"Nilam." Nama itulah yang keluar dari bibir Elisha. "Ini Nilam, Pak. Aku yakin banget. Wajah dan cara dia tersenyum mirip banget dengan mantan pembantuku."
Elisha mengamati foto tersebut dengan ekspresi tak percaya. Bagaimana mungkin, pembantunya yang terbiasa berpenampilan kumal dan biasa saja, berubah menjadi putri yang cantik dan anggun seperti ini."Aku pikir, dia memang gadis yang kamu maksud, Sha," balas Dikta sambil mengangguk-anggukan kepalanya."Kenapa kamu bisa ketemu dia? Dan apa yang dia lakukan di sana?" tanya Elisha dengan nada khawatir. Entah kenapa, hatinya merasa was-was karena hal ini."Foto itu diambil saat pesta ulang tahun Mamaku tempo hari. Dan ternyata, Nilam ini anak salah satu teman Mama."Elisha masih diam. Ia menunggu sosok di sebelahnya ini menyelesaikan kalimatnya."Mama juga bilang, kalau kita dulu sempat tetanggan sebelum akhirnya aku pindah rumah. Jadi, wajar saja kalau aku merasa nama Nilam sepertNilam melihat ke arah Jean yang sedang menyodorkan sebuah hadiah untuknya. Gadis yang tadinya sempat down karena perasaannya diombang-ambing oleh Jean, kini terlihat melebarkan kembali senyumnya.Siapa yang tidak senang kalau dikasih hadiah. Ya kan?"Buatku kak?"Jean mengangguk. "Kemarin Qila minta tolong padaku buat ngasih ini ke kamu."Wajah Nilam kembali lesu. Semangatnya menguar hilang entah ke mana. Hari ini Jean membuat batinnya seperti naik roller coaster. Naik turun nggak jelas. "Kirain kamu yang beli.""Emang apa bedanya?"'Jelas beda lah! Walaupun aku suka keduanya, tapi kalau hadiah dari kamu, jelas bakal beda,' rutuk Nilam dalam hati."Boleh dibuka nggak?" tanya Nilam mengalihkan pembicaraan."Boleh aja."Tanpa pikir panjang, Nilam langsung membuka kado pemberian Qila. Dia sudah penasaran dengan apa isinya. "Boneka?" seru Nilam tak percaya. Wajahnya langsung sumringah saat melihat boneka be
"Emang apa yang aku lakuin?" "Harusnya kakak nggak usah ngeluarin banyak uang buat hal yang nggak perlu gini, Kak. Kan kakak bisa tabung uangnya." "Aku udah janji buat traktir kamu, Nilam." "Tapi popcorn-nya kan nggak harus, kak. Aku bisa kok bayar pakai uangku sendiri." "Uang dari mana? Kan kamu nggak kerja?" ucap Jean. "Uang itu bisa kamu simpan buat kebutuhan sehari-hari, Nilam." Nilam memandangi popcorn di tangannya dengan wajah cemberut. "Tapi kak Jean kan juga sama. Kebutuhan kakak juga lebih banyak kan dariku? Atau— kakak juga bisa pakai uang ini buat traktir Mbak Qila. Kakak juga bisa beli makanan enak buat diri kakak sendiri kan—" Jean berhenti di depan Nilam. Ia pandangi gadis itu dengan kedua manik hitamnya yang menyorot penuh kehangatan. "Anggap aja itu sebagai rasa terima kasihku ke kamu Nilam. Soalnya kamu udah bantuin aku cari kos, bantuin cari kerja, sering bawa makanan pas aku
'Mati aku!' rutuk gadis itu dalam hati. Bisa-bisanya ia bertemu dengan mantan pelanggannya di waktu yang sangat tidak tepat begini. "A- anda salah orang.""Enggak. Aku yakin kamu orangnya. Aku masih inget banget wajah cantik kamu," ucap pria itu lagi.Nilam menutupi wajahnya dengan jaket milik Jean. Ia berusaha untuk menghindar dari pria tersebut. "A-aku yakin bapak salah orang. Aku nggak pernah datang ke tempat kayak gitu.""Aku yakin sekali kamu orangnya. Meskipun cuma bertemu satu kali, aku nggak bisa lupain gimana servis kamu malam itu."Nilam makin gelisah. Ia ingin pergi dari hadapan pria itu agar Jean tidak mengetahui masa lalunya. Tapi sayangnya, pria tersebut justru menghalangi pergerakannya."Minggir!""Kamu mau ke mana?""Itu bukan urusan anda.""Apa kamu lagi nemenin pelanggan kamu lainnya?"Nilam tersentak kaget. Rasanya ia ingin sekali menyumpal mulut pria itu agar tidak bicara keras-keras
Dua bulan kemudian..."Aaaaakkh! Gilaaa! Gue stres banget, Nilaaam!"Nilam auto mengorek kupingnya, saat Nana berteriak heboh tepat ketika dosen meninggalkan kelas mereka."Sumpah, gue benci banget ama Psikometri, Statistika. Huuh! Gue heran kenapa hitung-hitungan masih aja dibutuhin di dunia psikologi? Kenapa coba? Kenapa?" seru Nana hiperbola. Ia benar-benar dibuat stres dengan mata kuliahnya akhir-akhir ini.Nilam juga sama pusingnya dengan Nana, tapi bedanya perempuan itu lebih santai dan tidak bersikap alay seperti Nana."Lo udah ada lokasi buat KKN nggak?"Nana menoleh ke arah Nilam dengan tampang yang cukup horor. Dengan dramatis perempuan itu berucap, "Bisa-bisanya lo nanyain soal KKN di saat gue masing puyeng gara-gara liat angka yang bejibun. Nggak ada hati nurani banget sih lo, Nilam?"Nilam menggaruk keningnya. Capek banget ngomong ama temannya yang super duper lebay ini. "Ya abisnya, bentar lagi kita ka
Nilam berdiri tak jauh dari coffee shop milik Mamanya. Ia memperhatikan jalan raya yang cukup lenggang sore ini. Sesuatu yang jarang terjadi di kota besar macam Jakarta.Gadis berambut panjang dengan jepit di dekat telinganya ini terpaksa menunggu di sana karena coffee shop sedikit ramai. Walaupun capek juga berdiri selama hampir 10 menit begini.Tapi, rasa letih Nilam seketika pudar saat sepasang telapak tangan menutupi kedua matanya dari belakang."Kak Jean!"Duda ganteng dengan seragam kerjanya yang khas itu, mengintip ke depan. Melihat wajah Nilam yang begitu pandai menebak. "Kok kamu tau ini aku?""Aroma parfum kamu itu khas banget kak. Dari jarak jauh pun udah bisa kecium," balas Nilam sambil tersenyum malu-malu. Bagaimana tidak, Jean makin lama semakin ganteng saja."Udah lama nunggunya?""Hm. Lumayan.""Maaf ya. Tadi pas mau absen, mendadak ada pesenan online lumayan banyak. Jadi, harus pending dulu deh
"Do'ain ya, supaya perilisan bukunya lancar.""Amiiin.""Do'ain juga, biar bukunya laku keras di pasaran!""Amin.""Kalau bukunya laku dan banyak peminat, kemungkinan buat terbitin buku selanjutnya bakal lebih banyak dan besar.""Amiiin.""Soalnya, aku butuh uang itu buat biaya pernikahan kita kelak."Nilam berhenti berjalan. Ia melepaskan genggaman tangan Jean yang sejak tadi berdiri di sisinya, dan menatap pria itu tanpa berkedip."Aku— nggak salah denger kan? Apa kamu bilang barusan kak? Pe- pernikahan kita?" Nilam mengulang ucapan Jean dengan sedikit terbata. Dia ingin memastikan kalau dia sedang tidak salah dengar atau sok kepedean.Jean mendekati Nilam yang berdiri beberapa langkah darinya. Ia membungkuk sedikit agar tinggi badannya sama dengan gadis 20 tahun itu."Kamu nggak salah denger kok. Aku— emang berencana buat nikahin kamu," jawab Jean tegas. Walaupun ia ingin sekali tertawa karena melihat wajah bengong Nilam yang begitu lucu menurutnya."Ni- nikah?" ucap Nilam lagi."K
"Oh, gitu ya. Kamu ngelamar di bagaian apa?""Konsultan."Jean kembali terperangah. Dia pikir Nilam akan mengambil posisi karyawan administrasi atau Office girls. Mengingat ijasah Nilam yang cuma SMA waktu melamar kerja di rumahnya dulu."Konsultan?""Eh— gimana ya kak? Aku emang ngajuin buat jadi posisi admin. Tapi di sini malah ditulis buat jadi konsultan. Makanya aku bingung," Nilam menunjuk ke arah hapenya. Menjelaskan dengan sedikit kebohongan agar Jean tidak curiga."Oh, gitu ya?" Jean mengangguk paham. "Yaudah, nggak usah khawatir. Kamu tinggal datang aja besok sesuai jadwal. Nanti kamu bisa tanya ke HRD posisi kamu di sana."Nilam mengangguk patah-patah."Ya udah. Ayo makan. Kita rayakan keberhasilan kita hari ini."Wajah khawatir Nilam beberapa saat yang lalu, jadi hilang karena semangat Jean barusan. "Iya kak."***"Apa?! Jean pengen nikahin elo?!"Senyum di bibir Nilam tidak kunjung pudar ketika ia menceritakan hal paling bahagia itu pada Nana temannya.Bahkan, Nana saja sa
"Mau mama bawain bekal?" tanya Bu Mala pada anaknya yang duduk tepat di sebelahnya. "Enggak ah Ma. Kayak bocah aja pakai bawa bekal." "Hari pertama kamu magang itu, bakal repot Nilam. Kamu kan harus adaptasi, belum lagi kamu nggak tau menu apa yang dijual di kantin. Jadi kan lebih enak bawa bekal." Nilam menggeleng. "Kalau gitu ya simpel aja Ma. Makan siangnya nunggu pulang magang." Mendengar jawaban putrinya, bu Mala langsung mendelik dengan wajah penuh ancaman. "Ngaco! Kalau maag kamu kambuh gimana?" "Ya tinggal minum obat maag," balas Nilam enteng. Dia sibuk mengoles selai nutella di atas rotinya. "Nggak! Nggak! Nggak!" Bu Mala berdiri dengan wajah tidak santai. "Pokoknya kamu harus bawa bekal. Titik. Mama nggak rela kalau kamu sampai sakit." Nilam yang melihat reaksi mamanya ini hanya bisa mengelus dada. Padahal dia sudah 20 tahun, tapi Mamanya selalu menganggapnya seperti bocah. "Hari ini dianter ama si Surya ya! Pulangnya juga! Mama mau denger cerita kamu pas pert
"Nilam!""Iya Bu? Kenapa?" "Kenapa? Coba jelasin padaku, kenapa bisa ada Jean di sini?" Nilam mengerutkan keningnya karena merasa aneh dengan pertanyaan Elisha tersebut. "Kan tadi dia udah bilang kalau hadir sebagai CEO Indojaya grup?" "Tapi di daftar tamu nggak ada nama dia, Nilam! Karena yang harusnya datang itu Pak Wijaya langsung! Bukan dia!" Nilam mengendikkan bahunya. "Kalau itu aku nggak tau Bu. Kenapa ibu nggak tanya langsung aja ke dia?" "Pak Wijaya sakit. Makanya dia mengirim Jean sebagai perwakilannya." Dikta yang baru selesai menelpon seseorang, muncul di antara Elisha dan Nilam hanya untuk menengahi pertengkaran mereka. "Apa? Tapi kok nggak ada konfirmasi sebelumnya?" tukas Elisha balik. "Ya mana aku tau? Aku kan bukan bagian dari perusahaan mereka," balas Dikta lagi. Sama seperti Elisha yang kesal karena kemunculan Jean, Dikta pun juga merasa demikian. Apal
"Selamat siang. Saya Mala, founder sekaligus CEO dari NM Group yang operasionalnya di bidang food and drink. Jadi...""Nilam! Itu nyokap lo kan?"Nilam yang sedang memperhatikan sang Mama yang berdiri di depan sebagai salah satu pembicara, langsung menoleh ke arah rekannya."Ehehehe. Iya." Nilam tersenyum canggung sambil memegangi belakang kepalanya."Wah, nyokap lo keren banget.""Iya nih. Ilmunya nggak main-main.""Bener. Walaupun single parent tapi perjuangannya nggak main-main, Nilam."Pujian-pujian yang disampaikan oleh rekan-rekannya itu tentu saja membuat Nilam makin kagum pada sang Mama. "Nyokap gue emang paling the best di dunia.""Gue jadi iri, pengen banget punya nyokap sekeren itu."Nilam terkekeh saat mendengar penuturan temannya itu. "Kalau lo mau nyokap sekeren nyokap gue, minimal lo harus rela nggak punya bokap sih.""Ish!" Perempuan itu langsung menepuk bahu Nilam. "Jokes lo se
"Namanya... Ayunda." Jean mergerjap. "Ayunda?" "Iya. Dia anak perempuan dari mantan istriku yang pertama." "Di mana aku bisa mencarinya?" Pak Wijaya berusaha untuk duduk lebih tegap untuk menunjuk ke arah lemari pakaiannya. "Di dalam lemari itu ada foto kenanganku dengan Ayu. Aku meletakkannya didalam kotak kecil yang terbuat dari kayu." Jean menganggukkan kepalanya dan mengikuti arahan Pak Wijaya untuk mengambil benda tersebut. Setelah menemukan benda yang dicari, ia langsung menyerahkan kotak itu pada si empunya. Pak Wijaya sendiri nampak memandangi kotak itu dengan mata menerawang. Banyak momen indah antara ia dan sang putri yang sengaja ia simpan di dalam sana. "Ini fotonya... Dia cantik kan?" Jean menerima lembaran kertas tersebut dari tangan Pak Wijaya yang sedikit gemerar. "Dia anak ke sayangku, Jean. Satu-satunya harta yang aku miliki di dunia," ucap Pria itu lagi.
"Mumpung semuanya belum terlambat, Nilam. Sebelum cinta kamu semakin besar, lebih baik kita akhiri aja.""Liat aku kak! Liat aku dan katakan kalau kamu emang beneran mau putus sama aku!" Nilam menangkap pipi Jean. Membuat wajah mereka berhadapan satu sama lain. "Aku tau kamu nggak mungkin kayak gini."Jean memasang ekspresi datarnya. Ia tatap Nilam dengan begitu intens seperti kemauan gadis itu. Siapa bilang ia tidak berani memandang langsung kedua manik indah Nilam?Beberapa detik berlalu, pandangan Nilam justru mulai buram karena air matanya. Entah kenapa ia merasa Jean sedang tidak main-main atas ucapannya."Kamu itu gadis yang baik. Kamu berhak dapat pasangan yang lebih pantas dariku.""Aku muak denger kalimat itu, kak," lirih Nilam dengan suara bergetar. Tenggorokannya terasa sakit karena berusaha untuk menahan tangis."Kamu harus percaya, kelak bakalan ada cowok yang bisa bikin kamu bahagia. Cowok yang sepadan sama kamu, co
"Gimana kabar kamu?"Nilam menggigit kecil bagian dalam bibirnya. Harusnya Jean tidak perlu bertanya begitu padanya. Karena sudah jelas, dia sedang tidak baik-baik saja."Buruk, kak." Nilam membalas dengan lesu."Oh.""Cuma 'oh' doang?" protes Nilam sedikit kecewa. "Lebih dari dua minggu kakak ngilang, nggak ngasih kabar, kepastian, ngeghosting anak orang selama itu dan tanggapan kakak cuma OH doang?" Nilam memiringkan duduknya, ia menatap Jean dengan raut tak percaya. "Aku hampir gila kak."Okey— air mata Nilam kembali keluar seperti kran. Mendadak dia jadi melow saat di depan Jean. Seperti bocah saja."Kamu kenapa nangis lagi?" balas Jean."Aku juga nggak tau kenapa air matanya keluar terus tiap ngomong ama kamu. Mungkin karena udah lama aku tahan." Nilam duduk di samping Jean dengan banyak tingkah. Padahal mereka sedang di jalan menuju ke rumah Nilam."Duduk yang bener Nilam! Kita lagi di mobil!" balas Jean s
Nilam berjalan mondar-mandir di area pintu keluar mall. Bukannya dia caper atau kurang kerjaan, tapi dia sengaja berdiri di sana karena sedang menunggu Jean.Yup, kali ini mereka harus bicara. Dia tidak mau digantung dengan ketidakpastian seperti sekarang."Kak Je—" Nilam menutup mulutnya. Dia bisa saja meneruskan panggilannya. Tapi sayangnya, saat melihat Qila, dia reflek merungkan niatnya. 'Enggak Nilam! Lo nggak boleh egois. Kalau lo buat keributan di sini, kasian nanti sama Qila.''Tahan Nilam! Tahan!'Gadis dengan rambut di ikat di belakang tengkuk itu memilih untuk menjauh dan mengawasi Jean dengan sembunyi-sembunyi.Gadis itu memperhatikan ketiga orang tersebut yang sibuk menata barang yang mereka beli dan memasukkannya ke bagasi. Ia mengintip Jean dari kejauhan dengan gaya lucu karena beberapa kali hampir ketahuan. "Kali ini, lo nggak akan gue lepasin kak," gumam Nilam pada dirinya sendiri.*Nilam itu super nekat kalau sudah ada kemauan. Apa yang jadi tujuannya, benar-benar h
"Kenapa baru sekarang?"Pertanyaan Elisha barusan membuat Jean kembali melirik ke arahnya."Kenapa nggak dari dulu kamu cari kerjaan yang tepat? Kenapa harus nunggu kita cerai dulu?""Emang penting bahas itu sekarang?" tukas Jean balik. "Bukannya kamu juga udah nyaman sama selingkuhan kamu.""Ya kalau kamu bisa nyukupin semua kebutuhanku dan Qila, mana mungkin dulu aku selingkuh." Elisha membalas sindiran Jean dengan kalimat barusan. Berharap Jean paham kalau dia turut andil dengan segala perbuatan yang dulu pernah ia lakukan."Anggap aja kita emang nggak jodoh," tutur Jean lagi. Sesekali pandangan matanya tertuju ke arah Qila yang sedang bermain dengan sangat riang tak jauh darinya.Elisha berdecak. Dia kadang tidak bisa memahami dengan betul isi kepala mantan suaminya ini."Oh ya, omong-omong soal Qila. Lain kali kalau mau ajak pergi jangan dadakan! Soalnya aku nggak bisa tiba-tiba ijin cuti gitu aja!""Ya harusnya kamu nggak perlu ikut kan? Toh, Qila pergi sama Papanya sendiri." Ia
"Ahh!" Nilam tersentak saat jari Dikta mulai menggerilya di area sensitifnya. Menggosok bibir kewanitaannya hingga membuat Nilam was-was."Di sini ada yang basah, Nilam."Gadis itu menggelengkan kepalanya. Menatap Dikta yang menyeringai puas ke arahnya."Kayaknya bagian ini minta dipuasin juga.""Diam! Jangan macam-macam lo!""Makanya, jangan cari gara-gara.""Di— Dikta jangan! Jangan! Aku mohon—" Nilam kian panik saat Dikta mulai melucuti dalamannya. Ia berusaha menutupi miliknya yang jadi pusat perhatian Dikta dengan tangannya. Tapi tentu saja, hal itu sama sekali tidak berpengaruh pada Dikta. Lelaki itu dengan mudah mencengkram kedua tangan Nilam dan menaruhnya di atas kepala.Rudal miliknya sudah siap menerobos masuk lubang surgawi milik Nilam. Tapi belum sempat itu terjadi, seseorang memanggil namanya dari arah luar."Pak! Pak Dikta! Pak Dikta!""PAK!!!!"Pemuda itu tersentak dari lamunann
"Kenapa baru sekarang?"Pertanyaan Elisha barusan membuat Jean kembali melirik ke arahnya."Kenapa nggak dari dulu kamu cari kerjaan yang tepat? Kenapa harus nunggu kita cerai dulu?""Emang penting bahas itu sekarang?" tukas Jean balik. "Bukannya kamu juga udah nyaman sama selingkuhan kamu.""Ya kalau kamu bisa nyukupin semua kebutuhanku dan Qila, mana mungkin dulu aku selingkuh." Elisha membalas sindiran Jean dengan kalimat barusan. Berharap Jean paham kalau dia turut andil dengan segala perbuatan yang dulu pernah ia lakukan."Anggap aja kita emang nggak jodoh," tutur Jean lagi. Sesekali pandangan matanya tertuju ke arah Qila yang sedang bermain dengan sangat riang tak jauh darinya.Elisha berdecak. Dia kadang tidak bisa memahami dengan betul isi kepala mantan suaminya ini."Oh ya, omong-omong soal Qila. Lain kali kalau mau ajak pergi jangan dadakan! Soalnya aku nggak bisa tiba-tiba ijin cuti gitu aja!""Ya har