“Anda bilang apa? Cemburu?!” Adeline mendecak dengan wajah tegang.Dia melirik River sekilas, lalu mendesis sinis. “Cih, konyol sekali! Mengapa saya harus cemburu?! Sangat lucu jika dalam hubungan kita ada seseorang yang cemburu!”Meski ucapan Adeline terdengar tegas, tapi sorot matanya membuat River ragu.“Apa Anda yakin?” Pria itu bertanya seiring dengan sebelah alisnya yang terangkat.“Bukankah hal seperti ini sudah jelas?” sahut Adeline dengan wajah datar. “Jadi Anda tidak perlu khawatir, Tuan Reiner. Saya tidak akan ikut campur atau penasaran dengan urusan pribadi Anda. Tapi, ingatlah satu hal, penuhi peran Anda sebagai pihak pertama dengan baik. Di depan umum kita adalah pasangan suami-istri, jadi uruslah percintaan Anda secara tertutup!”Akhirnya Adeline tak bisa membendung rasa kesalnya.Alih-alih mengiyakan, River malah menarik senyum miring. Tatapannya pun lebih lekat selaras dengan kakinya yang perlahan mendekati Adeline.“Sepertinya Anda salah paham, Nona!” katanya tegas.
‘Mengapa Adeline tiba-tiba menyinggung nama panggilan? Ini persoalan sensitive bagi Reins, jadi aku mengerti jika dia juga melarang istrinya memanggil nama itu,’ batin Anais dalam hati. Ibu River itu tampak tegang, hingga akhirnya menggulir tatapan pada Jade. Tapi sialnya sang suami juga sama terkejutnya dan tak bisa memberi tanggapan. “Apa ada masalah tentang nama itu, Ibu mertua? Saya tahu harusnya bertanya langsung pada River, tapi ….” Adeline menghentikan ucapnya dengan ragu-ragu. Tak ada pilihan lagi, akhirnya Anais pun membalas, “sebenarnya ini bukan masalah besar. Reins adalah nama panggilan yang aku berikan padanya saat kecil. Dia memang tidak suka orang lain memanggilnya dengan sebutan itu, karena merasa dia seperti anak-anak.” Anais pun tersenyum lembut agar menantunya tidak curiga. “Ternyata begitu,” sahut Adeline mengerjap. ‘Ya, lebih baik Adeline tidak tahu apapun tentang masa lalu Reins. Aku senang akhirnya anak itu bisa menikahi wanita lain, jadi aku harap dia juga
Adeline memandu Bianca masuk ke ruang pertemuan hotelnya, sebab tidak mungkin mereka bicara di depan lobi. “Jadi apa tujuan Anda menemui saya?” tukas Direktur Picasso Hotel itu bertanya.Alih-alih langsung menjawab, Bianca hanya tersenyum tipis. Tatapannya memindai penampilan Adeline dari atas sampai bawah.‘Tidak ada yang istimewa dari wanita ini? Bahkan jika dilihat-lihat, aku jauh lebih cantik darinya. Apa Reins buta? Untuk apa dia menikahi wanita membosankan ini?!’ batinnya mencibir dalam hati.Dia melipat kedua tangan ke depan dada seraya berkata, “saya ingin minta maaf untuk kejadian di hari pernikahan Anda, Nona.”Alis Adeline berkedut. Dia sama sekali tak melihat penyesalan di wajah Bianca saat memohon ampunan.“Seperti yang saya bilang saat di acara resepsi, hubungan saya dan Reins sangat dekat. Bahkan lebih dekat dari yang Anda bayangkan, karena saya sudah mengenal Reins jauh sebelum Reins bertemu dengan Anda. Jadi, saya harap Anda mengerti dan memaklumi hubungan kami, Nona
***“Siapa wanita itu, Bi? Aku belum pernah melihatnya, apa dia tamu yang kau undang?” tanya teman Bianca saat melirik Adeline.Teman lainnya dengan perawakan tinggi juga berkata, “mengapa dia hanya berdiri di sana? Mengapa dia tidak menyapamu?”Alih-alih langsung menjawab, Bianca justru menyeringi tipis. Agaknya dia berhasil membuat orang-orang berasumsi negative saat pertama kali melihat Adeline.“Yah, dia hanya seseorang yang aku kenal. Hubungan kami juga tidak dekat, aku hanya mengundangnya karena sungkan pada Reins,” decak Bianca seraya memutar bola matanya.“Tunggu, mengapa kau menyinggung River? Apa hubungan wanita itu dengan River?” Teman Bianca seketika menyahut.Belum sempat Bianca menimpali, temannya yang lain pun menyambar. “Ah … jangan bilang kalau dia istri River Reiner?!”Beberapa teman dekat Bianca langsung memperhatikan Adeline lebih lekat. Mereka tampak mengernyit dan saling berbisik setelah menyadarinya.“Oh my God! Jadi benar, dia istri River? Ternyata dia tidak se
“Reins?!” tukas Bianca dengan manik membelalak. Dia seketika mengubah ekspresi wajahnya menjadi melas saat River datang. Dirinya juga merintih penuh kesakitan untuk mencuri rasa iba pria tersebut. “ah … ini sakit, Nona Adeline. Bagaimana bisa Anda sangat kasar pada saya? Tolong aku, Reins. Mengapa kelakuan istrimu seperti preman?” tuturnya mengeluh. ‘Aish, sial! Rupanya jalang ini bermuka dua, benar-benar memuakkan!’ Adeline membantin kesal. Tatapan River amat dingin, dan itu membuat Adeline yang masih mencengkeram rambut Bianca menjadi tegang. “Lepaskan.” River berkata dengan nadanya yang datar. Namun, Adeline tak ada niat untuk melepas Bianca begitu saja. Dia sudah menerima cibiran, cacian, dan dipermalukan sampai tubuhnya lengket karena siraman wine. Adeline bukan wanita yang akan tunduk hanya karena orang lain menyerangnya, dia akan membalas dua kali lipat pada siapapun itu.“Lepaskan dia!” decak River lebih tedas. Adeline yang geram lantas menyahut dengan manik gemetar. “Sa
‘Mengapa River tiba-tiba ….’ Adeline menghentikan ucapnya dalam batin saat ibu jari River mengusap lembut bibirnya. Sensasi panas perlahan naik ke pipi Adeline hingga membuat dadanya bergemuruh penuh degup. Dia ingin bertanya maksud River, tapi mulutnya seperti terkunci. Pria itu menghentikan tangannya saat berada di tengah bibir Adeline. Bahkan jarinya bergerak nakal dengan menekan benda kenyal yang merona itu. Dengan suara baritonenya yang serak, River pun berbisik, “ini terlalu merah, istriku.” Sontak, jantung Adeline semakin berpacu kencang. Dia merasa wajahnya semerah tomat, hingga buru-buru berpaling ke samping. ‘Sial, apa-apaan pria ini?!’ batin Adeline mengumpat. River seketika menyeringai melihat sang wanita salah tingkah. Dia melirik ibu jarinya yang kini terkena noda merah dari lipstick Adeline. “Apa Anda sakit?” tukasnya bertanya. “Wajah Anda terlihat merah, apa mungkin Anda demam, istriku?” Adeline tertambah tegang saat River kembali memanggilnya dengan sebutan ist
“Jaga sikapmu, Bianca!” Anais membentak karena tak tahan dengan kelakuan putri keluarga Oilis itu. Namun, Bianca yang terobsesi pada River tak akan berhenti hanya karena Anais memintanya. Dengan wajah berang, dia pun menyahut, “apa Bibi Anais tidak penasaran dengan pernikahan Reins dan Adeline? Sebelumnya mereka tidak saling kenal, tapi bagaimana mungkin—” “Aku tahu kau kecewa karena Reins menolak perjodohan denganmu dan memilih Adeline. Tapi haruskah kau mengarang cerita seperti ini?!” Anais semakin meninggikan nadanya. Ucapan itu membuat Bianca terdiam sesaat, tapi sorot matanya kian tajam menatap Adeline, yang dianggapnya batu sandungan terbesar untuk mendapatkan River. “Kalau memang pernikahan mereka tidak palsu, maka mereka bisa membuktikannya, Bibi. Namun, Bibi lihat sendiri, Reins dan Adeline hanya diam. Bukankah artinya mereka menipu kalian semua?!” dengus Bianca penuh tekanan. River yang melihat tingkah Bianca seketika menyeringi tipis. Dia tahu sikap buruk Bianca, tapi
***“Tidak bisakah Anda mengosongkan satu kamar suite room untuk saya? Saya bisa membayar lebih dari harga normal per malamnya,” tutur seorang nyonya muda dengan penampilan mewah.Dia tampak memohon pada resepsionis Picasso Hotel.“Mohon maaf, Nyonya. Saat ini sampai beberapa hari ke depan suite room sedang penuh. Anda bisa membuat reservasi dulu jika ingin menginap di sana.” Resepsionis tadi membalas hati-hati.“Astaga, berapa lama lagi saya harus menunggu? Bisa-bisa hadiah limited edition untuk tamu suite room itu habis!” desah Nyonya tadi mengeluh.Resepsionis hotel hanya menanggapi dengan senyuman. Ya, teknik Adeline yang memberikan hadiah eksklusif, rupanya sangat efektif bagi ketenaran hotelnya. Banyak nyonya dan nona konglomerat yang haus fashion tergila-gila dengan tas unik yang menjadi hadiah bagi tamu suite room.“Bagaimana jika saya membeli tasnya saja. Pasti bisa ‘kan?”“Saya benar-benar mohon maaf, Nyonya. Hadiah itu hanya bisa didapat ketika tamu menginap di suite room,”
“Asley, bagaimana kau bisa jadi seliar ini? Sejak kapan ayah mengajarimu minum alkohol? Apalagi main bersama lelaki berandalan, hah?!” Derek memberang penuh amarah.Sang putri yang tak mengerti dengan sikapnya, kini tertegun.“A-ayah … sepertinya Ayah salah paham. Aku memang ada di bar untuk ker—”“Kau masih berani membantah?!” Derek langsung menyambar sebelum ucapan Ashley tuntas.Gadis itu melangkah lebih dekat, berusaha menjelaskan agar ayahnya jadi tenang. Namun, Derek dengan geramnya menyambar beberapa lembar foto dari nakas belakangnya, lalu melemparkan pada Ashley.Manik Ashley sontak berubah selebar cakram saat melihat potret dirinya yang tengah pingsan, sedang berada di antara dua pria yang memegang botol alkohol.“Hah! A-apa ini?!” Ashley menegang.Dia tahu foto itu rekayasa. Pasti Rose yang membuatnya. Tapi tetap saja Ashley sangat merinding sebab pria-pria tadi adalah dua orang yang sebelumnya menyekap Ashley di gedung tua. Sial, sensasi empedu seperti naik ke tenggorokan
*** “Buka pintunya!” titah seorang lelaki berbadan gempal yang membawa nampan makanan. Rekannya yang memiliki tato ular di lehernya, melirik bubur di nampan itu.“Apa dia bisa memakannya?” tanyanya.Lelaki gempal tadi menaikkan sebelah alisnya seraya menimpali, “siapa yang peduli? Yang penting kita sudah memberinya makanan. Kalau dia tidak mau makan, ya sudah. Mati saja sana. Itu lebih memudahkan pekerjaan kita.”Temannya tadi menarik seringai miring dan lantas membuka kunci pintu ruangan Ashley disekap. Di sana, gadis itu tampak pucat sebab sudah sehari dua malam ini perutnya tidak terisi makanan atau minuman. Dia memicing tajam saat dua lelaki mendatanginya. Lelaki bertato ular tadi melepas tali yang mengikat tangan dan kaki Ashley pada pilar. Begitu bebas, gadis itu seketika ambruk karena seluruh tubuhnya lemas. Lelaki gempal pun menyodorkan nampan makanan pada Ashley. “Makanlah jika kau masih mau hidup!”Alih-alih senang, Ashley justru menampik nampan tadi hingga mangkok bubu
“Putraku. Golongan darah putraku dan River sama,” ujar Adeline diliputi tegang. Tenaga medis di hadapannya pun menimpali, “mohon maaf, apa maksudnya putra Anda yang juga terluka dan datang bersama Tuan River? Kondisinya tidak memungkinkan jika melakukan tranfusi darah saat terluka, Nyonya.” “Tidak. Adiknya, saudara kembar Jenson. Aku akan membawa saudara kembar putraku ke sini,” sahut Adeline menjelaskan. Ya, tak ada pilihan lain yang cepat selain meminta bantuan Johan. Akhirnya Adeline menghubungi pemuda tersebut dan memintanya datang ke rumah sakit. Usai menunggu beberapa waktu, Johan pun tiba. Dia bergegas mengikuti perawat untuk mendonorkan darahnya pada River. “Johan,” tutur Adeline memanggil sang putra yang baru datang. “Mommy, bagaimana keadaan Daddy dan Jenson?” tanya pemuda tersebut. Dengan ekspresi tegang, Adeline pun menimpali, “mereka baru saja memindahkan Jenson ke ruang rawat, tapi Daddy sangat membutuhkanmu sekarang.” “Mommy tenang saja, saya sudah di sini. Daddy
Jennifer menoleh ke belakang saat suara langkah itu tak lagi terdengar. ‘Apa tadi hanya perasaanku?’ gemingnya mengerutkan kening. Tatapannya terus waspada, lalu kembali melangkah menuju lokernya. Namun, ketika dia berjalan beberapa langkah, suara tadi kembali menggema seakan mengikutinya. Jennfer terhenti dan detik itu juga tiba-tiba seseorang menepuk bahunya. “Hah!” Jennifer tersentak. Gadis itu dengan cepat berbalik dan langsung memukul lengan orang yang menyentuhnya. Dia hendak merengkuh punggung orang tersebut, lalu membantingnya. Akan tetapi, orang tadi malah mencekal tangan Jennifer, bahkan meraih pinggang gadis itu dan merapatkan pada tubuhnya. “Reflek yang bagus, gadisku,” bisik suara seorang pemuda. Jennifer mendongak. Di tengah kegelapan itu, dia menajamkan pandangan dan baru mengenali wajah orang di hadapannya. “Lionel?” katanya. “Apa aku mengejutkanmu?” sahut pemuda tersebut. “Ck!” Jennifer mendecak dan lantas mendorong Lionel menjauh darinya. Tapi pemuda itu kem
‘Hah! A-apa yang aku dengar?!’ batin Adeline tertegun.Ponsel yang digenggamnya pun jatuh. Dia nyaris tak percaya dengan pendengarannya, tapi suara yang memanggilnya sangatlah jelas. “Tidak mungkin! I-ini … tidak mungkin. Bajingan itu kembali?” gumamya terserang tegang.Bayangan wajah pria pemilik suara itu memenuhi kepala, hingga membuat napas Adeline tercekat. Sementara Johan yang semula berdiri di dekat jendela, kini langsung menghampiri sang ibu di tepi ranjang. Dia tampak cemas melihat Adeline terserang panik.“Mommy? Ada apa? Mommy baik-baik saja?” Pemuda itu bertanya.Adeline tak langsung menyahut. Bahkan dia seperti tak mendengar ucapan putranya. Johan pun menyentuh bahu wanita itu seraya berujar, “Mommy?”“Ah?!” Adeline akhirnya tersadar. “Johan, Mommy tidak apa-apa.” Wanita itu melanjutkan disertai senyum.Akan tetapi Johan tahu sang ibu tersenyum paksa. Dia melirik layar ponsel yang terjatuh ke ranjang, tapi Adeline buru-buru meraihnya dan membalik layarnya agar sang pu
S2: Aku Harus Memastikannya “Tuan River!” Terdengar suara lelaki memekik kencang. Itu anak buah River. Dia bergegas naik ke tangga dan menghampiri sang tuan. “Tuan River!” Lelaki itu membelalak saat melihat luka tembak dan darah yang mengalir dari perut River. “Tuan, bertahanlah. Kami akan membawa Anda ke rumah sakit!” Anak buah tersebut merengkuh River karena api dari ledakan di lantai dua mulai menyebar. Alih-alih langsung menurut, River malah menahan tangan anak buahnya tersebut. Dengan tatapan gemetar, pria itu bertanya, “Jenson. D-di mana Jenson? Apa kalian menemukannya?” “Ya, Tuan. Kami menemukan Tuan Muda Jenson jatuh dari atap,” sahut anak buah tersebut yang sontak memicu River melebarkan maniknya. “Tapi Anda tenang saja, Tuan Muda Jenson akan baik-baik saja. Beliau tidak terluka parah.” Mendengar itu, kecemasan River tak terkikis banyak. Dia tak akan lega sampai melihat kondisi sang putra dengan mata kepalanya sendiri. “Aku harus memastikannya!” tukas River penuh tekad
“Kau?!” Sorot Mata River bertambah tajam saat melihat sosok di balik masker hitam itu.Dia nyaris tak percaya, tapi wajah lelaki di hadapannya benar-benar jelas.“Apa kabar, Sepupu?!” ujar Frederick tersenyum miring.Ya, laki-laki itu memanglah Frederick Chen. Sepupu River yang lama koma akibat kecelakaan hebat sembilan belas tahun lalu. River tak tahu kapan Frederick sadar. Sudah lama dia tak mendengar kabarnya, karena Leah-nenek River telah memindahkan Frederick ke rumah sakit lain tanpa sepengetahuan orang lain.“Padahal aku merindukan Princess, tapi kau malah datang dengan tikusmu. Aku benar-benar kecewa!” Frederick melanjutkan sambil menaikkan kedua alisnya.Alih-alih langsung menyambar, River justru menekan cengkeraman lebih kuat di leher Frederick. Amukannya seketika membengkak saat sepupunya itu menyinggung sang istri.“Ugh ….” Napas Frederick sangat tercekat, tapi River tak peduli.“Kau! Berani sekali muncul di hadapanku lagi. Harusnya saat itu aku membunuhmu!” tukas River de
“Argh ….” Wanita yang bersama River mengerang saat dada kirinya tertembak.Gelenyar darah mengalir deras dari titik anak timah tenggelam. Wajahnya pun mulai pucat disertai keringat dingin karena menahan sakit.River merengkuhnya. Dengan alis bertaut, dia pun berkata, “bertahanlah, aku akan memanggil bantuan!”Baru saja selesai berujar, River merasakan tatapan tajam dari sebelah. Dengan sigap, dia mengacungkan pistol dan langsung melesatkan pelurunya. Akan tetapi tembakannya hanya mengenai pilar besar di sana.‘Brengsek!’ batinnya mengumpat saat menyadari beberapa orang berpakaian hitam mengelilingnya.Mereka semua membawa senjata. Dan itu membuat posisi River amat sulit karena dirinya kalah jumlah.Detik berikutnya dia dikejutkan oleh tepukan tangan yang menggema. Perhatian River sekejap teralih pada lelaki bermasker hitam yang berdiri di lantai atas.“River Reiner!” tukasnya penuh tekanan.Matanya memicing tajam pada wanita yang tertembak tadi dan lantas melanjutkan. “Apa kau sudah s
“Hubungi tunangan Jenson!” Johan meminta dengan wajah datarnya.Jennifer seketika mempersempit jarak alisnya. Dia heran karena tiba-tiba sang kakak menyinggung gadis tersebut. Dengan ragu, dia pun bertanya, “ma-maksud Kak Johan … Ashley Walter?”“Ya, cari tahu apakah dia ada di kediaman Walter atau tidak.”Mendengar permintaan itu, malah memicu rasa curiga Jennifer membesar. Tidak biasanya Johan peduli pada orang lain. Terlebih ini tunangan saudara kembarnya.‘Hah! Entah kenapa aku jadi sebal pada Ashley Walter. Tidak hanya satu atau dua kali, tapi dia sering membuat Jenson maupun Kak Johan terlibat masalah. Sebenarnya gadis seperti apa dia?’ batin Jennifer dalam hati. “Jenny?” Johan membuyarkan lamunan sang adik. Jennifer kembali mengangkat pandangan padanya. Sorot matanya berubah lebih tegas seolah tak menyukai pembahasan ini. “Kak Johan, kenapa kau peduli pada Ashley?!” decaknya menuntut penjelasan.Alis Johan sekejap mendapuk. “Apa yang kau bicarakan, Jenny? Aku bertanya karen