Arneta terbangun pagi itu dengan rasa lelah yang membebani seluruh tubuhnya.
Matahari belum sepenuhnya muncul, namun Helen dan Luke sudah menunggu untuk memberikan perintah. Mereka memperlakukannya dengan kejam, memaksa gadis itu bekerja tanpa henti, bahkan tanpa sejenak istirahat. Mansion besar itu, yang biasanya diurus oleh banyak pelayan, kini hanya dijaga oleh Arneta seorang. Luke telah mengusir semua pelayan sejak kedatangan Arneta. Tangannya gemetar saat memegang perutnya yang kosong, rasa perih semakin menyiksa. "Perutku sakit sekali," desisnya, suaranya hampir tak terdengar di ruangan besar yang sunyi. Sejak malam kemarin, Luke dan Helen tidak memberinya makan, bahkan setetes air pun tidak. Dia berjalan melewati koridor panjang dengan dinding-dinding tinggi yang berdebu. "Ini mansion atau kuburan? Besar tapi sepi, seperti tidak berpenghuni," gumamnya sambil memperhatikan sekeliling dengan mata yang letih dan putus asa. "Bagaimana caranya agar aku bisa kabur dari sini?" Langkahnya terhenti ketika tiba-tiba lengannya ditarik keras. "Siapa yang menyuruhmu berhenti, manusia!" bentak Luke, wajahnya dekat sekali dengan wajah Arneta, matanya menyala dengan kemarahan. Arneta meringis, "Argh... ampun Tuan, sakit..." Tangannya mencengkeram perutnya yang perih sementara tangan Luke mencengkeram lengannya lebih keras, hingga kuku tajam Luke menusuk kulitnya, darah mulai mengalir. "Kamu memang gadis pembangkang! Sudah kubilang bukan, jangan berhenti sebelum aku menyuruhmu!" Luke mendekatkan wajahnya, menatap tajam mata Arneta yang mulai memucat. "Maaf Tuan, maafkan saya..." Suara Arneta bergetar, matanya berkaca-kaca, memohon ampun. Tatapan hazel gadis itu menembus Luke, ada sesuatu yang membuat hatinya merasa iba dan takut seketika. Rasa marah yang mendidih dalam dirinya mendadak mereda. Luke mengalihkan pandangannya dan melepaskan cengkeramannya dengan kasar. "Ingat, jangan berhenti sebelum aku menyuruhmu, mengerti?!" Arneta mengangguk cepat. Ia tak ingin lagi berurusan dengan Luke yang galak dan kejam, yang memperlakukannya seperti pelayan kotor tanpa harga diri. Helen muncul dengan beberapa berkas di tangan. "Tuan Ace sudah menunggumu di luar," katanya, menyerahkan berkas itu kepada Luke. "Apa dia tahu kalau ada manusia di sini?" Luke melirik Arneta sekilas, yang berdiri menunduk diam. "Penciumannya sedang bermasalah. Jadi dia tidak tahu," jawab Helen, merapikan dasi Luke yang berantakan. "Terima kasih, Helen." "Sama-sama, Luke." Helen tersipu melihat senyum Luke, meskipun wajahnya tetap datar dan dingin. "Awasi dia. Jangan sampai dia membuat ulah dan masuk ke ruang rahasia," perintah Luke sebelum pergi. "Dengan senang hati," Helen menjawab dengan nada lega, lalu melirik Arneta. "Siapa namamu?" Arneta mengangkat kepala, menatap malas ke arah Helen. Wajah pucat Helen dan tatapan bencinya membuat suasana semakin tegang. "Apa aku perlu menjawab pertanyaanmu yang tidak penting itu?" katanya, kembali membersihkan lantai yang kotor. "Lalat kecil ini berani sekali," Helen mendesis, lalu dengan cepat mencekik leher Arneta dan memojokkannya ke tembok. "Lepas... apa yang kamu lakukan!" Arneta mencoba memukul tangan Helen agar wanita itu melepaskan cekikannya. "Kamu belum tahu siapa kami." Helen mencengkeram lebih erat, wajahnya dekat sekali dengan wajah Arneta. Dengan sisa tenaganya, Arneta mengangkat salah satu sudut bibirnya, "Aku tidak butuh tahu siapa kamu!" balasnya dengan berani, menatap tajam Helen tanpa rasa takut. Tatapan Arneta membuat Helen terdiam, terpesona dan bingung. "Ini tidak mungkin... matanya berubah? Mata yang hanya dimiliki oleh seseorang dengan darah abadi," gumam Helen pelan. Arneta terengah-engah, memegang lehernya yang sakit akibat cekikan Helen. Jika tubuhnya tidak selemah ini, mungkin dia sudah melawan. "Bisakah kamu memberiku makan! Aku lapar," pintanya dengan suara serak. Helen menatapnya tajam, "Tidak ada makanan untuk manusia di sini! Simpan saja rasa laparmu sampai mati dan membusuk di sini," balasnya dingin. Arneta bingung dengan ucapan Helen. "Tidak ada makanan manusia? Lalu mereka ini makhluk apa?" pikirnya. "Dasar aneh," gumam Arneta, matanya menatap tajam pada Helen yang masih terlihat pucat seperti mayat hidup dengan suhu tubuh yang dingin. "Kamu bilang apa, manusia?!" Helen berteriak, mata hitamnya berubah merah, membuat Arneta mundur ketakutan. "Tentu saja aku manusia, memangnya kamu bukan?" tanyanya dengan nada bingung, membuat Helen kelabakan. "Sepertinya aku salah bicara," gumam Helen sambil memijat pelipisnya yang terasa pusing. "Baru kali ini ada pelayan yang berani dan pembangkang seperti Arneta," pikirnya. "Baiklah, kalau kamu ingin makan, tunggulah di sini. Dan jangan pernah mencoba untuk kabur," kata Helen, suaranya lebih lembut dari sebelumnya. "Cih, lagipula aku bisa kemana, Nona. Banyak penjaga di setiap sudut mansion ini," balas Arneta pasrah. "Panggil saja aku Helen. Karena aku bukan pemilik mansion ini," ucap Helen dengan nada datar. "Lalu siapa pemiliknya?" tanya Arneta, mencoba mencari tahu lebih banyak. "Pemiliknya adalah tuan—" Helen terdiam, hampir keceplosan. "Sudahlah, kamu ini cerewet sekali!" katanya dengan nada kesal. "Aku Arneta, Arneta Miller," Arneta tersenyum lemah, mengulurkan tangan. "Jangan sok imut," Helen memalingkan wajahnya, merasakan tenggorokannya gatal, keinginan untuk mencicipi darah Arneta semakin kuat. "Helen, ternyata kamu baik. Kupikir kamu akan bersikap jahat seperti tuan pucat tadi," kata Arneta pelan. "Luke. Dia asisten pribadi pemilik mansion ini," Helen menghentikan langkahnya. "Tepat pukul dua belas aku akan memberimu makan. Dan ingat, jangan mendekati ruangan itu," perintahnya menunjuk ke arah tangga. "Kenapa aku tidak boleh ke sana? Bukankah aku juga harus membersihkannya?" tanya Arneta penasaran. "Kamu ini, kenapa ngeyel sekali! Tidak ya tidak!" Helen berteriak, mata merahnya menatap tajam ke arah Arneta yang mundur ketakutan. "B-baiklah, aku tidak akan mendekat ke sana," kata Arneta, tubuhnya gemetar. Melihat Arneta yang sepertinya tidak akan berani macam-macam, Helen segera pergi meninggalkan gadis itu karena ada sesuatu yang harus ia kerjakan. "Kita lihat apakah aku akan melanggar larangan kalian atau tetap diam di sini seperti gadis bodoh!" Arneta menyeringai tipis. Bersambung...Malam tiba dengan kegelapan yang merayap, memeluk mansion yang megah namun sunyi. Arneta, dengan rasa penasaran yang tak terpadamkan sejak mendengar ucapan Helen, akhirnya memutuskan untuk menyelinap menuju ruang rahasia. Langkah kakinya ringan, nyaris tanpa suara, seperti seorang pencuri di tengah malam. Lorong-lorong panjang yang seolah tak berujung membawa Arneta pada sebuah pintu dengan ukiran Eropa yang indah namun tertutup rapat. Tak ada celah sedikitpun yang membiarkan udara masuk. "Apa yang kamu lakukan di sini, Arneta," bisiknya kepada diri sendiri, menggigit bibir bawahnya dengan gelisah. Pikirannya bertarung dengan tindakannya yang lancang. Arneta ingin sekali mendorong pintu tersebut, namun keraguannya menghalangi. Seorang gadis asing yang baru saja tiba di mansion, berani melangkah ke wilayah terlarang tanpa izin. Namun, rasa ingin tahu yang membara dalam dirinya tak bisa ditahan. "Tidak, Arneta! Kau harus kembali ke bawah sana," ia memerintahkan pada dirinya se
Bulan purnama telah muncul. Luke ketar-ketir karena sejak tadi pria itu belum menemukan di mana keberadaan tuannya, Ethan.Luke sudah mengelilingi semua sudut mansion, tanpa terkecuali. Namun hasilnya nihil.Ethan menghilang dan terlepas dari pengawasannya sebelum waktunya tiba."Bagaimana, apa kau sudah menemukan dimana keberadaannya, Helen?" Luke menatap tajam wajah wanita yang sejak tadi diam saja.Helen menggeleng. "Tidak ada tanda-tanda tuan melepaskan belenggu rantai itu dengan kekerasan.""Atau jangan-jangan, selama ini tuan Ethan—" Luke dan Helen saling menatap. Mereka takut sesuatu yang di khawatirkan akan terjadi."Dimana gadis manusia itu berada sekarang?" pertanyaan Luke membuat Helen kesal. Bukankah tadi dia sudah menjawabnya. Kenapa sekarang mengulangi pertanyaaan yang sama?"Dia ada di ruangan bawah tanah," jawab Helen."Bodoh!" pekik Luke. "Kamu benar-benar sangat sembrono. Bagaimana kalau tuan menuju ruang bawah tanah, hah?!"Teriakan Luke berhasil membuat wanita itu
Sedangkan di tempat lain. Seorang pria sedang melampiaskan kemarahannya pada sang anak buah."Bagaimana bisa kalian kehilangan gadis itu, hah?!" teriak seorang pria dengan wajah penuh emosi."Maafkan kami, Tuan. Gadis itu tidak berada di sana. Kami bahkan tidak bisa menemukan keberadaanya. Sepertinya ada seseorang yang sengaja menyembunyikannya," jawab salah seorang pengawal dengan nada sedikit ketakutan."Menyembunyikan bagaimana maksudmu, bodoh!" bentaknya."Ada beberapa anak buah kita yang melihat gadis itu memasuki kawasan hutan terlarang dan hilang begitu saja. Bahkan pengawal yang mengejarnya juga tidak kembali, mayatnya tidak ditemukan lalu—"Pengawal tersebut tidak melanjutkan kalimatnya. Membuat pria yang diketahui bernama Dexter itu geram."Katakan! Kenapa tidak dilanjutkan?!""Sepertinya salah satu keturunan Miller berhasil menemukan gadis itu dan membawanya."Tak bisa menahan lagi emosinya, Dexter memukul wajah anak buahnya. Menendangnya dengan kasar hingga terpental cukup
Di mansion milik keluarga Miller, sedang terjadi sebuah keributan besar. Dimana Rhea, putri mereka tidak kembali sejak tadi malam.Bahkan keberadaan gadis itu tidak diketahui sama sekali.Rhea adalah saudara kembar Ethan. Karena lahir dari darah keturunan manusia dan vampir. Rhea memiliki gen ibunya, yaitu berdarah manusia.Berbeda dengan Ethan yang memiliki gen ayahnya—vampirHanya saja darah Rhea sangat spesial dan langka. Hanya satu-satunya di dunia ini. Jika ada, mungkin manusia itu juga sama spesialnya dengan Rhea."Jordan, bagaimana sekarang? Putri kita belum juga kembali. Aku... aku takut terjadi sesuatu pada Rhea..."Jordan memeluk erat istrinya dan mencoba menenangkan wanita itu. "Tenanglah sayang, dia pasti akan baik-baik saja. Percayalah padaku.""Semua karena salahmu. Kamu terlalu memanjakannya. Sekarang lihat, dia bahkan lupa kemana arah jalan pulang," gerutu Yasmin.Jordan memijat pelipisnya yang mulai terasa pusing. "Sayang, kamu tau bukan kalau Rhea tidak suka di keka
Ethan menarik pinggang Arneta, mendekatkan gadis itu ke tubuhnya, mengikis jarak di antara mereka. "Dan sekarang tugas pertamamu adalah memuaskan aku," ucapnya dengan nada dingin. Arneta memejamkan matanya. Ini adalah pertama kalinya ia berada sedekat ini dengan seorang pria. Hembusan napas Ethan yang menyentuh wajahnya membuat jantungnya berdegup kencang. "Siapa yang menyuruhmu memejamkan mata? Buka matamu dan lihat aku!" perintah Ethan dengan tegas. Arneta membuka matanya perlahan. Jantungnya semakin berdetak kencang ketika ia melihat mata Ethan yang menatapnya begitu dalam. Ia bergumam dalam hati, "Apakah aku akan kehilangan keperawananku malam ini?" Arneta tetap diam dengan tubuh gemetar dan sedikit ketakutan, namun ia berusaha menahannya mati-matian. Tak! Sentilan keras di keningnya dari telunjuk Ethan membuyarkan lamunannya. "Kamu ini sedang memikirkan apa? Jangan bilang kalau otak kecilmu ini sedang membayangkan yang tidak-tidak," ucap Ethan dengan tajam. "Aku bahk
Pagi-pagi sekali, mansion milik Ethan yang megah dan elegan berubah menjadi medan kericuhan. Dapur yang biasanya bersih dan rapi kini penuh dengan kekacauan.Panci dan wajan tergeletak sembarangan, bahan-bahan makanan berserakan di mana-mana, dan aroma gosong memenuhi udara. Semua ini adalah ulah Arneta.Arneta, seorang gadis muda yang terpaksa tinggal di mansion itu meskipun Ethan sudah menyuruhnya pergi, tidak tahu kota ini dengan baik.Dia membutuhkan uang dan menerima pekerjaan sebagai pelayan di rumah Ethan.Helen, pelayan senior, menyeret Arneta kembali ke mansion atas perintah Luke, yang enggan mencari pelayan baru. Mereka tahu betul bahwa merekrut pelayan bukanlah pekerjaan mudah."Yak! Kenapa bisa gosong begini sih," gerutu Arneta sambil menatap daging yang terbakar di atas panggangan."Bukan begitu caranya!" bentak Helen dengan nada frustrasi. "Sini, biar aku bantu.""Tidak! Aku ingin melakukannya sendiri. Cukup beritahu aku saja caranya," jawab Arneta dengan tegas.Helen me
Pagi ini, Ethan duduk di meja makan, ditemani oleh Luke yang setia berdiri di sebelahnya. Di depannya, Ace terus mengamati gerak-gerik kakaknya yang terlihat aneh. Pandangannya penuh kekhawatiran."Apa ada yang sedang kamu pikirkan, Kak?" tanya Ace, suaranya penuh perhatian."Tidak ada," jawab Ethan dengan nada ketus, tak sudi memandang adiknya.Hubungan kedua kakak beradik itu memang jauh dari harmonis. Ethan selalu dingin dan ketus, sementara Ace lebih memilih untuk tidak terlalu ikut campur dalam masalah kakaknya."Dimana dia, Luke?" suara Ethan terdengar lebih tajam sekarang."Dia siapa maksud anda, Tuan?" Luke bertanya dengan bingung. Biasanya, Ethan selalu makan sendiri tanpa ditemani siapapun, bahkan Ace."Bodoh! Tentu saja—" Ethan menghentikan kalimatnya, menatap tajam dengan permusuhan ke arah asistennya."Apa saya salah bicara, Tuan?" Luke merasa salah langkah."Lupakan!" Ethan mulai menyantap daging di hadapannya dengan tergesa-gesa, namun pikirannya terus melayang ke Arnet
Pagi itu, Blaze tiba di mansion milik Jordan dengan penuh semangat, meskipun ia sedikit terlambat.Setelah melewati pintu utama yang megah, ia langsung menuju ruang kerja Jordan, tempat di mana biasanya pria itu menghabiskan pagi-paginya sebelum berangkat ke kantor.Namun, takdir sepertinya ingin bermain-main dengannya hari itu. Jordan sudah lebih dulu berangkat ke kantor, dan yang menunggunya di sana adalah Rhea, putri Jordan yang terkenal dengan kelakuannya yang sulit ditebak."Maaf, Tuan. Saya datang terlambat," ucap Blaze, mencoba tetap tenang dan profesional. Rhea, yang tampak tak senang dengan kehadiran Blaze, segera memotongnya. "Ya, aku tidak mau diikuti olehnya!" serunya dengan nada marah, menunjuk Blaze dengan jari telunjuknya."Dia sangat menyebalkan dan pengganggu. Kemanapun aku pergi, dia selalu mengikuti aku. Bahkan saat aku masuk ke toilet kampus. Mereka semua menertawakan aku, Yah!" protesnya, suaranya bergetar dengan emosi yang meluap-luap.Jordan, yang telah mendeng
Pagi itu, Blaze tiba di mansion milik Jordan dengan penuh semangat, meskipun ia sedikit terlambat.Setelah melewati pintu utama yang megah, ia langsung menuju ruang kerja Jordan, tempat di mana biasanya pria itu menghabiskan pagi-paginya sebelum berangkat ke kantor.Namun, takdir sepertinya ingin bermain-main dengannya hari itu. Jordan sudah lebih dulu berangkat ke kantor, dan yang menunggunya di sana adalah Rhea, putri Jordan yang terkenal dengan kelakuannya yang sulit ditebak."Maaf, Tuan. Saya datang terlambat," ucap Blaze, mencoba tetap tenang dan profesional. Rhea, yang tampak tak senang dengan kehadiran Blaze, segera memotongnya. "Ya, aku tidak mau diikuti olehnya!" serunya dengan nada marah, menunjuk Blaze dengan jari telunjuknya."Dia sangat menyebalkan dan pengganggu. Kemanapun aku pergi, dia selalu mengikuti aku. Bahkan saat aku masuk ke toilet kampus. Mereka semua menertawakan aku, Yah!" protesnya, suaranya bergetar dengan emosi yang meluap-luap.Jordan, yang telah mendeng
Pagi ini, Ethan duduk di meja makan, ditemani oleh Luke yang setia berdiri di sebelahnya. Di depannya, Ace terus mengamati gerak-gerik kakaknya yang terlihat aneh. Pandangannya penuh kekhawatiran."Apa ada yang sedang kamu pikirkan, Kak?" tanya Ace, suaranya penuh perhatian."Tidak ada," jawab Ethan dengan nada ketus, tak sudi memandang adiknya.Hubungan kedua kakak beradik itu memang jauh dari harmonis. Ethan selalu dingin dan ketus, sementara Ace lebih memilih untuk tidak terlalu ikut campur dalam masalah kakaknya."Dimana dia, Luke?" suara Ethan terdengar lebih tajam sekarang."Dia siapa maksud anda, Tuan?" Luke bertanya dengan bingung. Biasanya, Ethan selalu makan sendiri tanpa ditemani siapapun, bahkan Ace."Bodoh! Tentu saja—" Ethan menghentikan kalimatnya, menatap tajam dengan permusuhan ke arah asistennya."Apa saya salah bicara, Tuan?" Luke merasa salah langkah."Lupakan!" Ethan mulai menyantap daging di hadapannya dengan tergesa-gesa, namun pikirannya terus melayang ke Arnet
Pagi-pagi sekali, mansion milik Ethan yang megah dan elegan berubah menjadi medan kericuhan. Dapur yang biasanya bersih dan rapi kini penuh dengan kekacauan.Panci dan wajan tergeletak sembarangan, bahan-bahan makanan berserakan di mana-mana, dan aroma gosong memenuhi udara. Semua ini adalah ulah Arneta.Arneta, seorang gadis muda yang terpaksa tinggal di mansion itu meskipun Ethan sudah menyuruhnya pergi, tidak tahu kota ini dengan baik.Dia membutuhkan uang dan menerima pekerjaan sebagai pelayan di rumah Ethan.Helen, pelayan senior, menyeret Arneta kembali ke mansion atas perintah Luke, yang enggan mencari pelayan baru. Mereka tahu betul bahwa merekrut pelayan bukanlah pekerjaan mudah."Yak! Kenapa bisa gosong begini sih," gerutu Arneta sambil menatap daging yang terbakar di atas panggangan."Bukan begitu caranya!" bentak Helen dengan nada frustrasi. "Sini, biar aku bantu.""Tidak! Aku ingin melakukannya sendiri. Cukup beritahu aku saja caranya," jawab Arneta dengan tegas.Helen me
Ethan menarik pinggang Arneta, mendekatkan gadis itu ke tubuhnya, mengikis jarak di antara mereka. "Dan sekarang tugas pertamamu adalah memuaskan aku," ucapnya dengan nada dingin. Arneta memejamkan matanya. Ini adalah pertama kalinya ia berada sedekat ini dengan seorang pria. Hembusan napas Ethan yang menyentuh wajahnya membuat jantungnya berdegup kencang. "Siapa yang menyuruhmu memejamkan mata? Buka matamu dan lihat aku!" perintah Ethan dengan tegas. Arneta membuka matanya perlahan. Jantungnya semakin berdetak kencang ketika ia melihat mata Ethan yang menatapnya begitu dalam. Ia bergumam dalam hati, "Apakah aku akan kehilangan keperawananku malam ini?" Arneta tetap diam dengan tubuh gemetar dan sedikit ketakutan, namun ia berusaha menahannya mati-matian. Tak! Sentilan keras di keningnya dari telunjuk Ethan membuyarkan lamunannya. "Kamu ini sedang memikirkan apa? Jangan bilang kalau otak kecilmu ini sedang membayangkan yang tidak-tidak," ucap Ethan dengan tajam. "Aku bahk
Di mansion milik keluarga Miller, sedang terjadi sebuah keributan besar. Dimana Rhea, putri mereka tidak kembali sejak tadi malam.Bahkan keberadaan gadis itu tidak diketahui sama sekali.Rhea adalah saudara kembar Ethan. Karena lahir dari darah keturunan manusia dan vampir. Rhea memiliki gen ibunya, yaitu berdarah manusia.Berbeda dengan Ethan yang memiliki gen ayahnya—vampirHanya saja darah Rhea sangat spesial dan langka. Hanya satu-satunya di dunia ini. Jika ada, mungkin manusia itu juga sama spesialnya dengan Rhea."Jordan, bagaimana sekarang? Putri kita belum juga kembali. Aku... aku takut terjadi sesuatu pada Rhea..."Jordan memeluk erat istrinya dan mencoba menenangkan wanita itu. "Tenanglah sayang, dia pasti akan baik-baik saja. Percayalah padaku.""Semua karena salahmu. Kamu terlalu memanjakannya. Sekarang lihat, dia bahkan lupa kemana arah jalan pulang," gerutu Yasmin.Jordan memijat pelipisnya yang mulai terasa pusing. "Sayang, kamu tau bukan kalau Rhea tidak suka di keka
Sedangkan di tempat lain. Seorang pria sedang melampiaskan kemarahannya pada sang anak buah."Bagaimana bisa kalian kehilangan gadis itu, hah?!" teriak seorang pria dengan wajah penuh emosi."Maafkan kami, Tuan. Gadis itu tidak berada di sana. Kami bahkan tidak bisa menemukan keberadaanya. Sepertinya ada seseorang yang sengaja menyembunyikannya," jawab salah seorang pengawal dengan nada sedikit ketakutan."Menyembunyikan bagaimana maksudmu, bodoh!" bentaknya."Ada beberapa anak buah kita yang melihat gadis itu memasuki kawasan hutan terlarang dan hilang begitu saja. Bahkan pengawal yang mengejarnya juga tidak kembali, mayatnya tidak ditemukan lalu—"Pengawal tersebut tidak melanjutkan kalimatnya. Membuat pria yang diketahui bernama Dexter itu geram."Katakan! Kenapa tidak dilanjutkan?!""Sepertinya salah satu keturunan Miller berhasil menemukan gadis itu dan membawanya."Tak bisa menahan lagi emosinya, Dexter memukul wajah anak buahnya. Menendangnya dengan kasar hingga terpental cukup
Bulan purnama telah muncul. Luke ketar-ketir karena sejak tadi pria itu belum menemukan di mana keberadaan tuannya, Ethan.Luke sudah mengelilingi semua sudut mansion, tanpa terkecuali. Namun hasilnya nihil.Ethan menghilang dan terlepas dari pengawasannya sebelum waktunya tiba."Bagaimana, apa kau sudah menemukan dimana keberadaannya, Helen?" Luke menatap tajam wajah wanita yang sejak tadi diam saja.Helen menggeleng. "Tidak ada tanda-tanda tuan melepaskan belenggu rantai itu dengan kekerasan.""Atau jangan-jangan, selama ini tuan Ethan—" Luke dan Helen saling menatap. Mereka takut sesuatu yang di khawatirkan akan terjadi."Dimana gadis manusia itu berada sekarang?" pertanyaan Luke membuat Helen kesal. Bukankah tadi dia sudah menjawabnya. Kenapa sekarang mengulangi pertanyaaan yang sama?"Dia ada di ruangan bawah tanah," jawab Helen."Bodoh!" pekik Luke. "Kamu benar-benar sangat sembrono. Bagaimana kalau tuan menuju ruang bawah tanah, hah?!"Teriakan Luke berhasil membuat wanita itu
Malam tiba dengan kegelapan yang merayap, memeluk mansion yang megah namun sunyi. Arneta, dengan rasa penasaran yang tak terpadamkan sejak mendengar ucapan Helen, akhirnya memutuskan untuk menyelinap menuju ruang rahasia. Langkah kakinya ringan, nyaris tanpa suara, seperti seorang pencuri di tengah malam. Lorong-lorong panjang yang seolah tak berujung membawa Arneta pada sebuah pintu dengan ukiran Eropa yang indah namun tertutup rapat. Tak ada celah sedikitpun yang membiarkan udara masuk. "Apa yang kamu lakukan di sini, Arneta," bisiknya kepada diri sendiri, menggigit bibir bawahnya dengan gelisah. Pikirannya bertarung dengan tindakannya yang lancang. Arneta ingin sekali mendorong pintu tersebut, namun keraguannya menghalangi. Seorang gadis asing yang baru saja tiba di mansion, berani melangkah ke wilayah terlarang tanpa izin. Namun, rasa ingin tahu yang membara dalam dirinya tak bisa ditahan. "Tidak, Arneta! Kau harus kembali ke bawah sana," ia memerintahkan pada dirinya se
Arneta terbangun pagi itu dengan rasa lelah yang membebani seluruh tubuhnya.Matahari belum sepenuhnya muncul, namun Helen dan Luke sudah menunggu untuk memberikan perintah. Mereka memperlakukannya dengan kejam, memaksa gadis itu bekerja tanpa henti, bahkan tanpa sejenak istirahat. Mansion besar itu, yang biasanya diurus oleh banyak pelayan, kini hanya dijaga oleh Arneta seorang.Luke telah mengusir semua pelayan sejak kedatangan Arneta. Tangannya gemetar saat memegang perutnya yang kosong, rasa perih semakin menyiksa."Perutku sakit sekali," desisnya, suaranya hampir tak terdengar di ruangan besar yang sunyi. Sejak malam kemarin, Luke dan Helen tidak memberinya makan, bahkan setetes air pun tidak.Dia berjalan melewati koridor panjang dengan dinding-dinding tinggi yang berdebu. "Ini mansion atau kuburan? Besar tapi sepi, seperti tidak berpenghuni," gumamnya sambil memperhatikan sekeliling dengan mata yang letih dan putus asa. "Bagaimana caranya agar aku bisa kabur dari sini?"Langka