Di tengah malam yang sunyi, suara langkah kaki terdengar jelas di antara pepohonan hutan yang lebat. Seorang gadis berusia delapan belas tahun berlari, napasnya terengah-engah, matanya mencari jalan keluar dari kegelapan.
Dia menoleh ke belakang, bayangan pria-pria yang mengejarnya semakin mendekat. Setiap langkah mereka menggema, memecah keheningan malam. Napas Arneta tersengal, paru-parunya terasa terbakar. Dia baru saja terlepas dari cengkraman kasar salah satu pria, tetapi kejaran mereka belum berakhir. Cahaya bulan yang redup memantul di wajahnya yang pucat, mata hazelnya berkilauan oleh ketakutan. Rambut coklatnya yang panjang dan kusut berkibar mengikuti langkahnya yang terburu-buru. Hanya beberapa jam yang lalu, Arneta turun dari pesawat dengan hati penuh harapan. Dia menaiki taksi menuju alamat yang diberikan oleh Mamanya, tetapi nasib sial menimpanya. Di tempat yang seharusnya menjadi tujuan, tidak ada yang menyambutnya, hanya beberapa pria yang mengambil paksa barang-barang berharganya. Mereka menariknya ke kastil tua di pinggiran hutan, mengurungnya dalam kegelapan selama beberapa hari. "Kumohon... kumohon siapapun tolong aku!" teriak Arneta, suaranya menggema tanpa jawaban. Di dalam kastil, dinding-dinding batu yang dingin memantulkan jeritan putus asanya. Setiap ketukan jantungnya terdengar seperti genderang kematian. Kini, Arneta berlari secepat mungkin. Jalanan hutan yang gelap dan sepi seperti labirin tak berujung. Tidak ada kendaraan yang melintas, tidak ada tanda-tanda kehidupan selain dirinya dan pengejarnya. Bayangan pepohonan bergerak cepat di sudut matanya, menambah rasa ngeri. "Kamu pikir bisa lari dari kami, gadis kecil." Suara berat salah satu pria mengejar menghantam telinganya, membuat darahnya berdesir. Dia terpojok, jurang menganga di sisi belakang, kanan, dan kirinya. Tidak ada jalan keluar, tidak ada tempat untuk sembunyi. Salah satu pria mendekat, seringai licik terpampang di wajahnya. "Bagaimana kalau kita bermain-main sebentar? Tubuhmu sangat indah dan menggoda. Kamu pasti bukan berasal dari sini, bukan?" Arneta menggigil, kakinya terasa lemas. "Berhenti, jangan berani menyentuhku! Ambil saja barang-barangku, tapi kumohon lepaskan aku," suaranya pecah, nyaris tak terdengar di antara napas terengahnya. Tawa mereka menggema, suara yang mengerikan di tengah malam. "Berlutut dan memohon lah, kami akan melepaskan mu dengan senang hati. Tapi dengan satu syarat.." Seorang pria lain menimpali dengan nada serius, "Berhenti bermain-main bodoh! Apa kamu tidak tahu kalau ini hutan terlarang. Lebih baik seret dan bawa pergi saja dia dari sini." "Tidak! Kumohon, jangan bawa aku!" teriak Arneta. Mendadak, sosok pria dengan jubah hitam muncul dari kegelapan, matanya menyala merah di bawah sinar bulan. "Lepaskan gadis itu!" suaranya memecah keheningan malam, menggema di antara pepohonan. Dia menunjukkan gigi taring tajam yang membuat bulu kuduk berdiri. "K—kamu..." salah satu pria tergagap, wajahnya pucat ketakutan. "Kenapa diam saja. Cepat habisi dia!" titah pria yang lain. Pria misterius itu menyeringai dingin, "Kita lihat siapa yang akan dihabisi lebih dulu," katanya, bergerak secepat kilat. Dalam sekejap, dia mencekik leher salah satu pria dan menghisap darahnya sampai habis. Tubuh mangsanya jatuh ke tanah, pucat dan tak bernyawa. Arneta menatap dengan mata terbelalak, tangan menutup mulutnya yang gemetar. Pria yang masih hidup gemetar. "S—siapa sebenarnya kamu?!" pekik pria yang ada di samping Arneta. "Masih tidak tahu siapa aku? Haruskah aku memperkenalkan diri, hum?" pria itu menyeringai lebih lebar. "K—kamu pasti hantu, kan?" pria itu berteriak panik dan berlari tunggang langgang, meninggalkan temannya yang sudah tewas. Pria misterius itu memandang dengan tatapan tajam, "Habisi dia dan bakar mayatnya. Jangan sampai identitas kita diketahui banyak orang," perintahnya pada salah satu anak buahnya yang tiba-tiba muncul dari bayangan. Arneta pingsan, tubuhnya lemas. Pria itu menangkap tubuhnya yang jatuh, "Dasar merepotkan!" gerutunya sambil membopong Arneta. "Aku harus segera menghapus ingatan gadis ini. Kalau tidak, dia akan menceritakan semuanya pada manusia yang lain." Tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah mansion bergaya Eropa yang terletak di tengah hutan. Luke, pria misterius itu, memasuki gerbang utama dan membopong Arneta melewati lorong menuju kamar pelayan. "Selamat datang, Luke," sapa Helen, kepala pelayan di mansion tersebut. Matanya tajam meneliti gadis di gendongan Luke. "Siapa gadis manusia ini, Luke? Kenapa kamu membawanya kemari? Tidak takutkah kamu jika tuan Ethan bangun dan melihatnya?" Helen bertanya tanpa jeda, membuat Luke memutar bola matanya malas. "Apa dia calon pelayan tuan Ethan?" Luke balik bertanya. Sementara Helen malah menatapnya dalam diam. "Jawab, Helen!" bentak Luke saat Helen tak menjawab pertanyaannya. Helen mendongak dan mencoba membaca pikiran Arneta yang masih pingsan. "Sepertinya begitu, Luke. Karena yang aku tahu, gadis pelayan itu memiliki kulit wajah pucat dan juga bermata hazel," jawab Helen. Luke mengangguk, "Kalau begitu memang dia orang yang sedang kita tunggu. Tapi aneh, kenapa gadis manusia?" gumamnya. Helen membuka pintu kamar agar Luke bisa menidurkan Arneta. "Bangunkan gadis ini," perintah Luke tegas. "Dengan apa? Kita tidak tahu dia pingsan atau tidur sekarang," sahut Helen. "Lakukan saja!" Helen yang paham dengan tatapan Luke segera mengambil ember air dan menyiramkannya ke wajah Arneta. Gadis itu terbangun dengan teriak ketakutan. "Kumohon lepaskan aku... jangan sakiti aku!" teriak Arneta. "Sudah puas tidurnya, hum?" tanya Luke dingin, menatap tajam. Arneta memandangnya bingung, "Kamu siapa? Apa kamu yang sudah menyelamatkan aku? Terima kasih," Arneta meraih tangan Luke, yang segera ditepisnya dengan kasar. "Tidak perlu banyak bicara dan lakukan saja tugasmu sekarang!" perintah Luke. "Tugasku?" Arneta bingung. Bukankah dia kemari untuk mencari kakaknya? "Jelaskan padanya, Helen. Aku muak melihat wajahnya." Luke membalikkan badan dan pergi. Helen menarik tangan Arneta, "Mulai sekarang tugas anda adalah membersihkan mansion ini. Mari ikut saya." Arneta menolak, "Aku bukan pelayan. Aku datang kemari untuk mencari kakakku!" Dengan cepat, Helen mengeluarkan belati, "Tetap tinggal, atau keluar dalam keadaan tak bernyawa." Ancaman itu membuat Arneta diam tak berkutik. "Pakai ini," perintah Helen sambil menyerahkan pakaian pelayan. "Mulai sekarang kamu adalah seorang pelayan." Tanpa banyak bertanya lagi, Arneta melakukan apa yang Helen perintahkan. Meski Arneta masih penasaran, sebenarnya dia ada di mana sekarang.Arneta terbangun pagi itu dengan rasa lelah yang membebani seluruh tubuhnya.Matahari belum sepenuhnya muncul, namun Helen dan Luke sudah menunggu untuk memberikan perintah. Mereka memperlakukannya dengan kejam, memaksa gadis itu bekerja tanpa henti, bahkan tanpa sejenak istirahat. Mansion besar itu, yang biasanya diurus oleh banyak pelayan, kini hanya dijaga oleh Arneta seorang.Luke telah mengusir semua pelayan sejak kedatangan Arneta. Tangannya gemetar saat memegang perutnya yang kosong, rasa perih semakin menyiksa."Perutku sakit sekali," desisnya, suaranya hampir tak terdengar di ruangan besar yang sunyi. Sejak malam kemarin, Luke dan Helen tidak memberinya makan, bahkan setetes air pun tidak.Dia berjalan melewati koridor panjang dengan dinding-dinding tinggi yang berdebu. "Ini mansion atau kuburan? Besar tapi sepi, seperti tidak berpenghuni," gumamnya sambil memperhatikan sekeliling dengan mata yang letih dan putus asa. "Bagaimana caranya agar aku bisa kabur dari sini?"Langka
Malam tiba dengan kegelapan yang merayap, memeluk mansion yang megah namun sunyi. Arneta, dengan rasa penasaran yang tak terpadamkan sejak mendengar ucapan Helen, akhirnya memutuskan untuk menyelinap menuju ruang rahasia. Langkah kakinya ringan, nyaris tanpa suara, seperti seorang pencuri di tengah malam. Lorong-lorong panjang yang seolah tak berujung membawa Arneta pada sebuah pintu dengan ukiran Eropa yang indah namun tertutup rapat. Tak ada celah sedikitpun yang membiarkan udara masuk. "Apa yang kamu lakukan di sini, Arneta," bisiknya kepada diri sendiri, menggigit bibir bawahnya dengan gelisah. Pikirannya bertarung dengan tindakannya yang lancang. Arneta ingin sekali mendorong pintu tersebut, namun keraguannya menghalangi. Seorang gadis asing yang baru saja tiba di mansion, berani melangkah ke wilayah terlarang tanpa izin. Namun, rasa ingin tahu yang membara dalam dirinya tak bisa ditahan. "Tidak, Arneta! Kau harus kembali ke bawah sana," ia memerintahkan pada dirinya se
Bulan purnama telah muncul. Luke ketar-ketir karena sejak tadi pria itu belum menemukan di mana keberadaan tuannya, Ethan.Luke sudah mengelilingi semua sudut mansion, tanpa terkecuali. Namun hasilnya nihil.Ethan menghilang dan terlepas dari pengawasannya sebelum waktunya tiba."Bagaimana, apa kau sudah menemukan dimana keberadaannya, Helen?" Luke menatap tajam wajah wanita yang sejak tadi diam saja.Helen menggeleng. "Tidak ada tanda-tanda tuan melepaskan belenggu rantai itu dengan kekerasan.""Atau jangan-jangan, selama ini tuan Ethan—" Luke dan Helen saling menatap. Mereka takut sesuatu yang di khawatirkan akan terjadi."Dimana gadis manusia itu berada sekarang?" pertanyaan Luke membuat Helen kesal. Bukankah tadi dia sudah menjawabnya. Kenapa sekarang mengulangi pertanyaaan yang sama?"Dia ada di ruangan bawah tanah," jawab Helen."Bodoh!" pekik Luke. "Kamu benar-benar sangat sembrono. Bagaimana kalau tuan menuju ruang bawah tanah, hah?!"Teriakan Luke berhasil membuat wanita itu
Sedangkan di tempat lain. Seorang pria sedang melampiaskan kemarahannya pada sang anak buah."Bagaimana bisa kalian kehilangan gadis itu, hah?!" teriak seorang pria dengan wajah penuh emosi."Maafkan kami, Tuan. Gadis itu tidak berada di sana. Kami bahkan tidak bisa menemukan keberadaanya. Sepertinya ada seseorang yang sengaja menyembunyikannya," jawab salah seorang pengawal dengan nada sedikit ketakutan."Menyembunyikan bagaimana maksudmu, bodoh!" bentaknya."Ada beberapa anak buah kita yang melihat gadis itu memasuki kawasan hutan terlarang dan hilang begitu saja. Bahkan pengawal yang mengejarnya juga tidak kembali, mayatnya tidak ditemukan lalu—"Pengawal tersebut tidak melanjutkan kalimatnya. Membuat pria yang diketahui bernama Dexter itu geram."Katakan! Kenapa tidak dilanjutkan?!""Sepertinya salah satu keturunan Miller berhasil menemukan gadis itu dan membawanya."Tak bisa menahan lagi emosinya, Dexter memukul wajah anak buahnya. Menendangnya dengan kasar hingga terpental cukup
Di mansion milik keluarga Miller, sedang terjadi sebuah keributan besar. Dimana Rhea, putri mereka tidak kembali sejak tadi malam.Bahkan keberadaan gadis itu tidak diketahui sama sekali.Rhea adalah saudara kembar Ethan. Karena lahir dari darah keturunan manusia dan vampir. Rhea memiliki gen ibunya, yaitu berdarah manusia.Berbeda dengan Ethan yang memiliki gen ayahnya—vampirHanya saja darah Rhea sangat spesial dan langka. Hanya satu-satunya di dunia ini. Jika ada, mungkin manusia itu juga sama spesialnya dengan Rhea."Jordan, bagaimana sekarang? Putri kita belum juga kembali. Aku... aku takut terjadi sesuatu pada Rhea..."Jordan memeluk erat istrinya dan mencoba menenangkan wanita itu. "Tenanglah sayang, dia pasti akan baik-baik saja. Percayalah padaku.""Semua karena salahmu. Kamu terlalu memanjakannya. Sekarang lihat, dia bahkan lupa kemana arah jalan pulang," gerutu Yasmin.Jordan memijat pelipisnya yang mulai terasa pusing. "Sayang, kamu tau bukan kalau Rhea tidak suka di keka
Ethan menarik pinggang Arneta, mendekatkan gadis itu ke tubuhnya, mengikis jarak di antara mereka. "Dan sekarang tugas pertamamu adalah memuaskan aku," ucapnya dengan nada dingin. Arneta memejamkan matanya. Ini adalah pertama kalinya ia berada sedekat ini dengan seorang pria. Hembusan napas Ethan yang menyentuh wajahnya membuat jantungnya berdegup kencang. "Siapa yang menyuruhmu memejamkan mata? Buka matamu dan lihat aku!" perintah Ethan dengan tegas. Arneta membuka matanya perlahan. Jantungnya semakin berdetak kencang ketika ia melihat mata Ethan yang menatapnya begitu dalam. Ia bergumam dalam hati, "Apakah aku akan kehilangan keperawananku malam ini?" Arneta tetap diam dengan tubuh gemetar dan sedikit ketakutan, namun ia berusaha menahannya mati-matian. Tak! Sentilan keras di keningnya dari telunjuk Ethan membuyarkan lamunannya. "Kamu ini sedang memikirkan apa? Jangan bilang kalau otak kecilmu ini sedang membayangkan yang tidak-tidak," ucap Ethan dengan tajam. "Aku bahk
Pagi-pagi sekali, mansion milik Ethan yang megah dan elegan berubah menjadi medan kericuhan. Dapur yang biasanya bersih dan rapi kini penuh dengan kekacauan.Panci dan wajan tergeletak sembarangan, bahan-bahan makanan berserakan di mana-mana, dan aroma gosong memenuhi udara. Semua ini adalah ulah Arneta.Arneta, seorang gadis muda yang terpaksa tinggal di mansion itu meskipun Ethan sudah menyuruhnya pergi, tidak tahu kota ini dengan baik.Dia membutuhkan uang dan menerima pekerjaan sebagai pelayan di rumah Ethan.Helen, pelayan senior, menyeret Arneta kembali ke mansion atas perintah Luke, yang enggan mencari pelayan baru. Mereka tahu betul bahwa merekrut pelayan bukanlah pekerjaan mudah."Yak! Kenapa bisa gosong begini sih," gerutu Arneta sambil menatap daging yang terbakar di atas panggangan."Bukan begitu caranya!" bentak Helen dengan nada frustrasi. "Sini, biar aku bantu.""Tidak! Aku ingin melakukannya sendiri. Cukup beritahu aku saja caranya," jawab Arneta dengan tegas.Helen me
Pagi ini, Ethan duduk di meja makan, ditemani oleh Luke yang setia berdiri di sebelahnya. Di depannya, Ace terus mengamati gerak-gerik kakaknya yang terlihat aneh. Pandangannya penuh kekhawatiran."Apa ada yang sedang kamu pikirkan, Kak?" tanya Ace, suaranya penuh perhatian."Tidak ada," jawab Ethan dengan nada ketus, tak sudi memandang adiknya.Hubungan kedua kakak beradik itu memang jauh dari harmonis. Ethan selalu dingin dan ketus, sementara Ace lebih memilih untuk tidak terlalu ikut campur dalam masalah kakaknya."Dimana dia, Luke?" suara Ethan terdengar lebih tajam sekarang."Dia siapa maksud anda, Tuan?" Luke bertanya dengan bingung. Biasanya, Ethan selalu makan sendiri tanpa ditemani siapapun, bahkan Ace."Bodoh! Tentu saja—" Ethan menghentikan kalimatnya, menatap tajam dengan permusuhan ke arah asistennya."Apa saya salah bicara, Tuan?" Luke merasa salah langkah."Lupakan!" Ethan mulai menyantap daging di hadapannya dengan tergesa-gesa, namun pikirannya terus melayang ke Arnet
Pagi itu, Blaze tiba di mansion milik Jordan dengan penuh semangat, meskipun ia sedikit terlambat.Setelah melewati pintu utama yang megah, ia langsung menuju ruang kerja Jordan, tempat di mana biasanya pria itu menghabiskan pagi-paginya sebelum berangkat ke kantor.Namun, takdir sepertinya ingin bermain-main dengannya hari itu. Jordan sudah lebih dulu berangkat ke kantor, dan yang menunggunya di sana adalah Rhea, putri Jordan yang terkenal dengan kelakuannya yang sulit ditebak."Maaf, Tuan. Saya datang terlambat," ucap Blaze, mencoba tetap tenang dan profesional. Rhea, yang tampak tak senang dengan kehadiran Blaze, segera memotongnya. "Ya, aku tidak mau diikuti olehnya!" serunya dengan nada marah, menunjuk Blaze dengan jari telunjuknya."Dia sangat menyebalkan dan pengganggu. Kemanapun aku pergi, dia selalu mengikuti aku. Bahkan saat aku masuk ke toilet kampus. Mereka semua menertawakan aku, Yah!" protesnya, suaranya bergetar dengan emosi yang meluap-luap.Jordan, yang telah mendeng
Pagi ini, Ethan duduk di meja makan, ditemani oleh Luke yang setia berdiri di sebelahnya. Di depannya, Ace terus mengamati gerak-gerik kakaknya yang terlihat aneh. Pandangannya penuh kekhawatiran."Apa ada yang sedang kamu pikirkan, Kak?" tanya Ace, suaranya penuh perhatian."Tidak ada," jawab Ethan dengan nada ketus, tak sudi memandang adiknya.Hubungan kedua kakak beradik itu memang jauh dari harmonis. Ethan selalu dingin dan ketus, sementara Ace lebih memilih untuk tidak terlalu ikut campur dalam masalah kakaknya."Dimana dia, Luke?" suara Ethan terdengar lebih tajam sekarang."Dia siapa maksud anda, Tuan?" Luke bertanya dengan bingung. Biasanya, Ethan selalu makan sendiri tanpa ditemani siapapun, bahkan Ace."Bodoh! Tentu saja—" Ethan menghentikan kalimatnya, menatap tajam dengan permusuhan ke arah asistennya."Apa saya salah bicara, Tuan?" Luke merasa salah langkah."Lupakan!" Ethan mulai menyantap daging di hadapannya dengan tergesa-gesa, namun pikirannya terus melayang ke Arnet
Pagi-pagi sekali, mansion milik Ethan yang megah dan elegan berubah menjadi medan kericuhan. Dapur yang biasanya bersih dan rapi kini penuh dengan kekacauan.Panci dan wajan tergeletak sembarangan, bahan-bahan makanan berserakan di mana-mana, dan aroma gosong memenuhi udara. Semua ini adalah ulah Arneta.Arneta, seorang gadis muda yang terpaksa tinggal di mansion itu meskipun Ethan sudah menyuruhnya pergi, tidak tahu kota ini dengan baik.Dia membutuhkan uang dan menerima pekerjaan sebagai pelayan di rumah Ethan.Helen, pelayan senior, menyeret Arneta kembali ke mansion atas perintah Luke, yang enggan mencari pelayan baru. Mereka tahu betul bahwa merekrut pelayan bukanlah pekerjaan mudah."Yak! Kenapa bisa gosong begini sih," gerutu Arneta sambil menatap daging yang terbakar di atas panggangan."Bukan begitu caranya!" bentak Helen dengan nada frustrasi. "Sini, biar aku bantu.""Tidak! Aku ingin melakukannya sendiri. Cukup beritahu aku saja caranya," jawab Arneta dengan tegas.Helen me
Ethan menarik pinggang Arneta, mendekatkan gadis itu ke tubuhnya, mengikis jarak di antara mereka. "Dan sekarang tugas pertamamu adalah memuaskan aku," ucapnya dengan nada dingin. Arneta memejamkan matanya. Ini adalah pertama kalinya ia berada sedekat ini dengan seorang pria. Hembusan napas Ethan yang menyentuh wajahnya membuat jantungnya berdegup kencang. "Siapa yang menyuruhmu memejamkan mata? Buka matamu dan lihat aku!" perintah Ethan dengan tegas. Arneta membuka matanya perlahan. Jantungnya semakin berdetak kencang ketika ia melihat mata Ethan yang menatapnya begitu dalam. Ia bergumam dalam hati, "Apakah aku akan kehilangan keperawananku malam ini?" Arneta tetap diam dengan tubuh gemetar dan sedikit ketakutan, namun ia berusaha menahannya mati-matian. Tak! Sentilan keras di keningnya dari telunjuk Ethan membuyarkan lamunannya. "Kamu ini sedang memikirkan apa? Jangan bilang kalau otak kecilmu ini sedang membayangkan yang tidak-tidak," ucap Ethan dengan tajam. "Aku bahk
Di mansion milik keluarga Miller, sedang terjadi sebuah keributan besar. Dimana Rhea, putri mereka tidak kembali sejak tadi malam.Bahkan keberadaan gadis itu tidak diketahui sama sekali.Rhea adalah saudara kembar Ethan. Karena lahir dari darah keturunan manusia dan vampir. Rhea memiliki gen ibunya, yaitu berdarah manusia.Berbeda dengan Ethan yang memiliki gen ayahnya—vampirHanya saja darah Rhea sangat spesial dan langka. Hanya satu-satunya di dunia ini. Jika ada, mungkin manusia itu juga sama spesialnya dengan Rhea."Jordan, bagaimana sekarang? Putri kita belum juga kembali. Aku... aku takut terjadi sesuatu pada Rhea..."Jordan memeluk erat istrinya dan mencoba menenangkan wanita itu. "Tenanglah sayang, dia pasti akan baik-baik saja. Percayalah padaku.""Semua karena salahmu. Kamu terlalu memanjakannya. Sekarang lihat, dia bahkan lupa kemana arah jalan pulang," gerutu Yasmin.Jordan memijat pelipisnya yang mulai terasa pusing. "Sayang, kamu tau bukan kalau Rhea tidak suka di keka
Sedangkan di tempat lain. Seorang pria sedang melampiaskan kemarahannya pada sang anak buah."Bagaimana bisa kalian kehilangan gadis itu, hah?!" teriak seorang pria dengan wajah penuh emosi."Maafkan kami, Tuan. Gadis itu tidak berada di sana. Kami bahkan tidak bisa menemukan keberadaanya. Sepertinya ada seseorang yang sengaja menyembunyikannya," jawab salah seorang pengawal dengan nada sedikit ketakutan."Menyembunyikan bagaimana maksudmu, bodoh!" bentaknya."Ada beberapa anak buah kita yang melihat gadis itu memasuki kawasan hutan terlarang dan hilang begitu saja. Bahkan pengawal yang mengejarnya juga tidak kembali, mayatnya tidak ditemukan lalu—"Pengawal tersebut tidak melanjutkan kalimatnya. Membuat pria yang diketahui bernama Dexter itu geram."Katakan! Kenapa tidak dilanjutkan?!""Sepertinya salah satu keturunan Miller berhasil menemukan gadis itu dan membawanya."Tak bisa menahan lagi emosinya, Dexter memukul wajah anak buahnya. Menendangnya dengan kasar hingga terpental cukup
Bulan purnama telah muncul. Luke ketar-ketir karena sejak tadi pria itu belum menemukan di mana keberadaan tuannya, Ethan.Luke sudah mengelilingi semua sudut mansion, tanpa terkecuali. Namun hasilnya nihil.Ethan menghilang dan terlepas dari pengawasannya sebelum waktunya tiba."Bagaimana, apa kau sudah menemukan dimana keberadaannya, Helen?" Luke menatap tajam wajah wanita yang sejak tadi diam saja.Helen menggeleng. "Tidak ada tanda-tanda tuan melepaskan belenggu rantai itu dengan kekerasan.""Atau jangan-jangan, selama ini tuan Ethan—" Luke dan Helen saling menatap. Mereka takut sesuatu yang di khawatirkan akan terjadi."Dimana gadis manusia itu berada sekarang?" pertanyaan Luke membuat Helen kesal. Bukankah tadi dia sudah menjawabnya. Kenapa sekarang mengulangi pertanyaaan yang sama?"Dia ada di ruangan bawah tanah," jawab Helen."Bodoh!" pekik Luke. "Kamu benar-benar sangat sembrono. Bagaimana kalau tuan menuju ruang bawah tanah, hah?!"Teriakan Luke berhasil membuat wanita itu
Malam tiba dengan kegelapan yang merayap, memeluk mansion yang megah namun sunyi. Arneta, dengan rasa penasaran yang tak terpadamkan sejak mendengar ucapan Helen, akhirnya memutuskan untuk menyelinap menuju ruang rahasia. Langkah kakinya ringan, nyaris tanpa suara, seperti seorang pencuri di tengah malam. Lorong-lorong panjang yang seolah tak berujung membawa Arneta pada sebuah pintu dengan ukiran Eropa yang indah namun tertutup rapat. Tak ada celah sedikitpun yang membiarkan udara masuk. "Apa yang kamu lakukan di sini, Arneta," bisiknya kepada diri sendiri, menggigit bibir bawahnya dengan gelisah. Pikirannya bertarung dengan tindakannya yang lancang. Arneta ingin sekali mendorong pintu tersebut, namun keraguannya menghalangi. Seorang gadis asing yang baru saja tiba di mansion, berani melangkah ke wilayah terlarang tanpa izin. Namun, rasa ingin tahu yang membara dalam dirinya tak bisa ditahan. "Tidak, Arneta! Kau harus kembali ke bawah sana," ia memerintahkan pada dirinya se
Arneta terbangun pagi itu dengan rasa lelah yang membebani seluruh tubuhnya.Matahari belum sepenuhnya muncul, namun Helen dan Luke sudah menunggu untuk memberikan perintah. Mereka memperlakukannya dengan kejam, memaksa gadis itu bekerja tanpa henti, bahkan tanpa sejenak istirahat. Mansion besar itu, yang biasanya diurus oleh banyak pelayan, kini hanya dijaga oleh Arneta seorang.Luke telah mengusir semua pelayan sejak kedatangan Arneta. Tangannya gemetar saat memegang perutnya yang kosong, rasa perih semakin menyiksa."Perutku sakit sekali," desisnya, suaranya hampir tak terdengar di ruangan besar yang sunyi. Sejak malam kemarin, Luke dan Helen tidak memberinya makan, bahkan setetes air pun tidak.Dia berjalan melewati koridor panjang dengan dinding-dinding tinggi yang berdebu. "Ini mansion atau kuburan? Besar tapi sepi, seperti tidak berpenghuni," gumamnya sambil memperhatikan sekeliling dengan mata yang letih dan putus asa. "Bagaimana caranya agar aku bisa kabur dari sini?"Langka