“Menurut Anda, apa yang akan dilakukan sepasang suami istri saat bulan madu?” River bertanya dengan sorot dingin. Ucapan itu sontak membuat Adeline terbelalak. Dia mengerjap dan langsung menampik. “Tuan Reiner, Anda bercanda ‘kan? Semua orang memang tahu kalau kita bulan madu, tapi bukan berarti kita harus tidur bersama!” River pun menarik seringai tipisnya saat melihat pipi sang istri berubah merah. “Jadi itu yang Anda pikirkan? Saya tidak tahu kalau Anda ingin tidur bersama saya, Nona,” sahut River sengaja menggoda. “Tunggu, bukan begitu maksud saya! Bu-bukankah Anda yang—” “Saya tidak bilang bahwa kita akan tidur bersama atau melakukan hubungan suami istri. Tapi, jika Anda menginginkannya malam ini, saya akan pikirkan.” River segera menyambar kata-kata Adeline seiring dengan alisnya yang terangkat sebelah. “A-apa?” Alih-alih membalas pertanyaan Adeline, River malah mangkir dengan seringai samarnya. Dan itu sungguh membuat Adeline kesal bukan main. “Ini bukan seperti yang An
River segera menampik tangan informan yang tengah mengacungkan pistol, hingga peluru yang awalnya diarahkan pada Adeline, kini melesat ke udara. “Tuan?” Sang informan seketika bingung. Beruntung anak timah itu tak jadi menembus raga Adeline, tapi dirinya yang terkejut tak sengaja jatuh. Kakinya yang hendak mundur, malah keseleo sampai membuatnya ambruk. Dan sialnya tangan kanan Adeline menatap pinggiran kolam renang, bahkan tak mampu menahan tubuhnya hingga jatuh ke kolam. “Tidak!” River bergegas menghampiri Adeline. Namun, saat sampai di dekat kolam, dia tiba-tiba berhenti dengan tatapan tegang. Melihat hamparan air di kolam yang gelap itu, seperti ada tali yang bergerak melilit dari kaki sampai mencekik lehernya, sungguh sesak. Bahkan keringat dingin mendadak membasahi tengkuk River. Ya, dia yang trauma saat nyaris tenggelam di lautan dulu, kini ragu untuk masuk ke air. Akan tetapi, Adeline yang tangannya terluka, jadi kesulitan berenang. ‘Tidak, aku harus menyelamatkannya!’ ba
“A-apa kau bilang? Bra?” River bertanya ragu-ragu. Seketika, rasa malu naik ke wajah Adeline. Dia ingin membatalkan permintaan, tapi sialnya itu tidak mungkin. Wanita tersebut membuang pandangan ke samping seraya berkata, “a-aku tidak bisa menekuk kedua tangan ke belakang. Jadi aku tidak bisa memasang pengaitnya.” Alih-alih langsung menjawab, River malah menarik seringai tipis. Maniknya kian terpaku pada Adeline hingga membuat istrinya itu canggung bukan main. “Me-mengapa kau melihatku seperti itu? Jika kau tidak mau melakukannya—” “Berbaliklah,” sahut River yang lantas membuat sang istri mengerjap. “Bukankah bagian yang harus dikaitkan ada di belakang? Jadi berbaliklah.” “Oh? Ah … benar.” Adeline membalas dengan wajah kaku. Dia perlahan berbalik, tapi rasa canggung semakin mendominasi hingga dalam hati berkata, ‘aish, dasar pengait bra sialan! Harusnya aku tidak minta tolong padanya ‘kan? Ini jadi semakin tidak nyaman, mengapa tadi aku … ah, kau memang bodoh, Adeline!’ Sungguh
“Permisi!” Terdengar suara lelaki dari luar, tapi Adeline tak bisa langsung membuka pintu karena curiga seperti tamu yang terakhir kali datang. ‘Tadi malam ada pria membawa pistol dan nyaris membunuhku, lalu kali ini siapa?’ batin wanita itu waspada. Akhirnya Adeline kembali ke kamar untuk mengambil alat kejut listrik yang diberikan River kala itu. Kemudian dia melangkah hati-hati menuju pintu depan. Tangannya memegang alat tadi dan bersiap menyerang lelaki yang ada di luar. Dan begitu membuka pintu, Adeline seketika tersentak. Dia tak menyangka karena orang yang datang ternyata di luar dugaannya. “Nona Adeline?” tukas lelaki itu yang rupanya seorang Dokter. “Be-benar.” Adeline menjawab dengan terbata. “Tuan River memanggil saya untuk memeriksa Anda, Nona.” Sungguh, Adeline tak menyangka ternyata sang suami mendatangkan dokter padahal vila ini cukup jauh dari pusat kota. ‘Bukannya semalam dia bilang aku merepotkan? Mengapa sekarang dia malah mengirim Dokter?’ batin wanita itu t
“Kita gagal mengakuisisi Bank Dehan, Nyonya!” Sontak, manik Sabrina melebar seluas cakram saat mendengar ucapan asistennya. Dengan wajah tegang, dia pun kembali memastikan. “A-apa kau bilang? Katakan lagi, katakan kalau itu tidak benar!” “Mohon maaf, Nyonya. Pihak Bank Dehan—” “Argh!” Sabrina tiba-tiba menjerit sembari menutup kedua telinga. Amarah wanita itu memuncak, tatapannya pun tampak garang seolah ingin mencabik-cabik orang di hadapannya. “Aish, sialan! Bagaimana bisa gagal? Aku tidak mungkin gagal, sepanjang hidupku aku tidak pernah gagal. Ini tidak mungkin!” berangnya disertai umpatan. Dia pun melempar guci senilai jutaan dolar hingga pecah berhamburan di lantai. Sang asisten yang menyaksikan amukan Sabrina, hanya berdiri dengan ekspresi tegang. Dirinya tak berani mengatakan satu katapun karena bisa menjadi sasaran emosi wanita itu. “Ini semua karena Adeline! Dia pasti meminta suaminya untuk mengagalkan akuisisi ini! Argh, dasar jalang kurang ajar!” Sabrina memberang k
“Mengapa kau selalu tegang, istriku?” Suara bariton River terasa menggelitik. Hembusan napasnya seolah membakar wajah Adeline. Dan tentu saja, rangsangan dari tangan besarnya yang menekan lembut di bibir Adeline, semakin memicu hasrat aneh menjalari tubuh wanita itu. Dengan tatapan nanar, River pun mendekati wajah Adeline. Aroma woody yang begitu maskulin seperti menghipnotis Adeline, hingga membuatnya memejamkan mata. Namun, sialnya River malah berhenti saat bibir mereka nyaris bersentuhan. Pria itu menarik jarak dan melihat reaksi Adeline yang tegang bukan main. ‘Kucing kecil!’ decaknya dalam hati. Seringai tipis kini melenggang di sebelah mulutnya. Seakan mempermainkan Adeline, dia pun kembali berdiri tegak dengan tatapan menghina. “Kita minum lain kali saja," tukas River yang sontak membuat Adeline membuka maniknya. “Me-mengapa?” Wanita itu mengerjap bingung. Alih-alih menjawab, River hanya bungkam. Bahkan tanpa bicara apapun, pria itu malah pergi dari ruang tengah. ‘A-apa
“Apa maksud Anda, Tuan Ben?” tanya Adeline sembari mengerutkan keningnya. Manager Picasso Hotel yang datang melapor ke ruang direktur itu tampak gusar. Dan reaksinya tersebut semakin membuat Adeline penasaran. “Tentang lukisan yang baru datang … ah, sebenarnya ini masih dugaan saya, tapi kemungkinan lukisan itu palsu, Nona,” balas Ben mengungkap kecurigaanya. Adeline seketika terbelalak dan lantas menyahut, “jika Anda bicara lukisan yang baru datang, apakah itu ‘Warna Dari Emosi’ karya Paola Hunt?!” “Benar, Nona!” Sang Manager hotel menjawab tedas. “Lukisan itu datang tadi pagi, dan saya memeriksanya seperti biasa. Tapi ketika saya mengeceknya, saya menemukan tanda cat air yang aneh. Orang awam pun bisa melihat kalau cat itu belum lama kering!” Mendengar penjelasan Ben, awalnya Adeline ragu. Akan tetapi, dia ingat bahwa Ludwig kemarin ada di pelelangan bersamanya. Bahkan kakak tirinya itu sengaja memprovokasinya. ‘Apa ini ulah Ludwig?!’ batin Adeline dalam hati. ‘Aish, harusnya a
Adeline membawa tiga orang berjas hitam ke ruangannya. "Sekarang katakan, apa tujuan kalian datang ke sini?" decak wanita itu dengan tatapan tajam. Alih-alih langsung menjawab, salah satu dari mereka malah menyodorkan dokumen dengan kasar ke meja. "Mengapa kau pura-pura bodoh, Nona?!" sentaknya menyeringai sinis. "Hotel ini punya utang pada Boss kami. Hari ini sudah jatuh tempo, jadi kau harus melunasinya sekarang juga!" Seketika itu, alis Adeline menyatu. Dirinya melirik dokumen tadi dan lantas mendengus, "jika kalian hanya omong kosong, sebaiknya pergi sekarang. Saya tidak ada waktu untuk hal semacam ini!" “Kau tidak buta 'kan?! Jelas-jelas di sini Picasso Hotel berhutang 2 milliar pada kami!" sahut pria tadi memberang. "Saya tidak pernah menekan kontrak pinjaman utang pada kalian. Jadi Picasso-" "Nyonya Sabrina yang menekan kontrak atas nama Picasso Hotel!” Pria tersebut menyambar dengan tedasnya. Dan itu, sontak membuat manik Adeline berubah selebar piring. Bahkan kerongkon
***Malam itu River dan Adeline menghadiri pesta kemenangan di I&S Hotel. Presiden baru San Pedro itu mengundang keluarga Herakles secara khusus, sebab berhasil memenangkan pemilihan berkat andil besar River.Sebuah limosin hitam mewah berhenti di depan I&S Hotel. Dan itu menarik perhatian banyak tamu di sana. Terlebih saat River muncul menawan dengan balutan jas hitamnya. Meski mulai berumur, tapi ketampanan pria itu tetap paripurna.Dia menjulurkan tangan pada Adeline yang baru keluar dari limosinnya. Semua pasang mata juga tertuju pada wanita itu, yang tampil anggun dengan dress hitam elegan.“Astaga, mereka pasti pasangan paling serasi sepanjang abad. Meski sudah memiliki tiga anak remaja, tapi Tuan River dan Nyonya Adeline tetap bersinar!” bisik seorang perempuan yang memegang gelas wine.Teman di sebelahnya pun membalas pelan. “Kau benar. Aku benar-benar iri melihat mereka. Kapan aku punya suami seperti Tuan River? Aku sudah lelah dengan status lajang bertahun-tahun.”“Ehei! Kau
“Saya mohon maaf, Tuan. Saya bersalah karena menempatkan Tuan Muda Johan dalam bahaya,” tukas Siegran dengan leher tegang.Dia bersiap menerima hukuman dari River. Padahal Siegran sendiri tahu seberapa cemasnya River dengan putranya yang satu itu.Namun, alih-alih menyahut dengan kata-kata, River malah bangkit dan menatap Siegran yang diserang tegang sejak tadi.“Baguslah!” katanya yang sontak memicu Siegran mengernyit.“Ma-maaf?” Siegeran menyahut bingung.Dia mengira telinganya salah dengar, tapi saat melihat raut wajah River, agaknya tuannya tersebut memang memujinya.“Aku percaya pada penilaianmu,” tukas River yang lantas memasukan kedua tangan ke saku celananya. “Johan memang berbeda dengan Jenson. Sejak kecil, dia tumbuh di dunia yang keras, penuh darah dan beragam senjata mematikan untuk bertahan hidup. Karena itu aku tak heran kalau dia tidak bisa diam saja saat ada situasi genting.”Siegran terdiam, tapi alisnya berangsur mendapuk saat melihat seringai tipis di bibir River.
***Berita kematian Sabrina Daniester sampai ke telinga Sebastian sehari sebelum pemilihan. Seorang asisten yang baru melaporkan berita itu, malah dilempar asbak oleh calon presiden tersebut.“Apa maksudmu, hah? Tidak mungkin Nyonya ma … tidak! Kau tidak tahu Sabrina Daniester orang seperti apa. Di wanita hebat yang punya segalanya. Ada banyak pengawal berkemampuan tinggi yang mengurusnya. Dan aku baru saja menemui Nyonya beberapa hari lalu. Mana mungkin? Mana mungkin sekarang dia mati?!” Sebastian mendengus tak percaya.Memang tak ada berita yang tersebar ke media, sebab secara resmi Sabrina Daniester masihlah tawanan yang ada di penjara.“Mo-mohon maaf, Tuan. Laporan dari penjaga yang tersisa, ada seorang pria yang menyerang Rather Hall kemarin malam,” tutur Asisten Sebastian ragu-ragu.Lawan bincangnya memicing kian berang dan lantas menimpali. “Apa kau bilang? Seorang pria? Maksudmu satu orang?!”“Be-benar, Tuan. Orang itu datang membawa jasad Tuan Frederick, lalu menghabisi beber
Alih-alih kembali ke mansion Devante, River malah membawa mayat Frederick ke mobilnya. Dia memacu kendaraan itu amat kencang menembus jalanan malam yang sepi.‘Sekarang aku akan mengakhiri semuanya. Dendam masa lalu itu harus selesai, demi Adeline dan anak-anakku!’ batin pria tersebut menatap tajam.Maniknya melirik Frederick yang tergeletak di kursi belakang.‘Dia pasti sudah lama merencanakan pembalasan dendam. Kali ini aku yang akan menyelesaikan segalanya!’ sambung River yang lantas menginjak gas kian dalam.Hingga setelah lama mengemudi, River bisa melihat bangunan megah yang dikelilingi tembok besar. Di pintu masuknya ada gerbang yang tertutup. Akan tetapi River tak peduli. Dia terus melesatkan mobilnya dan menabrak gerbang yang ada di depan. Suara gubrakan keras terdengar saat bemper mobil River menghantam gerbang itu. Hal ini membuat beberapa penjaga di sana tersentak kaget.“Sial! Orang gila mana yang berani masuk sembarangan?!” tukas salah satu penjaga di sana.Rekannya yang
“Hah, sial!” Fredercik mengumpat tajam.Alisnya mendapuk dengan seringai miring saat River menahan mata tajam belatinya dengan sebelah tangan. Ya, tanpa peduli telapak tangannya berlumuran darah, River tetap mencengkeramnya seolah itu bukanlah apa-apa.“Aku tidak akan mengampunimu!” cecarnya yang lantas memutar tangan Frederick hingga belatinya berbalik arah.Tanpa ragu, River semakin menekannya hingga benda tajam itu menusuk dada Frederick. Namun, sialnya sang sepupu dengan keras mendorongnya menjauh, hingga River tak sampai menekan belatinya terlalu dalam.“Argh, brengsek!” Frederick mengumpat keras sambil mencabut belati itu dari dadanya.Akan tetapi dirinya tak menduga bahwa di depan sana River sudah mengeluarkan pistol dan mengacungkan padanya.“Hah … aku terlalu meremehkanmu. Rupanya kau masih gesit meskipun sudah tua!” Frederick mencecar geram.Tapi tanpa menjawab apapun, River langsung melesatkan peluru pada paha Frederick. Lelaki tersebut mengernyit sambil berdiri dengan tump
‘Sial! Bajingan yang membawa Adeline benar-benar Frederick!’ batin River dengan amukan membengkak.Tanpa ragu, dia langsung menginjak gas dan membanting setir untuk memotong jalan. Nyaris saja mobil dari arah depan menghantamnya, tapi sang pengemudi mati-matian menginjak rem sebelum menabrak mobil River.“Dasar, bajingan sialan! Jika tidak bisa menyetir, jangan bawa mobil!” cecar pengemudi itu mengeluarkan kepala dari jendela.River tak meggubris. Di kepalanya hanya ada Adeline. Ya, River tahu seberapa gilanya Frederick. Dia sudah menyaksikan Jenson yang tergantung di atap, lantas apa yang akan dilakukan pria itu pada istrinya sekarang?“Brengsek! Aku akan membunuhnya jika menyentuh Adeline seujung rambut saja!” tukas River menatap amat tajam.Sial sekali mobil Frederick melaju amat cepat, hingga dia ketinggalan jauh. Namun, itu bukan masalah. River menginjak gas amat dalam, melaju kencang menyalip beberapa mobil yang menghalangi jalannya.‘Aish, sial! Dia pasti mau membawa Adeline k
‘Adeline, apa yang terjadi? Apa itu kecelakaan?’ batin River ragu-ragu.Dia coba menghubungi sopir yang mengemudi mobil wanita itu, sialnya tetap nihil. Anteknya tersebut tidak mengangkat panggilan juga.Tanpa buang waktu, River pun melacak ponsel Adeline. Dari system, gawai sang istri berada tak jauh dari Picasso Hotel.Kening pria itu mengernyit ketika perasaan buruk menyerangnya. Dia tahu anteknya yang bersama Adeline bukan orang ringkih. Hingga tanpa ragu, dia pun beranjak pergi ke lokasi wanita tersebut.Baru masuk mobilnya, River pun menghubungi Siegran yang sudah berada di depan vila sekitar hutan La Daga.“Siegran, jika situasi terlalu berbahaya, kau cukup awasi sekitar. Kita tunda penyerangan. Aku tidak bisa datang karena Adeline dalam bahaya!” tukasnya disertai tatapan tajam.Dari seberang, tangan kanannya itu pun menjawab, “Tuan, orang kita sudah menyusup ke dalam. Tapi Frederick tidak ada di markas. Dari perbincangan anak buahnya, Frederick masih ada di pusat San Pedro!”
“Jadi mereka semua bekerja sama?!” tukas River menyeringai tajam.Tanpa mengangkat pandangan, pria itu lantas berkata, “Siegran, segera bongkar kebusukan Sebastian dan Howard Company!”Ya, dia langsung mengambil keputusan, setelah mengetahui calon presiden itu bertemu Frederick di Rather Hall. River tahu betul bahwa tempat itu property pribadi keluarga Daniester yang disembunyikan. Jadi sudah pasti Sabrina Daniester ada di sana juga.“Lakukan itu sehari sebelum pemilihan. Dengan begitu, mereka tidak punya waktu untuk memperbaiki citranya,” sambung River meletakkan tab tadi ke meja.“Saya mengerti, Tuan. Lalu bagaimana dengan Frederick dan Sabrina? Mereka pasti merencanakan penyerangan lagi. Anak-anak Anda akan dalam bahaya, terutama Nona Jennifer. Sejak insiden penculikan Tuan Muda Jenson, Frederick selalu mengawasi akademi balet La Huerta.” Siegran berkata cemas.River menyatukan alisnya dengan tatapan garang.“Aku tahu. Sampai hari pemilihan, anak-anak tidak akan keluar dari mansion
“Apa ini? Tidak disangka Calon Presiden ikut dalam pertemuan seperti ini,” ujar Frederick dengan tatapan sinis.Ya, orang yang datang memanglah Sebastian Howard. Alih-alih menjawab, lelaki dengan perut buncit itu malah melangkah ke dekat Sabrina.“Nyonya, apa maksudnya ini? Saya pikir ini pertemuan privat, tapi kenapa ada orang lain di sini?” katanya protes.Mendengar sindiran tersebut, Frederick seketika menyeringai sinis. Dia mengepulkan asap rokoknya, lalu mematikan dengan kasar ke asbak yang ada di meja.“Sabrina, Sebenarnya siapa yang ‘orang lain’ di sini?” decaknya memicing berang.Sabrina melirik Sebastian seraya berkata tegas. “Diam dan duduklah. Waktu kita tidak banyak. Kalian sendiri tahu, siapa orang yang kita hadapi!”“Tapi, Nyonya—”“Kau berani menentangku?!” sentak Sabrina lebih tajam sebelum Sebastian menyelesaikan perkataannya.Hanya dengan satu kalimat itu, Sebastian langsung bungkam. Frederick pun tercengang karena Sebastian yang seorang calon presiden dan pemilik Ho