Maura membawa rantang susun untuk diantarkan pada sang suami. Beberapa hari, Ali mengeluh tidak sempat ke kota sebab pekerjaan di bengkel begitu banyak. Sehingga, dia datang tanpa memberitahu sang suami.“Siang, bapak ada ya?” tanya wanita itu pada salah pegawai bengkel.Tidak lama berselang, Elka berjalan keluar dengan wajah yang merah padam. Maura tentu memperhatikan wanita itu dengan seksama.“Elka,” sapa Maura.Sesaat mata tajam wanita itu menyorot tepat di wajah Maura. “Ah, ibunya Cilla. Sana lihat kejutan indah di ruangannya suamimu. Kamu bodoh sekali punya suami macam dia!” ujar Elka sarkas.“Maksud kamu apa, El?”“Memang kamu sebelas-dua belas sama anakmu itu! Bodoh dan terlalu munafik!” ujar Elka sarkas.“Elka, kamu keterlaluan ya!”“Hahaha, dasar. Sudahlah! Aku sudah muak dengan keluarga tipu-tipu macam keluargamu ini. Sana, lihat kenyataannya!” ujar Elka kemudian pergi meninggalkan wanita itu mengelus dadanya.Maura menggelengkan kepalanya melihat tingkah Elka seperti itu.
“Iya, Sayang.” kata Bastian sesaat mengangkat telepon dari sang istri.“Papa biang kerok, kenapa baksonya diantar orang warung?” tanya Cilla di balik telepon.“Iya Sayang, aku ada kerjaan mendadak di kantor. Ini aku masih on the way.” Bohong, Bastian sedang berbohong.Nyatanya, pria itu kini menuju sebuah tempat. Usai berbicara dengan Elka. Dia memutuskan untuk menyelesaikan emosinya.“Ah, gitu. Ya sudah. Ini baksonya buat aku ya.”“Iya.”“Hati-hati, Tian.”“Oke.”Telepon pun terputus. Cilla melanjutkan membuka bungkusan bakso. Ia memindahkan isinya di mangkuk. Sesaat suara hujan membuatnya sedikit berlari kecil ke depan untuk mengambil sepatu yang ia jemur. “Tiba-tiba hujan aja,” katanya seraya masuk ke teras dan meletakkan sepatu yang setengah kering itu.Tak lama suara langkah kaki membuatnya menoleh. Mata bulatnya menangkap sosok gadis yang berjalan ke arahnya.“Vika, mau ke mana?” tanya Cilla.Gadis itu seolah terkejut. Mungkin dia tidak melihat Cilla yang berada di teras rumah.
Maura menjatuhkan pigura foto dari tangannya.PyarrrrSuara kaca dari pigura itu memenuhi ruangan kosong di rumah besar ini. Air matanya seakan kering dengan rasa sesak menekan dadanya.“Kamu tega sekali, Mas Ali!” ujarnya.Matanya yang basah menatap foto dirinya yang tersenyum dengan sang suami yang memeluknya dari belakang. Di sana tampak kebahagiaan yang seakan abadi dari keluarga kecil yang sempurna. Di sana Cilla masih kecil. Rambut Cilla gadis diikat dua dengan mata berbinar. “Mengapa aku bisa sebodoh ini?” tanya Maura seorang diri. “Aku hidup dalam kebohongan, sedang suamiku berselingkuh dengan orang yang sudah aku anggap saudara sendiri.” keluhnya sambil menatap foto itu.“Di mana letak kurangku? Sampai hati orang seperti mas Ali mengkhianati aku. Ya Allah, sakit sekali rasanya.” Sederet kalimat menyalahkan diri dan mempertanyakan kekurangan terus Maura ucapkan. Wanita yang akan segera memiliki cucu itu sangat terpukul hingga hari beranjak malam. Ia tetap melakukan aktivitas
Bastian seakan ingin menarik pipi istrinya kalau saja wanita itu tidak sedang hamil. Dia sangat takut saat mendapati Cilla menangis tersedu. Kejadian sebelumnya, Cilla sedang menyalakan air hangat. Ia mengisi bak mandi dengan air hangat dan air dingin. Setelah penuh dan dirasa pas untuk mandi, dia beranjak ke lemari. “Bastian kalau sore suka pakai kaos kutung.” katanya seraya mencari atasan yang dimaksud di lemari. Cilla terkejut saat sebuah buku jatuh di kakinya. Bruk “Augh, sakit!” serunya. Sambil melihat keadaan kakinya, wanita hamil itu mengambil buku bersampul hitam yang jatuh tadi. Ia mengerutkan keningnya dalam. “Astaghfirullah, Tian naruh buku di sini!” gerutu Cilla kemudian membuka buku itu. “Diari Bastian, ha? Dia punya buku diary. Hahaha,” kata Cilla dengan tertawa geli. Tangannya membuka buku itu. Hal pertama yang membuatnya tersenyum. Foto Bastian sewaktu SMP dan setelah ia membuka halaman berikutnya alangkah terkejutnya dia. “Fotoku,” katanya lirih. Saat ini,
“Aku pulang telat, Ya Kop. Kamu tidur duluan saja,” kata Bastian siang itu. Pria itu membenarkan posisi kemejanya dan gesper yang melingkar di pinggangnya. Sedangkan sang istri membawakan tas berisi laptop dan mengantarkan hingga teras rumah.“Emang mau kemana?”“Lembur aja,” jawab Bastian singkat.Pria itu melipat kakinya lantas memeluk perut buncit sang istri. Akhir-akhir ini, Bastian sering melakukan hal semacam ini. Cilla tidak tahu sedang apa suaminya itu di sana. Dia melihat Bastian seperti mengobrol dengan perutnya berakhir mengecup perutnya."Tian, hati-hati ya. Gak usah ngebut," ucap wanita hamil itu.Bastian sambil memandang tajam sang istri. Ia meraih rambut Cilla dan mengusapnya lembut, menampilkan senyuman tipis yang hampir tak terlihat di bibirnya.Cilla menatap Bastian dengan ekspresi cemas. Ia menatap ujung sandalnya, seolah sedang mencari keberanian atau alasan untuk tidak ditinggalkan oleh Bastian. Bastian mencoba menebak apa yang ada di pikiran istrinya. Dengan ra
"Assalamualaikum," teriak Vika dengan nada yang ragu-ragu di depan pagar tinggi rumah Maura. Pagar tinggi itu mengelilingi rumah dengan tegas. Gadis itu merasa gugup, terbebani oleh hal yang terungkap dan membuatnya merasa sangat bersalah terhadap Maura.Maura datang dengan cepat setelah mendengar dering bel di ujung pagar. Ia melewati gerbang dan menghadapi Vika dengan senyuman hangat di wajahnya. "Vika, ayo masuk," ajak Maura, mencoba menenangkan gadis itu.Vika merasa sedikit tidak nyaman dengan situasi ini. Ia tahu bahwa apa yang dia ketahui adalah sesuatu yang memalukan dan sangat membuatnya merasa bersalah terhadap Maura. Hatinya berat saat melangkah masuk ke dalam rumah itu, takut menghadapi kenyataan yang harus dihadapinya."Mbak Cilla ada, Bude?" tanya Vika dengan hati yang berdebar-debar."Loh, Cilla pulang diantar Danilo, Vika," jawab Maura setelah mereka mencapai teras rumah.
Air mata gadis itu terus mengalir deras, Vika mengendarai motor dengan kalut. Ia tidak tahu tujuan untuk pergi. Kekecewaan yang ia dapatkan atas kenyataan membunuh kebahagiaannya sejak saat itu. “Kamu gak pantas hidup, Vika!”“Kamu anak haram Vika!”“Kamu anak hasil hubungan gelap!”Sederet kalimat itu seakan berteriak di telinganya. Mengejeknya hingga terasa luka tidak mampu ia terima lagi. Di tengah motornya melaju tiba-tiba sebuah mobil dari arah berlawanan datang.TiiiiinnnnnnSuara klakson panjang dari mobil itu memekakan telinga.*Bastian berjalan mondar-mandir gelisah di depan pintu ruangan ICU, sepertinya waktu berhenti mengalir dan menggantikan semua warna dalam hidupnya dengan kecemasan yang mencekam. Ketika dokter belum juga muncul, ketakutannya semakin membesar. Keadaan sang istri sebelumnya yang tidak sadarkan diri membuatnya semakin khawatir.“Kopi… kamu harus kuat,” gumamnya dengan suara lirih, melambungkan doa-doa yang tulus ke langit.Detik dan menit terus berganti,
Bastian tidak tidur sejak kemarin. Namun hari ini ia tampak memejamkan matanya dan kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri efek kantuknya yang luar biasa. Rambutnya pun berantakan, wajahnya sangat kusut dengan baju kaos yang kusut pula.“Tian… Tian…” suara serak sang istri membuat pria itu bangun segera.“Sayang, kamu sadar.” kata Bastian senang.Ia melihat mata sang istri yang sayu dengan tangannya yang lemah terulur padanya.“Aku mau minum, Tian.” kata Cilla lirih nyaris tidak terdengar.Bastian segera membuka air mineral di meja. Ia memasukkan sedotan ke dalam botol. Tangannya memposisikan sang istri dengan nyaman agar bisa minum dengan baik.“Minum yang banyak,” kata Bastian.Cilla minum dengan hati-hati. Sangat terlihat wanita itu masih lemah. Dengan punggung tangannya tertancap jarum infus.“Sudah,” kata sang istri lirih.Bastian menutup kembali botol air tersebut, Cilla meminum hampir separuh botol.Hati Bastian rasanya hancur melihat istri terbaring lemah di hadapannya. Setiap
Di bahu jalan, mobil Bastian yang kosong menjadi tempat Danilo dan Vika berbicara. Mereka datang bersamaan. Vika mencari bapaknya untuk melakukan upaya penyelamatan. Sang ibu, Arum sudah lebih dulu pergi. Namun, Vika justru datang sendiri sebab Ali dari kota segera ke Polsek untuk melapor dan akan membawa polisi datang.“Jadi ibu udah ke dalam Dek?” tanya Danilo.“Iya, Mas. Tadi aku coba telpon mas Bastian. Tapi gak diangkat. Gak taunya udah ke sini.” kata Vika dengan tangan terus bergerak gelisah.Tentu Vika merasakan kekhawatiran yang begitu hebat. Sang ibu sedang menolong Cilla dan ibunya di sana. Sedang dirinya hanya bisa menunggu atas perintah ibunya. “Kamu gak usah khawatir, bentar lagi bapak datang.”Tak lama berselang, mobil polisi beserta Ali datang. Mereka segera menghampiri Vika. Kemudian bersama-sama menuju tempat yang sudah diinformasikan Arum sebelumnya.Sebelumnya, Arum sampai di lokasi Cilla disekap. Dia menghubungi Elka sebelumnya. Mengapa Arum bisa mendapatkan titik
Pov Bastian“Aku menyukaimu saat pertama kali kita berciuman gak sengaja. Itu first kiss yang sangat membekas, Tian. Sampai membuatku ragu untuk melanjutkan hubunganku saat itu. Dari situlah, pada akhirnya aku bisa menerima lamaran kamu.”“Jadi, kalau tidak ada acara ciuman waktu itu. Kamu gak akan terima lamaranku?”Wanita yang sejak kecil menempati ruang di hatiku itu menggelengkan kepala. Wanita itu merubah posisinya untuk menatap diriku yang tak lepas memperhatikan ekspresinya. Kami sedang berbicara sebelum tidur. Biasanya orang menyebutnya pillow talk.“Bisa iya, bisa tidak.” jawabnya sambil tersenyum.“Terus, misal eyang saat itu gak dateng di warung bakso, jawaban kamu menolak aku gitu?” balasku bertanya lagi.“Hemm, tidak juga. Sebenarnya aku mengajak kamu untuk berpacaran terlebih dahulu. Tapi….” Jawaban menggantung wanita bermata bulat itu membuatku penasaran.“Justru, Eyang menyuruh kita menikah.” sambungnya.“Terus nyesel yah?” sahutku.“Justru bikin aku seneng karena kit
“Apa yang Mbak bilang tadi?”Wanita cantik dengan wajah yang tampak muram terlonjak saat mendengar pengakuan sang kakak. Hasti, adik Elka datang setelah acara tiga hari sang ibu, Ratri. Wanita itu menatap sang kakak dengan tatapan tajam.“Iya, ibu marah karena aku masih memiliki perasaan sama Bastian.” kata Elka mengaku pada sang adik. Wanita itu duduk menatap ke arah jendela. “Astaga, Mbak. Kamu itu udah punya suami yang tampan, punya segalanya. Pikiranmu kemana Mbak, ha?” “Semuanya karena Cilla,” imbuh Elka.Tanpa mereka sadari, pertengkaran ini didengarkan dengan seksama oleh seseorang. “Jadi ibumu meninggal karena bertengkar sama kamu, Elka?” tanya seorang pria yang tiba-tiba datang dari pintu utama. Suami Elka dengan wajah muram berjalan mendekat pada posisi mereka. Aura kesedihan yang sudah ada sedari tadi kini seakan bertambah tebal. “Selesaikan masalah kalian, aku tunggu di luar.” kata Hasti hendak melangkahkan kakinya keluar dari rumah. Namun, kakinya berhenti mendenga
“Bude, gimana kabarnya?” tanya Vika sesaat datang. Gadis itu segera datang sesaat mendapatkan kabar. Maura mempersilahkan anak kandung mantan suaminya itu untuk duduk.“Alhamdulillah, sehat Vika. Kamu gimana, Nak?” Maura memang sudah terbiasa dengan Vika. Sejak permasalahan yang datang terus membuka tabir keburukan sang mantan suami, wanita itu tidak sekalipun marah pada Vika. Mereka mengobrol alakadarnya sambil menunggu Danilo mengeluarkan mobil dari garasi. Setelahnya mereka bersama menuju rumah Elka untuk melayat.*Cilla menumpu motor dengan posisi berdiri. Dia melempar helmnya secara reflek. Teriakan dan bunyi helm yang jatuh membuat Bastian segera berbalik badan dan membantu sang istri.“Maaf, Sayang.” ucap Bastian sambil menarik standar motor menggunakan kakinya.“Iya aku gak apa-apa kok, motor kamu gak apa-apa juga. Gak jatuh!” ujar Cilla kesal dengan memungut helmnya di bawah .Bastian lupa menarik standar motor. Sehingga, motor nyaris jatuh. Pria itu tampak diam dengan waj
Pagi itu, Bastian baru pulang dari sawah. Pria itu menggunakan kaos rumahan dipadu bawahan celana selutut berbahan kaos. Cilla melihat sang suaminya menaruh kunci motor di meja makan.“Masak apa Bunda?” tanya Bastian.Cilla mengangkat sebelah alisnya, sedang Bastian tersenyum tipis berakhir bibirnya tersenyum lebar gagal menahannya.“Bunda apa sih? Aneh banget!” ketus Cilla.Wanita itu sudah cantik dengan baju dress selutut khas dirinya. Corak warna kecoklatan dengan bahu telanjang. Dia akan menggunakan kardigan saat keluar rumah.“Katanya gak mau dipanggil…”“Oh jadi ganti panggilan gitu?”Cilla memasukkan masakannya di piring setelahnya menatap malas sang suami yang berdiri di dekat meja dapur.“Yah, kan nanti anak kita lahir panggil kamu Bunda gitu kan?” kata pria itu menarik tisu dan membersihkan tangannya yang basah.“Dih!” dengus Cilla, wanita itu menatap tajam saat Bastian mencomot tempe tepung yang ada di piring. “Kenapa? Gak mau? Makanya, sih gak usah protes. Panggilan Kopi
“Mas, es penangkal badai kemarahan istri ada ya?” tanya Bastian menyindir Cilla yang sedari tadi tidak menjawab pertanyaan darinya.Wanita itu selalu berkata terserah saat ditanya hendak pesan apa. Di sebuah kafe yang terletak di jantung kota, Bastian membawa sang istri.“Hehehe, untuk minuman best seller di tempat kami ini Pak, blue ocean karnival. Ada selasih dan rasanya segar asam manis, apakah mau mencobanya?” saran sang pelayan berwajah Jawa khas itu.Bastian tampak memperhatikan gambar menu yang ditunjuk oleh pelayan. Dari ekor matanya melirik sang istri yang mengambil ponsel di tasnya.“Boleh, sama ramen level dua saja ya. Kalau panas gini biar sekalian terbakar,” ucap Bastian.Sang pelayan menulis pesanannya dengan tersenyum. “Ohya masing-masing dua ya, sama tambah ini coba wafel coklat. Biar manis sedikit gak pahit seperti suasana saat ini,” lanjut Bastian.“Baik, Pak. Apakah ada pesanan yang lain?” kata sang pelayan.“Sudah cukup, terimakasih.” tukas pria itu. Mata sipit Ba
Pagi itu Cilla menyiapkan makanan di meja. Tidak ada pembicaraan yang berarti setelah mereka duduk menyantap sarapan masing-masing. Cilla melihat Bastian tampak gelisah. Beberapa kali pria itu berdecak sebal usai melihat ponsel. “Nanti sore pulang sendiri bisa ya, Kop?” tanya Bastian memecah keheningan. Cilla mengangguk masih dengan kegiatannya mengunyah nasi goreng. Sampai usai sarapan dan mereka berangkat bekerja. Sesekali Cilla menatap sorot mata Bastian yang sedang sibuk fokus menyetir. Pria itu terlihat tidak seperti biasanya. Setidaknya, itulah hal yang ditafsirkan oleh wanita itu.“Aku turun dulu,” pamit Cilla setelah mobil berhenti di halaman toko. Tidak ada jawaban dari Bastian, setidaknya itu yang Cilla tau. Pria itu justru menelepon seseorang. Cilla menoleh menatap lewat kaca mobil depan Bastian. Terlihat pria itu serius menghubungi seseorang.“Mungkin menghubungi Elka.” katanya di dalam hati.Sungguh, hari ini terasa amat berat. Bayangan semalam berputar di kepalanya ter
“Singkirkan tanganmu itu!” sergah Bastian setelah datang pada sang istri. Pria itu berdiri di samping sang istri. Sorot matanya tajam mengintimidasi pria di depannya.“Ma, maaf.” ucap pria di hadapannya dengan wajah kaku. Sedangkan Cilla tiba-tiba membuka suara. “Kenapa harus marah, Sayang?”Kedua pria itu menatap pada direksi yang sama. Bastian mengernyitkan alisnya. Sang istri bukanlah orang yang mudah berkata manis, apalagi panggilan sayang itu jarang sekali ia ucapkan.“Ayo kita pulang!” ajak Bastian.“Kok pulang sih, Sayang. Bukannya kamu mau nemenin sahabat kamu di pernikahannya?”Bastian tampak terkejut dengan sikap dan perkataan sang istri. Tangannya menggenggam tangan sang istri erat. Semua mata tertuju pada mereka berdua. Termasuk sang pasangan pengantin.“Kamu mabuk, ya? Minum apa kamu sampai kayak gini.” Bastian mengomel seraya terus menarik sang istri. Cilla dengan mata sayu mengikuti suaminya. Wanita itu beberapa kali tertawa dan meracau tidak jelas. Bastian dan Cilla
Cilla menata buku yang tergeletak di meja. Wanita itu meniup debu yang melapisi permukaan sampul buku berwarna merah hati itu.“Kasihan yah, Mbak. Padahal dia orang baik, Kopi.” ucap Bastian seraya meletakkan cangkir kopi yang ia buat barusan. Bastian berjalan membuka jendela. Semalam, ia dan Cilla pulang ke rumah kampung. Mereka datang sebab mendapatkan kabar penjaga rumah sekaligus asisten rumah tangga telah berduka. Suami dan anaknya meninggal secara bersamaan akibat kecelakaan. “Aku masih ingat rasanya kehilangan seperti itu, Tian.” imbuh Cilla sesaat menepuk telapak tangannya yang terasa berdebu.“Ya, aku juga.” balas Bastian dengan menatap ke arah jalan raya lewat jendela kamarnya.“Tapi, mungkin lebih berat Mbak. Dia secara bersamaan kehilangan suami dan anak.” ungkap Cilla dengan suara lirih. Bastian menarik tangan sang istri dan mencium punggung tangan lentik itu.“Iya, karena gak ada satupun orang di dunia ini yang mau merasakan kehilangan.” kata pria bermata sipit itu.C