Akibat Kalah Taruhan *** Pagi itu River mengantar Adeline ke Picasso Hotel sebab mobil sang istri masih ada di mansion Daniester. Jika bukan karena berakting di depan keluarga Herakles, tentu saja Adeline tak mau satu mobil dengan pria itu. Dirinya mematung di kursi penumpang seraya membatin, ‘sialan! Setelah memperlakukanku seperti itu tadi malam, bagaimana bisa dia diam saja seolah tidak terjadi apa-apa?’ Mengingat kejadian semalam, Adeline pun sadar tentang tawaran River mengenai dua milliard untuk Oseing Bank. “Ah, benar. Tawaran itu berlaku ‘kan? Aku sudah mengikuti permainan konyolmu tadi malam, jadi aku bisa mendapat dua milliard!” tukas Adeline melirik sang suami yang duduk di sampingnya. Alih-alih mengiyakan, River justru menyeringai sengit. Tanpa berpaling ke arah Adeline, dia pun membalas, “apa maksudmu, istriku? Kau tidak ingat? Kau kalah dalam taruhan kemarin malam. Kau mendesah lebih dulu, jadi kau kehilangan dua milliard!” “Hei!” Adeline seketika menyambar. Dia
“Aish, sial! Siapa orang-orang brengsek ini? Beraninya mereka mencuri lukisanku!” Adeline mengumpat saat melihat rekaman dari flash driver yang dibawakan Ben. Di gudang penyimpanan yayasan Serenity, tampak dua orang pria berpakaian serba hitam, dengan topi dan masker senada. Mereka diam-diam mengeluarkan lukisan yang diduga besar milik Adeline. Sayangnya wajah kedua pria itu tertutup, sehingga tidak bisa dideteksi oleh kamera pengintai. “Saat ini pihak Serenity juga ricuh, Nona. Mereka menyesal dan mungkin akan segera mendatangi Anda untuk memohon maaf secara langsung,” tutur Ben buka suara. “Ya, tentu saja mereka harus minta maaf. Aku sudah mengeluarkan banyak uang, mana bisa menerima barang palsu!” Adeline menyambar dengan tatapan tajam. Namun, kemarahannya tak tertuju pada yayasan Serenity saja. ‘Apa kau yang menyuruh orang-orang bajingan ini mencuri barangku, Kak Ludwig?!’ batinnya dalam hati menerka. Ya, kecurigaannya sudah naik sejak Ludwig muncul di acara lelang kala itu.
‘Aish, mengapa kau sangat ceroboh, Adeline?!’ geming Adeline merutuki diri sendiri.Tatapannya yang tegang bertambah buncah saat para lelaki gahar di dalam sana memicing ke arahnya. Beruntung pintu gedung itu tertutup sebagian, jadi mereka tak sampai melihat wajah Adeline. Istri River itu berniat kabur, tapi di dekat mobilnya datang dua orang lainnya yang dipastikan anggota mereka.‘Sialan! Aku tidak boleh tertangkap!’Adeline yang panik langsung berlari ke samping gedung. Dia tak ada pilihan lain karena jika lari ke arah mobilnya, pasti akan ketahuan.“Pasti belum jauh. Cepat cari dan seret dia ke sini!” teriak seorang lelaki.Adeline yang mendengarnya gertakan itu semakin mempercepat langkah. Sialnya hak sepatu yang tinggi menghambat larinya. Lalu Adeline pun melepas sepatunya dan semakin cepat mengitar bangunan tua tersebut.‘Aku harus sembunyi,’ pikirnya diselimuti cemas.Dia pun membuang kedua sepatunya ke arah hutan. Tapi bukannya lari ke sana juga, Adeline malah masuk ke gedung
“Aku akan membayarmu!” Adeline berteriak kencang tepat sebelum lelaki itu melesatkan pelurunya. Wajah cantiknya berubah merah dan tegang karena pukulan yang diterimanya tadi. Maniknya bergetar ketakutan karena para gangster itu tak segan main tangan. Tentu saja, bahkan melenyapkan nyawa saja pekerjaan sehar-hari mereka. Namun, alih-alih tertarik dengan tawaran Adeline, para pria kejam itu malah tertawa. Lelaki yang memegang pistol pun menaikan sebelah alisnya seraya mencibir, “meski hanya punya uang recehan, kau memang harus membayar kami. Sekarang pilih, bayar dengan tubuhmu, layani kami semua! Atau … kau mau membayarnya dengan nyawa?!” “Bajingan! Bahkan derajat hewan lebih tinggi dari kalian. Cepat tembak, aku tidak sudi melihat tampang busuk kalian!” Adeline menyambar dengan tatapan membara. Tantangan itu tentunya membangkitkan hasrat iblis para gangster. “Baiklah, aku akan mendorongmu ke neraka tanpa rasa sakit!” decak lelaki tadi dingin. Seketika itu, suara tembakan menggem
“Tuan Reiner, aku ….” Adeline berkata lirih saat menarik ciumannya dari River.Sang pria semakin bingung dengan tingkah aneh istrinya.“Ayo pulang, kau bisa mengatakan semuanya setelah sampai di rumah,” balas River kemudian.Namun, wajah Adeline kini berubah pucat. Tatapannya mulai berbintik saat denyutan hebat menyerang belakang kepalanya.River yang memegang kedua sisi bahu Adeline merasakan tubuh istrinya semakin lemas, hingga akhirnya sang istri ambruk di pelukannya.“Adeline?” River memanggil wanita itu, tapi tak ada sahutan.Pria tersebut memeriksa Adeline, rupanya sang istri sudah tak sadarkan diri. Dia berniat mengangkat Adeline, tapi ketika tangannya tak sengaja merengkuh belakang kepala wanita itu, River menemukan bekas darah.Ya, saat Adeline berusaha kabur ketika pertama kali ketahuan telah mengintai gedung tersebut, ternyata anggota gangster itu memukulnya dengan botol alkohol, hingga sekitar tengkuk dan kepala belakangnya cedera.Wajah River sekejap mengeras dengan tatap
“Selamat pagi, Ayah mertua!” tukas River dengan ekspresi dinginnya.Ya, suami Adeline itu datang tepat sebelum Heinry pergi. Meski dia berusaha ramah dengan menyapa lebih dulu, tapi ayah mertuanya tak bereaksi apapun. Heinry hanya menatapnya datar seolah tak ingin basa-basi.Heinry masih jengkel pada menantunya ini mengenai masalah akuisisi Bank Dehan yang gagal. Bukan kesal karena tak bisa mendapatkannya, tapi nama baiknya jadi tercemar sebagai direktur utama DNS Group.Dalam hening itu, River kembali berkata, “mengapa buru-buru pergi? Apa Anda tidak ingin mengobrol lebih lama dengan Adeline?”Heinry menatap River lebih tajam.“Kau sudah menikahi anak itu. Jadi jangan biarkan dia bertingkah atau hal yang lebih buruk akan terjadi!” sungut Heinry pedas.“Apa itu kekhawatiran seorang Ayah? Mengapa Anda tidak mengatakannya langsung pada putri Anda?” Jawaban River seketika memancing kedongkolan Heinry.Lelaki itu pun menarik seringai tipis lantas dan lantas menyahut, “berpikirlah sesukamu
Tiba-tiba pintu ruang rawat Adeline terbuka. Seorang suster datang untuk memeriksa, tapi dia seketika terkejut melihat Adeline sedang bermesraan dengan suaminya.Pasangan itu berpaling serentak. Adeline buru-buru mendorong River agar menjauh darinya.‘Aish, memalukan!’ batinnya dengan wajah kaku.“Ah … ma-maaf, saya pikir ….” Suster tadi merasa bersalah karena datang di saat yang tidak tepat.Meski canggung, Adeline akhirnya memintanya untuk masuk. Dia menatap River amat tajam seolah ingin menghajarnya karena membuat situasi yang memalukan. Tapi suaminya itu malah menyeringai seakan senang menggoda istrinya.River pun mundur, memberi jalan bagi perawat tadi untuk mengecek infus Adeline di sampingnya.Namun, saat menoleh ke pintu, dia mendadak kesal. ‘Hah, sial! Bukankah Siegran menjaga pintu di luar? Mengapa dia tidak memberitahuku kalau Suster akan datang?!’Agaknya Siegran akan olahraga jantung karena ulahnya ini.Sementara itu, suster tadi mencatat sesuatu di laporannya usai memeri
“Jalang sialan! Di mana kau sembuyikan lukisan itu?!” Laki-laki yang membungkam mulut Adeline menggeram tajam. Dan itu seketika membuat manik Adeline melebar, lehernya pun menegang karena sadar bahwa anggota gangster itu masih memburunya. ‘Sialan! Bagaimana bisa dia menemukanku di sini?’ batin Adeline buncah. Dia ingin memberontak, tapi mendadak lelaki itu mengeluarkan belati dan mengarahkan ujung senjata tajam itu ke mata Adeline. “Jangan membuatku marah jika kau masih ingin melihat dunia. Katakan, di mana lukisan itu?!” decaknya mengancam. Sungguh, iris Adeline gemetar. Jika dia salah bertindak, bisa-bisa gangster itu membuatnya buta. Lelaki tadi mulai menarik tangannya dari mulut Adeline. Dia menaikkan dagunya, memberi dorongan agar Adeline mengungkap lokasi lukisan berisi uang yang dia cari. “I-itu … ada di gudang penyimpanan Picasso Hotel,” tutur Adeline terbata. “Bicara yang benar!” Lelaki mengerikan itu malah memberang. Dengan wajah kakunya, Adeline pun membalas, “aku t
***Malam itu River dan Adeline menghadiri pesta kemenangan di I&S Hotel. Presiden baru San Pedro itu mengundang keluarga Herakles secara khusus, sebab berhasil memenangkan pemilihan berkat andil besar River.Sebuah limosin hitam mewah berhenti di depan I&S Hotel. Dan itu menarik perhatian banyak tamu di sana. Terlebih saat River muncul menawan dengan balutan jas hitamnya. Meski mulai berumur, tapi ketampanan pria itu tetap paripurna.Dia menjulurkan tangan pada Adeline yang baru keluar dari limosinnya. Semua pasang mata juga tertuju pada wanita itu, yang tampil anggun dengan dress hitam elegan.“Astaga, mereka pasti pasangan paling serasi sepanjang abad. Meski sudah memiliki tiga anak remaja, tapi Tuan River dan Nyonya Adeline tetap bersinar!” bisik seorang perempuan yang memegang gelas wine.Teman di sebelahnya pun membalas pelan. “Kau benar. Aku benar-benar iri melihat mereka. Kapan aku punya suami seperti Tuan River? Aku sudah lelah dengan status lajang bertahun-tahun.”“Ehei! Kau
“Saya mohon maaf, Tuan. Saya bersalah karena menempatkan Tuan Muda Johan dalam bahaya,” tukas Siegran dengan leher tegang.Dia bersiap menerima hukuman dari River. Padahal Siegran sendiri tahu seberapa cemasnya River dengan putranya yang satu itu.Namun, alih-alih menyahut dengan kata-kata, River malah bangkit dan menatap Siegran yang diserang tegang sejak tadi.“Baguslah!” katanya yang sontak memicu Siegran mengernyit.“Ma-maaf?” Siegeran menyahut bingung.Dia mengira telinganya salah dengar, tapi saat melihat raut wajah River, agaknya tuannya tersebut memang memujinya.“Aku percaya pada penilaianmu,” tukas River yang lantas memasukan kedua tangan ke saku celananya. “Johan memang berbeda dengan Jenson. Sejak kecil, dia tumbuh di dunia yang keras, penuh darah dan beragam senjata mematikan untuk bertahan hidup. Karena itu aku tak heran kalau dia tidak bisa diam saja saat ada situasi genting.”Siegran terdiam, tapi alisnya berangsur mendapuk saat melihat seringai tipis di bibir River.
***Berita kematian Sabrina Daniester sampai ke telinga Sebastian sehari sebelum pemilihan. Seorang asisten yang baru melaporkan berita itu, malah dilempar asbak oleh calon presiden tersebut.“Apa maksudmu, hah? Tidak mungkin Nyonya ma … tidak! Kau tidak tahu Sabrina Daniester orang seperti apa. Di wanita hebat yang punya segalanya. Ada banyak pengawal berkemampuan tinggi yang mengurusnya. Dan aku baru saja menemui Nyonya beberapa hari lalu. Mana mungkin? Mana mungkin sekarang dia mati?!” Sebastian mendengus tak percaya.Memang tak ada berita yang tersebar ke media, sebab secara resmi Sabrina Daniester masihlah tawanan yang ada di penjara.“Mo-mohon maaf, Tuan. Laporan dari penjaga yang tersisa, ada seorang pria yang menyerang Rather Hall kemarin malam,” tutur Asisten Sebastian ragu-ragu.Lawan bincangnya memicing kian berang dan lantas menimpali. “Apa kau bilang? Seorang pria? Maksudmu satu orang?!”“Be-benar, Tuan. Orang itu datang membawa jasad Tuan Frederick, lalu menghabisi beber
Alih-alih kembali ke mansion Devante, River malah membawa mayat Frederick ke mobilnya. Dia memacu kendaraan itu amat kencang menembus jalanan malam yang sepi.‘Sekarang aku akan mengakhiri semuanya. Dendam masa lalu itu harus selesai, demi Adeline dan anak-anakku!’ batin pria tersebut menatap tajam.Maniknya melirik Frederick yang tergeletak di kursi belakang.‘Dia pasti sudah lama merencanakan pembalasan dendam. Kali ini aku yang akan menyelesaikan segalanya!’ sambung River yang lantas menginjak gas kian dalam.Hingga setelah lama mengemudi, River bisa melihat bangunan megah yang dikelilingi tembok besar. Di pintu masuknya ada gerbang yang tertutup. Akan tetapi River tak peduli. Dia terus melesatkan mobilnya dan menabrak gerbang yang ada di depan. Suara gubrakan keras terdengar saat bemper mobil River menghantam gerbang itu. Hal ini membuat beberapa penjaga di sana tersentak kaget.“Sial! Orang gila mana yang berani masuk sembarangan?!” tukas salah satu penjaga di sana.Rekannya yang
“Hah, sial!” Fredercik mengumpat tajam.Alisnya mendapuk dengan seringai miring saat River menahan mata tajam belatinya dengan sebelah tangan. Ya, tanpa peduli telapak tangannya berlumuran darah, River tetap mencengkeramnya seolah itu bukanlah apa-apa.“Aku tidak akan mengampunimu!” cecarnya yang lantas memutar tangan Frederick hingga belatinya berbalik arah.Tanpa ragu, River semakin menekannya hingga benda tajam itu menusuk dada Frederick. Namun, sialnya sang sepupu dengan keras mendorongnya menjauh, hingga River tak sampai menekan belatinya terlalu dalam.“Argh, brengsek!” Frederick mengumpat keras sambil mencabut belati itu dari dadanya.Akan tetapi dirinya tak menduga bahwa di depan sana River sudah mengeluarkan pistol dan mengacungkan padanya.“Hah … aku terlalu meremehkanmu. Rupanya kau masih gesit meskipun sudah tua!” Frederick mencecar geram.Tapi tanpa menjawab apapun, River langsung melesatkan peluru pada paha Frederick. Lelaki tersebut mengernyit sambil berdiri dengan tump
‘Sial! Bajingan yang membawa Adeline benar-benar Frederick!’ batin River dengan amukan membengkak.Tanpa ragu, dia langsung menginjak gas dan membanting setir untuk memotong jalan. Nyaris saja mobil dari arah depan menghantamnya, tapi sang pengemudi mati-matian menginjak rem sebelum menabrak mobil River.“Dasar, bajingan sialan! Jika tidak bisa menyetir, jangan bawa mobil!” cecar pengemudi itu mengeluarkan kepala dari jendela.River tak meggubris. Di kepalanya hanya ada Adeline. Ya, River tahu seberapa gilanya Frederick. Dia sudah menyaksikan Jenson yang tergantung di atap, lantas apa yang akan dilakukan pria itu pada istrinya sekarang?“Brengsek! Aku akan membunuhnya jika menyentuh Adeline seujung rambut saja!” tukas River menatap amat tajam.Sial sekali mobil Frederick melaju amat cepat, hingga dia ketinggalan jauh. Namun, itu bukan masalah. River menginjak gas amat dalam, melaju kencang menyalip beberapa mobil yang menghalangi jalannya.‘Aish, sial! Dia pasti mau membawa Adeline k
‘Adeline, apa yang terjadi? Apa itu kecelakaan?’ batin River ragu-ragu.Dia coba menghubungi sopir yang mengemudi mobil wanita itu, sialnya tetap nihil. Anteknya tersebut tidak mengangkat panggilan juga.Tanpa buang waktu, River pun melacak ponsel Adeline. Dari system, gawai sang istri berada tak jauh dari Picasso Hotel.Kening pria itu mengernyit ketika perasaan buruk menyerangnya. Dia tahu anteknya yang bersama Adeline bukan orang ringkih. Hingga tanpa ragu, dia pun beranjak pergi ke lokasi wanita tersebut.Baru masuk mobilnya, River pun menghubungi Siegran yang sudah berada di depan vila sekitar hutan La Daga.“Siegran, jika situasi terlalu berbahaya, kau cukup awasi sekitar. Kita tunda penyerangan. Aku tidak bisa datang karena Adeline dalam bahaya!” tukasnya disertai tatapan tajam.Dari seberang, tangan kanannya itu pun menjawab, “Tuan, orang kita sudah menyusup ke dalam. Tapi Frederick tidak ada di markas. Dari perbincangan anak buahnya, Frederick masih ada di pusat San Pedro!”
“Jadi mereka semua bekerja sama?!” tukas River menyeringai tajam.Tanpa mengangkat pandangan, pria itu lantas berkata, “Siegran, segera bongkar kebusukan Sebastian dan Howard Company!”Ya, dia langsung mengambil keputusan, setelah mengetahui calon presiden itu bertemu Frederick di Rather Hall. River tahu betul bahwa tempat itu property pribadi keluarga Daniester yang disembunyikan. Jadi sudah pasti Sabrina Daniester ada di sana juga.“Lakukan itu sehari sebelum pemilihan. Dengan begitu, mereka tidak punya waktu untuk memperbaiki citranya,” sambung River meletakkan tab tadi ke meja.“Saya mengerti, Tuan. Lalu bagaimana dengan Frederick dan Sabrina? Mereka pasti merencanakan penyerangan lagi. Anak-anak Anda akan dalam bahaya, terutama Nona Jennifer. Sejak insiden penculikan Tuan Muda Jenson, Frederick selalu mengawasi akademi balet La Huerta.” Siegran berkata cemas.River menyatukan alisnya dengan tatapan garang.“Aku tahu. Sampai hari pemilihan, anak-anak tidak akan keluar dari mansion
“Apa ini? Tidak disangka Calon Presiden ikut dalam pertemuan seperti ini,” ujar Frederick dengan tatapan sinis.Ya, orang yang datang memanglah Sebastian Howard. Alih-alih menjawab, lelaki dengan perut buncit itu malah melangkah ke dekat Sabrina.“Nyonya, apa maksudnya ini? Saya pikir ini pertemuan privat, tapi kenapa ada orang lain di sini?” katanya protes.Mendengar sindiran tersebut, Frederick seketika menyeringai sinis. Dia mengepulkan asap rokoknya, lalu mematikan dengan kasar ke asbak yang ada di meja.“Sabrina, Sebenarnya siapa yang ‘orang lain’ di sini?” decaknya memicing berang.Sabrina melirik Sebastian seraya berkata tegas. “Diam dan duduklah. Waktu kita tidak banyak. Kalian sendiri tahu, siapa orang yang kita hadapi!”“Tapi, Nyonya—”“Kau berani menentangku?!” sentak Sabrina lebih tajam sebelum Sebastian menyelesaikan perkataannya.Hanya dengan satu kalimat itu, Sebastian langsung bungkam. Frederick pun tercengang karena Sebastian yang seorang calon presiden dan pemilik Ho