Sore itu Laila berhasil mengalihkan perhatian suaminya dari kegelisahan dirinya sendiri sekaligus membawa Malik pada pergumulan panas untuk kedua kalinya bagi mereka. Di luar masih cukup terik hingga udara panas di dalam kamar menjadi dua kali lipat panasnya karena perbuatan mereka. Titik-titik keringat sisa penyatuan itu masih melekat menghiasi dahi Malik yang kini lunglai. Sementara Laila merebahkan diri di sampingnya dengan senyum mengembang tapi perih.Desir angin yang samar-samar meniupkan dedaunan dan ranting hingga bergemirisik menjadi bunyi latar belakang mereka sore itu. Syahdu dan nikmat. Setidaknya itulah yang dirasakan Malik. Sementara Laila, meski tersenyum nyatanya hatinya diliputi kepedihan mendalam karena rencana kabur meninggalkan suaminya. Sembilu di hatinya semakin mengiris pedih karena Malik yang terus mengecupi keningnya seusai penyatuan kedua mereka.Laila sudah bergerak ke kamar mandi meninggalkan Malik yang masih berbaring telungkup di ranjangnya yang berantaka
Mobil Malik melaju membelah jalanan beton yang kuat yang menghubungkan Cianjur dan Kota Jakarta. Laila belum mengatakan apapun atau menjelaskan apapun padanya soal kepulangan mereka yang sangat mendadak. Dua hari ini Laila semakin bertingkah sekehendak dirinya sendiri tanpa memikirkan perasaan orang lain.Malik hanya diam menunggu Laila yang berinisiatif menjelaskan. Namun kenyataannya, sepanjang jalan itu Laila hanya menceracau tentang hal remeh temeh. Padahal, ia sudah membantunya memperlancar kebohongannya pada sang Ibu walau Malik masih tidak sadar bahwa Laila benar-benar berbohong. Malik merasa bersalah pada mertuanya yang terlihat sangat kecewa pada mereka.Mobil mereka sudah berhenti di carport rumah Bagaskara. Keduanya masih bergeming, tidak ada satupun yang memulai membuka pintu. Laila kira, Malik akan segera membukakan pintunya. Melakukan hal-hal romantis speerti yang ia tonton di film-film. Sementara Malik kira, Laila diam karena akan menjelaskan apa yang ia ingin ketahui.
Tok Tok Tok “Masuk!” Teriak Malik dari dalam ruangannya. “Selamat siang Bapak Malik. Saya bawakan makan siang untuk Bapak..” Sapa Laila dengan nada seceria mungkin sambil mengangkat tentengan bekal makan siang, tak lupa ia mengulas senyum secantik mungkin agar dingin es di hati suaminya mencair. Di meja singgasananya, Malik mengulas senyum tipis. Tipis sekali sampai Laila tak menyadarinya. Tapi jelas matanya berpendar bahagia. Hatinya menghangat, rasa penat karena permalasahan di perusahaan tiba-tiba hilang karena senyuman istrinya. Pundaknya yang sedari kemarin terasa berat, kini ringan karena kedatangan istrinya yang membawa bekal untuknya. “Kemarilah..” Kata Malik. dan tidak perlu waktu lama, Laila sudah berada di depan meja suaminya. Meletakkan bekal makan siangnya di antara tumpukan berkas-berkas yang tidak dimengerti Laila. Meja itu penuh dengan tumpukan map, kertas, berkas, tablet da laptop yang semuanya menyala menunjukkan tabel-tabel. Semuanya itu cukup menunjukkan pada L
Sore itu, hujan dengan intensitas ringan menyambut kepulangan Laila dari kampus. Laila melangkah dengan hati ringan karena urusannya dipermudah oleh Tuhan. Benar-benar dipermudah. Mungkin ini yang dinamakan berkah menikah. Ah, dan yang pasti adalah doa dari orang tuanya.Beberapa saat yang lalu, Dosen pembimbingnya bersedia memberikan bimbingan hari itu juga setelah Laila menghubunginya beberapa menit sebelumnya. Laila mengajukan objek penelitiannya berikut dengan rumah sakit yang akan dia gunakan sebagai rujukan. Juga hipotesa penelitiannya sebagai gambaran besar yang akan menuntun langkahnya dalam penelitian itu. Dosennya tak banyak berkomentar, hanya sedikit memberikan saran sekaligus sebuah kartu nama seorang dokter psikiater yang akan membantu Laila.“Hubungi beliau, dan katakan padanya bahwa kamu mahasiswa saya. Beliau akan membantumu.”Betapa terkejutnya Laila. Tentu saja wanita itu senang bukan kepalang. Seperti kata pepatah sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Laila tidak
Laila merasa tiba-tiba menjadi sama sekali tidak berguna. Saat ini ia tengah duduk lemas setelah dituntun oleh Bi Mina dan Mbak Yani menuju kamarnya. Kelebatan ingatan mertuanya yang terguling dari lantai atas ke lantai bawah yang menyisakan bunyi debuman membuat Laila bergeming. Membuat Laila kelu dan lemas.Untuk pertama kalinya, Laila membuat orang lain celaka karena kecerobohannya. Oh, setelah diingat-ingat ini kali kedua orang lain celaka karenanya. Dan siapa sangka keduanya adalah anak dan ibu yang sekarang menjadi bagian dalam kehidupannya.Laila hanya bergeming saat Bi Mina menawarkan macam-macam untuknya. Teh hangat yang sudah tidak lagi hangat juga sama sekali belum tersentuh oleh Laila. Bi Mina masih menunggu wanita muda itu mengucapkan satu atau dua kata. Bi Mina mengkhawatirkan wanita muda itu. Laila yang sejak awal tidak pernah diterima sebagai anggota keluarga baru oleh Lina serta harus merasakan banyak tekanan dari Lina, mertuanya.Bi Mina dan semua asisten di rumah it
Kecelakaan yang menimpa istrinya itu tiba-tiba saja mengingatkannya pada anak sulungnya yang sudah sekian tahun tidak pulang. Sebenarnya bukan tidak ingat, Pak Agung hanya mencoba mengabaikan karena kemauan mereka yang sama-sama keras. Yang pada akhirnya Pak Agung lah yang harus mengalah demi anaknya itu.Pak Agung sedang mencoba menghubungi anak pertamanya. Setelah sekian kali terhubung hingga terputus dengan sendirinya. Akhirnya suara anak sulungnya terdengar menyahut, telefonnya tersambung.“Di mana kamu sekarang?” Tanya Pak Agung tanpa basa-basi. Suaranya datar menuju ketus.“Kanada.” Sahut Dika singkat.“Pulanglah! Mamamu kecelakaan.” Katanya.“Kecelakaan? Bagaimana bisa?”“Pulanglah. Kamu harus pulang. Kali ini Papa tidak bisa mentolerir lagi kemauanmu.”“Iya, Pa. Iya. Dika cari jadwal keberangkatan pesawat yang paling cepat.”Mahardika Satya Bagaskara. Anak sulung Agung dan Lina yang sudah sekian tahun tidak pernah menampakkan dirinya di Nusantara. Dia hanya sibuk berkeliling m
Siang yang cukup terik setelah hujan semalam dengan sekejap mengeringkan dedaunan yang basah. Tapi aroma basah tanah masih tercium di indera penciuman. Seseorang yang tinggi tegap dengan backpacker di punggungnya tengah menghidu aroma rumah yang sudah lama ditinggalkannya. Dika -Mahardika- anak sulung di rumah Bagaskara itu baru saja tiba setelah belasan jam penerbangannya dari Vancouver, Kanada. Berdiri tegak di depan pintu gerbang. Menyapa Pak Budi yang sedang mengernyit menatapnya. Tukang kebun itu tentu saja pangling melihat tampilan berbeda dari tuannya. Dika masih sangat tampan dan bersih saat meninggalkan rumah itu beberapa tahun yang lalu. Kini meski masih tampan, hanya saja terkaburkan oleh cambang yang tumbuh lebat tak terawat, kacamata hitam yang masih bertengger di hidungnya, kaos oblong dan celana cargo bercorak tentara. Pak Budi hampir saja mengusirnya kalau ia tak segera melepas kacamatanya dan menyapa laki-laki tua itu. “Ya ampun, Den Dika, saya kira siapa.. Pangling.
“Bagaimana keadaan Mama, Pa?” Dika sudah berada di rumah sakit malam itu. Setelah dirasanya cukup beristirahat. Dika segera mengunjungi mamanya yang masih memejamkan matanya.“Bersyukurlah Mamamu tidak kenapa-kenapa. Hanya gegar otak ringan. Tapi cedera di tulang belakangnya cukup parah yang membuat mama mungkin tidak akan bisa duduk untuk sementara waktu.” Jawab Pak Agung. Laki-laki tua itu tak henti-hentinya menelanjangi anaknya dengan tatapan penuh takjub. Bukan takjub karena anaknya membanggakan, justru karena rupa anaknya yang menurutnya sangat tidak rupawan sama sekali. Baginya tidak ada yang dibanggakan dari sekedar jalan-jalan mengililingi dunia.“Syukurlah.. Malik mana?”“Seharusnya di rumah. Kalian belum bertemu?”“Aku baru aja bangun dan langsung kemari. Tapi aku udah ketemu sama istrinya. Ketemu dimana Malik sama istrinya itu? Sama sekali bukan selera Malik ku rasa.” Dika yang sedang membenahi selimut mamanya yang tersingkap beralih pandang ke arah Papanya yang sedang memb