"Dikta..." "Kamu cukup kasih info aja Talita," sela Dikta sebelum perempuan itu selesai bicara. "Biar aku yang urus semuanya." Talita menghela napas panjang, menatap Dikta dengan ekspresi penuh pertimbangan. "Dikta, serius, aku beneran takut kamu bertindak gegabah." Dikta menyilangkan tangan di depan dada, ekspresinya masih dingin. "Aku gak gegabah, Talita. Aku udah mikirin ini baik-baik. Percaya sama aku." Talita tahu ketika Dikta sudah berbicara dengan nada seperti ini, tidak ada gunanya lagi berdebat. Pria itu keras kepala, dan dendamnya terhadap Jean sudah terlalu dalam untuk dicegah. "Jadi kamu tetap mau lanjutin rencana kamu?" Dikta menyeringai tipis. "Tentu saja." Talita menghela napas berat, lalu bersandar ke kursi. "Baiklah. Aku gak bisa mengubah keputusanmu, kan?" Dikta menggeleng. Talita terdiam sejenak, menatap pria di depannya dengan tatapan penuh arti. "Kalau rencana kamu ini gagal, kamu siap menanggung akibatnya?" "Aku gak akan gagal." Talita menggele
“Rahasia,” balas Nilam sambil tersenyum jahil.“Jangan gitu iiih! Kita kan bestie, ayo cerita ada apa?” Rina melipat tangan di dada, menatap Nilam penuh harap."Tapi ini emang masih rahasia Mba."Rina semakin mendekat, menatap Nilam dengan mata yang hampir menyipit. “Halah, kamu jangan gitu ama temen sendiri. Masa kamu sama Pak Jean janjian gak masuk, terus sekarang datang dengan aura beda gini? Pasti ada sesuatu kan? Gak usah ditutupin deh!"Nilam hanya terkekeh kecil, memainkan ujung blouse-nya dengan ekspresi penuh teka-teki. “Pokoknya, sabar ya. Sebulan lagi, aku bakal kasih berita besar buat kalian semua.” “Berita besar apa?!” Rina hampir saja berteriak kalau saja mereka tidak sedang di kantor."Kan aku bilang tunggu dulu sebulan lagi."“Gak bisa gitu, Nilam! Aku kan kepo, plis dong kasih bocoran dikit aja. Sebulan itu kelamaan!"Nilam menggeleng, masih dengan senyum misteriusnya. “Nanti juga kamu tahu, Mba Rin. Kuncinya adalah sabar."Belum sempat Rina merengek lebih lanjut, T
Jean mendekat, menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Kamu..." Nilam mengangkat alis, menunggu kelanjutannya. "Aku apa?" Jean menarik napas pelan, lalu tersenyum lembut. "Kamu luar biasa cantik." Pipi Nilam langsung terasa panas. "Jangan gombal, Pak. Udah gak mempan." "Tapi kali ini beda," jawab Jean serius. "Ngeliat kamu pake gaun ini, aku makin gak sabar buat nikahin kamu." Nilam menunduk, berusaha menyembunyikan senyum malunya. Sementara itu, Nayya yang melihat interaksi mereka hanya bisa tertawa kecil. "Kalau gitu, kita langsung lanjut fitting jas Jean ya?" kata Nayya akhirnya. Jean mengangguk, lalu masuk ke ruang fitting. Tak butuh waktu lama, ia keluar dengan setelan jas berwarna hitam elegan yang pas membentuk tubuhnya. Sekarang giliran Nilam yang terdiam. Matanya menelusuri sosok Jean yang tampak begitu gagah dengan setelan itu. "Wow..." gumamnya tanpa sadar. Jean menaikkan sebelah alis, menahan senyum. "Aku ganteng kan?"Nilam berdeham pelan, be
"Ahh..." Jantung Nilam berdegup lebih cepat. "Pak..."Jean tersenyum kecil mendengar panggilan itu. "Kamu masih manggil aku 'Pak' dalam situasi seperti ini?" suaranya terdengar serak, mengandung sesuatu yang lebih dalam dari sekadar godaan.Nilam tidak menjawab. Ia bahkan nyaris lupa cara bernapas saat Jean tiba-tiba menunduk, mendekatkan wajahnya ke tengkuknya yang terbuka.Dan tanpa peringatan, ia mengecupnya. Sebuah ciuman lembut yang hanya berlangsung beberapa detik, tapi cukup untuk membuat Nilam tersentak. Bibir Jean menyentuh kulitnya dengan penuh kehati-hatian, seolah takut kalau ia terlalu kasar, Nilam akan menghilang begitu saja. Nilam menutup mata, merasakan sensasi aneh yang menggelitik seluruh sarafnya. Hangat. Lembut. Dan di atas segalanya, begitu intim. "Pak Jean..." suaranya keluar seperti bisikan. "Mmn..."Jean tersenyum kecil, tidak terburu-buru untuk menjauh. "Aku suka melihat kamu seperti ini," gumamnya, suaranya begitu dekat dengan telinganya. "Begitu canti
"Mas, besok sore aku pulang agak telat ya. Soalnya ada tamu penting dari kantor. Jadi aku harus nemenin Bos buat jamu dia." Pria bernama Jean itu tak mengatakan apapun. Dia sibuk menatap layar laptopnya dalam diam. Toh dia juga bingung harus menjawab apa. Sebab ini, bukan pertama kalinya Sang istri ijin untuk pulang terlambat. Bahkan, dia tak ingat ini permohonannya yang ke berapa. Elisha yang sibuk mengoleskan Skin Care Routinenya langsung menengok ke arah sang suami yang duduk bersandar di kepala ranjang. Diamnya pria 30 tahun itu tentu saja membuatnya resah. "Mas!" Ia menatap pria itu, "Kok kamu diem aja? Kamu ngasih ijin kan?" tanya perempuan dengan gaun tidur berbahan satin itu sedikit penekanan. Jean hanya mendengus. "Terus aku harus jawab apa? Ngelarang juga mustahil kan? Toh kamu nggak akan pernah nurut." Jawaban ketus suaminya membuat Elisha jengah. Jika sudah seperti ini pasti ujung-ujungnya hanyalah pertengkaran saja. "Ya gimana pun juga, aku kan butuh restu kamu Mas.
Saat pintu rumahnya terbuka, ia malah dikejutkan oleh sosok yang cukup— cantik. "Kamu ini siapa? Sales ya? Maaf ya, aku lagi nggak pengen beli barang apapun." Perempuan cantik berkulit putih itu meremas tas ransel besar yang ia pegang. "Saya bukan sales Pak. Saya Nilam, ART yang dikirim penyalur ke sini." Jean kaget. ART? Mustahil. Mana ada seorang asisten rumah tangga, berpenampilan cantik begini? Kulitnya putih, wajahnya ayu, rambut hitam lurus, dan bertubuh sintal. Belum lagi dress selutut yang dikenakan oleh perempuan muda itu, seolah sedang memamerkan kaki jenjangnya yang indah. "Kamu bercanda ya? Dibandingkan jadi ART, penampilan kamu lebih cocok buat jadi model tau," cibir Jean tak percaya. "Tapi, saya beneran ART yang dikirim ke sini Pak. Kalau nggak percaya, Bapak bisa telfon langsung ke penyalur kok." Jean menelusuri penampilan perempuan di depannya. "Siapa nama kamu tadi?" "Ni— Nilam Pak." "Ya udah bentar." Jean masuk ke dalam. Mencoba menghubungi nomor penyalur
"Rasa kopinya kok beda ya? Ini merk-nya baru?" Nilam kaget. "E— enggak kok Pak. Kopinya sama seperti yang Bapak kasih tadi," terang perempuan cantik itu dengan wajah panik. Ia takut rasa kopi buatannya tidak enak. "Masa sih?" Jean terlihat sangsi. "Emangnya kenapa Pak?" "Soalnya, rasa kopi ini lebih enak dibandingkan sebelumnya. Aromanya juga lebih harum. Makanya aku pikir kopi ini beda merk sama yang sebelumnya." Nilam mengusap dada lega. Dia pikir, Jean tidak suka dengan kopi yang ia buat. "Duh, Bapak bikin saya kaget aja. Kirain tadi kopinya nggak enak." Melihat wajah lega Nilam, membuat senyum kecil Jean terkembang. "Sama. Aku juga kaget karena rasa kopinya lebih enak dibandingin pas buat sendiri." Nilam mengulum senyum. "Makasih Pak." "Ya udah, kamu lanjutin masaknya." "Baik Pak. Saya permisi." Pria dengan bahu kokoh itu melihat Nilam yang berjalan meninggalkan tempat kerjanya. Batinnya menggumam, 'Bahkan, Elisha aja nggak bisa bikin kopi seenak buatannya.' Jean mengge
"Keterlaluan istri gue. Masa, tiap diajak berhubungan dia nggak pernah mau. Alesan capek-lah, ngantuk-lah. Banyak bangetlah cara dia buat ngehindar." "Sumpah bro, gue sampai sakit kepala gara-gara sering ditolak. Lo bayangin, seminggu aja nggak gituan udah bikin gua stres. Lah ini, hampir tiga bulan gua nggak bisa nyentuh dia." Itulah keluhan Jean siang ini pada teman baiknya. Saka. Pria yang sudah lama jadi kawannya ini adalah tempat curhat yang paling pas untuk menampung segala uneg-unegnya. "Aneh banget istri lo itu, masa suami minta gitu nggak dikasih? Padahal kan lumrah kalau kita sebagai suami minta dilayani soal ranjang." "Nah kan? Giliran jajan di luar dia marah. Tapi pas suami butuh, dia nggak bisa." Jean terlihat kesal. Wajahnya sudah tidak enak sejak semalam. Yah maklum, itu karena dia gagal menyalurkan hasratnya. "Coba deh lo bicarain baik-baik ke Elisha. Gimana pun juga itu kan kebutuhan kita sebagai suami istri. Ya masa, cuma gara-gara capek kita dianggurin gitu aj
"Ahh..." Jantung Nilam berdegup lebih cepat. "Pak..."Jean tersenyum kecil mendengar panggilan itu. "Kamu masih manggil aku 'Pak' dalam situasi seperti ini?" suaranya terdengar serak, mengandung sesuatu yang lebih dalam dari sekadar godaan.Nilam tidak menjawab. Ia bahkan nyaris lupa cara bernapas saat Jean tiba-tiba menunduk, mendekatkan wajahnya ke tengkuknya yang terbuka.Dan tanpa peringatan, ia mengecupnya. Sebuah ciuman lembut yang hanya berlangsung beberapa detik, tapi cukup untuk membuat Nilam tersentak. Bibir Jean menyentuh kulitnya dengan penuh kehati-hatian, seolah takut kalau ia terlalu kasar, Nilam akan menghilang begitu saja. Nilam menutup mata, merasakan sensasi aneh yang menggelitik seluruh sarafnya. Hangat. Lembut. Dan di atas segalanya, begitu intim. "Pak Jean..." suaranya keluar seperti bisikan. "Mmn..."Jean tersenyum kecil, tidak terburu-buru untuk menjauh. "Aku suka melihat kamu seperti ini," gumamnya, suaranya begitu dekat dengan telinganya. "Begitu canti
Jean mendekat, menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Kamu..." Nilam mengangkat alis, menunggu kelanjutannya. "Aku apa?" Jean menarik napas pelan, lalu tersenyum lembut. "Kamu luar biasa cantik." Pipi Nilam langsung terasa panas. "Jangan gombal, Pak. Udah gak mempan." "Tapi kali ini beda," jawab Jean serius. "Ngeliat kamu pake gaun ini, aku makin gak sabar buat nikahin kamu." Nilam menunduk, berusaha menyembunyikan senyum malunya. Sementara itu, Nayya yang melihat interaksi mereka hanya bisa tertawa kecil. "Kalau gitu, kita langsung lanjut fitting jas Jean ya?" kata Nayya akhirnya. Jean mengangguk, lalu masuk ke ruang fitting. Tak butuh waktu lama, ia keluar dengan setelan jas berwarna hitam elegan yang pas membentuk tubuhnya. Sekarang giliran Nilam yang terdiam. Matanya menelusuri sosok Jean yang tampak begitu gagah dengan setelan itu. "Wow..." gumamnya tanpa sadar. Jean menaikkan sebelah alis, menahan senyum. "Aku ganteng kan?"Nilam berdeham pelan, be
“Rahasia,” balas Nilam sambil tersenyum jahil.“Jangan gitu iiih! Kita kan bestie, ayo cerita ada apa?” Rina melipat tangan di dada, menatap Nilam penuh harap."Tapi ini emang masih rahasia Mba."Rina semakin mendekat, menatap Nilam dengan mata yang hampir menyipit. “Halah, kamu jangan gitu ama temen sendiri. Masa kamu sama Pak Jean janjian gak masuk, terus sekarang datang dengan aura beda gini? Pasti ada sesuatu kan? Gak usah ditutupin deh!"Nilam hanya terkekeh kecil, memainkan ujung blouse-nya dengan ekspresi penuh teka-teki. “Pokoknya, sabar ya. Sebulan lagi, aku bakal kasih berita besar buat kalian semua.” “Berita besar apa?!” Rina hampir saja berteriak kalau saja mereka tidak sedang di kantor."Kan aku bilang tunggu dulu sebulan lagi."“Gak bisa gitu, Nilam! Aku kan kepo, plis dong kasih bocoran dikit aja. Sebulan itu kelamaan!"Nilam menggeleng, masih dengan senyum misteriusnya. “Nanti juga kamu tahu, Mba Rin. Kuncinya adalah sabar."Belum sempat Rina merengek lebih lanjut, T
"Dikta..." "Kamu cukup kasih info aja Talita," sela Dikta sebelum perempuan itu selesai bicara. "Biar aku yang urus semuanya." Talita menghela napas panjang, menatap Dikta dengan ekspresi penuh pertimbangan. "Dikta, serius, aku beneran takut kamu bertindak gegabah." Dikta menyilangkan tangan di depan dada, ekspresinya masih dingin. "Aku gak gegabah, Talita. Aku udah mikirin ini baik-baik. Percaya sama aku." Talita tahu ketika Dikta sudah berbicara dengan nada seperti ini, tidak ada gunanya lagi berdebat. Pria itu keras kepala, dan dendamnya terhadap Jean sudah terlalu dalam untuk dicegah. "Jadi kamu tetap mau lanjutin rencana kamu?" Dikta menyeringai tipis. "Tentu saja." Talita menghela napas berat, lalu bersandar ke kursi. "Baiklah. Aku gak bisa mengubah keputusanmu, kan?" Dikta menggeleng. Talita terdiam sejenak, menatap pria di depannya dengan tatapan penuh arti. "Kalau rencana kamu ini gagal, kamu siap menanggung akibatnya?" "Aku gak akan gagal." Talita menggele
Restoran bergaya klasik yang Talita datangi itu cukup tenang di sore hari, dengan pencahayaan hangat yang memberi kesan nyaman.Talita melangkah masuk dengan anggun, masih mengenakan setelan kantornya—blazer krem yang dipadukan dengan blouse putih serta celana panjang berpotongan rapi.Sisi rambut sebelah kirinya, hanya diselipkan ke belakang telinga di satu sisi, memperlihatkan anting mutiara kecil yang elegan. Wajahnya tampak sedikit lelah setelah seharian bekerja, tapi aura percaya dirinya tetap terpancar kuat. Di salah satu sudut restoran, seorang pria sudah duduk menunggunya. Dikta. Berbeda dengan Talita yang masih dalam mode pulang kerja, pria itu tampak santai dengan setelan rumahan yang terkesan misterius—hoodie hitam berlengan panjang dan celana jogger senada. Seakan baru keluar dari rumah tanpa niatan terlalu formal, tapi tetap punya aura yang sulit diabaikan.Rambutnya sedikit berantakan, tapi bukan dalam cara yang sembarangan, lebih seperti gaya yang disengaja. Matanya
Nilam menoleh cepat, menatap Jean dengan ekspresi tak percaya. "Apa?" Jean menahan tawa, tapi sudut bibirnya sudah tertarik ke atas. "Ya aku balik ke sini tinggal sama Elisha—" "Pak Jean!" Nilam spontan menoyor lengan pria itu. "Kamu serius ngomong kayak gitu?" Jean akhirnya tak bisa menahan tawanya. "Ya enggak lah, aku cuma bercanda." Nilam mendengus kesal, menegakkan duduknya. "Sumpah, becandaan kamu gak lucu." Jean masih tertawa kecil, lalu menatap Nilam dengan lembut. "Aku udah bilang kan? Aku beli apartemen pakai nama kamu karena aku serius sama kamu, Nilam." Nilam terdiam. Meski ia tahu Jean memang punya perasaan padanya, setiap kali pria itu mengatakannya dengan serius, tetap saja ada sesuatu di hatinya yang bergetar. "Apartemen itu bukan sekadar tempat tinggal," lanjut Jean. "Aku pengen kita punya rumah yang kita bangun berdua, dari nol, tanpa bayang-bayang masa lalu." Nilam terdiam, mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Jean. Pria itu berbicara dengan
Tiba-tiba seorang pria berseragam dokter muncul di hadapan mereka sambil membawa nampan dan piring kosong. "Permisi," suara itu terdengar tenang, sedikit berat namun tetap lembut di telinga. Elisha menoleh dan menemukan seorang pria berdiri di hadapannya. Di tangannya, ia membawa nampan berisi piring-piring kosong. Wajahnya tampak bersih dengan rahang tegas dan mata yang tajam namun juga lembut di saat bersamaan. "Boleh ambil nasi kan?" lanjut pria itu, menatapnya dengan ekspresi ramah. Elisha menerima nampan itu tanpa berkata-kata. "Yang lain makannya lahap banget. Aku jadi penasaran seenak apa makan siang hari ini," ucap pria itu lagi. Senyum ramah masih terpatri di wajahnya. Devi yang juga masih berdiri di sana langsung menyahut, "Hari ini ketua timnya Elisha Pak Dok, dia itu terkenal jago masak di sini. Jadi wajar kalau semua orang suka karena emang rasanya enak." Elisha hanya diam, tapi sekilas ia bisa merasakan pria itu meliriknya dengan sedikit rasa ingin tahu. "Begit
Di dalam sel yang sunyi, hanya ada suara detak jam dinding tua yang menggema di lorong. Elisha duduk di sudut ranjang sempitnya, punggungnya bersandar pada dinding dingin yang mulai retak. Cahaya lampu redup di luar sel menyinari sebagian wajahnya, memperlihatkan garis-garis kelelahan yang semakin jelas. Di pangkuannya, sebuah buku catatan lusuh terbuka. Tangannya yang kurus memegang pena dengan erat, menuliskan kata-kata dengan penuh emosi. Sudah berbulan-bulan—atau mungkin bertahun-tahun—ia mengisi halaman-halaman itu dengan harapan dan impian yang terus ia pertahankan dalam hatinya. Namun, dari semua hal yang ia tulis, hanya satu hal yang paling memenuhi pikirannya. Qila. Putri kecilnya. Elisha menggigit bibirnya, menahan emosi yang mendesak keluar dari dadanya. Ia menuliskan namanya berkali-kali di halaman itu, seolah dengan begitu, ia bisa membawa Qila lebih dekat ke dalam dekapannya. "Aku ingin melihat Qila. Aku ingin memeluknya. Aku ingin mendengar suaranya memanggi
["Kamu nginep di sana terus. Apa gak takut di grebek warga? Kalian kan belum menikah."]Nilam menghela napas kecil sambil mengaduk soto yang sedang dimasaknya. Ia sudah menduga kalau Mamanya bakal menyinggung soal ini. "Mama, aku ngerti kok. Tapi ini gak akan jadi masalah, tenang aja." ["Kamu terlalu percaya diri. Gimana kalau tiba-tiba ada tetangga yang kepo dan ngomongin kamu?"]Nilam tersenyum kecil. "Ma, ini komplek perumahan elite. Orang-orangnya sibuk sendiri-sendiri. Gak ada yang peduli aku nginep di mana atau sama siapa." ["Tetap aja, Nilam. Bukan soal orang lain, tapi soal kamu sendiri. Soal adat, soal sopan santun. Kamu itu perempuan, masih belum resmi jadi istri Jean. Jangan sampai kebiasaan kayak gini bikin orang salah paham, apalagi kalau ada yang lihat kamu bolak-balik ke rumah laki-laki."] Nilam tahu Mamanya bukannya marah, tapi lebih ke khawatir. Dia juga paham kalau bagi orang tua, terutama generasi Mama, hal-hal semacam ini masih sangat dijaga. "Ma, aku gak