***“Siapa wanita itu, Bi? Aku belum pernah melihatnya, apa dia tamu yang kau undang?” tanya teman Bianca saat melirik Adeline.Teman lainnya dengan perawakan tinggi juga berkata, “mengapa dia hanya berdiri di sana? Mengapa dia tidak menyapamu?”Alih-alih langsung menjawab, Bianca justru menyeringi tipis. Agaknya dia berhasil membuat orang-orang berasumsi negative saat pertama kali melihat Adeline.“Yah, dia hanya seseorang yang aku kenal. Hubungan kami juga tidak dekat, aku hanya mengundangnya karena sungkan pada Reins,” decak Bianca seraya memutar bola matanya.“Tunggu, mengapa kau menyinggung River? Apa hubungan wanita itu dengan River?” Teman Bianca seketika menyahut.Belum sempat Bianca menimpali, temannya yang lain pun menyambar. “Ah … jangan bilang kalau dia istri River Reiner?!”Beberapa teman dekat Bianca langsung memperhatikan Adeline lebih lekat. Mereka tampak mengernyit dan saling berbisik setelah menyadarinya.“Oh my God! Jadi benar, dia istri River? Ternyata dia tidak se
“Reins?!” tukas Bianca dengan manik membelalak. Dia seketika mengubah ekspresi wajahnya menjadi melas saat River datang. Dirinya juga merintih penuh kesakitan untuk mencuri rasa iba pria tersebut. “ah … ini sakit, Nona Adeline. Bagaimana bisa Anda sangat kasar pada saya? Tolong aku, Reins. Mengapa kelakuan istrimu seperti preman?” tuturnya mengeluh. ‘Aish, sial! Rupanya jalang ini bermuka dua, benar-benar memuakkan!’ Adeline membantin kesal. Tatapan River amat dingin, dan itu membuat Adeline yang masih mencengkeram rambut Bianca menjadi tegang. “Lepaskan.” River berkata dengan nadanya yang datar. Namun, Adeline tak ada niat untuk melepas Bianca begitu saja. Dia sudah menerima cibiran, cacian, dan dipermalukan sampai tubuhnya lengket karena siraman wine. Adeline bukan wanita yang akan tunduk hanya karena orang lain menyerangnya, dia akan membalas dua kali lipat pada siapapun itu.“Lepaskan dia!” decak River lebih tedas. Adeline yang geram lantas menyahut dengan manik gemetar. “Sa
‘Mengapa River tiba-tiba ….’ Adeline menghentikan ucapnya dalam batin saat ibu jari River mengusap lembut bibirnya. Sensasi panas perlahan naik ke pipi Adeline hingga membuat dadanya bergemuruh penuh degup. Dia ingin bertanya maksud River, tapi mulutnya seperti terkunci. Pria itu menghentikan tangannya saat berada di tengah bibir Adeline. Bahkan jarinya bergerak nakal dengan menekan benda kenyal yang merona itu. Dengan suara baritonenya yang serak, River pun berbisik, “ini terlalu merah, istriku.” Sontak, jantung Adeline semakin berpacu kencang. Dia merasa wajahnya semerah tomat, hingga buru-buru berpaling ke samping. ‘Sial, apa-apaan pria ini?!’ batin Adeline mengumpat. River seketika menyeringai melihat sang wanita salah tingkah. Dia melirik ibu jarinya yang kini terkena noda merah dari lipstick Adeline. “Apa Anda sakit?” tukasnya bertanya. “Wajah Anda terlihat merah, apa mungkin Anda demam, istriku?” Adeline tertambah tegang saat River kembali memanggilnya dengan sebutan ist
“Jaga sikapmu, Bianca!” Anais membentak karena tak tahan dengan kelakuan putri keluarga Oilis itu. Namun, Bianca yang terobsesi pada River tak akan berhenti hanya karena Anais memintanya. Dengan wajah berang, dia pun menyahut, “apa Bibi Anais tidak penasaran dengan pernikahan Reins dan Adeline? Sebelumnya mereka tidak saling kenal, tapi bagaimana mungkin—” “Aku tahu kau kecewa karena Reins menolak perjodohan denganmu dan memilih Adeline. Tapi haruskah kau mengarang cerita seperti ini?!” Anais semakin meninggikan nadanya. Ucapan itu membuat Bianca terdiam sesaat, tapi sorot matanya kian tajam menatap Adeline, yang dianggapnya batu sandungan terbesar untuk mendapatkan River. “Kalau memang pernikahan mereka tidak palsu, maka mereka bisa membuktikannya, Bibi. Namun, Bibi lihat sendiri, Reins dan Adeline hanya diam. Bukankah artinya mereka menipu kalian semua?!” dengus Bianca penuh tekanan. River yang melihat tingkah Bianca seketika menyeringi tipis. Dia tahu sikap buruk Bianca, tapi
***“Tidak bisakah Anda mengosongkan satu kamar suite room untuk saya? Saya bisa membayar lebih dari harga normal per malamnya,” tutur seorang nyonya muda dengan penampilan mewah.Dia tampak memohon pada resepsionis Picasso Hotel.“Mohon maaf, Nyonya. Saat ini sampai beberapa hari ke depan suite room sedang penuh. Anda bisa membuat reservasi dulu jika ingin menginap di sana.” Resepsionis tadi membalas hati-hati.“Astaga, berapa lama lagi saya harus menunggu? Bisa-bisa hadiah limited edition untuk tamu suite room itu habis!” desah Nyonya tadi mengeluh.Resepsionis hotel hanya menanggapi dengan senyuman. Ya, teknik Adeline yang memberikan hadiah eksklusif, rupanya sangat efektif bagi ketenaran hotelnya. Banyak nyonya dan nona konglomerat yang haus fashion tergila-gila dengan tas unik yang menjadi hadiah bagi tamu suite room.“Bagaimana jika saya membeli tasnya saja. Pasti bisa ‘kan?”“Saya benar-benar mohon maaf, Nyonya. Hadiah itu hanya bisa didapat ketika tamu menginap di suite room,”
“Menurut Anda, apa yang akan dilakukan sepasang suami istri saat bulan madu?” River bertanya dengan sorot dingin. Ucapan itu sontak membuat Adeline terbelalak. Dia mengerjap dan langsung menampik. “Tuan Reiner, Anda bercanda ‘kan? Semua orang memang tahu kalau kita bulan madu, tapi bukan berarti kita harus tidur bersama!” River pun menarik seringai tipisnya saat melihat pipi sang istri berubah merah. “Jadi itu yang Anda pikirkan? Saya tidak tahu kalau Anda ingin tidur bersama saya, Nona,” sahut River sengaja menggoda. “Tunggu, bukan begitu maksud saya! Bu-bukankah Anda yang—” “Saya tidak bilang bahwa kita akan tidur bersama atau melakukan hubungan suami istri. Tapi, jika Anda menginginkannya malam ini, saya akan pikirkan.” River segera menyambar kata-kata Adeline seiring dengan alisnya yang terangkat sebelah. “A-apa?” Alih-alih membalas pertanyaan Adeline, River malah mangkir dengan seringai samarnya. Dan itu sungguh membuat Adeline kesal bukan main. “Ini bukan seperti yang An
River segera menampik tangan informan yang tengah mengacungkan pistol, hingga peluru yang awalnya diarahkan pada Adeline, kini melesat ke udara. “Tuan?” Sang informan seketika bingung. Beruntung anak timah itu tak jadi menembus raga Adeline, tapi dirinya yang terkejut tak sengaja jatuh. Kakinya yang hendak mundur, malah keseleo sampai membuatnya ambruk. Dan sialnya tangan kanan Adeline menatap pinggiran kolam renang, bahkan tak mampu menahan tubuhnya hingga jatuh ke kolam. “Tidak!” River bergegas menghampiri Adeline. Namun, saat sampai di dekat kolam, dia tiba-tiba berhenti dengan tatapan tegang. Melihat hamparan air di kolam yang gelap itu, seperti ada tali yang bergerak melilit dari kaki sampai mencekik lehernya, sungguh sesak. Bahkan keringat dingin mendadak membasahi tengkuk River. Ya, dia yang trauma saat nyaris tenggelam di lautan dulu, kini ragu untuk masuk ke air. Akan tetapi, Adeline yang tangannya terluka, jadi kesulitan berenang. ‘Tidak, aku harus menyelamatkannya!’ ba
“A-apa kau bilang? Bra?” River bertanya ragu-ragu. Seketika, rasa malu naik ke wajah Adeline. Dia ingin membatalkan permintaan, tapi sialnya itu tidak mungkin. Wanita tersebut membuang pandangan ke samping seraya berkata, “a-aku tidak bisa menekuk kedua tangan ke belakang. Jadi aku tidak bisa memasang pengaitnya.” Alih-alih langsung menjawab, River malah menarik seringai tipis. Maniknya kian terpaku pada Adeline hingga membuat istrinya itu canggung bukan main. “Me-mengapa kau melihatku seperti itu? Jika kau tidak mau melakukannya—” “Berbaliklah,” sahut River yang lantas membuat sang istri mengerjap. “Bukankah bagian yang harus dikaitkan ada di belakang? Jadi berbaliklah.” “Oh? Ah … benar.” Adeline membalas dengan wajah kaku. Dia perlahan berbalik, tapi rasa canggung semakin mendominasi hingga dalam hati berkata, ‘aish, dasar pengait bra sialan! Harusnya aku tidak minta tolong padanya ‘kan? Ini jadi semakin tidak nyaman, mengapa tadi aku … ah, kau memang bodoh, Adeline!’ Sungguh