Jean mendekat, menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Kamu..." Nilam mengangkat alis, menunggu kelanjutannya. "Aku apa?" Jean menarik napas pelan, lalu tersenyum lembut. "Kamu luar biasa cantik." Pipi Nilam langsung terasa panas. "Jangan gombal, Pak. Udah gak mempan." "Tapi kali ini beda," jawab Jean serius. "Ngeliat kamu pake gaun ini, aku makin gak sabar buat nikahin kamu." Nilam menunduk, berusaha menyembunyikan senyum malunya. Sementara itu, Nayya yang melihat interaksi mereka hanya bisa tertawa kecil. "Kalau gitu, kita langsung lanjut fitting jas Jean ya?" kata Nayya akhirnya. Jean mengangguk, lalu masuk ke ruang fitting. Tak butuh waktu lama, ia keluar dengan setelan jas berwarna hitam elegan yang pas membentuk tubuhnya. Sekarang giliran Nilam yang terdiam. Matanya menelusuri sosok Jean yang tampak begitu gagah dengan setelan itu. "Wow..." gumamnya tanpa sadar. Jean menaikkan sebelah alis, menahan senyum. "Aku ganteng kan?"Nilam berdeham pelan, be
"Ahh..." Jantung Nilam berdegup lebih cepat. "Pak..."Jean tersenyum kecil mendengar panggilan itu. "Kamu masih manggil aku 'Pak' dalam situasi seperti ini?" suaranya terdengar serak, mengandung sesuatu yang lebih dalam dari sekadar godaan.Nilam tidak menjawab. Ia bahkan nyaris lupa cara bernapas saat Jean tiba-tiba menunduk, mendekatkan wajahnya ke tengkuknya yang terbuka.Dan tanpa peringatan, ia mengecupnya. Sebuah ciuman lembut yang hanya berlangsung beberapa detik, tapi cukup untuk membuat Nilam tersentak. Bibir Jean menyentuh kulitnya dengan penuh kehati-hatian, seolah takut kalau ia terlalu kasar, Nilam akan menghilang begitu saja. Nilam menutup mata, merasakan sensasi aneh yang menggelitik seluruh sarafnya. Hangat. Lembut. Dan di atas segalanya, begitu intim. "Pak Jean..." suaranya keluar seperti bisikan. "Mmn..."Jean tersenyum kecil, tidak terburu-buru untuk menjauh. "Aku suka melihat kamu seperti ini," gumamnya, suaranya begitu dekat dengan telinganya. "Begitu canti
Setelah mobil Jean berhenti di depan rumah, Nilam melepas seatbelt dan menghela napas. Hari ini benar-benar melelahkan, tapi juga menyenangkan. "Kamu gak mau mampir dulu?" tanya Nilam saat Jean membukakan pintu mobil untuknya. Jean tersenyum kecil. "Aku ikut masuk sebentar, tapi gak lama, ya. Aku harus pulang cepet, kasian Qila nungguin." Nilam mengangguk. Lalu mereka berjalan berdampingan menuju pintu rumah. Begitu masuk, mereka langsung disambut oleh Bu Mala yang sedang duduk santai di ruang tengah dengan secangkir teh di tangannya. "Oh, kalian sudah pulang," kata Bu Mala sambil tersenyum. Matanya bergantian menatap Nilam dan Jean dengan penuh arti. "Udah, Ma," jawab Nilam sambil berjalan ke arah sang Mama. "Hari ini capek banget." Dengan manjanya, Nilam langsung menjatuhkan kepalanya di bahu Bu Mala.Sementara Jean mengikuti Nilam dan duduk berseberangan dengan mereka."Capek kenapa?" tanya Bu Mala penasaran."Pulang kantor tadi kita langsung fitting baju pengantin Ma. A
Sinar matahari pagi menyapu halaman panti asuhan, memberikan kehangatan yang lembut pada bangunan sederhana itu. Di teras depan, beberapa anak-anak berlarian riang, sementara di dalam, suasana lebih tenang namun penuh semangat. Elisha berdiri di depan kelas kecil, mengenakan seragam biru muda yang menjadi tanda bahwa ia sedang menjalani program asimilasi. Program ini memungkinkan narapidana dengan perilaku baik untuk beradaptasi dengan kehidupan di luar lapas sebelum benar-benar bebas. Dalam masa asimilasi ini, mereka diberikan kesempatan untuk bekerja atau melakukan kegiatan sosial di luar lapas, namun tetap dalam pengawasan petugas. Tujuannya adalah agar mereka dapat kembali ke masyarakat dengan lebih mudah dan mengurangi risiko kembali melakukan pelanggaran hukum. Bersama beberapa rekannya, Elisha mendapatkan tugas mengajar anak-anak di panti asuhan ini. Hari ini, ia bertanggung jawab mengajarkan membaca dan menulis untuk anak-anak usia dini. "Baik, adik-adik," kata Elisha de
"Kalau sebaliknya gimana?"Devi mengangkat alis, menatap Elisha dengan penasaran. "Maksud kamu, kalau Jean sengaja ngejauhkan Qila dari kamu?" Elisha menggigit bibirnya, matanya menerawang jauh. "Aku gak tahu. Tapi selama tiga tahun ini, aku selalu ngerasa ada jarak. Bukan cuma karena aku di sini, tapi... aku takut dia gak mau Qila inget aku lagi. Apalagi setelah apa yang aku lakukan selama ini ke Jean."Devi tertawa kecil, bukan untuk mengejek, tapi lebih kepada ketidakpercayaannya. "Elisha, kita ngomongin Jean di sini. Mantan suami kamu. Ayah dari anak kamu. Kamu pikir dia bisa sejahat itu?" Elisha menghela napas, ragu-ragu. "Aku gak bilang dia jahat, tapi aku juga sadar diri sama kesalahan yang aku perbuat. Siapa tau dia melampiaskan semua kemarahannya dengan mendoktrin Qila buat benci sama aku."Devi menatap Elisha dengan lekat, lalu menghela napas. "Lis, kamu sadar gak sih? Dari tadi kamu cuma nyalahin diri sendiri dan ngebayangin skenario paling buruk. Emang sih, kamu udah n
Devi mendengus. "Duh, peka dikit dong Elisha. Dia kayaknya na—"Elisha mendesah. "Kamu gak capek ngomong gitu terus?"Devi langsung menutup mulutnya dengan rapat. Kalimat Elisha barusan memang terdengar biasa saja. Tapi nada bicaranya yang dalam dan sedikit menusuk itu membuatnya agak merinding."Jujur saja aku udah gak tertarik berhubungan sama laki-laki."Hah? Devi kaget. "Maksudnya?""Maksudnya... Aku mending single aja, Dev. Fokus sama anak dan masa depan daripada punya hubungan sama cowok yang ujung-ujungnya cuma bikin aku kecewa dan salah jalan lagi." Saat berkata seperti itu tatapan Elisha nampak menerawang jauh.Memori tentang masa lalunya dengan Jean dan Dikta selama ini, memberikan goresan trauma dalam dadanya. Selain membuat ia jadi salah jalan, ia juga mengacaukan semua impiannya hanya karena ambisinya pada laki-laki."Semangat ya Elisha." Devi menepuk pundak rekannya itu. "Aku harap suatu hari nanti kamu bisa mengubur semua trauma kamu dan hidup bahagia sama pria yang kam
Di tempat berbeda, Nilam sedang sibuk menelepon Nana sambil menatap layar laptopnya. Di hadapannya, beberapa undangan pernikahan sudah tertata rapi, siap untuk dikirimkan."Aku bakal nikah bulan depan, Na!" seru Nilam dengan nada ceria.Dari seberang telepon, Nana menghela napas panjang sebelum menjawab, "Apa? Nikah?""Iyaa. Aku mau nikah.""Sama siapa? Jean?"Perempuan itu tersenyum malu-malu sambil memainkan pulpennya. "Iyalah. Emangnya sama siapa lagi?""Kayak baru kemarin kamu balikan lagi ama Jean. Sekarang udah siap nikah aja?"Nilam tertawa kecil. "Ya mau gimana lagi? Kita udah lama bareng. Pak Jean bilang gak ada alasan buat nunda-nunda lagi. Lagipula, semua persiapan udah beres. Tinggal sebar undangan aja.""Akhirnyaaa...." Terdengar helaan nafas panjang dari line seberang. "Sumpah aku lega banget dengernya. Setelah sekian lama dan setelah mengalami banyak cobaan, akhirnya kamu dan Jean nikah juga."Nilam tersenyum kecil, merasa senang tapi juga sedikit malu saat mendengar uc
Saat jam istirahat tiba, Nilam duduk di mejanya sambil menggenggam undangan pernikahannya. Dadanya berdebar, tapi ia tahu ini adalah sesuatu yang harus dilakukan. Ia menoleh ke arah meja Rina dan Talita yang sedang berbincang sambil menikmati makan siang mereka.Dengan napas panjang, ia memberanikan diri untuk berdiri dan melangkah ke arah mereka. "Mbak Rina, Mba Talita, kalian ada waktu sebentar nggak?" tanyanya dengan suara sedikit ragu.Rina menoleh dengan alis terangkat, sementara Talita langsung menyahut, "Ada dong, kenapa, Nilam?""Aku mau ngomong sesuatu. Nanti pulang kerja kita nongkrong di kafe, yuk? Aku traktir deh!" ujar Nilam sambil tersenyum, meskipun tangannya sedikit berkeringat.Rina melipat tangannya di depan dada dan menatap Nilam penuh rasa ingin tahu. "Wah, tumben ngajakin nongkrong. Ada apa nih?"Nilam menggaruk belakang kepalanya sambil tersenyum malu-malu. "Iya, ada yang pengen kasih tau berita penting ke Mba Rina sama Mba Talita."Talita saling bertukar pandang
"Sayang... Sayaaang...""Sayaaang ayo banguuun...""Hnggg?" Tidur Jean hari itu sedikit terganggu karena panggilan lembut Nilam. "Apa Nilam sayang?" Mau tak mau, ia membuka kedua matanya dan membiasakan sinar matahari menyilaukan pandangannya."Sayang, liat deh!" Nilam memegang pipi Jean yang masih sibuk memfokuskan penglihatannya, memaksa pria yang beberapa tahun lebih tua darinya ini untuk menatap langsung ke arahnya."Nilam? Ngapain kamu pake baju gitu?" Rasa kantuk Jean seketika lenyap, matanya bahkan nyaris mendelik saat melihat istrinya hanya memakai bikini.Yup— BIKINI! Warna pink pula. Ada hiasan pita di bagian dada pula. Dan celananya— kalau ditarik sedikit saja sudah ke mana-mana itu aurotnya Nilam."Iih! Kamu gimana sih?" Nilam yang tadinya berdiri di samping ranjang dengan posisi setengah membungkuk supaya bisa melihat wajah suaminya dari dekat langsung mundur. Dia duduk dengan posisi W di atas tempat tidur sambil memasang raut cemberut. "Katanya mau ngajakin renang pagi-p
Devi menatap Elisha dengan mata berkaca-kaca. Bukan karena kasihan—tapi karena ia bisa merasakan tulusnya penyesalan itu. Rasa bersalah yang tak hanya tertahan di kepala, tapi meresap hingga ke dalam tulang. Elisha mungkin tak lagi bersama Jean, tapi luka yang ditinggalkan masih menggores.“Sha… semua orang pernah buat kesalahan,” ucap Devi lirih. “Yang membedakan kita adalah gimana kita belajar dari situ.”Elisha hanya menunduk. Tangannya kembali meremas ujung selimut. Kali ini, ia tak lagi menahan air mata. Setetes jatuh, menyusul satu lagi. Tapi tak ada isakan, tak ada tangisan keras—hanya keheningan yang menyakitkan.“Aku cuma pengen jadi ibu yang layak buat Qila,” ucap Elisha lirih. “Aku gak bisa balikin waktu, tapi aku pengen punya kesempatan kedua. Meskipun kecil… meskipun aku harus mulai dari nol.”Devi meraih bahunya, menepuk pelan. “Dan kamu akan punya kesempatan itu, Sha. Kamu udah jalanin hukumannya, kamu udah bayar semua. Yang penting sekarang, kamu harus semangat. Kamu j
Di saat begitu, tiba-tiba saja suara dari televisi kecil yang menggantung di sudut ruangan terdengar lebih jelas. Awalnya hanya sekilas suara pembawa berita yang menyebut nama-nama populer di dunia bisnis, tapi tak lama, gambar wajah Jean dan Nilam terpampang jelas di layar.Devi yang tadinya menunduk menepuk-nepuk punggung balita, refleks mendongak ke arah TV.“Eh, itu bukannya?” gumam Devi.Elisha pun spontan ikut menoleh. Pandangannya langsung tertumbuk pada tayangan berita infotainment yang menampilkan potongan-potongan video pernikahan mewah. Ada kilatan blitz kamera, dekorasi bunga warna peach dan putih, dan tentu saja—sosok Jean yang mengenakan setelan jas putih elegan, berdiri di samping seorang wanita cantik bergaun pengantin berwarna senada.“Jean, pengusaha muda sukses sekaligus duda beranak satu, hari ini resmi menikahi Ayunda Nilam Wijaya anak dari pengusaha properti Wijaya dan ibunya Bu Mala, pemilik franchise minuman terkenal di Indonesia. Pernikahan mereka digelar seca
Suara anak-anak menyanyi riang memenuhi aula kecil yang terang oleh cahaya matahari yang menyusup dari jendela. Di tengah kerumunan anak-anak itu, berdiri seorang wanita dengan senyum keibuan—rambutnya dikuncir sederhana, seragam berwarna abu-abu yang dikenakan pun tak bisa menyembunyikan aura keibuannya.Elisha...Mantan istri Jean itu kini tengah menjalani kegiatannya yang seperti biasa. Dan karena hari ini hari senin, ia dapat jadwal mengajar untuk anak-anak panti asuhan sebagai bentuk kontribusi sosialnya“Ayo, kita ulang lagi dari bagian reff-nya ya, pelan-pelan, satu-satu.”Elisha mengangkat tangannya memberi aba-aba. Tangannya menggenggam ukulele kecil, yang ia petik lembut untuk mengiringi anak-anak menyanyi. Suaranya sabar, tidak pernah meninggi, bahkan ketika beberapa anak mulai tak fokus."Bunda, aku lupa nadanyaaa,” rengek salah satu anak.Elisha tertawa kecil. “Nggak apa-apa, kita ulang bareng-bareng. Kita belajar pelan-pelan ya, sayang.”Anak-anak kembali tertawa, suasan
"Liat deh, Dikta!"Dikta yang sedang bersantai sambil bermain ponsel, dikejutkan dengan kedatangan ibunya yang heboh. Di tangan kanannya Bu Sinta membawa sebuah ponsel yang hendak ditunjukkan padanya."Liat ini deh, Nak!" Bu Sinta memberikan hapenya pada Dikta."Apa ini Ma?" tanya pria berambut sedikit panjang itu."Itu acara pernikahan Jean dan Nilam kemarin."Dikta yang tadinya tak begitu tertarik dengan kabar yang akan di sampaikan oleh Mamanya, seketika mengalihkan pandangannya ke arah ponsel pintar tersebut.Di dalamnya ada beberapa foto pernikahan Nilam yang meriah. Dari proses pengikatan janji suci hingga resepsi. Foto-foto itu di posting di akun IG bu Mala. Tentu saja caption yang menyayat hati."Akhirnya Nilam nikah juga ya," ucap Bu Sinta kagum. "Tapi sayang, suaminya itu duda. Musuh kamu pula."Dikta terdiam. Ucapan sang Mama terdengar nyelekit tapi ada benarnya. Yang dimaksud musuh di sini bukanlah musuh di persidangan, tapi rival sesama CEO perusahaan."Padahal Nilam masi
"Kayaknya, ga usah nunggu lama, aku bakal hamil deh, Yang." Jean yang sudah dilanda rasa kantuk itu seketika membuka lagi kelopak matanya, karena mendengar ucapan Nilam barusan. "Kenapa?" Ia melirik ke arah sang istri yang sedang membalut tubuhnya menggunakan bedcover hingga sebatas leher. "Gimana enggak, kamu jago banget nembaknya. Rahimku berasa penuh gara-gara kamu keluar beberapa kali tadi." Jean seketika jadi salting. Ucapan Nilam yang terdengar Nilam itu benar-benar membuatnya salah tingkah. Ia memiringkan tubuhnya dan memeluk perut Nilam. "Ya bagus dong, supaya Qila gak terlalu lama menunggu punya adiknya." Nilam meringis kecil. Ia sedikit kegelian saat Jean mengusap pelan perutnya yang rata. "Aku juga seneng banget kalau punya anak dari ibu se gemesin dan secantik kamu," lanjut Jean sambil mengecup pipi Nilam. "Kamu maunya anak laki-laki atau perempuan?" tanya Nilam kemudian. Sejujurnya dia memang sudah sangat mengantuk, ditambah aktivitas panas keduanya beberapa waktu
"Capeknya..." Kasur yang empuk adalah tempat yang paling Nilam impikan sejak beberapa jam yang lalu. Punggungnya benar-benar sudah pegel karena terus berdiri di acara resepsi. Kakinya juga. Kalau bukan Tuhan yang nyiptain, kakinya udah patah sih kayaknya. "Ganti baju dulu, Nilam sayang. Kamu juga belum bersih-bersih." Jean yang mengikuti gadis itu di belakangnya, mulai melepaskan jas pengantinnya. FYI, mereka emang langsung nyewa satu kamar hotel yang berada di gedung yang sama dengan acara resepsi karena permintaan Nilam. Maklum, kaum mager seperti Nilam ga bakal sanggup kalau setelah resepsi harus pulang dulu ke rumah atau apartemen. Apalagi jaraknya hampir 2 jam dari sini. "Mager sayang. Maunya langsung tidur." "Emang kamu ga sumpek pake gaun gitu?" Nilam membuka matanya. Ia melihat ke arah Jean yang sedang menyingsingkan lengan kemeja panjangnya. "Ya sumpek sih. Tapi beneran mager banget ini." Jean menggelengkan kepalanya. Ia tersenyum maklum sambil menarik kedua pergelanga
Setelah Nana dan Reno pamit, Jean menoleh pada Nilam yang dari tadi terus tersenyum sambil menyambut para tamu. Tapi ia tahu, senyuman itu mulai terasa dipaksakan. “Sayang, kamu kelihatan capek.” Nilam sempat menggeleng kecil, masih ramah melambai ke tamu lain. “Nggak kok. Aku gak apa-apa.” Jean tersenyum tipis, lalu mengisyaratkan pada salah satu panitia untuk membawakan segelas air putih. Tak lama, air itu datang bersamaan dengan dua kursi yang langsung diletakkan agak ke sisi, masih dekat pelaminan tapi sedikit lebih tenang. “Duduk dulu, ya!” bisik Jean seraya menggandeng tangan istrinya. Nilam sempat ragu, tapi akhirnya menurut. Sepatunya yang berhak tinggi sudah terasa menyiksa dari tadi. Ia duduk pelan-pelan sambil menarik napas dalam. “Thanks, sayang,” ucapnya tulus. Jean ikut duduk di sebelahnya, lalu meraih tangannya dan menggenggamnya erat. “Hari ini milik kita berdua. Tapi aku gak mau kamu maksain diri demi kelihatan kuat. Nikmati aja, ya?” Nilam tersenyum lembut.
Hari H pun tiba. Suasana pernikahan Nilam dan Jean dipenuhi dengan kebahagiaan dan kehangatan keluarga. Rangkaian bunga yang indah dan dekorasi yang bersinar menambah nuansa romantis di ruang pernikahan. Kedua pasangan itu berdiri di panggung resepsi dengan senyuman yang tak terus terkembang di wajah masing-masing, sama-sama siap untuk memulai babak baru dalam kehidupan mereka. "Kamu cantik banget." Nilam tersenyum malu, entah sudah berapa kali Jean mengatakan itu padanya hari ini. Dan yeah, gadis itu memang terlihat sangat cantik sekaligus anggun. Gaun pengantin warna putihnya begitu pas di tubuh ramping Nilam, rambutnya sengaja di sanggul ala modern. "Kamu juga keren banget," balas Nilam sambil memandang ke arah suaminya. Yah, beberapa saat yang lalu mereka telah mengikat janji suci pernikahan dengan di saksikan para tamu undangan. Manik gelap Nilam menatap lekat ke arah Jean yang begitu gagah dengan setelan jas warna putih, dasi hitam, dan sepatu fantofel. Terlihat sederh