Bulan purnama telah muncul. Luke ketar-ketir karena sejak tadi pria itu belum menemukan di mana keberadaan tuannya, Ethan.
Luke sudah mengelilingi semua sudut mansion, tanpa terkecuali. Namun hasilnya nihil. Ethan menghilang dan terlepas dari pengawasannya sebelum waktunya tiba. "Bagaimana, apa kau sudah menemukan dimana keberadaannya, Helen?" Luke menatap tajam wajah wanita yang sejak tadi diam saja. Helen menggeleng. "Tidak ada tanda-tanda tuan melepaskan belenggu rantai itu dengan kekerasan." "Atau jangan-jangan, selama ini tuan Ethan—" Luke dan Helen saling menatap. Mereka takut sesuatu yang di khawatirkan akan terjadi. "Dimana gadis manusia itu berada sekarang?" pertanyaan Luke membuat Helen kesal. Bukankah tadi dia sudah menjawabnya. Kenapa sekarang mengulangi pertanyaaan yang sama? "Dia ada di ruangan bawah tanah," jawab Helen. "Bodoh!" pekik Luke. "Kamu benar-benar sangat sembrono. Bagaimana kalau tuan menuju ruang bawah tanah, hah?!" Teriakan Luke berhasil membuat wanita itu ketakutan. Apalagi saat melihat kemarahan di mata Luke. "Aku rasa tuan Ethan sudah tahu kalau ada mangsa baru yang siap di santap olehnya disini," ucap Luke lagi. Helen tercengang. "Tapi aku sudah memberi mantra yang sangat kuat pada belenggu itu." Mantra yang Helen ucapkan saat akan membelenggu Ethan, memang bukan mantra yang cukup kuat. Hanya saja, mantra itu bisa membekukan Ethan sementara waktu. Sampai tiba waktunya bangkit. "Mantra apa yang kau maksud hah?!" geram Luke dengan kedua tangan terkepal erat. "Apa mantra supaya tidak jomblo terus sepertimu kamu?!" Helen bengong mendengar ucapan Luke. Bagaimana bisa di saat genting seperti ini dia masih bisa bercanda dengan nya? Bukan sekali dua kali Ethan berhasil kabur dan berkeliaran seperti ini, membuat seluruh isi mansion kelabakan karena ulahnya. Malam purnama terakhir lalu dia juga kabur dan bahkan sudah menghabisi seorang pria lalu menghisap darahnya tanpa sisa. Setelah tau siapa pria itu, Ethan menyesal dan berjanji tidak akan pernah lagi meminum darah manusia. Kecuali jika manusia itu menginginkannya. Tapi semenjak kedatangan Arneta, semuanya terasa berbeda dan aneh. Bahkan Helen dan Luke bisa merasakan aura yang di bawa oleh gadis itu. "Mantra kuat yang di tanam king saja tidak mempan, apalagi mantra ecek-ecek mu itu! Tuan pasti bisa menerobosnya," ejek Luke. Luke berlalu meninggalkan Helen, namun wanita itu tetap mengikutinya meski ia merasa akan ada sesuatu terjadi malam ini. "Tunggu aku, Luke!" •••••• Sedangkan di ruang bawah tanah, tubuh Arneta merinding. Gadis itu merasa kalau malam ini berbeda dari malam-malam sebelumnya yang pernah ia lewati. Bosan karena hanya diam saja, Arneta meraba dinding yang terbuat dari tanah liat tersebut dan melangkahkan kakinya. Ia meraih obor kecil yang sejak tadi hanya menerangi tempatnya berdiri, lalu membawanya. Ternyata, jauh di belakangnya ada sebuah pintu rahasia. Arneta berharap saat berada di dalam sana ia akan aman. Disentuh lah perlahan dinding tersebut. Dimana terdapat sebuah rak buku yang menempel . Arneta shock tak percaya saat pintunya terbuka. Terlihatlah sebuah ruangan yang pengap dan berdebu. bahkan seakan tidak ada udara yang masuk di sekitar sana. "Shh...kenapa rasanya dingin sekali," gumamnya mengusap kedua lengannya, dimana tubuhnya mulai menggigil. Mata Arneta mengedar, mendekat dan melihat benda yang ada di sekelilingnya. Ada sebuah kamar yang sepertinya sudah lama tidak terpakai. Perlahan gadis itu mendekat. Banyak benda yang ia lihat. Seperti bingkai foto yang terbengkalai dan masih menggantung di dinding. Ia melihat sosok pria tampan dengan pakaian Zaman Eropa kuno yang sedang duduk dan tersenyum menatap ke arahnya. "Aw!" pekik Arneta. Tangannya terkena pecahan kaca saat ia tidak sengaja mundur ke belakang. "Kenapa bisa ada pecahan kaca sebesar ini. Untung saja lukanya tidak dalam." Arneta mengibaskan tangannya yang terluka. Walau hanya luka kecil, rasanya sangat perih dan juga ada banyak darah yang keluar. Karena tingkah bodohnya, Darah Arneta menetes dan meninggalkan jejak di mana-mana. Di dinding, lemari dan juga tanah. Arneta lupa dengan ucapan Helen beberapa saat lalu, yang memintanya untuk tidak bertindak ceroboh apalagi terluka. "Argh!" lagi-lagi Arneta menabrak sesuatu. Sebuah peti mata berwarna hitam legam dan ukiran kuno di setiap sudutnya. Terlihat sangat indah di mata gadis itu. "Kenapa harus tersandung sih." Arneta duduk di atas peti mati tersebut. Lalu mengusap tangannya yang masih mengeluarkan darah segar. Ia menggigit lalu merobek pakaian sendiri untuk menghentikan darah yang keluar. "Untunglah, meski masih keluar setidaknya tidak banyak." selesai membalut lukanya, Arneta merasa suhu ruangan tiba-tiba dingin mencekam. Pikiran Arneta sekarang tertuju pada Luke dan Helen. Gadis itu merasa ada yang sedang di sembunyikan oleh mereka berdua. Jujur saja, semua kejadian-kejadian aneh yang dia alami selama berada di sini, membuat Arneta sedikit takut. Hatinya terus bertanya-tanya. Tapi ia tidak tau harus meminta jawaban pada siapa. "Berhentilah bersikap kepo dan ingin tahu tentang urusan orang lain, Arneta! Fokuslah mulai sekarang, kamu harus menemukan kakakmu. Sebelum itu aku harus berhasil kabur dari sini bukan?'' ucapnya pada diri sendiri. Samar-samar terdengar suara langkah kaki mendekat. Semakin lama, suara tersebut semakin jelas. Arneta merinding seketika. Ia usap tengkuk lehernya "Kamu pikir, aku akan membiarkanmu pergi dari sini dengan semudah itu, gadis manusia." suara bariton khas pria menggema, memenuhi ruang bawah tanah. Arneta meremang. Ada rasa takut dan juga desiran aneh di dalam hatinya. Namun, ia berusaha menepisnya. "K—kamu?!" pria yang berada di dalam bingkai foto tersebut sudah berada di hadapannya. Dia juga menata dengan sorot mata tajam sekan ingin menerkam mangsanya sekarang juga. Bak kecepatan cahaya, pria yang berada di belakangnya kini ada di hadapannya dan meraih tangannya yang terluka. "Lepas. Apa yang kamu lakukan dan —" ucapan Arneta terpotong saat melihat pria itu mengendus lukanya. "Luke memang pengertian, dia selalu menyediakan mangsa yang terbaik untukku." Mata Arneta melotot. Seperti akan keluar dari tempatnya "Mangsa?! Mangsa apa maksudmu? Aku tidak mengerti!" Tanpa menjawab ucapan Arneta, pria itu sudah menjilati sisa darah yang berada di tangannya. Saat darah itu mengalir melewati kerongkongan pria itu, sekan ada yang berbeda. Darah yang tidak pernah ia rasakan dan ia temukan, kecuali darah milik seseorang yang berhasil membuatnya terkurung di tempat sialan ini. "Argh!" Arneta menjerit kuat saat kedua taring pria itu menancap ke leher jenjangnya, menggigit dan menghisap darahnya. "Lepas.. kan! Ini menyakitiku." Seakan tidak peduli dengan rintihan Arneta. Pria itu malah memejamkan matanya menikmati setiap tetesan darah yang mengalir dari leher gadis itu. Gigitan yang awalnya sakit dan menyiksa, kini tidak terasa sama sekali. Pria itu kembali menyesap leher Arneta "Mph!" desis Arneta dengan wajah pucat dan pandangannya mulai kabur. Tak lama gadis itu pun pingsan. "Dasar lemah!" Ethan melepaskan gigitannya dan membopong tubuh Arneta.. "Tuan, anda sudah bangun?!" tanya Luke melirik ke arah Arneta yang berada di gendongan Ethan. "Bawa gadis ini ke kamar pribadiku!" titahnya. "Hah? Kamar pribadi? Anda tidak salah, Tuan?'' Tentu saja Luke heran, karena untuk pertama kalinya mama menyuruhnya membawa seorang pelayan masuk ke kamarnya. Terlebih lagi gadis manusia. "Apa suaraku kurang jelas?! Atau kamu ingin cepat pergi ke alam baka, Luke?!'' Tanpa menunggu lama, Luke langsung membawa Arneta ke kamar Ethan. "Asisten bodoh!" geram Ethan.Sedangkan di tempat lain. Seorang pria sedang melampiaskan kemarahannya pada sang anak buah."Bagaimana bisa kalian kehilangan gadis itu, hah?!" teriak seorang pria dengan wajah penuh emosi."Maafkan kami, Tuan. Gadis itu tidak berada di sana. Kami bahkan tidak bisa menemukan keberadaanya. Sepertinya ada seseorang yang sengaja menyembunyikannya," jawab salah seorang pengawal dengan nada sedikit ketakutan."Menyembunyikan bagaimana maksudmu, bodoh!" bentaknya."Ada beberapa anak buah kita yang melihat gadis itu memasuki kawasan hutan terlarang dan hilang begitu saja. Bahkan pengawal yang mengejarnya juga tidak kembali, mayatnya tidak ditemukan lalu—"Pengawal tersebut tidak melanjutkan kalimatnya. Membuat pria yang diketahui bernama Dexter itu geram."Katakan! Kenapa tidak dilanjutkan?!""Sepertinya salah satu keturunan Miller berhasil menemukan gadis itu dan membawanya."Tak bisa menahan lagi emosinya, Dexter memukul wajah anak buahnya. Menendangnya dengan kasar hingga terpental cukup
Di mansion milik keluarga Miller, sedang terjadi sebuah keributan besar. Dimana Rhea, putri mereka tidak kembali sejak tadi malam.Bahkan keberadaan gadis itu tidak diketahui sama sekali.Rhea adalah saudara kembar Ethan. Karena lahir dari darah keturunan manusia dan vampir. Rhea memiliki gen ibunya, yaitu berdarah manusia.Berbeda dengan Ethan yang memiliki gen ayahnya—vampirHanya saja darah Rhea sangat spesial dan langka. Hanya satu-satunya di dunia ini. Jika ada, mungkin manusia itu juga sama spesialnya dengan Rhea."Jordan, bagaimana sekarang? Putri kita belum juga kembali. Aku... aku takut terjadi sesuatu pada Rhea..."Jordan memeluk erat istrinya dan mencoba menenangkan wanita itu. "Tenanglah sayang, dia pasti akan baik-baik saja. Percayalah padaku.""Semua karena salahmu. Kamu terlalu memanjakannya. Sekarang lihat, dia bahkan lupa kemana arah jalan pulang," gerutu Yasmin.Jordan memijat pelipisnya yang mulai terasa pusing. "Sayang, kamu tau bukan kalau Rhea tidak suka di keka
Ethan menarik pinggang Arneta, mendekatkan gadis itu ke tubuhnya, mengikis jarak di antara mereka. "Dan sekarang tugas pertamamu adalah memuaskan aku," ucapnya dengan nada dingin. Arneta memejamkan matanya. Ini adalah pertama kalinya ia berada sedekat ini dengan seorang pria. Hembusan napas Ethan yang menyentuh wajahnya membuat jantungnya berdegup kencang. "Siapa yang menyuruhmu memejamkan mata? Buka matamu dan lihat aku!" perintah Ethan dengan tegas. Arneta membuka matanya perlahan. Jantungnya semakin berdetak kencang ketika ia melihat mata Ethan yang menatapnya begitu dalam. Ia bergumam dalam hati, "Apakah aku akan kehilangan keperawananku malam ini?" Arneta tetap diam dengan tubuh gemetar dan sedikit ketakutan, namun ia berusaha menahannya mati-matian. Tak! Sentilan keras di keningnya dari telunjuk Ethan membuyarkan lamunannya. "Kamu ini sedang memikirkan apa? Jangan bilang kalau otak kecilmu ini sedang membayangkan yang tidak-tidak," ucap Ethan dengan tajam. "Aku bahk
Pagi-pagi sekali, mansion milik Ethan yang megah dan elegan berubah menjadi medan kericuhan. Dapur yang biasanya bersih dan rapi kini penuh dengan kekacauan.Panci dan wajan tergeletak sembarangan, bahan-bahan makanan berserakan di mana-mana, dan aroma gosong memenuhi udara. Semua ini adalah ulah Arneta.Arneta, seorang gadis muda yang terpaksa tinggal di mansion itu meskipun Ethan sudah menyuruhnya pergi, tidak tahu kota ini dengan baik.Dia membutuhkan uang dan menerima pekerjaan sebagai pelayan di rumah Ethan.Helen, pelayan senior, menyeret Arneta kembali ke mansion atas perintah Luke, yang enggan mencari pelayan baru. Mereka tahu betul bahwa merekrut pelayan bukanlah pekerjaan mudah."Yak! Kenapa bisa gosong begini sih," gerutu Arneta sambil menatap daging yang terbakar di atas panggangan."Bukan begitu caranya!" bentak Helen dengan nada frustrasi. "Sini, biar aku bantu.""Tidak! Aku ingin melakukannya sendiri. Cukup beritahu aku saja caranya," jawab Arneta dengan tegas.Helen me
Pagi ini, Ethan duduk di meja makan, ditemani oleh Luke yang setia berdiri di sebelahnya. Di depannya, Ace terus mengamati gerak-gerik kakaknya yang terlihat aneh. Pandangannya penuh kekhawatiran."Apa ada yang sedang kamu pikirkan, Kak?" tanya Ace, suaranya penuh perhatian."Tidak ada," jawab Ethan dengan nada ketus, tak sudi memandang adiknya.Hubungan kedua kakak beradik itu memang jauh dari harmonis. Ethan selalu dingin dan ketus, sementara Ace lebih memilih untuk tidak terlalu ikut campur dalam masalah kakaknya."Dimana dia, Luke?" suara Ethan terdengar lebih tajam sekarang."Dia siapa maksud anda, Tuan?" Luke bertanya dengan bingung. Biasanya, Ethan selalu makan sendiri tanpa ditemani siapapun, bahkan Ace."Bodoh! Tentu saja—" Ethan menghentikan kalimatnya, menatap tajam dengan permusuhan ke arah asistennya."Apa saya salah bicara, Tuan?" Luke merasa salah langkah."Lupakan!" Ethan mulai menyantap daging di hadapannya dengan tergesa-gesa, namun pikirannya terus melayang ke Arnet
Pagi itu, Blaze tiba di mansion milik Jordan dengan penuh semangat, meskipun ia sedikit terlambat.Setelah melewati pintu utama yang megah, ia langsung menuju ruang kerja Jordan, tempat di mana biasanya pria itu menghabiskan pagi-paginya sebelum berangkat ke kantor.Namun, takdir sepertinya ingin bermain-main dengannya hari itu. Jordan sudah lebih dulu berangkat ke kantor, dan yang menunggunya di sana adalah Rhea, putri Jordan yang terkenal dengan kelakuannya yang sulit ditebak."Maaf, Tuan. Saya datang terlambat," ucap Blaze, mencoba tetap tenang dan profesional. Rhea, yang tampak tak senang dengan kehadiran Blaze, segera memotongnya. "Ya, aku tidak mau diikuti olehnya!" serunya dengan nada marah, menunjuk Blaze dengan jari telunjuknya."Dia sangat menyebalkan dan pengganggu. Kemanapun aku pergi, dia selalu mengikuti aku. Bahkan saat aku masuk ke toilet kampus. Mereka semua menertawakan aku, Yah!" protesnya, suaranya bergetar dengan emosi yang meluap-luap.Jordan, yang telah mendeng
Di tengah malam yang sunyi, suara langkah kaki terdengar jelas di antara pepohonan hutan yang lebat. Seorang gadis berusia delapan belas tahun berlari, napasnya terengah-engah, matanya mencari jalan keluar dari kegelapan. Dia menoleh ke belakang, bayangan pria-pria yang mengejarnya semakin mendekat. Setiap langkah mereka menggema, memecah keheningan malam.Napas Arneta tersengal, paru-parunya terasa terbakar. Dia baru saja terlepas dari cengkraman kasar salah satu pria, tetapi kejaran mereka belum berakhir.Cahaya bulan yang redup memantul di wajahnya yang pucat, mata hazelnya berkilauan oleh ketakutan. Rambut coklatnya yang panjang dan kusut berkibar mengikuti langkahnya yang terburu-buru.Hanya beberapa jam yang lalu, Arneta turun dari pesawat dengan hati penuh harapan. Dia menaiki taksi menuju alamat yang diberikan oleh Mamanya, tetapi nasib sial menimpanya.Di tempat yang seharusnya menjadi tujuan, tidak ada yang menyambutnya, hanya beberapa pria yang mengambil paksa barang-baran
Arneta terbangun pagi itu dengan rasa lelah yang membebani seluruh tubuhnya.Matahari belum sepenuhnya muncul, namun Helen dan Luke sudah menunggu untuk memberikan perintah. Mereka memperlakukannya dengan kejam, memaksa gadis itu bekerja tanpa henti, bahkan tanpa sejenak istirahat. Mansion besar itu, yang biasanya diurus oleh banyak pelayan, kini hanya dijaga oleh Arneta seorang.Luke telah mengusir semua pelayan sejak kedatangan Arneta. Tangannya gemetar saat memegang perutnya yang kosong, rasa perih semakin menyiksa."Perutku sakit sekali," desisnya, suaranya hampir tak terdengar di ruangan besar yang sunyi. Sejak malam kemarin, Luke dan Helen tidak memberinya makan, bahkan setetes air pun tidak.Dia berjalan melewati koridor panjang dengan dinding-dinding tinggi yang berdebu. "Ini mansion atau kuburan? Besar tapi sepi, seperti tidak berpenghuni," gumamnya sambil memperhatikan sekeliling dengan mata yang letih dan putus asa. "Bagaimana caranya agar aku bisa kabur dari sini?"Langka
Pagi itu, Blaze tiba di mansion milik Jordan dengan penuh semangat, meskipun ia sedikit terlambat.Setelah melewati pintu utama yang megah, ia langsung menuju ruang kerja Jordan, tempat di mana biasanya pria itu menghabiskan pagi-paginya sebelum berangkat ke kantor.Namun, takdir sepertinya ingin bermain-main dengannya hari itu. Jordan sudah lebih dulu berangkat ke kantor, dan yang menunggunya di sana adalah Rhea, putri Jordan yang terkenal dengan kelakuannya yang sulit ditebak."Maaf, Tuan. Saya datang terlambat," ucap Blaze, mencoba tetap tenang dan profesional. Rhea, yang tampak tak senang dengan kehadiran Blaze, segera memotongnya. "Ya, aku tidak mau diikuti olehnya!" serunya dengan nada marah, menunjuk Blaze dengan jari telunjuknya."Dia sangat menyebalkan dan pengganggu. Kemanapun aku pergi, dia selalu mengikuti aku. Bahkan saat aku masuk ke toilet kampus. Mereka semua menertawakan aku, Yah!" protesnya, suaranya bergetar dengan emosi yang meluap-luap.Jordan, yang telah mendeng
Pagi ini, Ethan duduk di meja makan, ditemani oleh Luke yang setia berdiri di sebelahnya. Di depannya, Ace terus mengamati gerak-gerik kakaknya yang terlihat aneh. Pandangannya penuh kekhawatiran."Apa ada yang sedang kamu pikirkan, Kak?" tanya Ace, suaranya penuh perhatian."Tidak ada," jawab Ethan dengan nada ketus, tak sudi memandang adiknya.Hubungan kedua kakak beradik itu memang jauh dari harmonis. Ethan selalu dingin dan ketus, sementara Ace lebih memilih untuk tidak terlalu ikut campur dalam masalah kakaknya."Dimana dia, Luke?" suara Ethan terdengar lebih tajam sekarang."Dia siapa maksud anda, Tuan?" Luke bertanya dengan bingung. Biasanya, Ethan selalu makan sendiri tanpa ditemani siapapun, bahkan Ace."Bodoh! Tentu saja—" Ethan menghentikan kalimatnya, menatap tajam dengan permusuhan ke arah asistennya."Apa saya salah bicara, Tuan?" Luke merasa salah langkah."Lupakan!" Ethan mulai menyantap daging di hadapannya dengan tergesa-gesa, namun pikirannya terus melayang ke Arnet
Pagi-pagi sekali, mansion milik Ethan yang megah dan elegan berubah menjadi medan kericuhan. Dapur yang biasanya bersih dan rapi kini penuh dengan kekacauan.Panci dan wajan tergeletak sembarangan, bahan-bahan makanan berserakan di mana-mana, dan aroma gosong memenuhi udara. Semua ini adalah ulah Arneta.Arneta, seorang gadis muda yang terpaksa tinggal di mansion itu meskipun Ethan sudah menyuruhnya pergi, tidak tahu kota ini dengan baik.Dia membutuhkan uang dan menerima pekerjaan sebagai pelayan di rumah Ethan.Helen, pelayan senior, menyeret Arneta kembali ke mansion atas perintah Luke, yang enggan mencari pelayan baru. Mereka tahu betul bahwa merekrut pelayan bukanlah pekerjaan mudah."Yak! Kenapa bisa gosong begini sih," gerutu Arneta sambil menatap daging yang terbakar di atas panggangan."Bukan begitu caranya!" bentak Helen dengan nada frustrasi. "Sini, biar aku bantu.""Tidak! Aku ingin melakukannya sendiri. Cukup beritahu aku saja caranya," jawab Arneta dengan tegas.Helen me
Ethan menarik pinggang Arneta, mendekatkan gadis itu ke tubuhnya, mengikis jarak di antara mereka. "Dan sekarang tugas pertamamu adalah memuaskan aku," ucapnya dengan nada dingin. Arneta memejamkan matanya. Ini adalah pertama kalinya ia berada sedekat ini dengan seorang pria. Hembusan napas Ethan yang menyentuh wajahnya membuat jantungnya berdegup kencang. "Siapa yang menyuruhmu memejamkan mata? Buka matamu dan lihat aku!" perintah Ethan dengan tegas. Arneta membuka matanya perlahan. Jantungnya semakin berdetak kencang ketika ia melihat mata Ethan yang menatapnya begitu dalam. Ia bergumam dalam hati, "Apakah aku akan kehilangan keperawananku malam ini?" Arneta tetap diam dengan tubuh gemetar dan sedikit ketakutan, namun ia berusaha menahannya mati-matian. Tak! Sentilan keras di keningnya dari telunjuk Ethan membuyarkan lamunannya. "Kamu ini sedang memikirkan apa? Jangan bilang kalau otak kecilmu ini sedang membayangkan yang tidak-tidak," ucap Ethan dengan tajam. "Aku bahk
Di mansion milik keluarga Miller, sedang terjadi sebuah keributan besar. Dimana Rhea, putri mereka tidak kembali sejak tadi malam.Bahkan keberadaan gadis itu tidak diketahui sama sekali.Rhea adalah saudara kembar Ethan. Karena lahir dari darah keturunan manusia dan vampir. Rhea memiliki gen ibunya, yaitu berdarah manusia.Berbeda dengan Ethan yang memiliki gen ayahnya—vampirHanya saja darah Rhea sangat spesial dan langka. Hanya satu-satunya di dunia ini. Jika ada, mungkin manusia itu juga sama spesialnya dengan Rhea."Jordan, bagaimana sekarang? Putri kita belum juga kembali. Aku... aku takut terjadi sesuatu pada Rhea..."Jordan memeluk erat istrinya dan mencoba menenangkan wanita itu. "Tenanglah sayang, dia pasti akan baik-baik saja. Percayalah padaku.""Semua karena salahmu. Kamu terlalu memanjakannya. Sekarang lihat, dia bahkan lupa kemana arah jalan pulang," gerutu Yasmin.Jordan memijat pelipisnya yang mulai terasa pusing. "Sayang, kamu tau bukan kalau Rhea tidak suka di keka
Sedangkan di tempat lain. Seorang pria sedang melampiaskan kemarahannya pada sang anak buah."Bagaimana bisa kalian kehilangan gadis itu, hah?!" teriak seorang pria dengan wajah penuh emosi."Maafkan kami, Tuan. Gadis itu tidak berada di sana. Kami bahkan tidak bisa menemukan keberadaanya. Sepertinya ada seseorang yang sengaja menyembunyikannya," jawab salah seorang pengawal dengan nada sedikit ketakutan."Menyembunyikan bagaimana maksudmu, bodoh!" bentaknya."Ada beberapa anak buah kita yang melihat gadis itu memasuki kawasan hutan terlarang dan hilang begitu saja. Bahkan pengawal yang mengejarnya juga tidak kembali, mayatnya tidak ditemukan lalu—"Pengawal tersebut tidak melanjutkan kalimatnya. Membuat pria yang diketahui bernama Dexter itu geram."Katakan! Kenapa tidak dilanjutkan?!""Sepertinya salah satu keturunan Miller berhasil menemukan gadis itu dan membawanya."Tak bisa menahan lagi emosinya, Dexter memukul wajah anak buahnya. Menendangnya dengan kasar hingga terpental cukup
Bulan purnama telah muncul. Luke ketar-ketir karena sejak tadi pria itu belum menemukan di mana keberadaan tuannya, Ethan.Luke sudah mengelilingi semua sudut mansion, tanpa terkecuali. Namun hasilnya nihil.Ethan menghilang dan terlepas dari pengawasannya sebelum waktunya tiba."Bagaimana, apa kau sudah menemukan dimana keberadaannya, Helen?" Luke menatap tajam wajah wanita yang sejak tadi diam saja.Helen menggeleng. "Tidak ada tanda-tanda tuan melepaskan belenggu rantai itu dengan kekerasan.""Atau jangan-jangan, selama ini tuan Ethan—" Luke dan Helen saling menatap. Mereka takut sesuatu yang di khawatirkan akan terjadi."Dimana gadis manusia itu berada sekarang?" pertanyaan Luke membuat Helen kesal. Bukankah tadi dia sudah menjawabnya. Kenapa sekarang mengulangi pertanyaaan yang sama?"Dia ada di ruangan bawah tanah," jawab Helen."Bodoh!" pekik Luke. "Kamu benar-benar sangat sembrono. Bagaimana kalau tuan menuju ruang bawah tanah, hah?!"Teriakan Luke berhasil membuat wanita itu
Malam tiba dengan kegelapan yang merayap, memeluk mansion yang megah namun sunyi. Arneta, dengan rasa penasaran yang tak terpadamkan sejak mendengar ucapan Helen, akhirnya memutuskan untuk menyelinap menuju ruang rahasia. Langkah kakinya ringan, nyaris tanpa suara, seperti seorang pencuri di tengah malam. Lorong-lorong panjang yang seolah tak berujung membawa Arneta pada sebuah pintu dengan ukiran Eropa yang indah namun tertutup rapat. Tak ada celah sedikitpun yang membiarkan udara masuk. "Apa yang kamu lakukan di sini, Arneta," bisiknya kepada diri sendiri, menggigit bibir bawahnya dengan gelisah. Pikirannya bertarung dengan tindakannya yang lancang. Arneta ingin sekali mendorong pintu tersebut, namun keraguannya menghalangi. Seorang gadis asing yang baru saja tiba di mansion, berani melangkah ke wilayah terlarang tanpa izin. Namun, rasa ingin tahu yang membara dalam dirinya tak bisa ditahan. "Tidak, Arneta! Kau harus kembali ke bawah sana," ia memerintahkan pada dirinya se
Arneta terbangun pagi itu dengan rasa lelah yang membebani seluruh tubuhnya.Matahari belum sepenuhnya muncul, namun Helen dan Luke sudah menunggu untuk memberikan perintah. Mereka memperlakukannya dengan kejam, memaksa gadis itu bekerja tanpa henti, bahkan tanpa sejenak istirahat. Mansion besar itu, yang biasanya diurus oleh banyak pelayan, kini hanya dijaga oleh Arneta seorang.Luke telah mengusir semua pelayan sejak kedatangan Arneta. Tangannya gemetar saat memegang perutnya yang kosong, rasa perih semakin menyiksa."Perutku sakit sekali," desisnya, suaranya hampir tak terdengar di ruangan besar yang sunyi. Sejak malam kemarin, Luke dan Helen tidak memberinya makan, bahkan setetes air pun tidak.Dia berjalan melewati koridor panjang dengan dinding-dinding tinggi yang berdebu. "Ini mansion atau kuburan? Besar tapi sepi, seperti tidak berpenghuni," gumamnya sambil memperhatikan sekeliling dengan mata yang letih dan putus asa. "Bagaimana caranya agar aku bisa kabur dari sini?"Langka