Share

Chapter 4

Bulan purnama telah muncul. Luke ketar-ketir karena sejak tadi pria itu belum menemukan di mana keberadaan tuannya, Ethan.

Luke sudah mengelilingi semua sudut mansion, tanpa terkecuali. Namun hasilnya nihil.

Ethan menghilang dan terlepas dari pengawasannya sebelum waktunya tiba.

"Bagaimana, apa kau sudah menemukan dimana keberadaannya, Helen?" Luke menatap tajam wajah wanita yang sejak tadi diam saja.

Helen menggeleng. "Tidak ada tanda-tanda tuan melepaskan belenggu rantai itu dengan kekerasan."

"Atau jangan-jangan, selama ini tuan Ethan—" Luke dan Helen saling menatap. Mereka takut sesuatu yang di khawatirkan akan terjadi.

"Dimana gadis manusia itu berada sekarang?" pertanyaan Luke membuat Helen kesal. Bukankah tadi dia sudah menjawabnya. Kenapa sekarang mengulangi pertanyaaan yang sama?

"Dia ada di ruangan bawah tanah," jawab Helen.

"Bodoh!" pekik Luke. "Kamu benar-benar sangat sembrono. Bagaimana kalau tuan menuju ruang bawah tanah, hah?!"

Teriakan Luke berhasil membuat wanita itu ketakutan. Apalagi saat melihat kemarahan di mata Luke.

"Aku rasa tuan Ethan sudah tahu kalau ada mangsa baru yang siap di santap olehnya disini," ucap Luke lagi.

Helen tercengang. "Tapi aku sudah memberi mantra yang sangat kuat pada belenggu itu."

Mantra yang Helen ucapkan saat akan membelenggu Ethan, memang bukan mantra yang cukup kuat. Hanya saja, mantra itu bisa membekukan Ethan sementara waktu. Sampai tiba waktunya bangkit.

"Mantra apa yang kau maksud hah?!" geram Luke dengan kedua tangan terkepal erat. "Apa mantra supaya tidak jomblo terus sepertimu kamu?!"

Helen bengong mendengar ucapan Luke. Bagaimana bisa di saat genting seperti ini dia masih bisa bercanda dengan nya?

Bukan sekali dua kali Ethan berhasil kabur dan berkeliaran seperti ini, membuat seluruh isi mansion kelabakan karena ulahnya. Malam purnama terakhir lalu dia juga kabur dan bahkan sudah menghabisi seorang pria lalu menghisap darahnya tanpa sisa.

Setelah tau siapa pria itu, Ethan menyesal dan berjanji tidak akan pernah lagi meminum darah manusia. Kecuali jika manusia itu menginginkannya.

Tapi semenjak kedatangan Arneta, semuanya terasa berbeda dan aneh. Bahkan Helen dan Luke bisa merasakan aura yang di bawa oleh gadis itu.

"Mantra kuat yang di tanam king saja tidak mempan, apalagi mantra ecek-ecek mu itu! Tuan pasti bisa menerobosnya," ejek Luke.

Luke berlalu meninggalkan Helen, namun wanita itu tetap mengikutinya meski ia merasa akan ada sesuatu terjadi malam ini.

"Tunggu aku, Luke!"

••••••

Sedangkan di ruang bawah tanah, tubuh Arneta merinding. Gadis itu merasa kalau malam ini berbeda dari malam-malam sebelumnya yang pernah ia lewati.

Bosan karena hanya diam saja, Arneta meraba dinding yang terbuat dari tanah liat tersebut dan melangkahkan kakinya. Ia meraih obor kecil yang sejak tadi hanya menerangi tempatnya berdiri, lalu membawanya.

Ternyata, jauh di belakangnya ada sebuah pintu rahasia. Arneta berharap saat berada di dalam sana ia akan aman.

Disentuh lah perlahan dinding tersebut. Dimana terdapat sebuah rak buku yang menempel . Arneta shock tak percaya saat pintunya terbuka.

Terlihatlah sebuah ruangan yang pengap dan berdebu. bahkan seakan tidak ada udara yang masuk di sekitar sana.

"Shh...kenapa rasanya dingin sekali," gumamnya mengusap kedua lengannya, dimana tubuhnya mulai menggigil.

Mata Arneta mengedar, mendekat dan melihat benda yang ada di sekelilingnya. Ada sebuah kamar yang sepertinya sudah lama tidak terpakai.

Perlahan gadis itu mendekat.

Banyak benda yang ia lihat. Seperti bingkai foto yang terbengkalai dan masih menggantung di dinding. Ia melihat sosok pria tampan dengan pakaian Zaman Eropa kuno yang sedang duduk dan tersenyum menatap ke arahnya.

"Aw!" pekik Arneta. Tangannya terkena pecahan kaca saat ia tidak sengaja mundur ke belakang.

"Kenapa bisa ada pecahan kaca sebesar ini. Untung saja lukanya tidak dalam."

Arneta mengibaskan tangannya yang terluka. Walau hanya luka kecil, rasanya sangat perih dan juga ada banyak darah yang keluar.

Karena tingkah bodohnya, Darah Arneta menetes dan meninggalkan jejak di mana-mana. Di dinding, lemari dan juga tanah.

Arneta lupa dengan ucapan Helen beberapa saat lalu, yang memintanya untuk tidak bertindak ceroboh apalagi terluka.

"Argh!" lagi-lagi Arneta menabrak sesuatu.

Sebuah peti mata berwarna hitam legam dan ukiran kuno di setiap sudutnya. Terlihat sangat indah di mata gadis itu.

"Kenapa harus tersandung sih."

Arneta duduk di atas peti mati tersebut. Lalu mengusap tangannya yang masih mengeluarkan darah segar. Ia menggigit lalu merobek pakaian sendiri untuk menghentikan darah yang keluar.

"Untunglah, meski masih keluar setidaknya tidak banyak." selesai membalut lukanya, Arneta merasa suhu ruangan tiba-tiba dingin mencekam.

Pikiran Arneta sekarang tertuju pada Luke dan Helen. Gadis itu merasa ada yang sedang di sembunyikan oleh mereka berdua.

Jujur saja, semua kejadian-kejadian aneh yang dia alami selama berada di sini, membuat Arneta sedikit takut. Hatinya terus bertanya-tanya. Tapi ia tidak tau harus meminta jawaban pada siapa.

"Berhentilah bersikap kepo dan ingin tahu tentang urusan orang lain, Arneta! Fokuslah mulai sekarang, kamu harus menemukan kakakmu. Sebelum itu aku harus berhasil kabur dari sini bukan?'' ucapnya pada diri sendiri.

Samar-samar terdengar suara langkah kaki mendekat. Semakin lama, suara tersebut semakin jelas. Arneta merinding seketika. Ia usap tengkuk lehernya

"Kamu pikir, aku akan membiarkanmu pergi dari sini dengan semudah itu, gadis manusia." suara bariton khas pria menggema, memenuhi ruang bawah tanah.

Arneta meremang. Ada rasa takut dan juga desiran aneh di dalam hatinya. Namun, ia berusaha menepisnya.

"K—kamu?!" pria yang berada di dalam bingkai foto tersebut sudah berada di hadapannya. Dia juga menata dengan sorot mata tajam sekan ingin menerkam mangsanya sekarang juga.

Bak kecepatan cahaya, pria yang berada di belakangnya kini ada di hadapannya dan meraih tangannya yang terluka.

"Lepas. Apa yang kamu lakukan dan —" ucapan Arneta terpotong saat melihat pria itu mengendus lukanya.

"Luke memang pengertian, dia selalu menyediakan mangsa yang terbaik untukku."

Mata Arneta melotot. Seperti akan keluar dari tempatnya "Mangsa?! Mangsa apa maksudmu? Aku tidak mengerti!"

Tanpa menjawab ucapan Arneta, pria itu sudah menjilati sisa darah yang berada di tangannya.

Saat darah itu mengalir melewati kerongkongan pria itu, sekan ada yang berbeda. Darah yang tidak pernah ia rasakan dan ia temukan, kecuali darah milik seseorang yang berhasil membuatnya terkurung di tempat sialan ini.

"Argh!" Arneta menjerit kuat saat kedua taring pria itu menancap ke leher jenjangnya, menggigit dan menghisap darahnya. "Lepas.. kan! Ini menyakitiku."

Seakan tidak peduli dengan rintihan Arneta. Pria itu malah memejamkan matanya menikmati setiap tetesan darah yang mengalir dari leher gadis itu.

Gigitan yang awalnya sakit dan menyiksa, kini tidak terasa sama sekali. Pria itu kembali menyesap leher Arneta

"Mph!" desis Arneta dengan wajah pucat dan pandangannya mulai kabur. Tak lama gadis itu pun pingsan.

"Dasar lemah!" Ethan melepaskan gigitannya dan membopong tubuh Arneta..

"Tuan, anda sudah bangun?!" tanya Luke melirik ke arah Arneta yang berada di gendongan Ethan.

"Bawa gadis ini ke kamar pribadiku!" titahnya.

"Hah? Kamar pribadi? Anda tidak salah, Tuan?''

Tentu saja Luke heran, karena untuk pertama kalinya mama menyuruhnya membawa seorang pelayan masuk ke kamarnya.

Terlebih lagi gadis manusia.

"Apa suaraku kurang jelas?! Atau kamu ingin cepat pergi ke alam baka, Luke?!''

Tanpa menunggu lama, Luke langsung membawa Arneta ke kamar Ethan.

"Asisten bodoh!" geram Ethan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status