Malam kakak-kakak Readers... Mau info kalau mulai sekarang sampai seminggu ke depan, othor bakal up 1 bab dulu. Mau persiapan mudik soalnya. Tapi kalau ada waktu othor bakal up double kok, jadi staytune yaa... Lope yuuu 🥰🥰🥰
"Kalau sebaliknya gimana?"Devi mengangkat alis, menatap Elisha dengan penasaran. "Maksud kamu, kalau Jean sengaja ngejauhkan Qila dari kamu?" Elisha menggigit bibirnya, matanya menerawang jauh. "Aku gak tahu. Tapi selama tiga tahun ini, aku selalu ngerasa ada jarak. Bukan cuma karena aku di sini, tapi... aku takut dia gak mau Qila inget aku lagi. Apalagi setelah apa yang aku lakukan selama ini ke Jean."Devi tertawa kecil, bukan untuk mengejek, tapi lebih kepada ketidakpercayaannya. "Elisha, kita ngomongin Jean di sini. Mantan suami kamu. Ayah dari anak kamu. Kamu pikir dia bisa sejahat itu?" Elisha menghela napas, ragu-ragu. "Aku gak bilang dia jahat, tapi aku juga sadar diri sama kesalahan yang aku perbuat. Siapa tau dia melampiaskan semua kemarahannya dengan mendoktrin Qila buat benci sama aku."Devi menatap Elisha dengan lekat, lalu menghela napas. "Lis, kamu sadar gak sih? Dari tadi kamu cuma nyalahin diri sendiri dan ngebayangin skenario paling buruk. Emang sih, kamu udah n
Devi mendengus. "Duh, peka dikit dong Elisha. Dia kayaknya na—"Elisha mendesah. "Kamu gak capek ngomong gitu terus?"Devi langsung menutup mulutnya dengan rapat. Kalimat Elisha barusan memang terdengar biasa saja. Tapi nada bicaranya yang dalam dan sedikit menusuk itu membuatnya agak merinding."Jujur saja aku udah gak tertarik berhubungan sama laki-laki."Hah? Devi kaget. "Maksudnya?""Maksudnya... Aku mending single aja, Dev. Fokus sama anak dan masa depan daripada punya hubungan sama cowok yang ujung-ujungnya cuma bikin aku kecewa dan salah jalan lagi." Saat berkata seperti itu tatapan Elisha nampak menerawang jauh.Memori tentang masa lalunya dengan Jean dan Dikta selama ini, memberikan goresan trauma dalam dadanya. Selain membuat ia jadi salah jalan, ia juga mengacaukan semua impiannya hanya karena ambisinya pada laki-laki."Semangat ya Elisha." Devi menepuk pundak rekannya itu. "Aku harap suatu hari nanti kamu bisa mengubur semua trauma kamu dan hidup bahagia sama pria yang kam
Di tempat berbeda, Nilam sedang sibuk menelepon Nana sambil menatap layar laptopnya. Di hadapannya, beberapa undangan pernikahan sudah tertata rapi, siap untuk dikirimkan."Aku bakal nikah bulan depan, Na!" seru Nilam dengan nada ceria.Dari seberang telepon, Nana menghela napas panjang sebelum menjawab, "Apa? Nikah?""Iyaa. Aku mau nikah.""Sama siapa? Jean?"Perempuan itu tersenyum malu-malu sambil memainkan pulpennya. "Iyalah. Emangnya sama siapa lagi?""Kayak baru kemarin kamu balikan lagi ama Jean. Sekarang udah siap nikah aja?"Nilam tertawa kecil. "Ya mau gimana lagi? Kita udah lama bareng. Pak Jean bilang gak ada alasan buat nunda-nunda lagi. Lagipula, semua persiapan udah beres. Tinggal sebar undangan aja.""Akhirnyaaa...." Terdengar helaan nafas panjang dari line seberang. "Sumpah aku lega banget dengernya. Setelah sekian lama dan setelah mengalami banyak cobaan, akhirnya kamu dan Jean nikah juga."Nilam tersenyum kecil, merasa senang tapi juga sedikit malu saat mendengar uc
"Mas, besok sore aku pulang agak telat ya. Soalnya ada tamu penting dari kantor. Jadi aku harus nemenin Bos buat jamu dia." Pria bernama Jean itu tak mengatakan apapun. Dia sibuk menatap layar laptopnya dalam diam. Toh dia juga bingung harus menjawab apa. Sebab ini, bukan pertama kalinya Sang istri ijin untuk pulang terlambat. Bahkan, dia tak ingat ini permohonannya yang ke berapa. Elisha yang sibuk mengoleskan Skin Care Routinenya langsung menengok ke arah sang suami yang duduk bersandar di kepala ranjang. Diamnya pria 30 tahun itu tentu saja membuatnya resah. "Mas!" Ia menatap pria itu, "Kok kamu diem aja? Kamu ngasih ijin kan?" tanya perempuan dengan gaun tidur berbahan satin itu sedikit penekanan. Jean hanya mendengus. "Terus aku harus jawab apa? Ngelarang juga mustahil kan? Toh kamu nggak akan pernah nurut." Jawaban ketus suaminya membuat Elisha jengah. Jika sudah seperti ini pasti ujung-ujungnya hanyalah pertengkaran saja. "Ya gimana pun juga, aku kan butuh restu kamu Mas.
Saat pintu rumahnya terbuka, ia malah dikejutkan oleh sosok yang cukup— cantik. "Kamu ini siapa? Sales ya? Maaf ya, aku lagi nggak pengen beli barang apapun." Perempuan cantik berkulit putih itu meremas tas ransel besar yang ia pegang. "Saya bukan sales Pak. Saya Nilam, ART yang dikirim penyalur ke sini." Jean kaget. ART? Mustahil. Mana ada seorang asisten rumah tangga, berpenampilan cantik begini? Kulitnya putih, wajahnya ayu, rambut hitam lurus, dan bertubuh sintal. Belum lagi dress selutut yang dikenakan oleh perempuan muda itu, seolah sedang memamerkan kaki jenjangnya yang indah. "Kamu bercanda ya? Dibandingkan jadi ART, penampilan kamu lebih cocok buat jadi model tau," cibir Jean tak percaya. "Tapi, saya beneran ART yang dikirim ke sini Pak. Kalau nggak percaya, Bapak bisa telfon langsung ke penyalur kok." Jean menelusuri penampilan perempuan di depannya. "Siapa nama kamu tadi?" "Ni— Nilam Pak." "Ya udah bentar." Jean masuk ke dalam. Mencoba menghubungi nomor penyalur
"Rasa kopinya kok beda ya? Ini merk-nya baru?" Nilam kaget. "E— enggak kok Pak. Kopinya sama seperti yang Bapak kasih tadi," terang perempuan cantik itu dengan wajah panik. Ia takut rasa kopi buatannya tidak enak. "Masa sih?" Jean terlihat sangsi. "Emangnya kenapa Pak?" "Soalnya, rasa kopi ini lebih enak dibandingkan sebelumnya. Aromanya juga lebih harum. Makanya aku pikir kopi ini beda merk sama yang sebelumnya." Nilam mengusap dada lega. Dia pikir, Jean tidak suka dengan kopi yang ia buat. "Duh, Bapak bikin saya kaget aja. Kirain tadi kopinya nggak enak." Melihat wajah lega Nilam, membuat senyum kecil Jean terkembang. "Sama. Aku juga kaget karena rasa kopinya lebih enak dibandingin pas buat sendiri." Nilam mengulum senyum. "Makasih Pak." "Ya udah, kamu lanjutin masaknya." "Baik Pak. Saya permisi." Pria dengan bahu kokoh itu melihat Nilam yang berjalan meninggalkan tempat kerjanya. Batinnya menggumam, 'Bahkan, Elisha aja nggak bisa bikin kopi seenak buatannya.' Jean mengge
"Keterlaluan istri gue. Masa, tiap diajak berhubungan dia nggak pernah mau. Alesan capek-lah, ngantuk-lah. Banyak bangetlah cara dia buat ngehindar." "Sumpah bro, gue sampai sakit kepala gara-gara sering ditolak. Lo bayangin, seminggu aja nggak gituan udah bikin gua stres. Lah ini, hampir tiga bulan gua nggak bisa nyentuh dia." Itulah keluhan Jean siang ini pada teman baiknya. Saka. Pria yang sudah lama jadi kawannya ini adalah tempat curhat yang paling pas untuk menampung segala uneg-unegnya. "Aneh banget istri lo itu, masa suami minta gitu nggak dikasih? Padahal kan lumrah kalau kita sebagai suami minta dilayani soal ranjang." "Nah kan? Giliran jajan di luar dia marah. Tapi pas suami butuh, dia nggak bisa." Jean terlihat kesal. Wajahnya sudah tidak enak sejak semalam. Yah maklum, itu karena dia gagal menyalurkan hasratnya. "Coba deh lo bicarain baik-baik ke Elisha. Gimana pun juga itu kan kebutuhan kita sebagai suami istri. Ya masa, cuma gara-gara capek kita dianggurin gitu aj
"Nasinya mau berapa banyak Pak?" Nilam memandangi tuannya yang tampak tertegun saat ia bertanya demikian. Dan bagi Jean, itu cukup mengejutkan baginya sebab setelah beberapa waktu terakhir ada seseorang yang mau repot-repot menuangkan nasi untuknya. Yang bahkan, Elisha saja tidak mau melakukan itu untuknya. "Pak? Bapak kenapa? Kok malah ngelamun?" "Eh— enggak. Ini lho, aku—" Jean garuk-garuk kepala seperti orang linglung. "Nasinya mau berapa banyak Pak?" ulang Nilam lagi. "Segini cukup?" tanyanya sambil menunjukkan nasi yang sudah dia tuang ke atas piring. "Udah," jawab Jean singkat. "Lauknya Pak, silahkan ambil sendiri!" Nilam menaruh piring di depan dada Jean. Sementara dia membantu majikannya tersebut untuk membuka tudung saji supaya pria itu dapat mengambil lauknya dengan sepuas hati. "Gimana Pak? Enak nggak?" Perempuan seksi dengan balutan T-shirt dan rok berbentuk A-line bermotif batik itu menatap tuannya penuh harap. Yah, berharap Jean memuji masakan yang telah di
Di tempat berbeda, Nilam sedang sibuk menelepon Nana sambil menatap layar laptopnya. Di hadapannya, beberapa undangan pernikahan sudah tertata rapi, siap untuk dikirimkan."Aku bakal nikah bulan depan, Na!" seru Nilam dengan nada ceria.Dari seberang telepon, Nana menghela napas panjang sebelum menjawab, "Apa? Nikah?""Iyaa. Aku mau nikah.""Sama siapa? Jean?"Perempuan itu tersenyum malu-malu sambil memainkan pulpennya. "Iyalah. Emangnya sama siapa lagi?""Kayak baru kemarin kamu balikan lagi ama Jean. Sekarang udah siap nikah aja?"Nilam tertawa kecil. "Ya mau gimana lagi? Kita udah lama bareng. Pak Jean bilang gak ada alasan buat nunda-nunda lagi. Lagipula, semua persiapan udah beres. Tinggal sebar undangan aja.""Akhirnyaaa...." Terdengar helaan nafas panjang dari line seberang. "Sumpah aku lega banget dengernya. Setelah sekian lama dan setelah mengalami banyak cobaan, akhirnya kamu dan Jean nikah juga."Nilam tersenyum kecil, merasa senang tapi juga sedikit malu saat mendengar uc
Devi mendengus. "Duh, peka dikit dong Elisha. Dia kayaknya na—"Elisha mendesah. "Kamu gak capek ngomong gitu terus?"Devi langsung menutup mulutnya dengan rapat. Kalimat Elisha barusan memang terdengar biasa saja. Tapi nada bicaranya yang dalam dan sedikit menusuk itu membuatnya agak merinding."Jujur saja aku udah gak tertarik berhubungan sama laki-laki."Hah? Devi kaget. "Maksudnya?""Maksudnya... Aku mending single aja, Dev. Fokus sama anak dan masa depan daripada punya hubungan sama cowok yang ujung-ujungnya cuma bikin aku kecewa dan salah jalan lagi." Saat berkata seperti itu tatapan Elisha nampak menerawang jauh.Memori tentang masa lalunya dengan Jean dan Dikta selama ini, memberikan goresan trauma dalam dadanya. Selain membuat ia jadi salah jalan, ia juga mengacaukan semua impiannya hanya karena ambisinya pada laki-laki."Semangat ya Elisha." Devi menepuk pundak rekannya itu. "Aku harap suatu hari nanti kamu bisa mengubur semua trauma kamu dan hidup bahagia sama pria yang kam
"Kalau sebaliknya gimana?"Devi mengangkat alis, menatap Elisha dengan penasaran. "Maksud kamu, kalau Jean sengaja ngejauhkan Qila dari kamu?" Elisha menggigit bibirnya, matanya menerawang jauh. "Aku gak tahu. Tapi selama tiga tahun ini, aku selalu ngerasa ada jarak. Bukan cuma karena aku di sini, tapi... aku takut dia gak mau Qila inget aku lagi. Apalagi setelah apa yang aku lakukan selama ini ke Jean."Devi tertawa kecil, bukan untuk mengejek, tapi lebih kepada ketidakpercayaannya. "Elisha, kita ngomongin Jean di sini. Mantan suami kamu. Ayah dari anak kamu. Kamu pikir dia bisa sejahat itu?" Elisha menghela napas, ragu-ragu. "Aku gak bilang dia jahat, tapi aku juga sadar diri sama kesalahan yang aku perbuat. Siapa tau dia melampiaskan semua kemarahannya dengan mendoktrin Qila buat benci sama aku."Devi menatap Elisha dengan lekat, lalu menghela napas. "Lis, kamu sadar gak sih? Dari tadi kamu cuma nyalahin diri sendiri dan ngebayangin skenario paling buruk. Emang sih, kamu udah n
Sinar matahari pagi menyapu halaman panti asuhan, memberikan kehangatan yang lembut pada bangunan sederhana itu. Di teras depan, beberapa anak-anak berlarian riang, sementara di dalam, suasana lebih tenang namun penuh semangat. Elisha berdiri di depan kelas kecil, mengenakan seragam biru muda yang menjadi tanda bahwa ia sedang menjalani program asimilasi. Program ini memungkinkan narapidana dengan perilaku baik untuk beradaptasi dengan kehidupan di luar lapas sebelum benar-benar bebas. Dalam masa asimilasi ini, mereka diberikan kesempatan untuk bekerja atau melakukan kegiatan sosial di luar lapas, namun tetap dalam pengawasan petugas. Tujuannya adalah agar mereka dapat kembali ke masyarakat dengan lebih mudah dan mengurangi risiko kembali melakukan pelanggaran hukum. Bersama beberapa rekannya, Elisha mendapatkan tugas mengajar anak-anak di panti asuhan ini. Hari ini, ia bertanggung jawab mengajarkan membaca dan menulis untuk anak-anak usia dini. "Baik, adik-adik," kata Elisha de
Setelah mobil Jean berhenti di depan rumah, Nilam melepas seatbelt dan menghela napas. Hari ini benar-benar melelahkan, tapi juga menyenangkan. "Kamu gak mau mampir dulu?" tanya Nilam saat Jean membukakan pintu mobil untuknya. Jean tersenyum kecil. "Aku ikut masuk sebentar, tapi gak lama, ya. Aku harus pulang cepet, kasian Qila nungguin." Nilam mengangguk. Lalu mereka berjalan berdampingan menuju pintu rumah. Begitu masuk, mereka langsung disambut oleh Bu Mala yang sedang duduk santai di ruang tengah dengan secangkir teh di tangannya. "Oh, kalian sudah pulang," kata Bu Mala sambil tersenyum. Matanya bergantian menatap Nilam dan Jean dengan penuh arti. "Udah, Ma," jawab Nilam sambil berjalan ke arah sang Mama. "Hari ini capek banget." Dengan manjanya, Nilam langsung menjatuhkan kepalanya di bahu Bu Mala.Sementara Jean mengikuti Nilam dan duduk berseberangan dengan mereka."Capek kenapa?" tanya Bu Mala penasaran."Pulang kantor tadi kita langsung fitting baju pengantin Ma. A
"Ahh..." Jantung Nilam berdegup lebih cepat. "Pak..."Jean tersenyum kecil mendengar panggilan itu. "Kamu masih manggil aku 'Pak' dalam situasi seperti ini?" suaranya terdengar serak, mengandung sesuatu yang lebih dalam dari sekadar godaan.Nilam tidak menjawab. Ia bahkan nyaris lupa cara bernapas saat Jean tiba-tiba menunduk, mendekatkan wajahnya ke tengkuknya yang terbuka.Dan tanpa peringatan, ia mengecupnya. Sebuah ciuman lembut yang hanya berlangsung beberapa detik, tapi cukup untuk membuat Nilam tersentak. Bibir Jean menyentuh kulitnya dengan penuh kehati-hatian, seolah takut kalau ia terlalu kasar, Nilam akan menghilang begitu saja. Nilam menutup mata, merasakan sensasi aneh yang menggelitik seluruh sarafnya. Hangat. Lembut. Dan di atas segalanya, begitu intim. "Pak Jean..." suaranya keluar seperti bisikan. "Mmn..."Jean tersenyum kecil, tidak terburu-buru untuk menjauh. "Aku suka melihat kamu seperti ini," gumamnya, suaranya begitu dekat dengan telinganya. "Begitu canti
Jean mendekat, menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Kamu..." Nilam mengangkat alis, menunggu kelanjutannya. "Aku apa?" Jean menarik napas pelan, lalu tersenyum lembut. "Kamu luar biasa cantik." Pipi Nilam langsung terasa panas. "Jangan gombal, Pak. Udah gak mempan." "Tapi kali ini beda," jawab Jean serius. "Ngeliat kamu pake gaun ini, aku makin gak sabar buat nikahin kamu." Nilam menunduk, berusaha menyembunyikan senyum malunya. Sementara itu, Nayya yang melihat interaksi mereka hanya bisa tertawa kecil. "Kalau gitu, kita langsung lanjut fitting jas Jean ya?" kata Nayya akhirnya. Jean mengangguk, lalu masuk ke ruang fitting. Tak butuh waktu lama, ia keluar dengan setelan jas berwarna hitam elegan yang pas membentuk tubuhnya. Sekarang giliran Nilam yang terdiam. Matanya menelusuri sosok Jean yang tampak begitu gagah dengan setelan itu. "Wow..." gumamnya tanpa sadar. Jean menaikkan sebelah alis, menahan senyum. "Aku ganteng kan?"Nilam berdeham pelan, be
“Rahasia,” balas Nilam sambil tersenyum jahil.“Jangan gitu iiih! Kita kan bestie, ayo cerita ada apa?” Rina melipat tangan di dada, menatap Nilam penuh harap."Tapi ini emang masih rahasia Mba."Rina semakin mendekat, menatap Nilam dengan mata yang hampir menyipit. “Halah, kamu jangan gitu ama temen sendiri. Masa kamu sama Pak Jean janjian gak masuk, terus sekarang datang dengan aura beda gini? Pasti ada sesuatu kan? Gak usah ditutupin deh!"Nilam hanya terkekeh kecil, memainkan ujung blouse-nya dengan ekspresi penuh teka-teki. “Pokoknya, sabar ya. Sebulan lagi, aku bakal kasih berita besar buat kalian semua.” “Berita besar apa?!” Rina hampir saja berteriak kalau saja mereka tidak sedang di kantor."Kan aku bilang tunggu dulu sebulan lagi."“Gak bisa gitu, Nilam! Aku kan kepo, plis dong kasih bocoran dikit aja. Sebulan itu kelamaan!"Nilam menggeleng, masih dengan senyum misteriusnya. “Nanti juga kamu tahu, Mba Rin. Kuncinya adalah sabar."Belum sempat Rina merengek lebih lanjut, T
"Dikta..." "Kamu cukup kasih info aja Talita," sela Dikta sebelum perempuan itu selesai bicara. "Biar aku yang urus semuanya." Talita menghela napas panjang, menatap Dikta dengan ekspresi penuh pertimbangan. "Dikta, serius, aku beneran takut kamu bertindak gegabah." Dikta menyilangkan tangan di depan dada, ekspresinya masih dingin. "Aku gak gegabah, Talita. Aku udah mikirin ini baik-baik. Percaya sama aku." Talita tahu ketika Dikta sudah berbicara dengan nada seperti ini, tidak ada gunanya lagi berdebat. Pria itu keras kepala, dan dendamnya terhadap Jean sudah terlalu dalam untuk dicegah. "Jadi kamu tetap mau lanjutin rencana kamu?" Dikta menyeringai tipis. "Tentu saja." Talita menghela napas berat, lalu bersandar ke kursi. "Baiklah. Aku gak bisa mengubah keputusanmu, kan?" Dikta menggeleng. Talita terdiam sejenak, menatap pria di depannya dengan tatapan penuh arti. "Kalau rencana kamu ini gagal, kamu siap menanggung akibatnya?" "Aku gak akan gagal." Talita menggele