“Apa kau gila? Mengapa aku harus mendesah?” decak Adeline menyatukan alisnya. “Aku tidak sudi melakukannya!”Dia amat tersinggung dengan ide suaminya.Namun, River malah menarik seringai tipis dan lantas membalas, “bukankah kau pandai mendesah? Jadi lakukan dengan cepat agar mereka yakin kalau kita sedang bercinta.”Sungguh, rasa kesal pun kini ke pipi Adeline. Dia benar-benar tak percaya suaminya mengatakan gagasan konyol dengan wajah datar.“Kau lihat sendiri, Kakek buyut dan semua anggota Herakles mendesak kita untuk memiliki bayi. Jadi mereka tidak akan berhenti membahas hal itu sampai kau mengandung!” River mendengus seiring tatapannya yang berubah tajam. “Apa kau lupa kontrak perjanjian kita?!”Adeline pun terdiam. Kini dia paham mengapa River memintanya pura-pura sedang berhubungan badan. Sebab poin 61 dalam kontrak pernikahan mereka, pihak pertama tidak menginginkan seorang anak. Namun, jika pihak kedua terlanjur hamil, maka bayi itu harus digugurkan!Ya, meski River sering me
Akibat Kalah Taruhan *** Pagi itu River mengantar Adeline ke Picasso Hotel sebab mobil sang istri masih ada di mansion Daniester. Jika bukan karena berakting di depan keluarga Herakles, tentu saja Adeline tak mau satu mobil dengan pria itu. Dirinya mematung di kursi penumpang seraya membatin, ‘sialan! Setelah memperlakukanku seperti itu tadi malam, bagaimana bisa dia diam saja seolah tidak terjadi apa-apa?’ Mengingat kejadian semalam, Adeline pun sadar tentang tawaran River mengenai dua milliard untuk Oseing Bank. “Ah, benar. Tawaran itu berlaku ‘kan? Aku sudah mengikuti permainan konyolmu tadi malam, jadi aku bisa mendapat dua milliard!” tukas Adeline melirik sang suami yang duduk di sampingnya. Alih-alih mengiyakan, River justru menyeringai sengit. Tanpa berpaling ke arah Adeline, dia pun membalas, “apa maksudmu, istriku? Kau tidak ingat? Kau kalah dalam taruhan kemarin malam. Kau mendesah lebih dulu, jadi kau kehilangan dua milliard!” “Hei!” Adeline seketika menyambar. Dia
“Aish, sial! Siapa orang-orang brengsek ini? Beraninya mereka mencuri lukisanku!” Adeline mengumpat saat melihat rekaman dari flash driver yang dibawakan Ben. Di gudang penyimpanan yayasan Serenity, tampak dua orang pria berpakaian serba hitam, dengan topi dan masker senada. Mereka diam-diam mengeluarkan lukisan yang diduga besar milik Adeline. Sayangnya wajah kedua pria itu tertutup, sehingga tidak bisa dideteksi oleh kamera pengintai. “Saat ini pihak Serenity juga ricuh, Nona. Mereka menyesal dan mungkin akan segera mendatangi Anda untuk memohon maaf secara langsung,” tutur Ben buka suara. “Ya, tentu saja mereka harus minta maaf. Aku sudah mengeluarkan banyak uang, mana bisa menerima barang palsu!” Adeline menyambar dengan tatapan tajam. Namun, kemarahannya tak tertuju pada yayasan Serenity saja. ‘Apa kau yang menyuruh orang-orang bajingan ini mencuri barangku, Kak Ludwig?!’ batinnya dalam hati menerka. Ya, kecurigaannya sudah naik sejak Ludwig muncul di acara lelang kala itu.
‘Aish, mengapa kau sangat ceroboh, Adeline?!’ geming Adeline merutuki diri sendiri.Tatapannya yang tegang bertambah buncah saat para lelaki gahar di dalam sana memicing ke arahnya. Beruntung pintu gedung itu tertutup sebagian, jadi mereka tak sampai melihat wajah Adeline. Istri River itu berniat kabur, tapi di dekat mobilnya datang dua orang lainnya yang dipastikan anggota mereka.‘Sialan! Aku tidak boleh tertangkap!’Adeline yang panik langsung berlari ke samping gedung. Dia tak ada pilihan lain karena jika lari ke arah mobilnya, pasti akan ketahuan.“Pasti belum jauh. Cepat cari dan seret dia ke sini!” teriak seorang lelaki.Adeline yang mendengarnya gertakan itu semakin mempercepat langkah. Sialnya hak sepatu yang tinggi menghambat larinya. Lalu Adeline pun melepas sepatunya dan semakin cepat mengitar bangunan tua tersebut.‘Aku harus sembunyi,’ pikirnya diselimuti cemas.Dia pun membuang kedua sepatunya ke arah hutan. Tapi bukannya lari ke sana juga, Adeline malah masuk ke gedung
“Aku akan membayarmu!” Adeline berteriak kencang tepat sebelum lelaki itu melesatkan pelurunya. Wajah cantiknya berubah merah dan tegang karena pukulan yang diterimanya tadi. Maniknya bergetar ketakutan karena para gangster itu tak segan main tangan. Tentu saja, bahkan melenyapkan nyawa saja pekerjaan sehar-hari mereka. Namun, alih-alih tertarik dengan tawaran Adeline, para pria kejam itu malah tertawa. Lelaki yang memegang pistol pun menaikan sebelah alisnya seraya mencibir, “meski hanya punya uang recehan, kau memang harus membayar kami. Sekarang pilih, bayar dengan tubuhmu, layani kami semua! Atau … kau mau membayarnya dengan nyawa?!” “Bajingan! Bahkan derajat hewan lebih tinggi dari kalian. Cepat tembak, aku tidak sudi melihat tampang busuk kalian!” Adeline menyambar dengan tatapan membara. Tantangan itu tentunya membangkitkan hasrat iblis para gangster. “Baiklah, aku akan mendorongmu ke neraka tanpa rasa sakit!” decak lelaki tadi dingin. Seketika itu, suara tembakan menggem
“Tuan Reiner, aku ….” Adeline berkata lirih saat menarik ciumannya dari River.Sang pria semakin bingung dengan tingkah aneh istrinya.“Ayo pulang, kau bisa mengatakan semuanya setelah sampai di rumah,” balas River kemudian.Namun, wajah Adeline kini berubah pucat. Tatapannya mulai berbintik saat denyutan hebat menyerang belakang kepalanya.River yang memegang kedua sisi bahu Adeline merasakan tubuh istrinya semakin lemas, hingga akhirnya sang istri ambruk di pelukannya.“Adeline?” River memanggil wanita itu, tapi tak ada sahutan.Pria tersebut memeriksa Adeline, rupanya sang istri sudah tak sadarkan diri. Dia berniat mengangkat Adeline, tapi ketika tangannya tak sengaja merengkuh belakang kepala wanita itu, River menemukan bekas darah.Ya, saat Adeline berusaha kabur ketika pertama kali ketahuan telah mengintai gedung tersebut, ternyata anggota gangster itu memukulnya dengan botol alkohol, hingga sekitar tengkuk dan kepala belakangnya cedera.Wajah River sekejap mengeras dengan tatap
“Selamat pagi, Ayah mertua!” tukas River dengan ekspresi dinginnya.Ya, suami Adeline itu datang tepat sebelum Heinry pergi. Meski dia berusaha ramah dengan menyapa lebih dulu, tapi ayah mertuanya tak bereaksi apapun. Heinry hanya menatapnya datar seolah tak ingin basa-basi.Heinry masih jengkel pada menantunya ini mengenai masalah akuisisi Bank Dehan yang gagal. Bukan kesal karena tak bisa mendapatkannya, tapi nama baiknya jadi tercemar sebagai direktur utama DNS Group.Dalam hening itu, River kembali berkata, “mengapa buru-buru pergi? Apa Anda tidak ingin mengobrol lebih lama dengan Adeline?”Heinry menatap River lebih tajam.“Kau sudah menikahi anak itu. Jadi jangan biarkan dia bertingkah atau hal yang lebih buruk akan terjadi!” sungut Heinry pedas.“Apa itu kekhawatiran seorang Ayah? Mengapa Anda tidak mengatakannya langsung pada putri Anda?” Jawaban River seketika memancing kedongkolan Heinry.Lelaki itu pun menarik seringai tipis lantas dan lantas menyahut, “berpikirlah sesukamu
Tiba-tiba pintu ruang rawat Adeline terbuka. Seorang suster datang untuk memeriksa, tapi dia seketika terkejut melihat Adeline sedang bermesraan dengan suaminya.Pasangan itu berpaling serentak. Adeline buru-buru mendorong River agar menjauh darinya.‘Aish, memalukan!’ batinnya dengan wajah kaku.“Ah … ma-maaf, saya pikir ….” Suster tadi merasa bersalah karena datang di saat yang tidak tepat.Meski canggung, Adeline akhirnya memintanya untuk masuk. Dia menatap River amat tajam seolah ingin menghajarnya karena membuat situasi yang memalukan. Tapi suaminya itu malah menyeringai seakan senang menggoda istrinya.River pun mundur, memberi jalan bagi perawat tadi untuk mengecek infus Adeline di sampingnya.Namun, saat menoleh ke pintu, dia mendadak kesal. ‘Hah, sial! Bukankah Siegran menjaga pintu di luar? Mengapa dia tidak memberitahuku kalau Suster akan datang?!’Agaknya Siegran akan olahraga jantung karena ulahnya ini.Sementara itu, suster tadi mencatat sesuatu di laporannya usai memeri
“Rachel, tidurmu jadi terganggu, ya?” Rose berujar sambil mendekati gadis rambut pirang tersebut.“Mommy, apa yang terjadi?” Rachel melangkah ke arah pelukan Rose.Matanya memicing pada Ashley. Alisnya pun mendapuk, seolah jijik dengan penampilan Ashley yang berantakan. Apalagi pipinya tampak merah, bekas tamparan keras Derek.“Dia siapa, Mommy?” Rachel bertanya heran.“Ah … d-dia Ashley. Saudara—”“Dia adik tirimu!” Derek menyambar sebelum ucapan Rose tuntas.Namun, kalimat singkat itu sontak memicu Ashley membelalak bingung. Dia bahkan bungkam beberapa saat, berharap salah dengar. Akan tetapi raut wajah sang ayah tak menunjukkan candaan.“Hah! Apa yang Ayah katakan? Adik tiri?!” Ashley memastikan dengan leher tegang.Belum sampai Derek membenarkan, Rose dengan hati-hati berkata, “maaf, Ashley. Ibu terlambat memberitahumu, ya? Ini Rachel, kakak tirimu. Karena kita sudah menjadi keluarga, jadi Rachel akan tinggal di sini juga.”Mendengar itu, dada Ashley langsung berkobar. Satu siluma
“Asley, bagaimana kau bisa jadi seliar ini? Sejak kapan ayah mengajarimu minum alkohol? Apalagi main bersama lelaki berandalan, hah?!” Derek memberang penuh amarah.Sang putri yang tak mengerti dengan sikapnya, kini tertegun.“A-ayah … sepertinya Ayah salah paham. Aku memang ada di bar untuk ker—”“Kau masih berani membantah?!” Derek langsung menyambar sebelum ucapan Ashley tuntas.Gadis itu melangkah lebih dekat, berusaha menjelaskan agar ayahnya jadi tenang. Namun, Derek dengan geramnya menyambar beberapa lembar foto dari nakas belakangnya, lalu melemparkan pada Ashley.Manik Ashley sontak berubah selebar cakram saat melihat potret dirinya yang tengah pingsan, sedang berada di antara dua pria yang memegang botol alkohol.“Hah! A-apa ini?!” Ashley menegang.Dia tahu foto itu rekayasa. Pasti Rose yang membuatnya. Tapi tetap saja Ashley sangat merinding sebab pria-pria tadi adalah dua orang yang sebelumnya menyekap Ashley di gedung tua. Sial, sensasi empedu seperti naik ke tenggorokan
*** “Buka pintunya!” titah seorang lelaki berbadan gempal yang membawa nampan makanan. Rekannya yang memiliki tato ular di lehernya, melirik bubur di nampan itu.“Apa dia bisa memakannya?” tanyanya.Lelaki gempal tadi menaikkan sebelah alisnya seraya menimpali, “siapa yang peduli? Yang penting kita sudah memberinya makanan. Kalau dia tidak mau makan, ya sudah. Mati saja sana. Itu lebih memudahkan pekerjaan kita.”Temannya tadi menarik seringai miring dan lantas membuka kunci pintu ruangan Ashley disekap. Di sana, gadis itu tampak pucat sebab sudah sehari dua malam ini perutnya tidak terisi makanan atau minuman. Dia memicing tajam saat dua lelaki mendatanginya. Lelaki bertato ular tadi melepas tali yang mengikat tangan dan kaki Ashley pada pilar. Begitu bebas, gadis itu seketika ambruk karena seluruh tubuhnya lemas. Lelaki gempal pun menyodorkan nampan makanan pada Ashley. “Makanlah jika kau masih mau hidup!”Alih-alih senang, Ashley justru menampik nampan tadi hingga mangkok bubu
“Putraku. Golongan darah putraku dan River sama,” ujar Adeline diliputi tegang. Tenaga medis di hadapannya pun menimpali, “mohon maaf, apa maksudnya putra Anda yang juga terluka dan datang bersama Tuan River? Kondisinya tidak memungkinkan jika melakukan tranfusi darah saat terluka, Nyonya.” “Tidak. Adiknya, saudara kembar Jenson. Aku akan membawa saudara kembar putraku ke sini,” sahut Adeline menjelaskan. Ya, tak ada pilihan lain yang cepat selain meminta bantuan Johan. Akhirnya Adeline menghubungi pemuda tersebut dan memintanya datang ke rumah sakit. Usai menunggu beberapa waktu, Johan pun tiba. Dia bergegas mengikuti perawat untuk mendonorkan darahnya pada River. “Johan,” tutur Adeline memanggil sang putra yang baru datang. “Mommy, bagaimana keadaan Daddy dan Jenson?” tanya pemuda tersebut. Dengan ekspresi tegang, Adeline pun menimpali, “mereka baru saja memindahkan Jenson ke ruang rawat, tapi Daddy sangat membutuhkanmu sekarang.” “Mommy tenang saja, saya sudah di sini. Daddy
Jennifer menoleh ke belakang saat suara langkah itu tak lagi terdengar. ‘Apa tadi hanya perasaanku?’ gemingnya mengerutkan kening. Tatapannya terus waspada, lalu kembali melangkah menuju lokernya. Namun, ketika dia berjalan beberapa langkah, suara tadi kembali menggema seakan mengikutinya. Jennfer terhenti dan detik itu juga tiba-tiba seseorang menepuk bahunya. “Hah!” Jennifer tersentak. Gadis itu dengan cepat berbalik dan langsung memukul lengan orang yang menyentuhnya. Dia hendak merengkuh punggung orang tersebut, lalu membantingnya. Akan tetapi, orang tadi malah mencekal tangan Jennifer, bahkan meraih pinggang gadis itu dan merapatkan pada tubuhnya. “Reflek yang bagus, gadisku,” bisik suara seorang pemuda. Jennifer mendongak. Di tengah kegelapan itu, dia menajamkan pandangan dan baru mengenali wajah orang di hadapannya. “Lionel?” katanya. “Apa aku mengejutkanmu?” sahut pemuda tersebut. “Ck!” Jennifer mendecak dan lantas mendorong Lionel menjauh darinya. Tapi pemuda itu kem
‘Hah! A-apa yang aku dengar?!’ batin Adeline tertegun.Ponsel yang digenggamnya pun jatuh. Dia nyaris tak percaya dengan pendengarannya, tapi suara yang memanggilnya sangatlah jelas. “Tidak mungkin! I-ini … tidak mungkin. Bajingan itu kembali?” gumamya terserang tegang.Bayangan wajah pria pemilik suara itu memenuhi kepala, hingga membuat napas Adeline tercekat. Sementara Johan yang semula berdiri di dekat jendela, kini langsung menghampiri sang ibu di tepi ranjang. Dia tampak cemas melihat Adeline terserang panik.“Mommy? Ada apa? Mommy baik-baik saja?” Pemuda itu bertanya.Adeline tak langsung menyahut. Bahkan dia seperti tak mendengar ucapan putranya. Johan pun menyentuh bahu wanita itu seraya berujar, “Mommy?”“Ah?!” Adeline akhirnya tersadar. “Johan, Mommy tidak apa-apa.” Wanita itu melanjutkan disertai senyum.Akan tetapi Johan tahu sang ibu tersenyum paksa. Dia melirik layar ponsel yang terjatuh ke ranjang, tapi Adeline buru-buru meraihnya dan membalik layarnya agar sang pu
S2: Aku Harus Memastikannya “Tuan River!” Terdengar suara lelaki memekik kencang. Itu anak buah River. Dia bergegas naik ke tangga dan menghampiri sang tuan. “Tuan River!” Lelaki itu membelalak saat melihat luka tembak dan darah yang mengalir dari perut River. “Tuan, bertahanlah. Kami akan membawa Anda ke rumah sakit!” Anak buah tersebut merengkuh River karena api dari ledakan di lantai dua mulai menyebar. Alih-alih langsung menurut, River malah menahan tangan anak buahnya tersebut. Dengan tatapan gemetar, pria itu bertanya, “Jenson. D-di mana Jenson? Apa kalian menemukannya?” “Ya, Tuan. Kami menemukan Tuan Muda Jenson jatuh dari atap,” sahut anak buah tersebut yang sontak memicu River melebarkan maniknya. “Tapi Anda tenang saja, Tuan Muda Jenson akan baik-baik saja. Beliau tidak terluka parah.” Mendengar itu, kecemasan River tak terkikis banyak. Dia tak akan lega sampai melihat kondisi sang putra dengan mata kepalanya sendiri. “Aku harus memastikannya!” tukas River penuh tekad
“Kau?!” Sorot Mata River bertambah tajam saat melihat sosok di balik masker hitam itu.Dia nyaris tak percaya, tapi wajah lelaki di hadapannya benar-benar jelas.“Apa kabar, Sepupu?!” ujar Frederick tersenyum miring.Ya, laki-laki itu memanglah Frederick Chen. Sepupu River yang lama koma akibat kecelakaan hebat sembilan belas tahun lalu. River tak tahu kapan Frederick sadar. Sudah lama dia tak mendengar kabarnya, karena Leah-nenek River telah memindahkan Frederick ke rumah sakit lain tanpa sepengetahuan orang lain.“Padahal aku merindukan Princess, tapi kau malah datang dengan tikusmu. Aku benar-benar kecewa!” Frederick melanjutkan sambil menaikkan kedua alisnya.Alih-alih langsung menyambar, River justru menekan cengkeraman lebih kuat di leher Frederick. Amukannya seketika membengkak saat sepupunya itu menyinggung sang istri.“Ugh ….” Napas Frederick sangat tercekat, tapi River tak peduli.“Kau! Berani sekali muncul di hadapanku lagi. Harusnya saat itu aku membunuhmu!” tukas River de
“Argh ….” Wanita yang bersama River mengerang saat dada kirinya tertembak.Gelenyar darah mengalir deras dari titik anak timah tenggelam. Wajahnya pun mulai pucat disertai keringat dingin karena menahan sakit.River merengkuhnya. Dengan alis bertaut, dia pun berkata, “bertahanlah, aku akan memanggil bantuan!”Baru saja selesai berujar, River merasakan tatapan tajam dari sebelah. Dengan sigap, dia mengacungkan pistol dan langsung melesatkan pelurunya. Akan tetapi tembakannya hanya mengenai pilar besar di sana.‘Brengsek!’ batinnya mengumpat saat menyadari beberapa orang berpakaian hitam mengelilingnya.Mereka semua membawa senjata. Dan itu membuat posisi River amat sulit karena dirinya kalah jumlah.Detik berikutnya dia dikejutkan oleh tepukan tangan yang menggema. Perhatian River sekejap teralih pada lelaki bermasker hitam yang berdiri di lantai atas.“River Reiner!” tukasnya penuh tekanan.Matanya memicing tajam pada wanita yang tertembak tadi dan lantas melanjutkan. “Apa kau sudah s