Semalam Mahardika mengirim pesan pada Pak Agung, yang mengatakan bahwa Laila ikut serta bersamanya. Lalu setelahnya, pesan berisi penjelasan bagaimana Laila bisa mengetahui kondisi sebenarnya.Pak Agung hanya membalas ‘Ya sudah, tidak apa-apa. mungkin sudah saatnya dia bertemu suaminya.’Pagi Mahardika untuk pertama kalinya terganggu oleh riuh omelan seorang wanita. Hamil pula. Dan sayangnya bukan istrinya, melainkan adik iparnya.Mahardika mendesah. Bukan maksudnya menyepelekan kerisauan dan kedukaan Laila, hanya saja, ia tak ingin dirinya ikut terseret kepanikan dan ketergesaan Laila. Benar yang dikatakan Raisa. Mau secepat apapun jalannya, mereka akan sampai juga pada akhirnya dengan perbedaan waktu tak signifikan.Maka Dika memilih menimpali gerutuan Laila dengan santai.Akhirnya, setelah setengah jam menempuh perjalanan dan menembus kemacetan tak berarti, ini Samarinda bukan Ibu Kota yang macetnya sudah terkenal di dunia. Mereka tiba di rumah sakit tempat Malik dirawat.Pak Agung
Pak Agung beserta istri dan anaknya tiba di ruang sidang saat Jaksa Penuntut Umum sedang membacakan dakwaan yang dijeratkan pada dua tersangka di depan sana. Beliau segera mengambil tempat duduk yang paling strategis agar bisa memperhatikan dengan jelas setiap mimik wajah tersangka maupun kuasa hukum yang mendampinginya.Persidangan itu berlangsung selama dua jam. Tersangka dan kuasa hukumnya memang tidak menampik juga tidak memberikan eksepsi atas kasus yang menjeratnya, namun keterangan yang diberikan oleh tersangka dan kuasa hukumnya selalu berubah jika soal adakah yang menyuruh mereka melakukan kejahatan itu.Sementara Jaksa Penuntut Umum terus menekan, meminta dan menyudutkan tersangka dengan pertanyaan-pertanyaan hingga mereka mau membuka mulutnya sejujur-jujurnya.Hakim terpaksa memukul palu nya sebanyak tiga kali untuk meredakan debat alot yang terjadi. Juga, memberikan keputusan bahwa sidang akan kembali dilangsukan dua minggu ke depan.“Kalian sudah bekerja keras!” Pak Agung
Di tempat berbeda, kantuk luar biasa hebatnya tengah melanda Mahardika. Sudah hampir tiga hari tiga malam ia hanya tidur selama dua jam per harinya. Malam ia bertugas menjaga adiknya, yang sangat mustahil untuk dirinya tidur meski seringnya ia mencuri-curi waktu sepuluh lima belas menit Dika mencoba memejamkan matanya.Tapi bunyi denting mesin elektrokardiogram selalu membuatnya tersentak dan membuat jantungnya ikut berdentam tak nyaman.Sementara siang hari, ia harus menjalankan pesan-pesan yang ditinggalkan Papanya. Malik harus menyewa pengacara lain sekaligus detektif rahasia untuk mengusut perihal kecelakaan Malik yang entah memang masih misteri atau sengaja ditutup-tutupi.Kecelakaan Malik sangat tidak wajar dilihat dari segi manapun. Meskipun CCTV jalan sekaligus kamera dasboardnya sudah terverivikasi bahwa kecelakaan itu disebabkan Malik sendiri yang kemudian memicu kecelakaan lainnya.Tapi sulit bagi Mahardika dan Pak Agung menerimanya. Mereka tau benar bagaimana Malik ketika
Bunyi ketukan sepatu yang terdengar berderap cepat menjadi latar belakang di lorong rumah sakit yang sunyi malam itu. Dika terburu, sebab lupa bahwa ada Laila yang mungkin tengah menunggu.Ia seketika didera rasa bersalah hanya karena terlambat beberapa jam dan membiarkan seorang ibu hamil besar menungguinya.Ia pikir, mungkin Laila sudah berada di perjalanan pulang karena supir yang menjemputnya seharusnya sudah tiba sejak tadi. Nyatanya, Laila masih menunduk di tepi brankar suaminya. meletakkan kepalanya di atas tangan suaminya yang bebas dari jarum infus atau peralatan medis lainnya.Dika memelankan langkahnya. Meminta perawat yang berjaga memanggilkan Laila agar keluar.“Kenapa belum pulang?” Tanya Dika cemas begitu Laila di hadapannya.“Aku enggak mau pulang, Bang. Ijinkan aku malam ini menemani disini!” Pinta Laila benar-benar memohon. Ia lupa bahwasannya Dika belum mengetahui keadaan Malik yang menunjukkan kemajuan.Sesaat lalu, ia mengusir dengan halus supir yang setiap hari d
Sementara Laila tengah melepas rindu dengan suaminya. Mahardika yang baru juga tiba di hotelnya langsung merebahkan diri di ranjang besar hotel itu. Tubuhnya lelah luar biasa.Matahari di luar bersinar terik. Menambah beban lelahnya terasa berkali-kali lipat. Tapi ia menghembuskan nafasnya lega hingga rasa sesak beberapa bulan ini yang menghimpit paru-parunya kini kembali berongga dan lapang seketika.Malik telah siuman dari pingsan panjangnya. Detektif yang ia sewa juga baru saja memberi kabar gembira. Juga, hasil persidangan beberapa hari lalu sudah hampir ketuk palu meski tersangka yang sesungguhnya belum mampu diburu.Ia telah mengabarkan pada Papanya semua hal yang terjadi. Riak gembira dan haru menggema di rumah besar Bagaskara seketika. Bu Lina tak henti-hentinya mengucap syukur pada Tuhan karena telah mengembalikan anak bungsunya ke alam sadar.Bi Mina melonjak gembira lalu menubruk lantai bersujud syukur. Semua anggota rumah itu terus menggemakan syukur. Tak sabar ingin kemba
Hari demi hari rasanya tak lelah Laila menyunggingkan senyum. Dari sejak suaminya siuman dari koma, Laila memaksa ingin terus menemani seolah tak ingin Malik terpisah darinya lagi. Ia sudah lelah. Ingin rasanya sejenak menghirup nafas dengan leluasa tanpa kepedihan yang mengikuti di belakangnya.Walaupun gerakannya menjadi terhambat karena perutnya yang makin hari makin membesar, tapi tak menyurutkan semangatnya dan perhatiannya pada Malik sedikitpun. Dengan telaten menyeka suaminya saat pagi hari dan sore, menyuapi lak-laki itu, hingga menyiapkan obat yang harus rutin diminum oleh Malik.Sesekali Malik menghentikan kesibukan Laila di ruangan itu karena menurutnya istrinya terlalu banyak bergerak dan sibuk kesana-kemari. Malik meringis nyeri memperhatikan gerak istrinya dengan perut besar itu.“Sayang, istirahatlah!” Malik melihat Laila yang sedang merapikan baju-bajunya di lemari.“Sebentar, Mas. Ini belum selesai. Sedikit lagi.” Sahut Laila yang sedang bersimpuh di depan lemari.“Si
“Bagaimana keadaan lo?” Tanya Dika pada adiknya. Malik telah kembali berbaring dibantu oleh Dika.Sedangkan dua wanita sudah bercengkerama di sisi lain ruangan VVIP.“Seperti yang Abang lihat. Aku baik. Lebih dari baik. Terimakasih karena sudah mewakiliku menjaga istri dan calon anakku, Bang.”“Asal Lo tau, itu semua enggak gratis. Lo harus menyiapkan bayaran yang pantas buat gue. Termasuk mengurusi perusahaan dan proyek.”Malik terkekeh. Mahardika jelas sudah tak tahan ingin segera melarikan diri kembali.“Aku akan siapkan bayaran yang pantas untukmu.” Masih dengan sisa-sisa tawanya.“Laila sudah cerita kalau Abang yang membawanya kemari setelah semua berusaha menyembunyikan keadaanku. Makasih juga untuk yang satu itu.”“Gue pikir mungkin waktunya Laila untuk tau, juga, gue sama Bi Mina udah nggak tahan melihat wajah sedih Laila setiap ke rumah membawa perut besarnya itu. Jujur, Gue nggak tahan. Dan saat itu, pikiran Gue saat itu cuma satu, siapa tau saat Laila berada di dekatmu just
Raisa merasa sudah cukup lama berbincang dengan Laila. ia takut menganggu waktu istirahat suami sahabatnya itu. Juga, Laila butuh merebahkan tubuhnya. Ah, betapa pengertiannya ia sebagai sahabat.Ia tak banyak berbincang dengan Malik, padahal tujuan ia datang adalah menjenguk laki-laki itu.“Semoga Mas Malik segera pulih dan kembali ke Jakarta. Sepertinya aku juga kesulitan kalau harus berjauhan dengannya..” Kata Raisa sembari melirik perut Laila. Kalimat terakhirnya memang ia tujukan untuk si jabang bayi yang masih ada di perut ibunya.“Dia anakku! Kenapa kamu seposesif itu dengan anakku?” Tukas Malik.“Benarkah? Mungkin saja dia malah enggak mengenali bapaknya. Soalnya sejak awal aku yang menemani ibunya kemana-mana bahkan saat pertama kali dia diperiksa.” Sarkas Raisa pada Malik.Malik tak berkutik. Sindiran itu halus bak sutra tapi tajam melebihi belati yang langsung tertuju di pusat jantungnya.Dika menahan senyumnya tapi mentertawakan adiknya dalam hati. Sedangkan Laila terkikik
Beberapa bulan kemudian.Tangis balita memenuhi ruangan. Suaranya menggema riuh rendah, padahal hanya satu bayi. Cucu kebanggaan Keluarga Bagaskara telah hadir di tengah-tengah kesunyian yang melanda rumah besar itu.Bu Lina bahagia luar biasa, ingin rasanya terus menimang-nimang kalau saja ia bisa. Sayangnya, ia sudah harus beristirat tidak diperbolehkan terlalu lelah oleh dokter. Sejak sebulan yang lalu Bu Lina harus kembali menggunakan tongkat untuk membantu berjalan dan kursi roda jika diperlukan, beliau terpeleset sewaktu di kamar mandi, dan riwayat patah tulang dahulu kala menjadikan kecelakaan kali itu bukan hanya terpeleset biasa. Tapi membuka luka lama dan memperparahnya.Padahal ingin sekali ia menikmati waktu menimang-nimang cucu satu-satunya saat itu.Sambil terus bersemoga agar Mahardika dan Raisa segera diberi keturunan.Ya. Mahardika berhasil meyakinkan orang tua Raisa bahwa ia benar-benar menginginkan Raisa dan mencintainya.Beberapa bulan yang lalu.Dengan tangan berg
Malik memegang ponselnya diputar-putar lalu berhenti dan mencari aplikasi pesan. Menatapnya lama, lalu kembali memainkan ponselnya.Sekian kalinya lalu ia berhenti dan mantap mengirimkan sebuah pesan.‘Wanita memang butuh kepastian, Bang. Tapi mereka juga tidak akan suka dengan kesemena-menaan. Aku udah pernah melakukan itu, jadi Abang tidak perlu mengulangi kesalahanku. Dia ada di rumahku sekarang kalau Abang mau meluruskan masalah kalian.’Pesan yang cukup panjang. Lalu Malik tutup dengan helaan nafas panjang. Ia tidak tahu masalah apa yang Dika lalui hingga mendapatkan status duda itu. Tapi melihat kesembronoan Dika, rasanya Malik segera mengerti bagaimana sikap Mahardika jika berhadapan dengan perempuan.Benar-benar mirip dengannya. Beruntungnya, Laila cukup mau bersabar menghadapinya dan mau memaafkan semua tingkah lakunya hingga ia tidak jadi menyandang status duda itu. Jika saja… Ah, jangan sampai. Malik tak mau berandai-andai.Laila dan Raisa bercengkerama sekian lamanya hingg
Laila disambut pelukan hangat suaminya begitu tubuhnya muncul dari balik pintu besi lapas yang menjulang tinggi. Gurat kekhawatiran sangat jelas di wajah suamiya, sebab takut kalau-kalau Gladis gelap mata dan menyerang istrinya yang tengah berbadan dua. “Kamu enggak apa-apa kan, Sayang?” Tanya Malik segera setelah melepaskan pelukannya. Meraba-raba wajah dan tubuh istrinya memastikan tidak ada yang kurang dan bertambah. Bertambah ada luka atau lebam. “Enggak apa-apa Mas. Kami cuma ngobrol kok.” “Aku takut kalau sampai dia nekad.” Katanya sambil menuntun Laila memasuki mobil. “Mbak Gladis kasihan sekali, Mas. wajahnya tirus dan kelihatan sangat tertekan. Tubuhnya kurus sementara perutnya menggembung buncit.. Aku enggak tega.” Ia kembali mengingat rupa Gladis sebelum dan sesudah peristiwa itu. Dulu, Gladis adalah perempuan yang cantik. Tubuhnya tinggi dan montok. Wajahnya merah segar tidak seperti yang ia lihat baru saja. Matanya yang belok terlihat semakin belok karena semakin t
Suasana rumah besar keluarga Bagaskara kini semakin akrab untuk Laila terlebih ketika mama mertuanya sudah berubah untuknya. Sudah menerimanya dan semakin sayang padanya.Bermacam-macam hadiah yang diberikan sang mertua untuknya, terutama untuk kebutuhan ibu hamil dan menyusui.Sepulangnya dari Bali, Laila dan Malik tidak langsung ke rumahnya sendiri. Tapi terlebih dulu ke rumah orang tuanya, melepas rindu sekaligus memberikan oleh-oleh yang dibawanya.Ternyata, bukan hanya dia yang memberikan oleh-oleh itu, Laila juga menerima hadiah yang telah disebutkan tadi dari ibu mertuanya.“Ini banyak sekali, Ma..” Kata Laila terharu sekaligus terperangah.Lina mengeluarkan semua belanjaannya berkarton-karton paper bag untuk Laila.“Mama tadinya ingin sekalian belanja baju bayi untuk anakmu, karena kamu pasti lelah setelah perjalanan dari Bali. Kandungan mu juga semakin besar. Tapi Mama enggak mau lancang, ini anak pertama kalian, pasti kalian antusias ingin belanja kebutuhannya sendiri.” Ungk
“Kamu jangan main-main! Lamar-lamar anak orang! Siapa dia, siapa orang tuanya, dari mana asalnya kita enggak tahu. Hanya karena dia adalah teman Laila kemudian kita akan menerimanya? Apa orang tuanya tahu kamu membawanya kemari?” Cecar Mama Lina sepeninggal Raisa.Meski dalam hati ia ikut tergelak sebab anak sulungnya meminta dilamarkan seorang gadis. Namun. Ia tetap tidak bisa menerima sikap sembrono Dika, anaknya.“Kamu itu sudah tua, Dika. Jangan main-main soal menikah.” Lanjutnya ketika jawaban yang diharapkan tak kunjung keluar.“Dika enggak main-main, Ma.” Jawab Dika sungguh-sungguh.Pak Agung hanya duduk mendengarkan celotehan istrinya yang ditanggapi anak sulungnya biasa-biasa saja. Benar-benar duplikat Agung Bagaskara.“Lalu dimana rumahnya? Siapa orang tuanya?” Tanya Lina lagi.Dika menggeleng. “Dika hanya tau apartemennya, tapi rumah orang tuanya Dika belum tanya.”“Lihat anakmu, Pa. Papa sebut dia dewasa? Umurnya saja yang tua, tapi pikirannya, ya ampun… Papa saja yang uru
Surya sore menyemburat menembus pohon-pohon di taman itu hingga menciptakan bias dan pendar yang menyapa dua insan yang duduk di sana. Duduk berjauhan bak orang asing. Satu perempuan dan satu laki-laki, tidak saling menatap tapi gesture mereka mengisyarakatkan bahwa mereka serasi menjadi sepasang kekasih. Tatapan mengernyit dari si perempuan dan wajah datar si laki-laki mempertegas bahwa hubungan mereka memang sedang berjarak. “Maksudnya apa?” Tanya Raisa tak sabar. “Ikutlah ke rumahku.” “Iya, tapi untuk apa? Ngomong yang jelas! Bisa enggak sih jadi laki-laki yang tegas gitu. Ngomong sepotong-potong bikin aku bingung. Sikapmu itu bikin aku bingung tau enggak. sebentar ngasih perhatian, sebentar ngilang.. Sekarang tiba-tiba ngajak ke rumah? Untuk apa? Aku sudah pernah ke rumahmu dan sudah kenal orang tuamu ngomong-ngomong, kalau itu maumu. Enggak perlu kalau setelah ini kamu akan tiba-tiba ngilang lagi.” Cecar Raisa. Ia sudah tak tahan lagi bermain tarik ulur seperti ini. Ia merasa
Tok tok tokPintu kamar Lina diketuk lembut dari luar. Sudah hampir tiga hari ia tak keluar kamar dan menolak ditemui Dika, anak sulungnya.Lina mendengus. Sejujurnya ia sudah terlalu tua untuk merajuk, tapi apa yang dilakukan Mahardika menurutnya telah keterlaluan dan menyakitinya.“Ma.. Dika mohon buka pintunya.” Seru Dika dari balik pintu.“Temui dia, Ma. Sudah berhari-hari mama enggak keluar kamar. Dika juga berhari-hari seperti orang gila karena terkurung di dalam rumah. Padahal dia harus ke kantor membantu Papa.” Bujuk Pak Agung.“Papa yakin dia sudah benar berubah? Dia enggak akan pergi lagi?” Bu Lina menelisik mata suaminya mencari kesungguhan disana. Meminta keyakinan dan diyakinkan sebenarnya.“Papa yakin.” Jawab Pak Agung.Bukan apa-apa, Bu Lina hanya ingin di usianya senjanya semua anak-anaknya berada di dekatnya. Rejeki bisa nanti dicari, dan pengalaman, dia rasa sudah cukup bagi Dika menghabiskan bertahun-tahun untuk mencari pengalaman itu di luar belantara sana.Tok tok
“Apa maksudmu?” Tanya Lina pelan-pelan. Sejujurnya dadanya sudah bergejolak marah karena anak sulungnya ternyata menyembunyikan berita besar.“Dika sudah pernah menikah.” Jawab Dika singkat.Dika sudah tak mungkin lagi berkelit. Ia harus jujur sekarang juga atau mamanya akan terus menuntutnya soal menikah. Namun, reaksi mamanya sungguh diluar dugaan.“Bicara yang benar, Mahardika! Mamamu yang tua ini enggak ngerti. Menikah dengan siapa? Dimana? Kenapa enggak bilang sama mama dan papamu?” Bentak Lina yang sudah sabar dengan sikap Dika yang santai dan cuek.“Maafin Dika, Ma.”“Siapa? Siapa yang kamu nikahi? Dimana dia sekarang?” Cecar Lina lagi. Melihat Dika hanya diam, membuat kesabaran Lina semakin menipis.“Katakan Dika! Jangan diam saja? Mau ditaruh mana muka mama kalau sampai kamu menelantarkan anak gadis orang!”“Dika tidak pernah menelantarkannya, Dika mencintainya, tapi orang tuanya yang tidak menyukai Dika karena menurutnya Dika menelantarkan anaknya karena Dika terlalu lama pe
Satu bulan kemudian.“Sudah siap?”Laila mengangguk merona. Sambil terus menyunggingkan senyum mereka akan melakukan perjalanan ke Bali karena ingin menikmati baby moon sekaligus honey moon mereka yang tak pernah terlaksana.Malik menyeret koper di tangan kirinya dan tangan kanannya menggenggam tangan Laila erat. Berjalan menyusuri lorong resort tempat mereka menginap. Mereka memilih daerah uluwatu dan kintamani untuk menghabiskan masa baby moon mereka selama satu minggu.Menyewa resort di tepi pantai untuk menikmati masa-masa tinggal berdua dan memperdalam hubungan mereka setelah berbagai badai yang menyambut awal rumah tangga mereka.Malik sudah sepenuhnya pulih, ia memutuskan untuk sebentar mengambil libur sebelum kembali benar-benar terjun mengurusi perusahaan sang papa.Lagi-lagi, Dika lah yang dijadikannya tumbal. Terpaksa masih harus memenuhi permintaannya yang seperti tak kunjung ada ujungnya. Dika bahkan tak bisa menikmati waktu kencan berdua.Ya, kencan. Dika sudah memantapk