“Saat ini orang-orang sedang ramai berbincang bahwa Picasso Hotel berhantu, Nona,” tutur Manager Hotel sembari menyerahkan surat kabar pada Adeline. “Banyak yang percaya bahwa arwah mendiang Nona Diane Malleta masih bergentayangan di sini. Sebab itulah tidak ada tamu yang datang, dan ini menjadi masalah juga bagi suite room karena tidak ada tamu yang berani menginap di lokasi pembunuhan.” Begitu Adeline melihatnya, dia seketika mengernyit. “Bagaimana bisa orang-orang percaya dengan cerita tahayul seperti ini?!”“Anda tahu, sebagian masyarakat memang percaya pada hal mistis, Nona. Terlebih lagi kejadian ini melibatkan seorang Artis.” Sang Manager kembali menimpali.“Konyol sekali,” sahut Adeline dengan nada sinis. “Lihatlah nama Wartawan yang merilis artikel ini. Bukankah dia orang yang saat itu datang bersama Manager mendiang Nona Diane?”Seketika itu, semua anggota rapat pun memastikan. Dan ya, memang wartawan itulah yang menggembor-gemborkan berita tak masuk akal tentang Picasso Ho
“Aish, sialan!” Cosseno mengumpat sembari menolah ke arah orang yang menahan lengannya. “Apa sekarang ibu mertua dan menantunya bersatu?!” Ya, tanpa Adeline duga, ternyata Anais datang dan membantunya. Bahkan calon ibu mertuanya itu menghempas tangan Cosseno agar menjauh darinya. “Kau tidak pernah belajar dari masa lalu, mengapa selalu membuat keributan?!” decak Anais amat tedas. “Apa yang kau tahu, hah?! Aku—” “Bukankah Nyonya Anne sudah memberi peringatan, bahwa sekali lagi kau berulah, maka kau akan menerima akibatnya?!” Anais segera menyambar seraya menoleh pada Lariat Anne. Awalnya pimpinan Dabin Community itu hanya bungkam selama Adeline dan Cosseno cekcok. Namun, kini dia disudutkan Adeline yang baru saja datang. Dengan tatapan sulit diterka, Lariat Anne kini berjalan mendekati Cosseno. “Nyonya Anais benar, saya sudah memberi satu kesempatan untuk Anda, Nyonya Cosseno. Tapi Anda mengabaikan peringatan saya dan terus membuat masalah!” dengus Lariat Anne dengan tangan berse
“Apa mempelai wanita sudah siap?” Tepat sebelum Adeline mengangkat senjata tajamnya, seorang staff wedding organizer tiba-tiba masuk ruangan. Seketika, Adeline bergegas menyembunyikan pisau tadi di balik punggungnya. Dengan wajah tegang, dia pun membalas, “baik, saya akan segera keluar.” Sabrina yang berada di dekat pintu menoleh pada Adeline sesaat. “Cih, dasar wanita bodoh!” desisnya mencibir. Staff WO yang mendengar samar ucapan Sabrina pun mengernyit. Dengan ragu-ragu dia bertanya, “maaf, apa Nyonya mengatakan sesuatu?” Alih-alih menjawab, Sabrina hanya tersenyum miring dan langsung mangkir dari ruangan tersebut. Staff WO itu kebingungan, tapi dia tak ingin ikut campur urusan orang lain. Dia menyusul pergi setelah memastikan Adeline siap memasuki altar. Sementara masih di dalam ruangan, Adeline berupaya menenangkan diri. Wanita itu meletakkan pisaunya sembari membatin, ‘sadarlah, Adeline. Mengapa kau terpancing hanya karena kata-katanya?!’ Dia menarik napas dalam, berusaha
“Tapi Nona, jika Anda tetap berdiri di samping mempelai pria, orang bisa berpikir bahwa Tuan River menikahi dua wanita.” Fotografer yang hendak memotret pengantin, seketika mengerutkan kening. Namun, wanita di sebelah kanan River itu malah keras kepala, bahkan dia semakin menempel pada River. “Pindahlah ke belakang, Bi!” River berbisik tanpa melirik Bianca. Ya, Bianca Oilis. Seorang putri keluarga Oilis yang akan dijodohkan dengan River, tapi sang pria menolak karena sudah menganggap Bianca seperti adiknya sendiri. Akan tetapi, Bianca yang cinta mati pada River, tidak menyerah begitu saja. Dia tetap mengejar River meski tahu pria itu menikahi wanita lain! Dengan bibir cemberut, Bianca pun menyahut, “tidak, Reins. Aku tidak mau! Memang apa salahnya jika aku berdiri di sebelahmu? Apa kita lebih serasi dibanding saat kau berdiri di samping istrimu?!” “Pindah sekarang atau aku akan menyeretmu keluar!” sambar River disertai lirikan tajam. Namun, lagi-lagi Bianca bersikeras menetap. Di
‘Si-simpanan? Apa dia gila!’ batin Adeline dengan manik terbelalak. Ya, dia yang kebetulan keluar aula, malah dikejutkan oleh Bianca yang terang-terangan ingin menjadi simpanan suaminya. Bahkan dia melihat jelas bahwa wanita itu sengaja menyentuh River untuk menggodanya. ‘Sialan! Apa yang dia lakukan?’ Adeline seketika berpaling saat Bianca coba mencium sang suami. Sungguh, Adeline tak tahan jika terus berada di tempat itu. Meski ini bukan pernikahan karena cinta, tapi Adeline benar-benar kecewa pada River. Dirinya segera beranjak seraya mengumpat dalam hati. ‘Aish, sial! Aku tahu dalam kontrak ini, kita tidak boleh ikut campur urusan pribadi masing-masing pihak, tapi setidaknya lakukan itu di tempat tertutup. Mengapa mereka harus bermesraan di luar aula pernikahan?!’ Adeline semakin mempercepat langkahnya disertai seringai tipis. Membayangkan pria yang baru dinikahinya mencium wanita lain, benar-benar seperti penghinaan bagi Adeline. ‘Sebenarnya apa tujuan River? Bukankah dia ya
“Anda bilang apa? Cemburu?!” Adeline mendecak dengan wajah tegang.Dia melirik River sekilas, lalu mendesis sinis. “Cih, konyol sekali! Mengapa saya harus cemburu?! Sangat lucu jika dalam hubungan kita ada seseorang yang cemburu!”Meski ucapan Adeline terdengar tegas, tapi sorot matanya membuat River ragu.“Apa Anda yakin?” Pria itu bertanya seiring dengan sebelah alisnya yang terangkat.“Bukankah hal seperti ini sudah jelas?” sahut Adeline dengan wajah datar. “Jadi Anda tidak perlu khawatir, Tuan Reiner. Saya tidak akan ikut campur atau penasaran dengan urusan pribadi Anda. Tapi, ingatlah satu hal, penuhi peran Anda sebagai pihak pertama dengan baik. Di depan umum kita adalah pasangan suami-istri, jadi uruslah percintaan Anda secara tertutup!”Akhirnya Adeline tak bisa membendung rasa kesalnya.Alih-alih mengiyakan, River malah menarik senyum miring. Tatapannya pun lebih lekat selaras dengan kakinya yang perlahan mendekati Adeline.“Sepertinya Anda salah paham, Nona!” katanya tegas.
‘Mengapa Adeline tiba-tiba menyinggung nama panggilan? Ini persoalan sensitive bagi Reins, jadi aku mengerti jika dia juga melarang istrinya memanggil nama itu,’ batin Anais dalam hati. Ibu River itu tampak tegang, hingga akhirnya menggulir tatapan pada Jade. Tapi sialnya sang suami juga sama terkejutnya dan tak bisa memberi tanggapan. “Apa ada masalah tentang nama itu, Ibu mertua? Saya tahu harusnya bertanya langsung pada River, tapi ….” Adeline menghentikan ucapnya dengan ragu-ragu. Tak ada pilihan lagi, akhirnya Anais pun membalas, “sebenarnya ini bukan masalah besar. Reins adalah nama panggilan yang aku berikan padanya saat kecil. Dia memang tidak suka orang lain memanggilnya dengan sebutan itu, karena merasa dia seperti anak-anak.” Anais pun tersenyum lembut agar menantunya tidak curiga. “Ternyata begitu,” sahut Adeline mengerjap. ‘Ya, lebih baik Adeline tidak tahu apapun tentang masa lalu Reins. Aku senang akhirnya anak itu bisa menikahi wanita lain, jadi aku harap dia juga
Adeline memandu Bianca masuk ke ruang pertemuan hotelnya, sebab tidak mungkin mereka bicara di depan lobi. “Jadi apa tujuan Anda menemui saya?” tukas Direktur Picasso Hotel itu bertanya.Alih-alih langsung menjawab, Bianca hanya tersenyum tipis. Tatapannya memindai penampilan Adeline dari atas sampai bawah.‘Tidak ada yang istimewa dari wanita ini? Bahkan jika dilihat-lihat, aku jauh lebih cantik darinya. Apa Reins buta? Untuk apa dia menikahi wanita membosankan ini?!’ batinnya mencibir dalam hati.Dia melipat kedua tangan ke depan dada seraya berkata, “saya ingin minta maaf untuk kejadian di hari pernikahan Anda, Nona.”Alis Adeline berkedut. Dia sama sekali tak melihat penyesalan di wajah Bianca saat memohon ampunan.“Seperti yang saya bilang saat di acara resepsi, hubungan saya dan Reins sangat dekat. Bahkan lebih dekat dari yang Anda bayangkan, karena saya sudah mengenal Reins jauh sebelum Reins bertemu dengan Anda. Jadi, saya harap Anda mengerti dan memaklumi hubungan kami, Nona
“Asley, bagaimana kau bisa jadi seliar ini? Sejak kapan ayah mengajarimu minum alkohol? Apalagi main bersama lelaki berandalan, hah?!” Derek memberang penuh amarah.Sang putri yang tak mengerti dengan sikapnya, kini tertegun.“A-ayah … sepertinya Ayah salah paham. Aku memang ada di bar untuk ker—”“Kau masih berani membantah?!” Derek langsung menyambar sebelum ucapan Ashley tuntas.Gadis itu melangkah lebih dekat, berusaha menjelaskan agar ayahnya jadi tenang. Namun, Derek dengan geramnya menyambar beberapa lembar foto dari nakas belakangnya, lalu melemparkan pada Ashley.Manik Ashley sontak berubah selebar cakram saat melihat potret dirinya yang tengah pingsan, sedang berada di antara dua pria yang memegang botol alkohol.“Hah! A-apa ini?!” Ashley menegang.Dia tahu foto itu rekayasa. Pasti Rose yang membuatnya. Tapi tetap saja Ashley sangat merinding sebab pria-pria tadi adalah dua orang yang sebelumnya menyekap Ashley di gedung tua. Sial, sensasi empedu seperti naik ke tenggorokan
*** “Buka pintunya!” titah seorang lelaki berbadan gempal yang membawa nampan makanan. Rekannya yang memiliki tato ular di lehernya, melirik bubur di nampan itu.“Apa dia bisa memakannya?” tanyanya.Lelaki gempal tadi menaikkan sebelah alisnya seraya menimpali, “siapa yang peduli? Yang penting kita sudah memberinya makanan. Kalau dia tidak mau makan, ya sudah. Mati saja sana. Itu lebih memudahkan pekerjaan kita.”Temannya tadi menarik seringai miring dan lantas membuka kunci pintu ruangan Ashley disekap. Di sana, gadis itu tampak pucat sebab sudah sehari dua malam ini perutnya tidak terisi makanan atau minuman. Dia memicing tajam saat dua lelaki mendatanginya. Lelaki bertato ular tadi melepas tali yang mengikat tangan dan kaki Ashley pada pilar. Begitu bebas, gadis itu seketika ambruk karena seluruh tubuhnya lemas. Lelaki gempal pun menyodorkan nampan makanan pada Ashley. “Makanlah jika kau masih mau hidup!”Alih-alih senang, Ashley justru menampik nampan tadi hingga mangkok bubu
“Putraku. Golongan darah putraku dan River sama,” ujar Adeline diliputi tegang. Tenaga medis di hadapannya pun menimpali, “mohon maaf, apa maksudnya putra Anda yang juga terluka dan datang bersama Tuan River? Kondisinya tidak memungkinkan jika melakukan tranfusi darah saat terluka, Nyonya.” “Tidak. Adiknya, saudara kembar Jenson. Aku akan membawa saudara kembar putraku ke sini,” sahut Adeline menjelaskan. Ya, tak ada pilihan lain yang cepat selain meminta bantuan Johan. Akhirnya Adeline menghubungi pemuda tersebut dan memintanya datang ke rumah sakit. Usai menunggu beberapa waktu, Johan pun tiba. Dia bergegas mengikuti perawat untuk mendonorkan darahnya pada River. “Johan,” tutur Adeline memanggil sang putra yang baru datang. “Mommy, bagaimana keadaan Daddy dan Jenson?” tanya pemuda tersebut. Dengan ekspresi tegang, Adeline pun menimpali, “mereka baru saja memindahkan Jenson ke ruang rawat, tapi Daddy sangat membutuhkanmu sekarang.” “Mommy tenang saja, saya sudah di sini. Daddy
Jennifer menoleh ke belakang saat suara langkah itu tak lagi terdengar. ‘Apa tadi hanya perasaanku?’ gemingnya mengerutkan kening. Tatapannya terus waspada, lalu kembali melangkah menuju lokernya. Namun, ketika dia berjalan beberapa langkah, suara tadi kembali menggema seakan mengikutinya. Jennfer terhenti dan detik itu juga tiba-tiba seseorang menepuk bahunya. “Hah!” Jennifer tersentak. Gadis itu dengan cepat berbalik dan langsung memukul lengan orang yang menyentuhnya. Dia hendak merengkuh punggung orang tersebut, lalu membantingnya. Akan tetapi, orang tadi malah mencekal tangan Jennifer, bahkan meraih pinggang gadis itu dan merapatkan pada tubuhnya. “Reflek yang bagus, gadisku,” bisik suara seorang pemuda. Jennifer mendongak. Di tengah kegelapan itu, dia menajamkan pandangan dan baru mengenali wajah orang di hadapannya. “Lionel?” katanya. “Apa aku mengejutkanmu?” sahut pemuda tersebut. “Ck!” Jennifer mendecak dan lantas mendorong Lionel menjauh darinya. Tapi pemuda itu kem
‘Hah! A-apa yang aku dengar?!’ batin Adeline tertegun.Ponsel yang digenggamnya pun jatuh. Dia nyaris tak percaya dengan pendengarannya, tapi suara yang memanggilnya sangatlah jelas. “Tidak mungkin! I-ini … tidak mungkin. Bajingan itu kembali?” gumamya terserang tegang.Bayangan wajah pria pemilik suara itu memenuhi kepala, hingga membuat napas Adeline tercekat. Sementara Johan yang semula berdiri di dekat jendela, kini langsung menghampiri sang ibu di tepi ranjang. Dia tampak cemas melihat Adeline terserang panik.“Mommy? Ada apa? Mommy baik-baik saja?” Pemuda itu bertanya.Adeline tak langsung menyahut. Bahkan dia seperti tak mendengar ucapan putranya. Johan pun menyentuh bahu wanita itu seraya berujar, “Mommy?”“Ah?!” Adeline akhirnya tersadar. “Johan, Mommy tidak apa-apa.” Wanita itu melanjutkan disertai senyum.Akan tetapi Johan tahu sang ibu tersenyum paksa. Dia melirik layar ponsel yang terjatuh ke ranjang, tapi Adeline buru-buru meraihnya dan membalik layarnya agar sang pu
S2: Aku Harus Memastikannya “Tuan River!” Terdengar suara lelaki memekik kencang. Itu anak buah River. Dia bergegas naik ke tangga dan menghampiri sang tuan. “Tuan River!” Lelaki itu membelalak saat melihat luka tembak dan darah yang mengalir dari perut River. “Tuan, bertahanlah. Kami akan membawa Anda ke rumah sakit!” Anak buah tersebut merengkuh River karena api dari ledakan di lantai dua mulai menyebar. Alih-alih langsung menurut, River malah menahan tangan anak buahnya tersebut. Dengan tatapan gemetar, pria itu bertanya, “Jenson. D-di mana Jenson? Apa kalian menemukannya?” “Ya, Tuan. Kami menemukan Tuan Muda Jenson jatuh dari atap,” sahut anak buah tersebut yang sontak memicu River melebarkan maniknya. “Tapi Anda tenang saja, Tuan Muda Jenson akan baik-baik saja. Beliau tidak terluka parah.” Mendengar itu, kecemasan River tak terkikis banyak. Dia tak akan lega sampai melihat kondisi sang putra dengan mata kepalanya sendiri. “Aku harus memastikannya!” tukas River penuh tekad
“Kau?!” Sorot Mata River bertambah tajam saat melihat sosok di balik masker hitam itu.Dia nyaris tak percaya, tapi wajah lelaki di hadapannya benar-benar jelas.“Apa kabar, Sepupu?!” ujar Frederick tersenyum miring.Ya, laki-laki itu memanglah Frederick Chen. Sepupu River yang lama koma akibat kecelakaan hebat sembilan belas tahun lalu. River tak tahu kapan Frederick sadar. Sudah lama dia tak mendengar kabarnya, karena Leah-nenek River telah memindahkan Frederick ke rumah sakit lain tanpa sepengetahuan orang lain.“Padahal aku merindukan Princess, tapi kau malah datang dengan tikusmu. Aku benar-benar kecewa!” Frederick melanjutkan sambil menaikkan kedua alisnya.Alih-alih langsung menyambar, River justru menekan cengkeraman lebih kuat di leher Frederick. Amukannya seketika membengkak saat sepupunya itu menyinggung sang istri.“Ugh ….” Napas Frederick sangat tercekat, tapi River tak peduli.“Kau! Berani sekali muncul di hadapanku lagi. Harusnya saat itu aku membunuhmu!” tukas River de
“Argh ….” Wanita yang bersama River mengerang saat dada kirinya tertembak.Gelenyar darah mengalir deras dari titik anak timah tenggelam. Wajahnya pun mulai pucat disertai keringat dingin karena menahan sakit.River merengkuhnya. Dengan alis bertaut, dia pun berkata, “bertahanlah, aku akan memanggil bantuan!”Baru saja selesai berujar, River merasakan tatapan tajam dari sebelah. Dengan sigap, dia mengacungkan pistol dan langsung melesatkan pelurunya. Akan tetapi tembakannya hanya mengenai pilar besar di sana.‘Brengsek!’ batinnya mengumpat saat menyadari beberapa orang berpakaian hitam mengelilingnya.Mereka semua membawa senjata. Dan itu membuat posisi River amat sulit karena dirinya kalah jumlah.Detik berikutnya dia dikejutkan oleh tepukan tangan yang menggema. Perhatian River sekejap teralih pada lelaki bermasker hitam yang berdiri di lantai atas.“River Reiner!” tukasnya penuh tekanan.Matanya memicing tajam pada wanita yang tertembak tadi dan lantas melanjutkan. “Apa kau sudah s
“Hubungi tunangan Jenson!” Johan meminta dengan wajah datarnya.Jennifer seketika mempersempit jarak alisnya. Dia heran karena tiba-tiba sang kakak menyinggung gadis tersebut. Dengan ragu, dia pun bertanya, “ma-maksud Kak Johan … Ashley Walter?”“Ya, cari tahu apakah dia ada di kediaman Walter atau tidak.”Mendengar permintaan itu, malah memicu rasa curiga Jennifer membesar. Tidak biasanya Johan peduli pada orang lain. Terlebih ini tunangan saudara kembarnya.‘Hah! Entah kenapa aku jadi sebal pada Ashley Walter. Tidak hanya satu atau dua kali, tapi dia sering membuat Jenson maupun Kak Johan terlibat masalah. Sebenarnya gadis seperti apa dia?’ batin Jennifer dalam hati. “Jenny?” Johan membuyarkan lamunan sang adik. Jennifer kembali mengangkat pandangan padanya. Sorot matanya berubah lebih tegas seolah tak menyukai pembahasan ini. “Kak Johan, kenapa kau peduli pada Ashley?!” decaknya menuntut penjelasan.Alis Johan sekejap mendapuk. “Apa yang kau bicarakan, Jenny? Aku bertanya karen