Happy reading, teman-teman >.< Ah iya, yuk follow instagram aku @hi.inuralubyanka Aku biasa membagi jadwal update novel, visual tokoh dan konten-konten tentang novel aku di instagram. Bagi yang ingin folllback, nanti bisa DM aja Thank you
“Kita gagal mengakuisisi Bank Dehan, Nyonya!” Sontak, manik Sabrina melebar seluas cakram saat mendengar ucapan asistennya. Dengan wajah tegang, dia pun kembali memastikan. “A-apa kau bilang? Katakan lagi, katakan kalau itu tidak benar!” “Mohon maaf, Nyonya. Pihak Bank Dehan—” “Argh!” Sabrina tiba-tiba menjerit sembari menutup kedua telinga. Amarah wanita itu memuncak, tatapannya pun tampak garang seolah ingin mencabik-cabik orang di hadapannya. “Aish, sialan! Bagaimana bisa gagal? Aku tidak mungkin gagal, sepanjang hidupku aku tidak pernah gagal. Ini tidak mungkin!” berangnya disertai umpatan. Dia pun melempar guci senilai jutaan dolar hingga pecah berhamburan di lantai. Sang asisten yang menyaksikan amukan Sabrina, hanya berdiri dengan ekspresi tegang. Dirinya tak berani mengatakan satu katapun karena bisa menjadi sasaran emosi wanita itu. “Ini semua karena Adeline! Dia pasti meminta suaminya untuk mengagalkan akuisisi ini! Argh, dasar jalang kurang ajar!” Sabrina memberang k
“Mengapa kau selalu tegang, istriku?” Suara bariton River terasa menggelitik. Hembusan napasnya seolah membakar wajah Adeline. Dan tentu saja, rangsangan dari tangan besarnya yang menekan lembut di bibir Adeline, semakin memicu hasrat aneh menjalari tubuh wanita itu. Dengan tatapan nanar, River pun mendekati wajah Adeline. Aroma woody yang begitu maskulin seperti menghipnotis Adeline, hingga membuatnya memejamkan mata. Namun, sialnya River malah berhenti saat bibir mereka nyaris bersentuhan. Pria itu menarik jarak dan melihat reaksi Adeline yang tegang bukan main. ‘Kucing kecil!’ decaknya dalam hati. Seringai tipis kini melenggang di sebelah mulutnya. Seakan mempermainkan Adeline, dia pun kembali berdiri tegak dengan tatapan menghina. “Kita minum lain kali saja," tukas River yang sontak membuat Adeline membuka maniknya. “Me-mengapa?” Wanita itu mengerjap bingung. Alih-alih menjawab, River hanya bungkam. Bahkan tanpa bicara apapun, pria itu malah pergi dari ruang tengah. ‘A-apa
“Apa maksud Anda, Tuan Ben?” tanya Adeline sembari mengerutkan keningnya. Manager Picasso Hotel yang datang melapor ke ruang direktur itu tampak gusar. Dan reaksinya tersebut semakin membuat Adeline penasaran. “Tentang lukisan yang baru datang … ah, sebenarnya ini masih dugaan saya, tapi kemungkinan lukisan itu palsu, Nona,” balas Ben mengungkap kecurigaanya. Adeline seketika terbelalak dan lantas menyahut, “jika Anda bicara lukisan yang baru datang, apakah itu ‘Warna Dari Emosi’ karya Paola Hunt?!” “Benar, Nona!” Sang Manager hotel menjawab tedas. “Lukisan itu datang tadi pagi, dan saya memeriksanya seperti biasa. Tapi ketika saya mengeceknya, saya menemukan tanda cat air yang aneh. Orang awam pun bisa melihat kalau cat itu belum lama kering!” Mendengar penjelasan Ben, awalnya Adeline ragu. Akan tetapi, dia ingat bahwa Ludwig kemarin ada di pelelangan bersamanya. Bahkan kakak tirinya itu sengaja memprovokasinya. ‘Apa ini ulah Ludwig?!’ batin Adeline dalam hati. ‘Aish, harusnya a
Adeline membawa tiga orang berjas hitam ke ruangannya. "Sekarang katakan, apa tujuan kalian datang ke sini?" decak wanita itu dengan tatapan tajam. Alih-alih langsung menjawab, salah satu dari mereka malah menyodorkan dokumen dengan kasar ke meja. "Mengapa kau pura-pura bodoh, Nona?!" sentaknya menyeringai sinis. "Hotel ini punya utang pada Boss kami. Hari ini sudah jatuh tempo, jadi kau harus melunasinya sekarang juga!" Seketika itu, alis Adeline menyatu. Dirinya melirik dokumen tadi dan lantas mendengus, "jika kalian hanya omong kosong, sebaiknya pergi sekarang. Saya tidak ada waktu untuk hal semacam ini!" “Kau tidak buta 'kan?! Jelas-jelas di sini Picasso Hotel berhutang 2 milliar pada kami!" sahut pria tadi memberang. "Saya tidak pernah menekan kontrak pinjaman utang pada kalian. Jadi Picasso-" "Nyonya Sabrina yang menekan kontrak atas nama Picasso Hotel!” Pria tersebut menyambar dengan tedasnya. Dan itu, sontak membuat manik Adeline berubah selebar piring. Bahkan kerongkon
“K-kau?!” Adeline seketika terbelalak saat melihat River di depan mansion Daniester. Ya, suaminya itu berdiri di samping sedan mewahnya sembari menyilangkan kedua tangan di depan dada. Manik abunya menatap lurus pada Adeline hingga membuat sang istri tertegun. “Apa yang membawamu ke sini?” Adeline bertanya dengan wajah kaku. “Apa lagi? Tentu saja aku menyusul istriku!” sambar River yang kian membuat Adeline tak mengerti. Alih-alih percaya, wanita itu malah memamerkan seringai sinisnya. Dengan leher menegang, dia pun membalas, “Seorang Tuan Reiner tidak akan repot-repot mencari istri kontraknya kalau tidak butuh bantuan. Kali ini ada apa? Apa yang kau inginkan dariku?” Reaksi Adeline benar-benar di luar dugaan River. Namun, tanpa menjelaskan apapun, pria tersebut malah membuka pintu mobilnya untuk Adeline. “Masuklah!” titahnya sembari melirik sedannya. “Aku membawa mobil, untuk apa aku menumpang padamu?” sahut sang istri mengedutkan alisnya. River membuka pintu lebih lebar dan l
“Apa kau gila? Mengapa aku harus mendesah?” decak Adeline menyatukan alisnya. “Aku tidak sudi melakukannya!”Dia amat tersinggung dengan ide suaminya.Namun, River malah menarik seringai tipis dan lantas membalas, “bukankah kau pandai mendesah? Jadi lakukan dengan cepat agar mereka yakin kalau kita sedang bercinta.”Sungguh, rasa kesal pun kini ke pipi Adeline. Dia benar-benar tak percaya suaminya mengatakan gagasan konyol dengan wajah datar.“Kau lihat sendiri, Kakek buyut dan semua anggota Herakles mendesak kita untuk memiliki bayi. Jadi mereka tidak akan berhenti membahas hal itu sampai kau mengandung!” River mendengus seiring tatapannya yang berubah tajam. “Apa kau lupa kontrak perjanjian kita?!”Adeline pun terdiam. Kini dia paham mengapa River memintanya pura-pura sedang berhubungan badan. Sebab poin 61 dalam kontrak pernikahan mereka, pihak pertama tidak menginginkan seorang anak. Namun, jika pihak kedua terlanjur hamil, maka bayi itu harus digugurkan!Ya, meski River sering me
Akibat Kalah Taruhan *** Pagi itu River mengantar Adeline ke Picasso Hotel sebab mobil sang istri masih ada di mansion Daniester. Jika bukan karena berakting di depan keluarga Herakles, tentu saja Adeline tak mau satu mobil dengan pria itu. Dirinya mematung di kursi penumpang seraya membatin, ‘sialan! Setelah memperlakukanku seperti itu tadi malam, bagaimana bisa dia diam saja seolah tidak terjadi apa-apa?’ Mengingat kejadian semalam, Adeline pun sadar tentang tawaran River mengenai dua milliard untuk Oseing Bank. “Ah, benar. Tawaran itu berlaku ‘kan? Aku sudah mengikuti permainan konyolmu tadi malam, jadi aku bisa mendapat dua milliard!” tukas Adeline melirik sang suami yang duduk di sampingnya. Alih-alih mengiyakan, River justru menyeringai sengit. Tanpa berpaling ke arah Adeline, dia pun membalas, “apa maksudmu, istriku? Kau tidak ingat? Kau kalah dalam taruhan kemarin malam. Kau mendesah lebih dulu, jadi kau kehilangan dua milliard!” “Hei!” Adeline seketika menyambar. Dia
“Aish, sial! Siapa orang-orang brengsek ini? Beraninya mereka mencuri lukisanku!” Adeline mengumpat saat melihat rekaman dari flash driver yang dibawakan Ben. Di gudang penyimpanan yayasan Serenity, tampak dua orang pria berpakaian serba hitam, dengan topi dan masker senada. Mereka diam-diam mengeluarkan lukisan yang diduga besar milik Adeline. Sayangnya wajah kedua pria itu tertutup, sehingga tidak bisa dideteksi oleh kamera pengintai. “Saat ini pihak Serenity juga ricuh, Nona. Mereka menyesal dan mungkin akan segera mendatangi Anda untuk memohon maaf secara langsung,” tutur Ben buka suara. “Ya, tentu saja mereka harus minta maaf. Aku sudah mengeluarkan banyak uang, mana bisa menerima barang palsu!” Adeline menyambar dengan tatapan tajam. Namun, kemarahannya tak tertuju pada yayasan Serenity saja. ‘Apa kau yang menyuruh orang-orang bajingan ini mencuri barangku, Kak Ludwig?!’ batinnya dalam hati menerka. Ya, kecurigaannya sudah naik sejak Ludwig muncul di acara lelang kala itu.
“Rachel, tidurmu jadi terganggu, ya?” Rose berujar sambil mendekati gadis rambut pirang tersebut.“Mommy, apa yang terjadi?” Rachel melangkah ke arah pelukan Rose.Matanya memicing pada Ashley. Alisnya pun mendapuk, seolah jijik dengan penampilan Ashley yang berantakan. Apalagi pipinya tampak merah, bekas tamparan keras Derek.“Dia siapa, Mommy?” Rachel bertanya heran.“Ah … d-dia Ashley. Saudara—”“Dia adik tirimu!” Derek menyambar sebelum ucapan Rose tuntas.Namun, kalimat singkat itu sontak memicu Ashley membelalak bingung. Dia bahkan bungkam beberapa saat, berharap salah dengar. Akan tetapi raut wajah sang ayah tak menunjukkan candaan.“Hah! Apa yang Ayah katakan? Adik tiri?!” Ashley memastikan dengan leher tegang.Belum sampai Derek membenarkan, Rose dengan hati-hati berkata, “maaf, Ashley. Ibu terlambat memberitahumu, ya? Ini Rachel, kakak tirimu. Karena kita sudah menjadi keluarga, jadi Rachel akan tinggal di sini juga.”Mendengar itu, dada Ashley langsung berkobar. Satu siluma
“Asley, bagaimana kau bisa jadi seliar ini? Sejak kapan ayah mengajarimu minum alkohol? Apalagi main bersama lelaki berandalan, hah?!” Derek memberang penuh amarah.Sang putri yang tak mengerti dengan sikapnya, kini tertegun.“A-ayah … sepertinya Ayah salah paham. Aku memang ada di bar untuk ker—”“Kau masih berani membantah?!” Derek langsung menyambar sebelum ucapan Ashley tuntas.Gadis itu melangkah lebih dekat, berusaha menjelaskan agar ayahnya jadi tenang. Namun, Derek dengan geramnya menyambar beberapa lembar foto dari nakas belakangnya, lalu melemparkan pada Ashley.Manik Ashley sontak berubah selebar cakram saat melihat potret dirinya yang tengah pingsan, sedang berada di antara dua pria yang memegang botol alkohol.“Hah! A-apa ini?!” Ashley menegang.Dia tahu foto itu rekayasa. Pasti Rose yang membuatnya. Tapi tetap saja Ashley sangat merinding sebab pria-pria tadi adalah dua orang yang sebelumnya menyekap Ashley di gedung tua. Sial, sensasi empedu seperti naik ke tenggorokan
*** “Buka pintunya!” titah seorang lelaki berbadan gempal yang membawa nampan makanan. Rekannya yang memiliki tato ular di lehernya, melirik bubur di nampan itu.“Apa dia bisa memakannya?” tanyanya.Lelaki gempal tadi menaikkan sebelah alisnya seraya menimpali, “siapa yang peduli? Yang penting kita sudah memberinya makanan. Kalau dia tidak mau makan, ya sudah. Mati saja sana. Itu lebih memudahkan pekerjaan kita.”Temannya tadi menarik seringai miring dan lantas membuka kunci pintu ruangan Ashley disekap. Di sana, gadis itu tampak pucat sebab sudah sehari dua malam ini perutnya tidak terisi makanan atau minuman. Dia memicing tajam saat dua lelaki mendatanginya. Lelaki bertato ular tadi melepas tali yang mengikat tangan dan kaki Ashley pada pilar. Begitu bebas, gadis itu seketika ambruk karena seluruh tubuhnya lemas. Lelaki gempal pun menyodorkan nampan makanan pada Ashley. “Makanlah jika kau masih mau hidup!”Alih-alih senang, Ashley justru menampik nampan tadi hingga mangkok bubu
“Putraku. Golongan darah putraku dan River sama,” ujar Adeline diliputi tegang. Tenaga medis di hadapannya pun menimpali, “mohon maaf, apa maksudnya putra Anda yang juga terluka dan datang bersama Tuan River? Kondisinya tidak memungkinkan jika melakukan tranfusi darah saat terluka, Nyonya.” “Tidak. Adiknya, saudara kembar Jenson. Aku akan membawa saudara kembar putraku ke sini,” sahut Adeline menjelaskan. Ya, tak ada pilihan lain yang cepat selain meminta bantuan Johan. Akhirnya Adeline menghubungi pemuda tersebut dan memintanya datang ke rumah sakit. Usai menunggu beberapa waktu, Johan pun tiba. Dia bergegas mengikuti perawat untuk mendonorkan darahnya pada River. “Johan,” tutur Adeline memanggil sang putra yang baru datang. “Mommy, bagaimana keadaan Daddy dan Jenson?” tanya pemuda tersebut. Dengan ekspresi tegang, Adeline pun menimpali, “mereka baru saja memindahkan Jenson ke ruang rawat, tapi Daddy sangat membutuhkanmu sekarang.” “Mommy tenang saja, saya sudah di sini. Daddy
Jennifer menoleh ke belakang saat suara langkah itu tak lagi terdengar. ‘Apa tadi hanya perasaanku?’ gemingnya mengerutkan kening. Tatapannya terus waspada, lalu kembali melangkah menuju lokernya. Namun, ketika dia berjalan beberapa langkah, suara tadi kembali menggema seakan mengikutinya. Jennfer terhenti dan detik itu juga tiba-tiba seseorang menepuk bahunya. “Hah!” Jennifer tersentak. Gadis itu dengan cepat berbalik dan langsung memukul lengan orang yang menyentuhnya. Dia hendak merengkuh punggung orang tersebut, lalu membantingnya. Akan tetapi, orang tadi malah mencekal tangan Jennifer, bahkan meraih pinggang gadis itu dan merapatkan pada tubuhnya. “Reflek yang bagus, gadisku,” bisik suara seorang pemuda. Jennifer mendongak. Di tengah kegelapan itu, dia menajamkan pandangan dan baru mengenali wajah orang di hadapannya. “Lionel?” katanya. “Apa aku mengejutkanmu?” sahut pemuda tersebut. “Ck!” Jennifer mendecak dan lantas mendorong Lionel menjauh darinya. Tapi pemuda itu kem
‘Hah! A-apa yang aku dengar?!’ batin Adeline tertegun.Ponsel yang digenggamnya pun jatuh. Dia nyaris tak percaya dengan pendengarannya, tapi suara yang memanggilnya sangatlah jelas. “Tidak mungkin! I-ini … tidak mungkin. Bajingan itu kembali?” gumamya terserang tegang.Bayangan wajah pria pemilik suara itu memenuhi kepala, hingga membuat napas Adeline tercekat. Sementara Johan yang semula berdiri di dekat jendela, kini langsung menghampiri sang ibu di tepi ranjang. Dia tampak cemas melihat Adeline terserang panik.“Mommy? Ada apa? Mommy baik-baik saja?” Pemuda itu bertanya.Adeline tak langsung menyahut. Bahkan dia seperti tak mendengar ucapan putranya. Johan pun menyentuh bahu wanita itu seraya berujar, “Mommy?”“Ah?!” Adeline akhirnya tersadar. “Johan, Mommy tidak apa-apa.” Wanita itu melanjutkan disertai senyum.Akan tetapi Johan tahu sang ibu tersenyum paksa. Dia melirik layar ponsel yang terjatuh ke ranjang, tapi Adeline buru-buru meraihnya dan membalik layarnya agar sang pu
S2: Aku Harus Memastikannya “Tuan River!” Terdengar suara lelaki memekik kencang. Itu anak buah River. Dia bergegas naik ke tangga dan menghampiri sang tuan. “Tuan River!” Lelaki itu membelalak saat melihat luka tembak dan darah yang mengalir dari perut River. “Tuan, bertahanlah. Kami akan membawa Anda ke rumah sakit!” Anak buah tersebut merengkuh River karena api dari ledakan di lantai dua mulai menyebar. Alih-alih langsung menurut, River malah menahan tangan anak buahnya tersebut. Dengan tatapan gemetar, pria itu bertanya, “Jenson. D-di mana Jenson? Apa kalian menemukannya?” “Ya, Tuan. Kami menemukan Tuan Muda Jenson jatuh dari atap,” sahut anak buah tersebut yang sontak memicu River melebarkan maniknya. “Tapi Anda tenang saja, Tuan Muda Jenson akan baik-baik saja. Beliau tidak terluka parah.” Mendengar itu, kecemasan River tak terkikis banyak. Dia tak akan lega sampai melihat kondisi sang putra dengan mata kepalanya sendiri. “Aku harus memastikannya!” tukas River penuh tekad
“Kau?!” Sorot Mata River bertambah tajam saat melihat sosok di balik masker hitam itu.Dia nyaris tak percaya, tapi wajah lelaki di hadapannya benar-benar jelas.“Apa kabar, Sepupu?!” ujar Frederick tersenyum miring.Ya, laki-laki itu memanglah Frederick Chen. Sepupu River yang lama koma akibat kecelakaan hebat sembilan belas tahun lalu. River tak tahu kapan Frederick sadar. Sudah lama dia tak mendengar kabarnya, karena Leah-nenek River telah memindahkan Frederick ke rumah sakit lain tanpa sepengetahuan orang lain.“Padahal aku merindukan Princess, tapi kau malah datang dengan tikusmu. Aku benar-benar kecewa!” Frederick melanjutkan sambil menaikkan kedua alisnya.Alih-alih langsung menyambar, River justru menekan cengkeraman lebih kuat di leher Frederick. Amukannya seketika membengkak saat sepupunya itu menyinggung sang istri.“Ugh ….” Napas Frederick sangat tercekat, tapi River tak peduli.“Kau! Berani sekali muncul di hadapanku lagi. Harusnya saat itu aku membunuhmu!” tukas River de
“Argh ….” Wanita yang bersama River mengerang saat dada kirinya tertembak.Gelenyar darah mengalir deras dari titik anak timah tenggelam. Wajahnya pun mulai pucat disertai keringat dingin karena menahan sakit.River merengkuhnya. Dengan alis bertaut, dia pun berkata, “bertahanlah, aku akan memanggil bantuan!”Baru saja selesai berujar, River merasakan tatapan tajam dari sebelah. Dengan sigap, dia mengacungkan pistol dan langsung melesatkan pelurunya. Akan tetapi tembakannya hanya mengenai pilar besar di sana.‘Brengsek!’ batinnya mengumpat saat menyadari beberapa orang berpakaian hitam mengelilingnya.Mereka semua membawa senjata. Dan itu membuat posisi River amat sulit karena dirinya kalah jumlah.Detik berikutnya dia dikejutkan oleh tepukan tangan yang menggema. Perhatian River sekejap teralih pada lelaki bermasker hitam yang berdiri di lantai atas.“River Reiner!” tukasnya penuh tekanan.Matanya memicing tajam pada wanita yang tertembak tadi dan lantas melanjutkan. “Apa kau sudah s