Share

Chapter 2

Arneta terbangun pagi itu dengan rasa lelah yang membebani seluruh tubuhnya.

Matahari belum sepenuhnya muncul, namun Helen dan Luke sudah menunggu untuk memberikan perintah. Mereka memperlakukannya dengan kejam, memaksa gadis itu bekerja tanpa henti, bahkan tanpa sejenak istirahat.

Mansion besar itu, yang biasanya diurus oleh banyak pelayan, kini hanya dijaga oleh Arneta seorang.

Luke telah mengusir semua pelayan sejak kedatangan Arneta. Tangannya gemetar saat memegang perutnya yang kosong, rasa perih semakin menyiksa.

"Perutku sakit sekali," desisnya, suaranya hampir tak terdengar di ruangan besar yang sunyi. Sejak malam kemarin, Luke dan Helen tidak memberinya makan, bahkan setetes air pun tidak.

Dia berjalan melewati koridor panjang dengan dinding-dinding tinggi yang berdebu. "Ini mansion atau kuburan? Besar tapi sepi, seperti tidak berpenghuni," gumamnya sambil memperhatikan sekeliling dengan mata yang letih dan putus asa. "Bagaimana caranya agar aku bisa kabur dari sini?"

Langkahnya terhenti ketika tiba-tiba lengannya ditarik keras. "Siapa yang menyuruhmu berhenti, manusia!" bentak Luke, wajahnya dekat sekali dengan wajah Arneta, matanya menyala dengan kemarahan.

Arneta meringis, "Argh... ampun Tuan, sakit..." Tangannya mencengkeram perutnya yang perih sementara tangan Luke mencengkeram lengannya lebih keras, hingga kuku tajam Luke menusuk kulitnya, darah mulai mengalir.

"Kamu memang gadis pembangkang! Sudah kubilang bukan, jangan berhenti sebelum aku menyuruhmu!" Luke mendekatkan wajahnya, menatap tajam mata Arneta yang mulai memucat.

"Maaf Tuan, maafkan saya..." Suara Arneta bergetar, matanya berkaca-kaca, memohon ampun. Tatapan hazel gadis itu menembus Luke, ada sesuatu yang membuat hatinya merasa iba dan takut seketika. Rasa marah yang mendidih dalam dirinya mendadak mereda.

Luke mengalihkan pandangannya dan melepaskan cengkeramannya dengan kasar. "Ingat, jangan berhenti sebelum aku menyuruhmu, mengerti?!"

Arneta mengangguk cepat. Ia tak ingin lagi berurusan dengan Luke yang galak dan kejam, yang memperlakukannya seperti pelayan kotor tanpa harga diri.

Helen muncul dengan beberapa berkas di tangan. "Tuan Ace sudah menunggumu di luar," katanya, menyerahkan berkas itu kepada Luke.

"Apa dia tahu kalau ada manusia di sini?" Luke melirik Arneta sekilas, yang berdiri menunduk diam.

"Penciumannya sedang bermasalah. Jadi dia tidak tahu," jawab Helen, merapikan dasi Luke yang berantakan.

"Terima kasih, Helen."

"Sama-sama, Luke." Helen tersipu melihat senyum Luke, meskipun wajahnya tetap datar dan dingin.

"Awasi dia. Jangan sampai dia membuat ulah dan masuk ke ruang rahasia," perintah Luke sebelum pergi.

"Dengan senang hati," Helen menjawab dengan nada lega, lalu melirik Arneta. "Siapa namamu?"

Arneta mengangkat kepala, menatap malas ke arah Helen. Wajah pucat Helen dan tatapan bencinya membuat suasana semakin tegang.

"Apa aku perlu menjawab pertanyaanmu yang tidak penting itu?" katanya, kembali membersihkan lantai yang kotor.

"Lalat kecil ini berani sekali," Helen mendesis, lalu dengan cepat mencekik leher Arneta dan memojokkannya ke tembok.

"Lepas... apa yang kamu lakukan!" Arneta mencoba memukul tangan Helen agar wanita itu melepaskan cekikannya.

"Kamu belum tahu siapa kami." Helen mencengkeram lebih erat, wajahnya dekat sekali dengan wajah Arneta.

Dengan sisa tenaganya, Arneta mengangkat salah satu sudut bibirnya, "Aku tidak butuh tahu siapa kamu!" balasnya dengan berani, menatap tajam Helen tanpa rasa takut.

Tatapan Arneta membuat Helen terdiam, terpesona dan bingung. "Ini tidak mungkin... matanya berubah? Mata yang hanya dimiliki oleh seseorang dengan darah abadi," gumam Helen pelan.

Arneta terengah-engah, memegang lehernya yang sakit akibat cekikan Helen. Jika tubuhnya tidak selemah ini, mungkin dia sudah melawan.

"Bisakah kamu memberiku makan! Aku lapar," pintanya dengan suara serak.

Helen menatapnya tajam, "Tidak ada makanan untuk manusia di sini! Simpan saja rasa laparmu sampai mati dan membusuk di sini," balasnya dingin.

Arneta bingung dengan ucapan Helen. "Tidak ada makanan manusia? Lalu mereka ini makhluk apa?" pikirnya.

"Dasar aneh," gumam Arneta, matanya menatap tajam pada Helen yang masih terlihat pucat seperti mayat hidup dengan suhu tubuh yang dingin.

"Kamu bilang apa, manusia?!" Helen berteriak, mata hitamnya berubah merah, membuat Arneta mundur ketakutan.

"Tentu saja aku manusia, memangnya kamu bukan?" tanyanya dengan nada bingung, membuat Helen kelabakan.

"Sepertinya aku salah bicara," gumam Helen sambil memijat pelipisnya yang terasa pusing. "Baru kali ini ada pelayan yang berani dan pembangkang seperti Arneta," pikirnya.

"Baiklah, kalau kamu ingin makan, tunggulah di sini. Dan jangan pernah mencoba untuk kabur," kata Helen, suaranya lebih lembut dari sebelumnya.

"Cih, lagipula aku bisa kemana, Nona. Banyak penjaga di setiap sudut mansion ini," balas Arneta pasrah.

"Panggil saja aku Helen. Karena aku bukan pemilik mansion ini," ucap Helen dengan nada datar.

"Lalu siapa pemiliknya?" tanya Arneta, mencoba mencari tahu lebih banyak.

"Pemiliknya adalah tuan—" Helen terdiam, hampir keceplosan. "Sudahlah, kamu ini cerewet sekali!" katanya dengan nada kesal.

"Aku Arneta, Arneta Miller," Arneta tersenyum lemah, mengulurkan tangan.

"Jangan sok imut," Helen memalingkan wajahnya, merasakan tenggorokannya gatal, keinginan untuk mencicipi darah Arneta semakin kuat.

"Helen, ternyata kamu baik. Kupikir kamu akan bersikap jahat seperti tuan pucat tadi," kata Arneta pelan.

"Luke. Dia asisten pribadi pemilik mansion ini," Helen menghentikan langkahnya. "Tepat pukul dua belas aku akan memberimu makan. Dan ingat, jangan mendekati ruangan itu," perintahnya menunjuk ke arah tangga.

"Kenapa aku tidak boleh ke sana? Bukankah aku juga harus membersihkannya?" tanya Arneta penasaran.

"Kamu ini, kenapa ngeyel sekali! Tidak ya tidak!" Helen berteriak, mata merahnya menatap tajam ke arah Arneta yang mundur ketakutan.

"B-baiklah, aku tidak akan mendekat ke sana," kata Arneta, tubuhnya gemetar.

Melihat Arneta yang sepertinya tidak akan berani macam-macam, Helen segera pergi meninggalkan gadis itu karena ada sesuatu yang harus ia kerjakan.

"Kita lihat apakah aku akan melanggar larangan kalian atau tetap diam di sini seperti gadis bodoh!" Arneta menyeringai tipis.

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status