"I— umpphhh..." Jean sudah tak waras. Dengan tiba-tiba ia maju dan membingkai pipi Nilam supaya ia dengan mudah meraup bibir ranum tersebut dan menciumnya.
Bahkan tanpa ragu, lidah Jean merangsek ke dalam rongga hangat Nilam dan mengajak indra pengecap sang ART bergulat dengan lidahnya.Nilam melepaskan selimut yang tadi dia pegang hingga tubuh berbalut tank top hitam tersebut kembali terpampang. Nilam beralih meremas bagian baju yang Jean kenakan sambil memejamkan matanya. Menikmati ciuman Jean yang tak beraturan. Membiarkan saliva keduanya berrukar satu sama lain."Enggak pahit tuh obatnya, malah manis banget." Jean menatap lekat ke arah Nilam yang sibuk mengatur nafasnya."Ba- bapak bisa aja. Pasti bapak modus kan pengen cium saya?""Ya emang kenapa kalau betul begitu?""Kan nggak boleh Pak! Bapak kan udah punya Bu Elisha.""Tapi Elisha kan nggak ada di sini. Di rumah ini sekarang cuma ada kamu sayaang." Jean menelusElisha melotot kaget saat Dikta menyodorkan tote bag itu untuk dirinya. "Tas mahal ini buatku, Pak?" tanyanya tak percaya."Iya. Buat hadiah karena rapat bulan lalu yang cukup suskes." Dikta membalas sambil tersenyum bangga."Tapi Pak, ini harganya mahal banget.""Itu pantas buat kamu Elisha."Elisha sedikit gemetaran saat membuka seharga 3 motor ini. Benda termahal yang pernah Dikta berikan padanya secara cuma-cuma."Ini berlebihan nggak sih Pak?" cicit Elisha dengan ragu. Ia bukannya tidak suka dengan hadiah dari Dikta. Memang wanita mana yang bisa menolak hadiah tas sebagus ini? Hanya saja—"Kenapa? Kamu nggak suka?" Dikta bertanya balik."Bukannya nggak suka Pak. Pegawai di sini kan sudah banyak yang curiga sama hubungan kita. Dan kalau tiba-tiba aku punya barang semahal ini, pasti mereka bakal makin curiga," terang Elisha. Mencoba memberi pengertian agar Dikta tak merasa tersinggung.Dikta bangun dari duduk
"Kurang ajar si Dita! Padahal aku udah nahan diri buat sabar sama kelakuannya. Tapi makin lama dia malah makin menjadi-jadi."Elisha masuk ke dalam mobilnya dengan ekspresi marah. Dia terus mengumpati Dita yang kian lama membuat yang lain ikut terpengaruh oleh hasutannya."Dari kemarin aku biarin dia terus cari gara-gara karena iba, tapi kali ini dia udah kelewatan karena bikin aku malu di hadapan yang lainnya."["Kalau orang itu udah kelewatan, kamu bilang aja sama aku. Biar aku pecat dia supaya nggak terus ngusik kamu."]Ia seketika teringat dengan kalimat yang diucapkan oleh Dikta. Rasanya ia ingin sekali menggunakan kesempatan itu untuk menyingkirkan Dita. Tapi Elisha sudah berjanji tidak akan membuat perempuan itu keluar dari perusahaan ini, kecuali Dita berani menyebarkan rumor itu di depan suaminya."Kamu harus tenang Elisha. Pokoknya kamu nggak perlu gegabah," ucap perempuan itu sembari menenangkan diri. "Okey, mending aku fokus b
"Nilam belum sembuh juga ya Mas? Padahal ini udah hari ke empat dia sakit.""Kemarin sih pas periksa dokter bilang dia kena gejala tipes. Tapi yang namanya sakit kayak gitu kan nggak bisa langsung aktifitas."Elisha menghela nafas panjang. Padabal hari minggu ini ia berniat santai tanpa harus ribet membuat makan malam, tapi karena ART-nya sakit, dia juga yang terpaksa turun tangan."Apa Nilam nggak betah ya Mas kerja ama kita?" tanya Elisha pada sang suami. "Makanya dia sampai sakit kayak gitu?"Jean yang mendengar ucapan istrinya langsung melongo. "Apa hubungannya nggak betah ama sakit Sha?""Ya mungkin aja dia kangen kumpul ama keluarga atau temen-temennya, terus nahan kangen sampai sakit," jawab Elisha. Apalagi Nilam itu kan masih muda, Mas. Mungkin dia merasa bosan karena 24 jam harus standby di rumah ini.""Enggak lah. Nilam kelihatan oke-oke aja kok ini selama ada di rumah ini. Ya Mungkin emang kondisi tubuhnya aja yang lag
Nilam menghela nafas pelan. Pria ini keras kepala sekali."Udah-udah, biar aku aja yang lanjut cuci piringnya. Kamu istirahat aja sana!" Jean mengambil alih piring yang Nilam pegang dan membawanya ke wastafel."Jangan Pak! Ini kan udah tugas saya." Nilam menghampiri bosnya. Mana bisa dia santai-santai sementara Jean mengerjakan itu semua."Udah, nggak apa! Kamu balik aja ke kamar. Timbang cuci piring doang, aku juga bisa."Nilam mengerutkan keningnya. Ia menggigit bibir bawahnya karena Jean memaksanya untuk kembali ke kamar."Udah nggak apa Nilam. Santai aja kamu kalau ama aku.""Tapi saya nggak enak ama Bu Elisha.""Aduh, udah deh! Kamu fokus aja ama ke—""Apa ada Mas? Kok dari tadi aku dengar kalian ribut banget?"Nilam maupun Jean langsung menjaga jarak ketika Elisha datang ke dapur."Ini Bu, Pak Jean. Masa saya mau beres ini semua nggak dibolehin," jawab Nilam cepat."Ya soalnya ka
Elisha reflek menelan ludah. Dia menatap suaminya dengan perasaan tak menentu. "Nggak mungkinlah aku selingkuh ama atasan," elaknya."Tapi kamu kan punya bos ganteng. Apalagi gosip di luar sana sering menyebut kalau sekertaris itu juga bisa jadi selingkuhan si Bos.""Mas ngomong apa sih? Kan nggak mungkin aku ngelakuin hal kayak gitu," ujarnya dengan nada merajuk."Nah sama! Aku juga nggak mungkin ngelakuin hal aneh-aneh, Sha." Jean menatap tajam ke arah istrinya. "Jadi please ya Sha! Kita jangan saling tuduh lagi kayak gitu. Mending kita fokus ama pekerjaan dan saling percaya aja. Yang kayak-kayak gini cuma bikin kita berantem doang."Elisha menganggukkan kepalanya. Ia langsung memeluk suaminya sambil meminta maaf. Perempuan itu berjanji untuk tidak lagi menuduh Jean sembarangan.'Aku lega kalau kamu masih mau percaya sama aku, Mas. Tapi maaf, aku udah melanggar kepercayaan kita, aku selingkuh sama Bos kita Mas. Aku yang jahat di sini.'
Keesokan harinya, suasana di rumah Jean terasa sepi. Dan itu wajar, karena si penghuni rumah sudah sibuk di kantor. Dan Qila juga sedang berada di sekolah. Lalu Jean?Seperti biasanya, Jean sibuk di depan laptop untuk melakukan pekerjaanya. Di temani secangkir kopi dan biskuit untuk cemilan.Saat sedang asik menggarap novelnya, tiba-tiba seorang kurir paket datang."Permisi, paket Pak."Jean berdiri lalu menghampiri kurir tersebut. "Buat siapa?" tanyanya."Mbak Nilam."Alis Jean berkerut. "Nilam? Kapan dia pesennya.""Ini Pak, paketnya. Saya permisi dulu."Bapak satu anak itu hanya mengganggukan kepalanya, sambil memperhatikan paket yang sepertinya berisi pakaian. Tanpa banyak berpikir, Jean pun masuk ke dalam dan menyerahkan benda tersebut kepada sang pembantu.Nilam tampak girang ketika menerima paket tersebut dari si Bos. "Makasih ya Pak, udah bawa masuk paketnya.""Isinya apa?" Iseng Jean b
Sementara itu di kantin tempat Elisha bekerja. Terlihat istri sah Jean tersebut sedang mengobrol seru dengan kedua temannya sambil melihat beberapa model jam tangan di platform jual beli."Eh, jam ini bagus nggak?" Elisha menunjuk sebuah jam tangan pria kepada kedua orang temannya."Bagus Sha. Emang kamu mau beli itu buat siapa?""Buat Mas Jean lah, siapa lagi emangnya.""Wah. Keren kamu Sha. Itu jam mahal lho." Sahut teman Elisha yang lain. Melihat harga jam di atas dua digit membuat ia reflek geleng-geleng kepala."Hm. Emang agak mahal, tapi sesekali nggak masalah deh kayaknya," balas Elisha santai."Dalam rangka apa kamu ngasih hadiah ke suami?""Jadi, weekend nanti kita mau ngerayain anniversary pernikahanku sama Mas Jean.""Waaah, selamat ya Sha," ucap kedua orang yang duduk di depan Elisha itu dengan kompaknya.Elisha tersenyum bahagia. "Makasih ya.""Kalian nggak ada rencana buat makan m
"Gini aja, gimana kalau kamu tetap ikut sama aku. Tapi setelah rapat penting sama Mr. Smith kamu bisa pulang lebih awal? Jadi kan— kamu bisa tetep makan malam sama suami kamu."Tawaran Dikta itu terdengar lebih baik di telinga Elisha. Karena tidak memberatkan satu sisi saja."Sebenarnya, setelah meeting kita harus makan malam juga sama Mr Smith, tapi kalau soal itu biar aku yang handel. Toh perjalanan Jakarta-Bali kan cuma 2 jam. Jadi cukup dong buat kamu ke restoran tempat kamu sama suami dinner?" ucap Dikta lagi."Beneran bisa kayak gitu ya Pak?" Elisha menatap bosnya dengan ekspresi muka yang sedikit ragu. "Soalnya aku takut ada hal-hal yang menghambat gitu, makanya aku sedikit ragu."Dikta berdiri dari duduknya lalu menghampiri perempuan yang bukannya hanya jadi sekertarisnya, tapi juga sudah menjadi teman tidurnya ini. "Nggak usah khawatir Elisha, semuanya pasti bakal berjalan lancar sesuai jadwal."Elisha memejamkan mata efek kegeli
Sebulan kemudian, Jean memberanikan diri untuk mendatangi Bu Mala dan sekaligus menjenguk Nilam. Dia tidak yakin akan disambut baik oleh Bu Mala, tapi setidaknya dia harus datang untuk menyampaikan sesuatu.Dan kini, keduanya duduk di bangku depan ruangan Nilam. Mereka duduk bersebelahan dan mengobrol di sana. Saling bertanya kabar. Saling mengucapkan maaf, dan beberapa hal penting lainnya."Aku tau ini pasti berat sekali buat kamu kan?" Itulah kira-kira yang Bu Mala ucapkan pertama kali setelah mendengar gagasan Jean mengenai hal apa yang selanjutnya akan dia lakukan."Saya pikir, ini yang terbaik buat kita semua Tante. Buat, Nilam, Qila, dan saya." Jean menatap lawan bicaranya tanpa ragu sedikitpun. "Lagi pula saya sedikit khawatir tidak bisa menjalankan amanat yang tante berikan."Bu Mala menghela nafas panjang. Dia tau Jean mungkin masih sakit hati dengan perkataannya dulu. Tapi apa yang dia ucapkan itu berdasarkan fakta, walau terasa sangat m
"Di mana Elisha sekarang?""Aku ga tau.""Berapa lama kamu bakal nyembunyiin keberadaannya? Kamu ga takut bakal di hukum berat karena nyembunyiin dia?!"Dikta melihat beberapa penyidik yang duduk di depannya. Hampir semalaman dia berada disebuah ruangan interogasi guna menyelidiki di mana keberadaan Elisha, si pelaku utama."Mau ditanya berapa kali pun, jawabannya tetap sama. Aku ga tau di mana Elisha."Braak!Suara gebrakan meja yang cukup keras tak membuat nyali Dikta menciut. Dia sudah sering menghadapi orang-orang seperti mereka. Segala tekanan selama menjabat jadi CEO hampir mirip dengan kondisinya sekarang."Padahal semua bukti itu sudah jelas. Tapi kenapa kamu keras kepala sekali?" tukas polisi berpakaian preman tersebut. "Bahkan di mobil itu ada sidik jari Elisha di sana."Dikta berusaha untuk tetap memasang raut tenangnya. Dia tidak mau goyah walaupun semua tuduhan itu tepat tertuju padanya."A
"Papa... Mana Mama?" Jean sedang menyiapkan sarapan untuk putrinya ketika gadis itu muncul dan berjalan menghampirinya di dapur. "Mama belum pulang ya Pa?"Duda tampan dengan celemek warna maroon di perutnya itu mendekati Qila yang baru bangun tidur dan memegangi bahunya. "Mama ada urusan penting sayang," jawab Jean lembut. "Jadi belum bisa pulang dalam waktu dekat.""Tapi urusan apa Pa? Kenapa sampai ada polisi juga?" tanya Qila lagi. Dia terlalu mengkhawatirkan sang mama sampai tidak menyadari jika papanya sendiri dalam kondisi penuh memar karena pertengkarann dengan Dikta."Mama harus pergi ke luar kota. Dan Papa sendiri juga ga tau kapan mama balik. Jadi— kamu sabar aja ya."Qila mulai terisak. Ia sedih sekali karena sang mama pergi tanpa pamit padanya. "Hiks... Hiks...""Sayang..." Jean memeluk Qila dan mengusap punggung kecil bocah 8 tahun tersebut. "Kamu jangan sedih. Kan, ada Papa di sini.""Qila maunya sama Mama, Pa. Qil
"Tunggu dulu, Dikta!" Jean menyergap pundak Dikta yang baru keluar dari mobilnya. "Kita harus bicara."Dikta menepis tangan Jean dari bahunya. Pria itu menoleh ke arah tamunya dengan wajah garang. "Gue capek. Gue mau istirahat.""Gue cuma mau waktu lo lima menit aja.""Lo nggak denger gue ngomong apa? Gue capek!" tekan Dikta di akhir kalimatnya. Dikta berbalik dan bersiap untuk pergi.Tapi belum sempat ia melangkah menjauh, Jean kembali buka suara. "Di mana Elisha. Elo kan yang bantuin dia kabur?"Dikta terkesiap. Tapi dia berusaha rileks dan bersikap santai. Seolah tidak terjadi apa-apa."Gue nggak tau.""Jangan bohong kamu!" tukas Jean dengan tegas. "Pihak kepolisian bilang kalau Elisha melarikan diri saat digiring ke kantor polisi. Dan gue yakin, orang yang bantuin dia lolos itu elo.""Cih! Emang dia siapa gue? Kenapa gue harus bantuin dia? Kurang kerjaan.""Dikta! Gue tau lo yang nolong Elisha. Dan
Serangan terakhir Dikta di perutnya membuat Elisha kembali batuk darah. Wanita itu tidak bisa melakukan perlawanan apapun kecuali meratapi nasibnya.Bayang-bayang senyum cerah Qila di meja makan tadi, membuat air matanya menetes perlahan.Qila... Maafin Mama Nak... Maafin Mama karena udah terlalu rakus sebagai manusia. Maafin Mama karena nggak bisa jagain kamu lebih lama..."Mati lo Sha! Sana pergi aja ke neraka! Itu tempat yang lebih cocok buat lo dibandingkan mendekam di penjara."Mas... Jean... Maafin aku Mas... Aku— bukan istri yang baik selama ini. Aku wanita egois. A-aku ibu yang bodoh, Mas.Mas Jean... A-aku percaya... aku percaya kamu bisa jaga Qila dengan baik sampai dia dewasa. A-aku tau Qila bakal bahagia jika tumbuh bersama Papa yang baik seperti kamu, Mas.Nafas Elisha kian melemah. Matanya terpejam erat sementara kepalanya kian berat.Nilam... Maafin aku... Maafin aku Nilam. Maaf aku udah terlalu jahat sama
"Kali ini lo bakal habis di tangan gue, Sha. Gue udah muak banget ama tingkah laku, lo!"Siapa yang tidak gemetaran ketika ada seseorang berkata seperti itu dengan wajah mengancam. Ekspresi wajah Dikta sudah seperti malaikat pencabut nyawa. Yang seakan sudah siap menghabisi nyawanya."K- kamu ngomong apa sih? Kamu cuma gertak aja kan?" Sambil mundur ke belakang, Elisha coba bertanya demikian. Jantungnya sudah berdegup kencang ditambah sorot mata tajam Dikta yang seolah serius dengan ucapannya.Dikta menyeringai. Wajah ketakutan Elisha membuat darahnya berdesir penuh semangat. Adrenalinenya seperti terpacu melihat keringat dingin membasahi wajah wanita itu."Kenapa? Lo takut sekarang?" desis Dikta. "Mana nyali lo tadi, hah? Mana gertakan lo tadi, Sha? Kenapa sekarang lo menciut gini?"Elisha tak bisa berbicara. Ia hanya menelan ludah beberapa kali ketika Dikta mencengkram wajahnya dengan satu tangan. Dan jujur, itu membuat rahangnya sakit."Jangan macam-macam Dikta!""Kenapa? Sekarang
"Hm?" Nana mengerutkan keningnya. "Maksudnya?""Tante nyuruh Jean putus sama Nilam, Na," aku Bu Mala. "Tante pikir, Jean itu cuma pembawa sial dan nggak bisa tegas ama masa lalunya. Makanya Tante minta dia buat jauhin Nilam."Nana menjilat bibir bawahnya. Sekarang dia paham kenapa Jean pamit dan menyuruhnya untuk menjaga Nilam selama dia pergi."Emang kurang ajar banget si Elisha sama Dikta. Mereka itu beneran kayak ular berbisa." Bu Mala terlihat mengumpat kesal karena kelakuan dua orang itu."Rasanya Tante pengen temuin mereka terus ngelabrak Elisha. Mereka bikin Tante emosi," umpat Bu Mala."Itu nggak perlu kok, Tante.""Hem?""Jean lagi bekerja buat bongkar semua kebusukan mantan istrinya itu."Bu Mala kian lesu ketika mendengar ucapan Nana. "Yang bener kamu?""Iya, Tante. Terakhir kali aku dapat info kalau pelaku penabrakan Nilam udah ketangkep. Dan ternyata pelakunya itu orang suruhan Elisha." Nana memang tau semuanya. Jean menganggap Nana sebagai orang yang bisa dia andalkan. K
Di mobil polisi, Elisha terus menerus memantau keadaan. Ia menunggu bantuan Dikta datang untuk menolongnya bebas dari tuduhan. Tapi setelah 30 menit ia meninggalkan SPBU, ia tidak melihat tanda kemunculan dikta di sekitarnya.'Apa Dikta bohong ya?''Jangan-jangan dia nggak mau nolongin aku?'Pikiran Elisha mulai kacau. Dia begitu kesal karena sang Bos sudah tega mengabaikan dirinya.'Lihat aja si Dikta. Kalau sampai malam ini dia nggak muncul, aku jamin semua rahasia miliknya akan terbongkar secepatnya.' Wanita 29 tahun itu sudah menyiapkan begitu banyak ancang-ancang untuk menyerang bosnya. Dia tidak rela kalau harus mendekam di tahanan seorang diri.'Aku harus bagaimana? Dikta— beneran nggak bisa diandalkan.''Sumpah ya! Aku bakal bilang ke pihak berwajib kalo dia juga turut andil atas kecelakaan Nilam. Biarin aja dia tau rasa.'Disaat Elisha sedang menyusun rencana, tiba-tiba terdengar suara decitan yang cukup nyaring. Disusul dengan suara brak yang keras tak jauh di depan sana.Ke
Elisha di giring ke mobil polisi. Dia di paksa masuk ke dalam dengan tangan di borgol ke depan. Wanita itu tidak banyak bicara dan terus menunduk. Otaknya terus bekerja memikirkan cara untuk bisa menelfon Dikta. Sementara hatinya harus kuat dengan tidak menengok ke arah Qila yang memanggil namanya.'Aku harus cari cara supaya bisa telfon Dikta. Aku nggak mau masuk penjara. Aku nggak mau mendekam di sana.'Perempuan itu menatap jalanan di depannya. Ia benar-benar tak bisa berkutik karena diapit oleh dua petugas kepolisian. 'Seenggaknya, kalau aku emang harus jadi tersangka, Dikta harus bantuin aku cari pengacara terbaik. Pokoknya aku harus bebas.'Selama 30 menit perjalanan, Elisha tidak banyak berbicara. Dia sibuk berpikir untuk meloloskan diri. Sampai akhirnya..."Pak!""Kenapa?""P-perut saya sakit banget. Kita boleh nggak mampir ke toilet dulu?""Toilet? Enggak-enggak! Pasti itu alasan kamu aja kan supaya bisa cari cela buat kabur?"Elisha masih berusaha tenang meskipun rencananya