Tiba-tiba pintu ruang rawat Adeline terbuka. Seorang suster datang untuk memeriksa, tapi dia seketika terkejut melihat Adeline sedang bermesraan dengan suaminya.Pasangan itu berpaling serentak. Adeline buru-buru mendorong River agar menjauh darinya.‘Aish, memalukan!’ batinnya dengan wajah kaku.“Ah … ma-maaf, saya pikir ….” Suster tadi merasa bersalah karena datang di saat yang tidak tepat.Meski canggung, Adeline akhirnya memintanya untuk masuk. Dia menatap River amat tajam seolah ingin menghajarnya karena membuat situasi yang memalukan. Tapi suaminya itu malah menyeringai seakan senang menggoda istrinya.River pun mundur, memberi jalan bagi perawat tadi untuk mengecek infus Adeline di sampingnya.Namun, saat menoleh ke pintu, dia mendadak kesal. ‘Hah, sial! Bukankah Siegran menjaga pintu di luar? Mengapa dia tidak memberitahuku kalau Suster akan datang?!’Agaknya Siegran akan olahraga jantung karena ulahnya ini.Sementara itu, suster tadi mencatat sesuatu di laporannya usai memeri
“Jalang sialan! Di mana kau sembuyikan lukisan itu?!” Laki-laki yang membungkam mulut Adeline menggeram tajam. Dan itu seketika membuat manik Adeline melebar, lehernya pun menegang karena sadar bahwa anggota gangster itu masih memburunya. ‘Sialan! Bagaimana bisa dia menemukanku di sini?’ batin Adeline buncah. Dia ingin memberontak, tapi mendadak lelaki itu mengeluarkan belati dan mengarahkan ujung senjata tajam itu ke mata Adeline. “Jangan membuatku marah jika kau masih ingin melihat dunia. Katakan, di mana lukisan itu?!” decaknya mengancam. Sungguh, iris Adeline gemetar. Jika dia salah bertindak, bisa-bisa gangster itu membuatnya buta. Lelaki tadi mulai menarik tangannya dari mulut Adeline. Dia menaikkan dagunya, memberi dorongan agar Adeline mengungkap lokasi lukisan berisi uang yang dia cari. “I-itu … ada di gudang penyimpanan Picasso Hotel,” tutur Adeline terbata. “Bicara yang benar!” Lelaki mengerikan itu malah memberang. Dengan wajah kakunya, Adeline pun membalas, “aku t
“Apa maksud Bibi?” tukas River menyatukan alisnya. “Bi-bianca mengurung diri sejak seminggu terakhir. Dia tidak mengijinkan siapapun masuk, tapi dia terus menangis dan memanggil namamu. Dan malam ini, Bianca malah berteriak seperti orang gila. Dia bilang lebih baik mati jika tidak bisa bersatu denganmu. Bahkan ketika Bibi mengintipnya dari lubang kunci, Bianca sedang memasang tali di kamarnya untuk gantung diri,” sahut Nyonya Oilis seiring tangisnya yang pecah. “Jadi Bibi mohon, datanglah kemari, River. Bibi tidak mau kehilangan Bianca.” Ekspresi River berubah rumit. Sebenarnya dia sangat enggan berurusan dengan Bianca, tapi masalah kali ini sepertinya serius. ‘Bibi Oilis tidak akan menghubungiku jika tidak terdesak. Tapi benarkah Bianca berniat bunuh diri dengan sifatnya itu?’ batin River ragu-ragu. Tentu saja dia tak yakin, seorang Bianca Oilis yang tergila-gila mencapai puncak tertinggi di dunia sosial ingin mengakhiri hidupnya? Bahkan wanita itu mendominasi sosialita kelas atas
*** Di mansion keluarga Oilis, Bianca sedang mengacak-acak rambutnya hingga tampak seperti wanita yang kehilangan akal. Dengan bibir pucat dia berpaling ke arah ibunya sembari berkata, “aku terlihat gila ‘kan?” “Kau memang tidak waras. Bagaimana bisa kau melakukan ini sampai menyeret Mami dalam permainanmu?!” sahut Nyonya Oilis geram. Dia menyilangkan kedua tangan ke depan dada dengan tatapan kesal. “Mami, jika aku tidak pura-pura bunuh diri, Reins tidak akan mau datang ke sini.” Bianca menyambar seiring bibirnya yang merucut. “Bertahanlah sebentar, bukankah Mami ingin menjadi besan keluarga Herakles? Bianca akan segera mewujudkannya!” Mendengar tekad putrinya, nyonya Oilis itu tersenyum licik. Dirinya mencubit hidung Bianca dan lantas berkata, “Kau memang anak Mami. Sama pintarnya dengan Mami.” “Tapi Mami sudah memastikan kalau Reins akan datang ‘kan?” Bianca mengangkat alisnya antusias. Namun, belum sempat sang ibu menjawab, tiba-tiba seorang pria menyambar, “ya, aku di sini
“Kirimkan padaku!” Heinry berkata dari seberang telepon.Ya, pria itu sudah mengira bahwa Sabrina akan melenyapkan gangster yang menculik Adeline. Sehingga dia diam-diam mengirim orang untuk mengikuti istrinya yang keluar di pagi buta.Setelah Sabrina kembali ke mansion Daniester, dia disambut tatapan tajam suaminya. Heinry terpaku pada high heels putih Sabrina yang terkena noda merah, tapi istrinya itu malah tersenyum dingin.“Kau bangun terlambat, Sayang,” tutur Nyonya Daniester itu dengan ekspresi sulit diterka.“Kaulah yang bangun terlalu pagi.” Heinry menyambar sinis.Sabrina melirik jam dinding di kamar mereka. Rupanya masih pukul lima pagi.Alih-alih berkata lagi, Sabrina malah melepas mantel hitam panjangnya dan membiarkan pakaian itu jatuh ke lantai. Heinry seketika terkejut ketika sang istri hanya menyisakan lingerie tipis di tubuhnya. Bahkan saking tipisnya, Heinry bisa melihat busungan payudara yang menantang dan kemaluan istrinya yang menggoda.“Sayang ….” Sabrina melangk
“Kau terluka?” River bertanya cemas usai melepas pelukannya.Entah mengapa mata pria itu tampak gemetar seolah dunianya akan direnggut. Dan Adeline tidak mengerti sama sekali.“Tidak apa-apa, hanya luka kecil. Ini tidak—”“Apanya yang tidak apa-apa?!” River lekas menyambar saat menyadari bekas darah yang ada di pelipis Adeline. “Kepalamu berdarah dan kau bilang itu luka kecil?!”“I-ini … ini sudah tidak sakit.”“Mereka bajingan gila. Kau tidak tahu betapa berbahayanya mereka. Mengapa kau menganggap enteng semuanya? Dan lagi, bukankah aku sudah memberimu cincin pelacak? Mengapa kau tidak memakainya?!” sahut River mengandung emosi.Reaksi pria tersebut tampak berlebihan bagi Adeline. Dan lagi-lagi itu memicu perasaan aneh dalam hatinya.“Maaf, aku tidak tahu kapan cincin itu hilang. Tapi aku sekarang kan baik-baik saja. Kau tidak perlu—”“Aku tahu lebih dari siapapun seberapa brengseknya mereka. Para bajingan itu tidak akan memberi ampun meski seseorang memohon sampai berlulut di depan
‘Oh, shit! Aku tidak bisa menyingkirkannya karena tangan wanita ini terluka,’ batin River mengumpat. Dia melirik sang istri, tapi tak tega jika harus mengusik tidurnya. Terlebih Adeline baru saja mengalami penculikan dan tubuhnya cedera. Namun, tiba-tiba saja wanita itu menyusupkan kepalanya ke pelukan River. Dia mencari kehangatan hingga tak sadar memeluk suaminya. ‘Aku sudah bilang tidak akan melakukan apapun padamu, tapi jika kau terus seperti ini, aku tidak janji untuk menahan diri, Adeline!’ Seringai berbahaya seketika muncul di bibir River. Sampai esok hari, River dikejutkan dengan jubah tidur yang dia pakai terbuka lebar, menyisakan dada bidangnya yang menawan. Talinya porakporanda karena agaknya Adeline terus menariknya selama tidur. ‘Dasar, kucing kecil! Kau memang sesuatu, Adeline. Bagaimana bisa kau sangat liar padahal tanganmu masih sakit?’ River bergeming saat berpaling ke arah istrinya yang masih lelap. Tatapannya tak sengaja jatuh pada busungan payudara wanita itu.
“Kau setuju menikah denganku, artinya kau milikku!” River mendengus dengan tatapan tajam.Auranya yang kuat sangat menekan Adeline, hingga wanita itu merasa oksigennya diserot habis.Dengan manik gemetar, Adeline pun menyambar, “aku bukan milikmu. Aku memang istrimu, tapi hanya di atas kertas!”“Tidak dalam kamusku. Kau adalah orangku, Adeline. Aku berhak atas dirimu walau pernikahan ini palsu!” River bersikeras menentang.Adeline seketika menyatukan alisnya, tapi belum sempat menyahut, mulutnya dibuat bungkam saat jari telunjuk River tiba-tiba menyentuh bibirnya.“Jangan bicara dan dengarkan aku,” tutur pria itu dengan nada mendominasi. “Meski pernikahan kontrak mau itu satu tahun, satu bulan ataupun satu minggu, kau tetap milikku, Adeline!”Sungguh, kabut emosi kini naik ke wajah Adeline. Tapi dia terpaksa menahan ocehan ketika River mulai mengusap bibirnya penuh hasrat. Bahkan tanpa sopan, ibu jari pria itu menyusup ke sela mulut Adeline.“Bibir, mata, wajah dan tubuhmu ada dalam k
***Malam itu River dan Adeline menghadiri pesta kemenangan di I&S Hotel. Presiden baru San Pedro itu mengundang keluarga Herakles secara khusus, sebab berhasil memenangkan pemilihan berkat andil besar River.Sebuah limosin hitam mewah berhenti di depan I&S Hotel. Dan itu menarik perhatian banyak tamu di sana. Terlebih saat River muncul menawan dengan balutan jas hitamnya. Meski mulai berumur, tapi ketampanan pria itu tetap paripurna.Dia menjulurkan tangan pada Adeline yang baru keluar dari limosinnya. Semua pasang mata juga tertuju pada wanita itu, yang tampil anggun dengan dress hitam elegan.“Astaga, mereka pasti pasangan paling serasi sepanjang abad. Meski sudah memiliki tiga anak remaja, tapi Tuan River dan Nyonya Adeline tetap bersinar!” bisik seorang perempuan yang memegang gelas wine.Teman di sebelahnya pun membalas pelan. “Kau benar. Aku benar-benar iri melihat mereka. Kapan aku punya suami seperti Tuan River? Aku sudah lelah dengan status lajang bertahun-tahun.”“Ehei! Kau
“Saya mohon maaf, Tuan. Saya bersalah karena menempatkan Tuan Muda Johan dalam bahaya,” tukas Siegran dengan leher tegang.Dia bersiap menerima hukuman dari River. Padahal Siegran sendiri tahu seberapa cemasnya River dengan putranya yang satu itu.Namun, alih-alih menyahut dengan kata-kata, River malah bangkit dan menatap Siegran yang diserang tegang sejak tadi.“Baguslah!” katanya yang sontak memicu Siegran mengernyit.“Ma-maaf?” Siegeran menyahut bingung.Dia mengira telinganya salah dengar, tapi saat melihat raut wajah River, agaknya tuannya tersebut memang memujinya.“Aku percaya pada penilaianmu,” tukas River yang lantas memasukan kedua tangan ke saku celananya. “Johan memang berbeda dengan Jenson. Sejak kecil, dia tumbuh di dunia yang keras, penuh darah dan beragam senjata mematikan untuk bertahan hidup. Karena itu aku tak heran kalau dia tidak bisa diam saja saat ada situasi genting.”Siegran terdiam, tapi alisnya berangsur mendapuk saat melihat seringai tipis di bibir River.
***Berita kematian Sabrina Daniester sampai ke telinga Sebastian sehari sebelum pemilihan. Seorang asisten yang baru melaporkan berita itu, malah dilempar asbak oleh calon presiden tersebut.“Apa maksudmu, hah? Tidak mungkin Nyonya ma … tidak! Kau tidak tahu Sabrina Daniester orang seperti apa. Di wanita hebat yang punya segalanya. Ada banyak pengawal berkemampuan tinggi yang mengurusnya. Dan aku baru saja menemui Nyonya beberapa hari lalu. Mana mungkin? Mana mungkin sekarang dia mati?!” Sebastian mendengus tak percaya.Memang tak ada berita yang tersebar ke media, sebab secara resmi Sabrina Daniester masihlah tawanan yang ada di penjara.“Mo-mohon maaf, Tuan. Laporan dari penjaga yang tersisa, ada seorang pria yang menyerang Rather Hall kemarin malam,” tutur Asisten Sebastian ragu-ragu.Lawan bincangnya memicing kian berang dan lantas menimpali. “Apa kau bilang? Seorang pria? Maksudmu satu orang?!”“Be-benar, Tuan. Orang itu datang membawa jasad Tuan Frederick, lalu menghabisi beber
Alih-alih kembali ke mansion Devante, River malah membawa mayat Frederick ke mobilnya. Dia memacu kendaraan itu amat kencang menembus jalanan malam yang sepi.‘Sekarang aku akan mengakhiri semuanya. Dendam masa lalu itu harus selesai, demi Adeline dan anak-anakku!’ batin pria tersebut menatap tajam.Maniknya melirik Frederick yang tergeletak di kursi belakang.‘Dia pasti sudah lama merencanakan pembalasan dendam. Kali ini aku yang akan menyelesaikan segalanya!’ sambung River yang lantas menginjak gas kian dalam.Hingga setelah lama mengemudi, River bisa melihat bangunan megah yang dikelilingi tembok besar. Di pintu masuknya ada gerbang yang tertutup. Akan tetapi River tak peduli. Dia terus melesatkan mobilnya dan menabrak gerbang yang ada di depan. Suara gubrakan keras terdengar saat bemper mobil River menghantam gerbang itu. Hal ini membuat beberapa penjaga di sana tersentak kaget.“Sial! Orang gila mana yang berani masuk sembarangan?!” tukas salah satu penjaga di sana.Rekannya yang
“Hah, sial!” Fredercik mengumpat tajam.Alisnya mendapuk dengan seringai miring saat River menahan mata tajam belatinya dengan sebelah tangan. Ya, tanpa peduli telapak tangannya berlumuran darah, River tetap mencengkeramnya seolah itu bukanlah apa-apa.“Aku tidak akan mengampunimu!” cecarnya yang lantas memutar tangan Frederick hingga belatinya berbalik arah.Tanpa ragu, River semakin menekannya hingga benda tajam itu menusuk dada Frederick. Namun, sialnya sang sepupu dengan keras mendorongnya menjauh, hingga River tak sampai menekan belatinya terlalu dalam.“Argh, brengsek!” Frederick mengumpat keras sambil mencabut belati itu dari dadanya.Akan tetapi dirinya tak menduga bahwa di depan sana River sudah mengeluarkan pistol dan mengacungkan padanya.“Hah … aku terlalu meremehkanmu. Rupanya kau masih gesit meskipun sudah tua!” Frederick mencecar geram.Tapi tanpa menjawab apapun, River langsung melesatkan peluru pada paha Frederick. Lelaki tersebut mengernyit sambil berdiri dengan tump
‘Sial! Bajingan yang membawa Adeline benar-benar Frederick!’ batin River dengan amukan membengkak.Tanpa ragu, dia langsung menginjak gas dan membanting setir untuk memotong jalan. Nyaris saja mobil dari arah depan menghantamnya, tapi sang pengemudi mati-matian menginjak rem sebelum menabrak mobil River.“Dasar, bajingan sialan! Jika tidak bisa menyetir, jangan bawa mobil!” cecar pengemudi itu mengeluarkan kepala dari jendela.River tak meggubris. Di kepalanya hanya ada Adeline. Ya, River tahu seberapa gilanya Frederick. Dia sudah menyaksikan Jenson yang tergantung di atap, lantas apa yang akan dilakukan pria itu pada istrinya sekarang?“Brengsek! Aku akan membunuhnya jika menyentuh Adeline seujung rambut saja!” tukas River menatap amat tajam.Sial sekali mobil Frederick melaju amat cepat, hingga dia ketinggalan jauh. Namun, itu bukan masalah. River menginjak gas amat dalam, melaju kencang menyalip beberapa mobil yang menghalangi jalannya.‘Aish, sial! Dia pasti mau membawa Adeline k
‘Adeline, apa yang terjadi? Apa itu kecelakaan?’ batin River ragu-ragu.Dia coba menghubungi sopir yang mengemudi mobil wanita itu, sialnya tetap nihil. Anteknya tersebut tidak mengangkat panggilan juga.Tanpa buang waktu, River pun melacak ponsel Adeline. Dari system, gawai sang istri berada tak jauh dari Picasso Hotel.Kening pria itu mengernyit ketika perasaan buruk menyerangnya. Dia tahu anteknya yang bersama Adeline bukan orang ringkih. Hingga tanpa ragu, dia pun beranjak pergi ke lokasi wanita tersebut.Baru masuk mobilnya, River pun menghubungi Siegran yang sudah berada di depan vila sekitar hutan La Daga.“Siegran, jika situasi terlalu berbahaya, kau cukup awasi sekitar. Kita tunda penyerangan. Aku tidak bisa datang karena Adeline dalam bahaya!” tukasnya disertai tatapan tajam.Dari seberang, tangan kanannya itu pun menjawab, “Tuan, orang kita sudah menyusup ke dalam. Tapi Frederick tidak ada di markas. Dari perbincangan anak buahnya, Frederick masih ada di pusat San Pedro!”
“Jadi mereka semua bekerja sama?!” tukas River menyeringai tajam.Tanpa mengangkat pandangan, pria itu lantas berkata, “Siegran, segera bongkar kebusukan Sebastian dan Howard Company!”Ya, dia langsung mengambil keputusan, setelah mengetahui calon presiden itu bertemu Frederick di Rather Hall. River tahu betul bahwa tempat itu property pribadi keluarga Daniester yang disembunyikan. Jadi sudah pasti Sabrina Daniester ada di sana juga.“Lakukan itu sehari sebelum pemilihan. Dengan begitu, mereka tidak punya waktu untuk memperbaiki citranya,” sambung River meletakkan tab tadi ke meja.“Saya mengerti, Tuan. Lalu bagaimana dengan Frederick dan Sabrina? Mereka pasti merencanakan penyerangan lagi. Anak-anak Anda akan dalam bahaya, terutama Nona Jennifer. Sejak insiden penculikan Tuan Muda Jenson, Frederick selalu mengawasi akademi balet La Huerta.” Siegran berkata cemas.River menyatukan alisnya dengan tatapan garang.“Aku tahu. Sampai hari pemilihan, anak-anak tidak akan keluar dari mansion
“Apa ini? Tidak disangka Calon Presiden ikut dalam pertemuan seperti ini,” ujar Frederick dengan tatapan sinis.Ya, orang yang datang memanglah Sebastian Howard. Alih-alih menjawab, lelaki dengan perut buncit itu malah melangkah ke dekat Sabrina.“Nyonya, apa maksudnya ini? Saya pikir ini pertemuan privat, tapi kenapa ada orang lain di sini?” katanya protes.Mendengar sindiran tersebut, Frederick seketika menyeringai sinis. Dia mengepulkan asap rokoknya, lalu mematikan dengan kasar ke asbak yang ada di meja.“Sabrina, Sebenarnya siapa yang ‘orang lain’ di sini?” decaknya memicing berang.Sabrina melirik Sebastian seraya berkata tegas. “Diam dan duduklah. Waktu kita tidak banyak. Kalian sendiri tahu, siapa orang yang kita hadapi!”“Tapi, Nyonya—”“Kau berani menentangku?!” sentak Sabrina lebih tajam sebelum Sebastian menyelesaikan perkataannya.Hanya dengan satu kalimat itu, Sebastian langsung bungkam. Frederick pun tercengang karena Sebastian yang seorang calon presiden dan pemilik Ho