“Sayang, ambilkan handuk!” teriak Bastian sesaat membuka pintu kamar mandi.“Tumben lupa gak bawa handuk,” gerutu Cilla. Wanita hamil itu berjalan mengambil handuk sesaat mengulurkan kepada sang suami. Hari ini, mereka sudah kembali ke rumah kampung. Setelah kemarin mengikuti acara tujuh bulanan yang diadakan di rumah kota.“Terimakasih, istriku.” ucap Bastian sambil mengedipkan matanya genit.Pria itu menjadi lebih hangat dengan Cilla. Meskipun, mereka tidak berubah dalam hal berdebat dan bertengkar. Daily activity pasangan teman kecil yang menjadi sepasang suami istri aneh itu.“Hem,” jawab sang wanita dengan menggeram saja.Cilla kembali membuka bukunya yang ia letakkan ketika sang suami berteriak tadi. Dia sedang membaca buku parenting. Tak lama Bastian keluar dengan handuk yang melingkar di pinggangnya. Mata sipit pria itu melirik sang istri yang sedang serius membaca buku di tangannya.“Serius banget,” celetuk Bastian seraya menarik baju dari lemari.“Ini penting banget, Tian.”
Maura membawa rantang susun untuk diantarkan pada sang suami. Beberapa hari, Ali mengeluh tidak sempat ke kota sebab pekerjaan di bengkel begitu banyak. Sehingga, dia datang tanpa memberitahu sang suami.“Siang, bapak ada ya?” tanya wanita itu pada salah pegawai bengkel.Tidak lama berselang, Elka berjalan keluar dengan wajah yang merah padam. Maura tentu memperhatikan wanita itu dengan seksama.“Elka,” sapa Maura.Sesaat mata tajam wanita itu menyorot tepat di wajah Maura. “Ah, ibunya Cilla. Sana lihat kejutan indah di ruangannya suamimu. Kamu bodoh sekali punya suami macam dia!” ujar Elka sarkas.“Maksud kamu apa, El?”“Memang kamu sebelas-dua belas sama anakmu itu! Bodoh dan terlalu munafik!” ujar Elka sarkas.“Elka, kamu keterlaluan ya!”“Hahaha, dasar. Sudahlah! Aku sudah muak dengan keluarga tipu-tipu macam keluargamu ini. Sana, lihat kenyataannya!” ujar Elka kemudian pergi meninggalkan wanita itu mengelus dadanya.Maura menggelengkan kepalanya melihat tingkah Elka seperti itu.
“Iya, Sayang.” kata Bastian sesaat mengangkat telepon dari sang istri.“Papa biang kerok, kenapa baksonya diantar orang warung?” tanya Cilla di balik telepon.“Iya Sayang, aku ada kerjaan mendadak di kantor. Ini aku masih on the way.” Bohong, Bastian sedang berbohong.Nyatanya, pria itu kini menuju sebuah tempat. Usai berbicara dengan Elka. Dia memutuskan untuk menyelesaikan emosinya.“Ah, gitu. Ya sudah. Ini baksonya buat aku ya.”“Iya.”“Hati-hati, Tian.”“Oke.”Telepon pun terputus. Cilla melanjutkan membuka bungkusan bakso. Ia memindahkan isinya di mangkuk. Sesaat suara hujan membuatnya sedikit berlari kecil ke depan untuk mengambil sepatu yang ia jemur. “Tiba-tiba hujan aja,” katanya seraya masuk ke teras dan meletakkan sepatu yang setengah kering itu.Tak lama suara langkah kaki membuatnya menoleh. Mata bulatnya menangkap sosok gadis yang berjalan ke arahnya.“Vika, mau ke mana?” tanya Cilla.Gadis itu seolah terkejut. Mungkin dia tidak melihat Cilla yang berada di teras rumah.
Maura menjatuhkan pigura foto dari tangannya.PyarrrrSuara kaca dari pigura itu memenuhi ruangan kosong di rumah besar ini. Air matanya seakan kering dengan rasa sesak menekan dadanya.“Kamu tega sekali, Mas Ali!” ujarnya.Matanya yang basah menatap foto dirinya yang tersenyum dengan sang suami yang memeluknya dari belakang. Di sana tampak kebahagiaan yang seakan abadi dari keluarga kecil yang sempurna. Di sana Cilla masih kecil. Rambut Cilla gadis diikat dua dengan mata berbinar. “Mengapa aku bisa sebodoh ini?” tanya Maura seorang diri. “Aku hidup dalam kebohongan, sedang suamiku berselingkuh dengan orang yang sudah aku anggap saudara sendiri.” keluhnya sambil menatap foto itu.“Di mana letak kurangku? Sampai hati orang seperti mas Ali mengkhianati aku. Ya Allah, sakit sekali rasanya.” Sederet kalimat menyalahkan diri dan mempertanyakan kekurangan terus Maura ucapkan. Wanita yang akan segera memiliki cucu itu sangat terpukul hingga hari beranjak malam. Ia tetap melakukan aktivitas
Bastian seakan ingin menarik pipi istrinya kalau saja wanita itu tidak sedang hamil. Dia sangat takut saat mendapati Cilla menangis tersedu. Kejadian sebelumnya, Cilla sedang menyalakan air hangat. Ia mengisi bak mandi dengan air hangat dan air dingin. Setelah penuh dan dirasa pas untuk mandi, dia beranjak ke lemari. “Bastian kalau sore suka pakai kaos kutung.” katanya seraya mencari atasan yang dimaksud di lemari. Cilla terkejut saat sebuah buku jatuh di kakinya. Bruk “Augh, sakit!” serunya. Sambil melihat keadaan kakinya, wanita hamil itu mengambil buku bersampul hitam yang jatuh tadi. Ia mengerutkan keningnya dalam. “Astaghfirullah, Tian naruh buku di sini!” gerutu Cilla kemudian membuka buku itu. “Diari Bastian, ha? Dia punya buku diary. Hahaha,” kata Cilla dengan tertawa geli. Tangannya membuka buku itu. Hal pertama yang membuatnya tersenyum. Foto Bastian sewaktu SMP dan setelah ia membuka halaman berikutnya alangkah terkejutnya dia. “Fotoku,” katanya lirih. Saat ini,
“Aku pulang telat, Ya Kop. Kamu tidur duluan saja,” kata Bastian siang itu. Pria itu membenarkan posisi kemejanya dan gesper yang melingkar di pinggangnya. Sedangkan sang istri membawakan tas berisi laptop dan mengantarkan hingga teras rumah.“Emang mau kemana?”“Lembur aja,” jawab Bastian singkat.Pria itu melipat kakinya lantas memeluk perut buncit sang istri. Akhir-akhir ini, Bastian sering melakukan hal semacam ini. Cilla tidak tahu sedang apa suaminya itu di sana. Dia melihat Bastian seperti mengobrol dengan perutnya berakhir mengecup perutnya."Tian, hati-hati ya. Gak usah ngebut," ucap wanita hamil itu.Bastian sambil memandang tajam sang istri. Ia meraih rambut Cilla dan mengusapnya lembut, menampilkan senyuman tipis yang hampir tak terlihat di bibirnya.Cilla menatap Bastian dengan ekspresi cemas. Ia menatap ujung sandalnya, seolah sedang mencari keberanian atau alasan untuk tidak ditinggalkan oleh Bastian. Bastian mencoba menebak apa yang ada di pikiran istrinya. Dengan ra
"Assalamualaikum," teriak Vika dengan nada yang ragu-ragu di depan pagar tinggi rumah Maura. Pagar tinggi itu mengelilingi rumah dengan tegas. Gadis itu merasa gugup, terbebani oleh hal yang terungkap dan membuatnya merasa sangat bersalah terhadap Maura.Maura datang dengan cepat setelah mendengar dering bel di ujung pagar. Ia melewati gerbang dan menghadapi Vika dengan senyuman hangat di wajahnya. "Vika, ayo masuk," ajak Maura, mencoba menenangkan gadis itu.Vika merasa sedikit tidak nyaman dengan situasi ini. Ia tahu bahwa apa yang dia ketahui adalah sesuatu yang memalukan dan sangat membuatnya merasa bersalah terhadap Maura. Hatinya berat saat melangkah masuk ke dalam rumah itu, takut menghadapi kenyataan yang harus dihadapinya."Mbak Cilla ada, Bude?" tanya Vika dengan hati yang berdebar-debar."Loh, Cilla pulang diantar Danilo, Vika," jawab Maura setelah mereka mencapai teras rumah.
Air mata gadis itu terus mengalir deras, Vika mengendarai motor dengan kalut. Ia tidak tahu tujuan untuk pergi. Kekecewaan yang ia dapatkan atas kenyataan membunuh kebahagiaannya sejak saat itu. “Kamu gak pantas hidup, Vika!”“Kamu anak haram Vika!”“Kamu anak hasil hubungan gelap!”Sederet kalimat itu seakan berteriak di telinganya. Mengejeknya hingga terasa luka tidak mampu ia terima lagi. Di tengah motornya melaju tiba-tiba sebuah mobil dari arah berlawanan datang.TiiiiinnnnnnSuara klakson panjang dari mobil itu memekakan telinga.*Bastian berjalan mondar-mandir gelisah di depan pintu ruangan ICU, sepertinya waktu berhenti mengalir dan menggantikan semua warna dalam hidupnya dengan kecemasan yang mencekam. Ketika dokter belum juga muncul, ketakutannya semakin membesar. Keadaan sang istri sebelumnya yang tidak sadarkan diri membuatnya semakin khawatir.“Kopi… kamu harus kuat,” gumamnya dengan suara lirih, melambungkan doa-doa yang tulus ke langit.Detik dan menit terus berganti,