Malam itu, rupanya malam terakhir Malik dan Laila sebelum cobaan kembali merenggut kebahagiaan yang baru sesaat mereka rasakan. Seakan tidak ada habisnya ujian pernikahan mereka yang baru seumur jagung.Di Kalimantan, Malik menduga bahwa masyarakat di sekitar proyek tambangnya, resah karena hasutan oknum-oknum yang ingin menjegal bisnis keluarganya. Dugaan itu memang tidak sepenuhnya salah, tapi permasalahannya ternyata tidak sesepele itu.Malik sudah menerima teror sehari setelah ia sampai di Kalimantan. Padahal sebelumnya sama sekali tidak ada yang mengganggunya saat di Jakarta. Malik merasa memang seperti menerima pancingan umpan mereka.Teror dari segala arah ia terima, dari mulai pesan berdarah, petasan yang setiap hari diledakkan di depan rumah singgahnya, sampai tabrakan yang hampir merenggut nyawanya.Karena kecelakaan itu, Malik mengalami koma. Hidupnya sekarang harus ditopang dengan berbagai alat medis.Belum selesai sampai di sana, kantor yang berada di kalimantan juga tela
Selama ditinggal pergi oleh Malik, Laila benar-benar serius dengan ucapannya tentang berjuang bersama. Ia kembali berkutat dengan skripsi dan penelitiannya yang sempat tertunda. Dua hari berturut-turut mengunjungi kampusnya dan melakukan bimbingan. Selama itu pula, Laila tahu bahwa Raisa bahkan telah menyelesaikan sidang untuk tugas akhirnya.Siang itu ditemani Raisa, Laila melangkah yakin mengajukan hasil penelitiannya sekaligus analisisnya.“Masih belum ada kabar tentang suamimu?” Tanya Raisa.Laila menggeleng lemah. Ia sekuat tenaga menahan bu;ir air matanya agar tidak jatuh saat Raisa menyebut nama laki-laki yang telah mengisi hampir seluruh hatinya.Laila tidak berani memikirkan macam-macam tentang suaminya. Hanya prasangka baik yang terus ia kumandangkan dalam pikirannya agar hatinya ikut tenang. Meski bohong jika ia tidak gelisah.Kalaupun apa yang dikatakan Soni benar, sesibuk apa suaminya sampai tak mampu memegang ponsel dan mengirimkan satu dua kata sebagai kabar untuk istri
“Aku pulang dulu, Bang!” Ucap Laila setelah berpamitan dengan Mbak Yani dan Bi Mina di dapur.Wanita tua itu menyampaikan beberapa pesan agar menjaga kesehatan dan selalu berhati-hati. Dan juga, menyuruh Laila agar sering berkunjung ke rumah besar.“Baiklah, hati-hati! Jaga keponakanku! Dan jangan lupakan kesepakatan kita.”“Tidak ada kesepekatan diantara kita. Abang cuma mau memanfaatkanku.” Tukas Laila datar.Mahardika mencebik dan manggut-manggut di belakang Laila. Sementara Laila harus memutar otak mencari cara agar abang iparnya mau sedikit memberikan petunjuk soal suaminya dan juga mertuanya yang tiba-tiba pergi berlibur.Ternyata ia pulang tanpa membawa hasil apapun. Seharian itu, bayinya seolah tahu kegundahan hati ibunya. Bayi berusia empat bulan itu sangat tenang hari ini. Reflek Laila sekarang adalah apapun yang terjadi dan apapun yang mengganggu pikirannya ia selalu mengusap perutnya.“Ayo, Sa!” Ucap Laila. “Enggak usah dilihat atau kamu nggak akan bisa keluar dari sini!”
Mahardika sudah bersiap pergi saat Bi Mina kembali menahannya. Wanita tua itu sejak tadi gusar karena kepergian Mahardika ke Kalimantan guna menjenguk adik satu-satunya.Kondisi Malik masih terbaring lemah dengan ditopang mesin-mesin di sekujur tubuhnya. Begitu kabar dari Papanya tadi.“Ada apa lagi, Bi?” Tanya Mahardika.“Mas Dika berapa lama disana? Bi Mina takut kalau-kalau Laila datang kemari lagi terus tanya-tanya, Bibi enggak sanggup berbohong lagi. Ini sudah satu bulan lebih. Bibi enggak tega saat lihat perut besarnya.” Cecar Bi Mina yang terlihat sangat gusar.Benar. Sudah hampir dua bulan sejak kecelakaan menimpa Malik. Artinya sudah dua bulan laki-laki itu koma. Dan mereka belum mendapat tanda-tanda kondisi Malik yang membaik. Bahkan penyebab kecelakaan Malik belum juga mendapat titik terang. Dika merasa ada sesuatu yang ditutup-tutupi oleh kepolisian tentang kecelakaan adiknya.“Aku enggak akan lama, Bi. Setelah menjenguk Malik dan menyaksikan sidang perusahaan, Dika akan k
“Maafkan Bibi, Laila..” Sesal Bi Mina.Laila hanya mengusap lengan Bi Mina lalu bergegas pergi menuju bandara. Isakan Laila masih sesekali terdengar sebelum ia menghela nafas dalamnya berulang kali.Sahutan kebingungan sejenak lalu dari abang iparnya ternyata semakin membuat Laila yakin akan tindakannya.Mahardika bahkan belum tiba di bandara saat Laila menelponnya dan menyuruhnya menunggu. Ia hanya menatap bingung pada ponselnya ketika Laila selesai berbicara dengan nada terburu dan mendikte. Tak menyahuti apapun untuk titah wanita hamil itu.Namun, ia tetap akan menunggu Laila. Dari nada tegasnya, Dika sudah bisa menebak kalau Laila sudah mengetahui keadaan yang sebenarnya. Mau ditahan pun sepertinya sia-sia. maka yang bisa ia lakukan adalah membantu adik iparnya bertemu dengan suaminya.Serta pikiran konyolnya berharap seperti dalam cerita-cerita fiktif itu, Malik akan bangun saat mendengar suara istrinya. Atau saat Laila mencium tangan suaminya, Malik akan membuka matanya. Mungkin
“Aku mau ikut datang ke persidangan itu, Bang.” Pinta Laila. Mahardika segera menghentikan langkahnya dan menatap Laila lekat. Beberapa saat lalu, mereka berhasil mendaratkan kaki di tanah yang disebut Kota Pusat Peradaban. Pesawat mereka berhenti di Bandara Internasional Aji Pangeran Tumenggung Pranoto. Provinsi Kalimantan Timur. “Kamu baik-baik aja?” Sela Raisa pada Laila. Raisa melihat sejak tadi nafas Laila tersengal. “Sebaiknya kita periksakan kandunganmu dulu. Kamu terlalu sembrono, perjalanan dengan pesawat bagi wanita hamil seharusnya dengan surat keterangan dokter. Dan aku juga salah.” Terang Mahardika mengakui. “Aku baik-baik saja. Karena ini semua pertama kali bagiku, pertama kali hamil, pertama kali perjalanan jauh dalam keadaan hamil. Tapi aku baik-baik aja. Aku mau ketemu suamiku secepatnya!” Raisa dan Mahardika saling mengerling, lalu dengan tanpa sadar keduanya sepakat untuk tidak menanggapi wanita hamil yang keras kepala itu. Laila tetap harus ke rumah sakit untuk
Raga Laila sudah sepenuhnya lelah, begitu juga jiwanya yang memendam rindu dua bulan lamanya. Terbukti dengan geraman halus tanda tenggelamnya ia ke alam mimpi.Laila tidak pernah tidur mendengkur bahkan sampai mengigau. Kalaupun sampai begitu, itu artinya tubuhnya sudah mencapai batas limitnya.Laila tidur satu kamar bersama Raisa, dengan ranjang twin yang dipesan Dika sesaat lalu. Sementara Raisa masih sibuk membersihkan diri di kamar mandi. Dengan keterbatasan baju ganti dan skincare yang biasa menjadi ritual malamnya, Raisa berusaha semaksimal mungkin menjaga kulit wajahnya agar tetap bersih dan sehat dengan mengusap lembut dengan handuk hangat kemudian membilas dengan air dingin agar pori-pori kulit wajahnya kembali menutup.Selagi melakukan perawatan sederhana itu, potongan-potongan percakapan dengan Dika beberapa saat lalu kembali terbayang dan melintas.“Sepertinya aku tertarik dengan petualangan.” Gumamnya sebelum menyusul Laila dan merebahkan diri di ranjang sebelah Laila.D
Semalam Mahardika mengirim pesan pada Pak Agung, yang mengatakan bahwa Laila ikut serta bersamanya. Lalu setelahnya, pesan berisi penjelasan bagaimana Laila bisa mengetahui kondisi sebenarnya.Pak Agung hanya membalas ‘Ya sudah, tidak apa-apa. mungkin sudah saatnya dia bertemu suaminya.’Pagi Mahardika untuk pertama kalinya terganggu oleh riuh omelan seorang wanita. Hamil pula. Dan sayangnya bukan istrinya, melainkan adik iparnya.Mahardika mendesah. Bukan maksudnya menyepelekan kerisauan dan kedukaan Laila, hanya saja, ia tak ingin dirinya ikut terseret kepanikan dan ketergesaan Laila. Benar yang dikatakan Raisa. Mau secepat apapun jalannya, mereka akan sampai juga pada akhirnya dengan perbedaan waktu tak signifikan.Maka Dika memilih menimpali gerutuan Laila dengan santai.Akhirnya, setelah setengah jam menempuh perjalanan dan menembus kemacetan tak berarti, ini Samarinda bukan Ibu Kota yang macetnya sudah terkenal di dunia. Mereka tiba di rumah sakit tempat Malik dirawat.Pak Agung