wanitanya meski baru beberapa hari. Dan Malik semakin merindukan istrinya kala situasi sulit sedang mencekiknya.Ia rindu, dan ia butuh melepaskan kerinduannya. Tapi Laila justru mendorongnya keras.“Mas habis dipegang-pegang perempuan itu!” Sergah Laila saat tangan suaminya mulai bergerilya di ba
“Lagi ada masalah di kantor?” Tanya Laila suatu waktu. Melihat suaminya yang muram serta guratan lelah yang jelas di wajah suaminya.“Sepertinya Mas harus ke Kalimantan besok. Mas kira masalah kemarin hanya karena satu dua oknum yang sengaja memprovokasi warga. Ternyata enggak sesederhana itu.” Ujar Malik menatap sendu pada istrinya.“Enggak apa-apa kalau mau kesana. Berapa hari?”“Kamu enggak mau ikut? Kemungkinan lama..” Malik sedikit tak percaya Laila dengan mudah melepasnya begitu saja. Sedikit keberatan, tapi ia juga sebenarnya membutuhkan pengertian wanita itu lagi.“Mas lupa kalau istri Mas masih mahasiswi aktif? Laila harus segera merampungkan skripsi ini. Udah terlalu lama ditunda. Aku mau sebelum melahirkan, aku sudah diwisuda.” Bujuk Laila.Skripsinya sudah terlalu lama digantungnya. Beberapa bulan terkahir ia hanya mengisi waktu luangnya dengan menulis dan menguploadnya ke sosial media. Laila sempat ingin berfokus ke sana, menekuni bakatnya, meski untuk sekarang-sekarang i
Malam itu, rupanya malam terakhir Malik dan Laila sebelum cobaan kembali merenggut kebahagiaan yang baru sesaat mereka rasakan. Seakan tidak ada habisnya ujian pernikahan mereka yang baru seumur jagung.Di Kalimantan, Malik menduga bahwa masyarakat di sekitar proyek tambangnya, resah karena hasutan oknum-oknum yang ingin menjegal bisnis keluarganya. Dugaan itu memang tidak sepenuhnya salah, tapi permasalahannya ternyata tidak sesepele itu.Malik sudah menerima teror sehari setelah ia sampai di Kalimantan. Padahal sebelumnya sama sekali tidak ada yang mengganggunya saat di Jakarta. Malik merasa memang seperti menerima pancingan umpan mereka.Teror dari segala arah ia terima, dari mulai pesan berdarah, petasan yang setiap hari diledakkan di depan rumah singgahnya, sampai tabrakan yang hampir merenggut nyawanya.Karena kecelakaan itu, Malik mengalami koma. Hidupnya sekarang harus ditopang dengan berbagai alat medis.Belum selesai sampai di sana, kantor yang berada di kalimantan juga tela