["Kamu nginep di sana terus. Apa gak takut di grebek warga? Kalian kan belum menikah."]Nilam menghela napas kecil sambil mengaduk soto yang sedang dimasaknya. Ia sudah menduga kalau Mamanya bakal menyinggung soal ini. "Mama, aku ngerti kok. Tapi ini gak akan jadi masalah, tenang aja." ["Kamu terlalu percaya diri. Gimana kalau tiba-tiba ada tetangga yang kepo dan ngomongin kamu?"]Nilam tersenyum kecil. "Ma, ini komplek perumahan elite. Orang-orangnya sibuk sendiri-sendiri. Gak ada yang peduli aku nginep di mana atau sama siapa." ["Tetap aja, Nilam. Bukan soal orang lain, tapi soal kamu sendiri. Soal adat, soal sopan santun. Kamu itu perempuan, masih belum resmi jadi istri Jean. Jangan sampai kebiasaan kayak gini bikin orang salah paham, apalagi kalau ada yang lihat kamu bolak-balik ke rumah laki-laki."] Nilam tahu Mamanya bukannya marah, tapi lebih ke khawatir. Dia juga paham kalau bagi orang tua, terutama generasi Mama, hal-hal semacam ini masih sangat dijaga. "Ma, aku gak
Di dalam sel yang sunyi, hanya ada suara detak jam dinding tua yang menggema di lorong. Elisha duduk di sudut ranjang sempitnya, punggungnya bersandar pada dinding dingin yang mulai retak. Cahaya lampu redup di luar sel menyinari sebagian wajahnya, memperlihatkan garis-garis kelelahan yang semakin jelas. Di pangkuannya, sebuah buku catatan lusuh terbuka. Tangannya yang kurus memegang pena dengan erat, menuliskan kata-kata dengan penuh emosi. Sudah berbulan-bulan—atau mungkin bertahun-tahun—ia mengisi halaman-halaman itu dengan harapan dan impian yang terus ia pertahankan dalam hatinya. Namun, dari semua hal yang ia tulis, hanya satu hal yang paling memenuhi pikirannya. Qila. Putri kecilnya. Elisha menggigit bibirnya, menahan emosi yang mendesak keluar dari dadanya. Ia menuliskan namanya berkali-kali di halaman itu, seolah dengan begitu, ia bisa membawa Qila lebih dekat ke dalam dekapannya. "Aku ingin melihat Qila. Aku ingin memeluknya. Aku ingin mendengar suaranya memanggi
Tiba-tiba seorang pria berseragam dokter muncul di hadapan mereka sambil membawa nampan dan piring kosong. "Permisi," suara itu terdengar tenang, sedikit berat namun tetap lembut di telinga. Elisha menoleh dan menemukan seorang pria berdiri di hadapannya. Di tangannya, ia membawa nampan berisi piring-piring kosong. Wajahnya tampak bersih dengan rahang tegas dan mata yang tajam namun juga lembut di saat bersamaan. "Boleh ambil nasi kan?" lanjut pria itu, menatapnya dengan ekspresi ramah. Elisha menerima nampan itu tanpa berkata-kata. "Yang lain makannya lahap banget. Aku jadi penasaran seenak apa makan siang hari ini," ucap pria itu lagi. Senyum ramah masih terpatri di wajahnya. Devi yang juga masih berdiri di sana langsung menyahut, "Hari ini ketua timnya Elisha Pak Dok, dia itu terkenal jago masak di sini. Jadi wajar kalau semua orang suka karena emang rasanya enak." Elisha hanya diam, tapi sekilas ia bisa merasakan pria itu meliriknya dengan sedikit rasa ingin tahu. "Begit
Nilam menoleh cepat, menatap Jean dengan ekspresi tak percaya. "Apa?" Jean menahan tawa, tapi sudut bibirnya sudah tertarik ke atas. "Ya aku balik ke sini tinggal sama Elisha—" "Pak Jean!" Nilam spontan menoyor lengan pria itu. "Kamu serius ngomong kayak gitu?" Jean akhirnya tak bisa menahan tawanya. "Ya enggak lah, aku cuma bercanda." Nilam mendengus kesal, menegakkan duduknya. "Sumpah, becandaan kamu gak lucu." Jean masih tertawa kecil, lalu menatap Nilam dengan lembut. "Aku udah bilang kan? Aku beli apartemen pakai nama kamu karena aku serius sama kamu, Nilam." Nilam terdiam. Meski ia tahu Jean memang punya perasaan padanya, setiap kali pria itu mengatakannya dengan serius, tetap saja ada sesuatu di hatinya yang bergetar. "Apartemen itu bukan sekadar tempat tinggal," lanjut Jean. "Aku pengen kita punya rumah yang kita bangun berdua, dari nol, tanpa bayang-bayang masa lalu." Nilam terdiam, mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Jean. Pria itu berbicara dengan
Restoran bergaya klasik yang Talita datangi itu cukup tenang di sore hari, dengan pencahayaan hangat yang memberi kesan nyaman.Talita melangkah masuk dengan anggun, masih mengenakan setelan kantornya—blazer krem yang dipadukan dengan blouse putih serta celana panjang berpotongan rapi.Sisi rambut sebelah kirinya, hanya diselipkan ke belakang telinga di satu sisi, memperlihatkan anting mutiara kecil yang elegan. Wajahnya tampak sedikit lelah setelah seharian bekerja, tapi aura percaya dirinya tetap terpancar kuat. Di salah satu sudut restoran, seorang pria sudah duduk menunggunya. Dikta. Berbeda dengan Talita yang masih dalam mode pulang kerja, pria itu tampak santai dengan setelan rumahan yang terkesan misterius—hoodie hitam berlengan panjang dan celana jogger senada. Seakan baru keluar dari rumah tanpa niatan terlalu formal, tapi tetap punya aura yang sulit diabaikan.Rambutnya sedikit berantakan, tapi bukan dalam cara yang sembarangan, lebih seperti gaya yang disengaja. Matanya
"Dikta..." "Kamu cukup kasih info aja Talita," sela Dikta sebelum perempuan itu selesai bicara. "Biar aku yang urus semuanya." Talita menghela napas panjang, menatap Dikta dengan ekspresi penuh pertimbangan. "Dikta, serius, aku beneran takut kamu bertindak gegabah." Dikta menyilangkan tangan di depan dada, ekspresinya masih dingin. "Aku gak gegabah, Talita. Aku udah mikirin ini baik-baik. Percaya sama aku." Talita tahu ketika Dikta sudah berbicara dengan nada seperti ini, tidak ada gunanya lagi berdebat. Pria itu keras kepala, dan dendamnya terhadap Jean sudah terlalu dalam untuk dicegah. "Jadi kamu tetap mau lanjutin rencana kamu?" Dikta menyeringai tipis. "Tentu saja." Talita menghela napas berat, lalu bersandar ke kursi. "Baiklah. Aku gak bisa mengubah keputusanmu, kan?" Dikta menggeleng. Talita terdiam sejenak, menatap pria di depannya dengan tatapan penuh arti. "Kalau rencana kamu ini gagal, kamu siap menanggung akibatnya?" "Aku gak akan gagal." Talita menggele
"Mas, besok sore aku pulang agak telat ya. Soalnya ada tamu penting dari kantor. Jadi aku harus nemenin Bos buat jamu dia." Pria bernama Jean itu tak mengatakan apapun. Dia sibuk menatap layar laptopnya dalam diam. Toh dia juga bingung harus menjawab apa. Sebab ini, bukan pertama kalinya Sang istri ijin untuk pulang terlambat. Bahkan, dia tak ingat ini permohonannya yang ke berapa. Elisha yang sibuk mengoleskan Skin Care Routinenya langsung menengok ke arah sang suami yang duduk bersandar di kepala ranjang. Diamnya pria 30 tahun itu tentu saja membuatnya resah. "Mas!" Ia menatap pria itu, "Kok kamu diem aja? Kamu ngasih ijin kan?" tanya perempuan dengan gaun tidur berbahan satin itu sedikit penekanan. Jean hanya mendengus. "Terus aku harus jawab apa? Ngelarang juga mustahil kan? Toh kamu nggak akan pernah nurut." Jawaban ketus suaminya membuat Elisha jengah. Jika sudah seperti ini pasti ujung-ujungnya hanyalah pertengkaran saja. "Ya gimana pun juga, aku kan butuh restu kamu Mas.
Saat pintu rumahnya terbuka, ia malah dikejutkan oleh sosok yang cukup— cantik. "Kamu ini siapa? Sales ya? Maaf ya, aku lagi nggak pengen beli barang apapun." Perempuan cantik berkulit putih itu meremas tas ransel besar yang ia pegang. "Saya bukan sales Pak. Saya Nilam, ART yang dikirim penyalur ke sini." Jean kaget. ART? Mustahil. Mana ada seorang asisten rumah tangga, berpenampilan cantik begini? Kulitnya putih, wajahnya ayu, rambut hitam lurus, dan bertubuh sintal. Belum lagi dress selutut yang dikenakan oleh perempuan muda itu, seolah sedang memamerkan kaki jenjangnya yang indah. "Kamu bercanda ya? Dibandingkan jadi ART, penampilan kamu lebih cocok buat jadi model tau," cibir Jean tak percaya. "Tapi, saya beneran ART yang dikirim ke sini Pak. Kalau nggak percaya, Bapak bisa telfon langsung ke penyalur kok." Jean menelusuri penampilan perempuan di depannya. "Siapa nama kamu tadi?" "Ni— Nilam Pak." "Ya udah bentar." Jean masuk ke dalam. Mencoba menghubungi nomor penyalur
"Dikta..." "Kamu cukup kasih info aja Talita," sela Dikta sebelum perempuan itu selesai bicara. "Biar aku yang urus semuanya." Talita menghela napas panjang, menatap Dikta dengan ekspresi penuh pertimbangan. "Dikta, serius, aku beneran takut kamu bertindak gegabah." Dikta menyilangkan tangan di depan dada, ekspresinya masih dingin. "Aku gak gegabah, Talita. Aku udah mikirin ini baik-baik. Percaya sama aku." Talita tahu ketika Dikta sudah berbicara dengan nada seperti ini, tidak ada gunanya lagi berdebat. Pria itu keras kepala, dan dendamnya terhadap Jean sudah terlalu dalam untuk dicegah. "Jadi kamu tetap mau lanjutin rencana kamu?" Dikta menyeringai tipis. "Tentu saja." Talita menghela napas berat, lalu bersandar ke kursi. "Baiklah. Aku gak bisa mengubah keputusanmu, kan?" Dikta menggeleng. Talita terdiam sejenak, menatap pria di depannya dengan tatapan penuh arti. "Kalau rencana kamu ini gagal, kamu siap menanggung akibatnya?" "Aku gak akan gagal." Talita menggele
Restoran bergaya klasik yang Talita datangi itu cukup tenang di sore hari, dengan pencahayaan hangat yang memberi kesan nyaman.Talita melangkah masuk dengan anggun, masih mengenakan setelan kantornya—blazer krem yang dipadukan dengan blouse putih serta celana panjang berpotongan rapi.Sisi rambut sebelah kirinya, hanya diselipkan ke belakang telinga di satu sisi, memperlihatkan anting mutiara kecil yang elegan. Wajahnya tampak sedikit lelah setelah seharian bekerja, tapi aura percaya dirinya tetap terpancar kuat. Di salah satu sudut restoran, seorang pria sudah duduk menunggunya. Dikta. Berbeda dengan Talita yang masih dalam mode pulang kerja, pria itu tampak santai dengan setelan rumahan yang terkesan misterius—hoodie hitam berlengan panjang dan celana jogger senada. Seakan baru keluar dari rumah tanpa niatan terlalu formal, tapi tetap punya aura yang sulit diabaikan.Rambutnya sedikit berantakan, tapi bukan dalam cara yang sembarangan, lebih seperti gaya yang disengaja. Matanya
Nilam menoleh cepat, menatap Jean dengan ekspresi tak percaya. "Apa?" Jean menahan tawa, tapi sudut bibirnya sudah tertarik ke atas. "Ya aku balik ke sini tinggal sama Elisha—" "Pak Jean!" Nilam spontan menoyor lengan pria itu. "Kamu serius ngomong kayak gitu?" Jean akhirnya tak bisa menahan tawanya. "Ya enggak lah, aku cuma bercanda." Nilam mendengus kesal, menegakkan duduknya. "Sumpah, becandaan kamu gak lucu." Jean masih tertawa kecil, lalu menatap Nilam dengan lembut. "Aku udah bilang kan? Aku beli apartemen pakai nama kamu karena aku serius sama kamu, Nilam." Nilam terdiam. Meski ia tahu Jean memang punya perasaan padanya, setiap kali pria itu mengatakannya dengan serius, tetap saja ada sesuatu di hatinya yang bergetar. "Apartemen itu bukan sekadar tempat tinggal," lanjut Jean. "Aku pengen kita punya rumah yang kita bangun berdua, dari nol, tanpa bayang-bayang masa lalu." Nilam terdiam, mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Jean. Pria itu berbicara dengan
Tiba-tiba seorang pria berseragam dokter muncul di hadapan mereka sambil membawa nampan dan piring kosong. "Permisi," suara itu terdengar tenang, sedikit berat namun tetap lembut di telinga. Elisha menoleh dan menemukan seorang pria berdiri di hadapannya. Di tangannya, ia membawa nampan berisi piring-piring kosong. Wajahnya tampak bersih dengan rahang tegas dan mata yang tajam namun juga lembut di saat bersamaan. "Boleh ambil nasi kan?" lanjut pria itu, menatapnya dengan ekspresi ramah. Elisha menerima nampan itu tanpa berkata-kata. "Yang lain makannya lahap banget. Aku jadi penasaran seenak apa makan siang hari ini," ucap pria itu lagi. Senyum ramah masih terpatri di wajahnya. Devi yang juga masih berdiri di sana langsung menyahut, "Hari ini ketua timnya Elisha Pak Dok, dia itu terkenal jago masak di sini. Jadi wajar kalau semua orang suka karena emang rasanya enak." Elisha hanya diam, tapi sekilas ia bisa merasakan pria itu meliriknya dengan sedikit rasa ingin tahu. "Begit
Di dalam sel yang sunyi, hanya ada suara detak jam dinding tua yang menggema di lorong. Elisha duduk di sudut ranjang sempitnya, punggungnya bersandar pada dinding dingin yang mulai retak. Cahaya lampu redup di luar sel menyinari sebagian wajahnya, memperlihatkan garis-garis kelelahan yang semakin jelas. Di pangkuannya, sebuah buku catatan lusuh terbuka. Tangannya yang kurus memegang pena dengan erat, menuliskan kata-kata dengan penuh emosi. Sudah berbulan-bulan—atau mungkin bertahun-tahun—ia mengisi halaman-halaman itu dengan harapan dan impian yang terus ia pertahankan dalam hatinya. Namun, dari semua hal yang ia tulis, hanya satu hal yang paling memenuhi pikirannya. Qila. Putri kecilnya. Elisha menggigit bibirnya, menahan emosi yang mendesak keluar dari dadanya. Ia menuliskan namanya berkali-kali di halaman itu, seolah dengan begitu, ia bisa membawa Qila lebih dekat ke dalam dekapannya. "Aku ingin melihat Qila. Aku ingin memeluknya. Aku ingin mendengar suaranya memanggi
["Kamu nginep di sana terus. Apa gak takut di grebek warga? Kalian kan belum menikah."]Nilam menghela napas kecil sambil mengaduk soto yang sedang dimasaknya. Ia sudah menduga kalau Mamanya bakal menyinggung soal ini. "Mama, aku ngerti kok. Tapi ini gak akan jadi masalah, tenang aja." ["Kamu terlalu percaya diri. Gimana kalau tiba-tiba ada tetangga yang kepo dan ngomongin kamu?"]Nilam tersenyum kecil. "Ma, ini komplek perumahan elite. Orang-orangnya sibuk sendiri-sendiri. Gak ada yang peduli aku nginep di mana atau sama siapa." ["Tetap aja, Nilam. Bukan soal orang lain, tapi soal kamu sendiri. Soal adat, soal sopan santun. Kamu itu perempuan, masih belum resmi jadi istri Jean. Jangan sampai kebiasaan kayak gini bikin orang salah paham, apalagi kalau ada yang lihat kamu bolak-balik ke rumah laki-laki."] Nilam tahu Mamanya bukannya marah, tapi lebih ke khawatir. Dia juga paham kalau bagi orang tua, terutama generasi Mama, hal-hal semacam ini masih sangat dijaga. "Ma, aku gak
"Pak Jean—""Aku gak mau tidur lagi," bisik pria itu, suaranya rendah dan serak di dekat wajah Nilam. "Aku lebih suka kayak gini…"Nilam bisa merasakan bagaimana genggaman Jean menghangat di kulitnya, menciptakan debar aneh di dadanya. Ia ingin menarik diri, tapi matanya bertemu dengan tatapan Jean yang begitu dalam, begitu lembut. Sejenak mereka hanya saling menatap dalam keheningan. Hanya ada suara napas mereka yang pelan, bercampur dengan dentingan halus jam dinding di kamar itu. Jean mengangkat tangannya, menyelipkan beberapa helai rambut yang jatuh di pipi Nilam. "Kamu capek, ya?" tanyanya pelan. Nilam mengerjapkan mata, tidak menyangka Jean justru bertanya hal seperti itu. "Kenapa nanya gitu?"Jean tersenyum kecil. "Karena aku tahu. Kamu pasti sibuk ngurusin aku, belum lagi nemenin Qila. Kamu gak istirahat, kan?" Nilam menghela napas kecil. "Aku baik-baik aja, kok. Yang penting sekarang kamu dan Qila ada yang urus.""Aku jadi makin gak enak ama kamu."Nilam langsung mence
“Tumben?""Emang gak boleh?"Nilam terlihat mengulum senyum dan membalas, "Ya boleh lah. Nanti aku sampaikan.""Gak! Gak!" Talita lebih dahulu memotong. "Jangan disampaikan! Barusan aku cuma bercanda kok. Siapa aku yang berani banget nitip salam ke Bos.""Yaaah, baru aja aku mau bilang ke Pak Jean.""Gak usah ngaco!"Nilam masih terkekeh."Ya udah deh. Aku tutup telfonnya ya! Bye Nilam.""Bye Mba Tal. Semangat kerjanya.""Kamu juga."Setelah panggilan berakhir, Nilam menghela napas panjang. Ia memandang ponselnya sejenak, sebelum akhirnya meletakkannya di atas meja. Bohong pada Talita sebenarnya membuatnya merasa sedikit tidak nyaman. Apalagi, ia tahu kalau perempuan itu tidak mungkin punya niat buruk. Tapi entah kenapa, ada sesuatu dalam dirinya yang berkata bahwa ini adalah pilihan yang tepat. Mungkin karena Jean sendiri tidak pernah benar-benar terbuka dengan orang lain. Atau mungkin… karena tanpa sadar, ia ingin menjaga pria itu dari terlalu banyak pertanyaan dan perhatian yan
Nilam bisa merasakan detak jantung Jean yang stabil di dadanya, juga kehangatan tubuh pria itu yang sedikit lebih panas dari biasanya karena demamnya. Awalnya, ia masih merasa canggung. Tapi melihat wajah Jean yang terlihat lelah dan tenang dalam posisi ini, perlahan ia mulai rileks. "Nilam…" suara Jean terdengar lebih lembut sekarang. "Makasih ya, udah jagain aku." Nilam tersenyum kecil. "Gak perlu bilang makasih Pak. Ini kan hal biasa.""Tapi aku perlu mengucapkan itu."Nilam menarik sudut bibirnya. "Terserah kamu aja deh.""Nilam...""Apalagi sayang?""I love you."Gadis itu agak kaget saat Jean berkata begitu, namun sejurus kemudian ia membalas pernyataan cinta Jean dengan mengatakan hal serupa.Tak lama kemudian, napas Jean mulai lebih teratur, tanda kalau pria itu akhirnya tertidur. Nilam menatap wajahnya sejenak, lalu tersenyum tipis. "Akhirnya dia tidur juga," gumamnya pelan. Tapi ia tetap membiarkan Jean memeluknya. Dan tanpa ia sadari, perlahan matanya pun ikut ter