Raisa merasa sudah cukup lama berbincang dengan Laila. ia takut menganggu waktu istirahat suami sahabatnya itu. Juga, Laila butuh merebahkan tubuhnya. Ah, betapa pengertiannya ia sebagai sahabat.Ia tak banyak berbincang dengan Malik, padahal tujuan ia datang adalah menjenguk laki-laki itu.“Semoga Mas Malik segera pulih dan kembali ke Jakarta. Sepertinya aku juga kesulitan kalau harus berjauhan dengannya..” Kata Raisa sembari melirik perut Laila. Kalimat terakhirnya memang ia tujukan untuk si jabang bayi yang masih ada di perut ibunya.“Dia anakku! Kenapa kamu seposesif itu dengan anakku?” Tukas Malik.“Benarkah? Mungkin saja dia malah enggak mengenali bapaknya. Soalnya sejak awal aku yang menemani ibunya kemana-mana bahkan saat pertama kali dia diperiksa.” Sarkas Raisa pada Malik.Malik tak berkutik. Sindiran itu halus bak sutra tapi tajam melebihi belati yang langsung tertuju di pusat jantungnya.Dika menahan senyumnya tapi mentertawakan adiknya dalam hati. Sedangkan Laila terkikik
Perjalanan kembali hening karena Raisa masih menolak bicara usai makan siang itu. membuang pandangannya keluar jendela seolah menikmati pemandangan kota Samarinda. Namun kenyataannya, hanya matanya yang berpusat disana, sedangkan pikirannya berkelana memikirkan Dika yang tak peka.Mahardika hanya sesekali melirik Raisa yang masih bergeming. Jarak rumah makan itu menuju hotel tempat Raisa menginap masih cukup jauh. Sebab Raisa memilih hotel yang paling dekat dengan bandara agar tak terlalu jauh ketika datang dan pergi dari tempat itu.Padahal Mahardika menawarkan untuk mengantar jemputnya dan memilihkan hotel yang jauh lebih nyaman baginya. Tapi dengan tegas Raisa menolak. Ia tak mau ketergantungan dengan laki-laki yang bukan siapa-siapanya.“Mau kemana lagi? Aku antar.” Tanya Dika memecah keheningan kaku diantara mereka.“Pulang.” Sahut Raisa.“Pulang?” Kutip Dika. Ia menghela nafasnya kemudian. Ia tahu wanita ini sedang merajuk. Tapi ia sungguh bukan perayu ulung, dan lagi pula untuk
Laila tengah bersiap mengepak seluruh pakaian dan barang-barang, karena siang itu dokter mengatakan bahwa Malik sudah boleh dibawa pulang dengan dibekali beberapa syarat.Sudah lewat satu minggu, setelah melakukan medical check up dan beberapa tes baik motorik, darah, juga MRI, dokter berani memberikan ijin pulang pada Malik. Laila sangat antusias dengan kepulangan suaminya. Ia bahkan sudah mempersiapkan kejutan untuk sang suami di rumah mereka.Ya, mereka akan langsung menempati rumah yang sudah beberapa lama ditinggalkan itu. Meski Papa dan Mama sempat memaksa Malik harus berada di rumah besar, namun keduanya bersikeras untuk menempati rumah mereka sendiri.Sejujurnya, Pak Agung dan Mama Lina hanya khawatir karena kehamilan Laila semakin besar. Jika harus ditambah merawat Malik, orang tua itu khawatir Laila akan kelelahan. Tapi karena keduanya bersikeras untuk tinggal sendiri, Pak Agung hanya berpesan untuk membawa Bi Mina dan Mbak Yani bersama mereka agar dapat membantu keperluan-k
Seorang laki-laki mengenakan outfit yang semuanya berwarna hitam. Mantel jas berwarna hitam dengan celana hitam, sepatu ket berwarna hitam mengkilap juga sebuah note book kecil dan pena di tangan kanannya menderap mendekat ke arah Dika dan Pak Bambang.Pak Bambang sontak mendongak karena mendengar langkah kaki mantap yang mendekatinya.“Selamat siang, Pak Bambang.” Sapa sang detektif.“Si..siang. Cari siapa?” Sahut Pak Bambang. Bekas kegugupannya berhadapan dengan Mahardika belum hilang dan kini datang satu lagi orang dengan pakaian serba hitam perlente berdiri tegap di depannya itu.“Oh, saya mencari anda. Saya rekan Bapak Mahardika yang sekarang duduk di hadapan anda. Silahkan duduk, Pak!”Pak Bambang sepertinya sudah tahu gerangan laki-laki misterius di hadapannya ini. Pak Bambang menuruti perintahnya untuk duduk kembali di kursi semula.Sedangkan Mahardika mempersilahkan tempat duduknya dipakai oleh si detektif itu. sudah waktunya mereka menggali informasi. Waktu mereka semakin me
Waktu satu minggu yang Laila dan Malik habiskan di rumah besar keluarga mereka. Dalam satu minggu itu Bu Lina tak henti-hentinya menawarkan ini dan itu untuk Laila dan Malik. mereka berdua terus disodorkan makanan yang sejujurnya juga sulit untuk diabaikan oleh pasangan suami istri.Terlebih Laila yang tengah berbadan dua. Ia digempur habis-habisan dengan makanan untuk menaikkan berat badannya yang tergolong kurang. Didukung juga oleh rongrongan Malik yang mendukung aksi sang mama.“Sebelum kembali ke rumah kalian, Laila harus naik 3-5 kilo disini.” Ujar Bu Lina hampir seperti titah ratu. Tak bisa dibantah.Maka Laila pasrah. Bu Lina juga mengatakan bahwa akan mengadakan tujuh bulanan di rumah ini, setelah itu ia juga yang akan menemani membeli pernak-pernik kebutuhan bayi. Laila dan Malik lagi-lagi hanya mengangguk menyanggupi. Titah Ratu Bagaskara tak mungkin dibantah lagi. Lebih tepatnya, mereka tidak mampu membantah karena mamanya sudah berusaha keras menerima pernikahan mereka. S
Satu minggu menjelang acara tujuh bulanan yang dihelat Lina untuk menantunya, ia memasrahkan semuanya pada Event Organizer yang telah dipercayainya selama ini dalam menghelat setiap acara. Tentu dengan konsep yang Lina inginkan dan semuanya masih dalam pengawasannya. Ia tak ingin ada yang tertinggal ataupun kurang dalam acara minggu depan itu.Sedangkan Pak Agung, Malik dan Laila hanya pasrah dan terima jadi atas semua kehendak Lina tersebut. Asal mamanya senang, mereka akan ikut.Lina sedang menulis daftar tamu yang akan diundangnya, tentu setelah berkomunikasi dengan Laila dan Malik sebelum mereka kembali ke rumah mereka sendiri, tentang siapa-siapa saja yang ingin mereka undang.“Laila enggak banyak teman, Ma. Mungkin hanya Raisa. Oh, iya, Laila sudah bilang sama Ibu dan Bapak, beliau akan kemari beberapa hari lagi.” Ujar Laila.“Baguslah. Apa mereka tau soal Malik?” Tanya Bu Lina ikut was-was jika sampai besannya tahu mengenai menantunya. Pasti mereka akan khawatir sebagaimana keb
Sementara acara tujuh bulanan Laila tinggal 3 hari lagi, Bu Lina sedang merengek pada suaminya agar membujuk Mahardika agar segera pulang. Pasalnya, Bu Lina telah mengundang beberapa koleganya beserta anak gadisnya untuk diperkenalkan pada Dika. Untuk yang satu ini, Bu Lina tidak bisa merubah kebiasaannya. Keresahan orang tua soal status anak sulungnya yang betah menyendiri terus mengusiknya. Mahardika yang dikhawatirkan, kini justru semakin tenggelam dalam kasus yang mencelakai adiknya. Tentu saja itu hanya alasan yang ia buat agar tak segera kembali ke rumah besar itu lagi. Kabar acara tujuh bulanan adik iparnya juga telah sampai di telinganya. Tak mungkin kalau acara itu hanya sederhana-sederhana saja walaupun mamanya telah mengatakan demikian. Ia tahu bagaimana nyonya Agung Bagaskara kalau sedang niat menghelat acara. Dalam sela-sela menangani kasus yang sebenarnya hampir selesai itu, karena ia telah mengantongi nama besar otak dari kecelakaan sang adik. Dika hanya belum member
“Ibu…” Laila menghambur memeluk sang Ibu begitu perempuan yang telah lama dirindunya itu tiba di ambang pintu rumahnya.“Laila kangen banget…” Ucap Laila lagi lalu ia mendapat tepukan keras dari sang Ibu di bahunya. Tepukan sebab kesal karena Laila terus menghilang tanpa bisa dihubungi.“Sama Bapak enggak kangen?” Bapak mencebikkan mulutnya berpura-pura merajuk sembari melirik Malik. Malik tersenyum lalu mengendikkan alisnya.“Setelah menikah kamu jadi sering banget tak bisa dihubungi? Apalagi soal keadaan-keadaan genting, kenapa Ibu sama Bapak enggak dikasih tau?” Cecar Ibu segera setelah Laila melepas pelukannya.“Duduk dulu, Bu. Jangan marahi istri saya.” Canda Malik mengurai ketegangan yang penuh kerinduan itu.“Dasar kamu!”Malik dan Laila terkekeh begitu juga Bapak yang melirik istrinya lucu. Sudah lama ia tak merasakan suasana seperti ini. Suasana hangat penuh canda bersama anak dan istrinya, dan kali ini bersama menantunya juga.Dua anak perempuan lainnya dibawa ikut merantau