Elisha reflek menelan ludah. Dia menatap suaminya dengan perasaan tak menentu. "Nggak mungkinlah aku selingkuh ama atasan," elaknya.
"Tapi kamu kan punya bos ganteng. Apalagi gosip di luar sana sering menyebut kalau sekertaris itu juga bisa jadi selingkuhan si Bos.""Mas ngomong apa sih? Kan nggak mungkin aku ngelakuin hal kayak gitu," ujarnya dengan nada merajuk."Nah sama! Aku juga nggak mungkin ngelakuin hal aneh-aneh, Sha." Jean menatap tajam ke arah istrinya. "Jadi please ya Sha! Kita jangan saling tuduh lagi kayak gitu. Mending kita fokus ama pekerjaan dan saling percaya aja. Yang kayak-kayak gini cuma bikin kita berantem doang."Elisha menganggukkan kepalanya. Ia langsung memeluk suaminya sambil meminta maaf. Perempuan itu berjanji untuk tidak lagi menuduh Jean sembarangan.'Aku lega kalau kamu masih mau percaya sama aku, Mas. Tapi maaf, aku udah melanggar kepercayaan kita, aku selingkuh sama Bos kita Mas. Aku yang jahat di sini.'Keesokan harinya, suasana di rumah Jean terasa sepi. Dan itu wajar, karena si penghuni rumah sudah sibuk di kantor. Dan Qila juga sedang berada di sekolah. Lalu Jean?Seperti biasanya, Jean sibuk di depan laptop untuk melakukan pekerjaanya. Di temani secangkir kopi dan biskuit untuk cemilan.Saat sedang asik menggarap novelnya, tiba-tiba seorang kurir paket datang."Permisi, paket Pak."Jean berdiri lalu menghampiri kurir tersebut. "Buat siapa?" tanyanya."Mbak Nilam."Alis Jean berkerut. "Nilam? Kapan dia pesennya.""Ini Pak, paketnya. Saya permisi dulu."Bapak satu anak itu hanya mengganggukan kepalanya, sambil memperhatikan paket yang sepertinya berisi pakaian. Tanpa banyak berpikir, Jean pun masuk ke dalam dan menyerahkan benda tersebut kepada sang pembantu.Nilam tampak girang ketika menerima paket tersebut dari si Bos. "Makasih ya Pak, udah bawa masuk paketnya.""Isinya apa?" Iseng Jean b
Sementara itu di kantin tempat Elisha bekerja. Terlihat istri sah Jean tersebut sedang mengobrol seru dengan kedua temannya sambil melihat beberapa model jam tangan di platform jual beli."Eh, jam ini bagus nggak?" Elisha menunjuk sebuah jam tangan pria kepada kedua orang temannya."Bagus Sha. Emang kamu mau beli itu buat siapa?""Buat Mas Jean lah, siapa lagi emangnya.""Wah. Keren kamu Sha. Itu jam mahal lho." Sahut teman Elisha yang lain. Melihat harga jam di atas dua digit membuat ia reflek geleng-geleng kepala."Hm. Emang agak mahal, tapi sesekali nggak masalah deh kayaknya," balas Elisha santai."Dalam rangka apa kamu ngasih hadiah ke suami?""Jadi, weekend nanti kita mau ngerayain anniversary pernikahanku sama Mas Jean.""Waaah, selamat ya Sha," ucap kedua orang yang duduk di depan Elisha itu dengan kompaknya.Elisha tersenyum bahagia. "Makasih ya.""Kalian nggak ada rencana buat makan m
"Gini aja, gimana kalau kamu tetap ikut sama aku. Tapi setelah rapat penting sama Mr. Smith kamu bisa pulang lebih awal? Jadi kan— kamu bisa tetep makan malam sama suami kamu."Tawaran Dikta itu terdengar lebih baik di telinga Elisha. Karena tidak memberatkan satu sisi saja."Sebenarnya, setelah meeting kita harus makan malam juga sama Mr Smith, tapi kalau soal itu biar aku yang handel. Toh perjalanan Jakarta-Bali kan cuma 2 jam. Jadi cukup dong buat kamu ke restoran tempat kamu sama suami dinner?" ucap Dikta lagi."Beneran bisa kayak gitu ya Pak?" Elisha menatap bosnya dengan ekspresi muka yang sedikit ragu. "Soalnya aku takut ada hal-hal yang menghambat gitu, makanya aku sedikit ragu."Dikta berdiri dari duduknya lalu menghampiri perempuan yang bukannya hanya jadi sekertarisnya, tapi juga sudah menjadi teman tidurnya ini. "Nggak usah khawatir Elisha, semuanya pasti bakal berjalan lancar sesuai jadwal."Elisha memejamkan mata efek kegeli
Jean membuka lemari Nilam. Mencari baju ganti yang cocok untuk perempuan itu. Lalu dengan hati-hati ia mulai melepaskan pakaian Nilam yang basah hingga meninggalkan bra dan celana dalamnya saja. "Aduh, ini gimana? Masa harus di lepasin semua? Terus kalau aku khilaf gimana?" Jean memejamkan matanya. Bukannya apa, melihat tubuh putih gak gitar spanyol dan cuma pakai bra doang, siapa yang nggak tertarik coba? Bahkan Jeanana sudah setinggi harapan orang tua sejak ia menggendong Nilam masuk ke sini. "Nilam, dari hari pertama kamu masuk sini, aku udah pengen perkosa kamu lho. Tapi aku tahan-tahan karena masih inget anak istri." "Tapi kamu ini lho, kenapa sih tiap hari bikin rudal punyaku ON? Jangankan cuma pakai dalaman kayak gini, kamu kedip aja aku udah 'bangun' lho Nilam." Sambil menggerutu Jean mendudukkan Nilam dan membuat tubuh perempuan itu bisa bersandar di dadanya. Soalnya susah juga kalau harus melepaskan ikatan bra Nil
"Mau cobain susu perawan nggak Pak?""Emm—" Jean mengatupkan bibirnya sambil mundur beberapa centi ketika Nilam menyodorkan nipple-nya ke depan mulut Jean."Bapak keliatan haus banget gitu?" Nilaaam? Emang boleh ya sebinal ini?" tanya bapak satu anak itu dengan wajah depresi. "Kalau aku beneran khilaf terus kamu nggak bisa jalan seharian karena aku terlalu nafsu gimana? Kamu siap?""Kalau belum dicoba, ya mana saya tau Pak." Nilam terus saja memancing birahi Jean. Padahal ayah kandung Qila itu berusaha untuk tidak tergoda."Nilaaam..." rengek Jean depresi. "Aku udah punya anak istri. Aku nggak mau aneh-aneh sama kamu, Nilam.""Ck! Bapak munafik." Nilam jengah juga. Dengan hati dongkol ia turun dari pangkuan Jean dan mundur dari dekat sang majikan."Maaf kemarin-kemarin aku udah ngelakuin hal yang aneh ke kamu. Tapi aku nggak ada maksud apapun, Nilam. Yang namanya manusia memang suka khilaf, apalagi aku yang otak mesumny
Malam harinya suasana di rumah Jean masih biasa saja seperti sebelumnya, tak ada yang spesial saat makan malam tersebut berlangsung, semua menyantap masakan buatan Nilam dengan santai seperti biasanya. Sesekali mereka mengobrol ringan mengenai apa saja yang terjadi seharian ini."Oh ya Mas, habis ini aku mau ngomong sesuatu ke kamu."Jean menoleh ke arah istrinya. Dia heran kenapa tiba-tiba Elisha ingin mengatakan sesuatu yang penting padanya. Bukannya apa, dia hanya khawatir kalau diam-diam Nilam mengadu ke istrinya perkara siang tadi."Emang kamu mau ngomong apa?""Nanti aja, Mas. Soalnya ini penting banget."Jean menjilat bibir bawahnya, perasaannya semakin tidak enak ketika Elisha berkata seperti itu. "Kamu bikin aku penasaran aja.""Hehehe. Udah Mas, makan aja dulu! Nanti juga tau."Sementara mereka sedang menikmati makan malam mereka. Berbeda dengan Nilam yang sedang duduk melamun di halaman belakang. Dia menatap l
"Pokoknya infoin aja di mana lokasi makan malam kita, dan jam berapa, oke Mas."Jean masih diam."Mas...""Oke-oke. Aku nggak batalin acara kita. Tapi— janji ya kamu harus datang. Soalnya, booking tempat kan nggak murah.""Kamu sih dibayarin nggak mau.""Bukannya nggak mau, tapi aku juga pengen buktiin kalau aku ini suami yang bertanggung jawab."Elisha tersenyum lebar mendengar ucapan suaminya. Dia lega karena berhasil membujuk pria itu. "Makasih ya Mas, buat pengertiannya.""Hm. Sama-sama Sha.""Ya udah, aku mau tidur ya. Ngantuk banget soalnya."Jean menganggukkan kepalanya. Ia menatap sang istri yang tidur dengan posisi memunggunginya. Ia menghela nafas lega setelah Elisha mengungkapkan isi hatinya. Ia pikir istrinya itu akan mengatakan sesuatu yang berhubungan dengan Nilam. Ternyata perkiraannya salah besar. Padahal dia sudah OVT sejak beberapa saat yang lalu.Pagi harinya, Jean terlihat a
"Sebenarnya, saya mau mengundurkan diri Bu." Tidak hanya Elisha saja yang terkejut oleh ucapan Nilam barusan, tapi Jean juga sama kagetnya dengan sang istri. "Lho— kok tiba-tiba gini sih Nilam?" tanya Elisha tak percaya. "Maaf Bu," cicit gadis itu. Matanya terus merunduk ke bawah, sama sekali tidak tertarik untuk melihat ke arah depan apalagi ke arah Jean. "Kamu nggak betah kerja di sini? Atau aku ada salah sama kamu?" Elisha kembali bertanya. Dia benar-benar tidak menyangka jika Nilam akan resign dari pekerjaannya. "Kita ini udah cocok lho ama kamu, Nilam. Qila juga suka banget ada kamu di sini." "Bener Mbak Nilam. Mbak Nilam kenapa harus resign?" tanya Qila dengan mata berkaca-kaca. Dia sampai tidak selera makan karena Nilam ucapan Nilam. "Enggak kok Bu, ibu sama mbak Qila nggak ada salah sama saya," balas Nilam dengan muka polosnya. "Terus kenapa kamu resign? Apa ada ucapan Ba
Sebulan kemudian, Jean memberanikan diri untuk mendatangi Bu Mala dan sekaligus menjenguk Nilam. Dia tidak yakin akan disambut baik oleh Bu Mala, tapi setidaknya dia harus datang untuk menyampaikan sesuatu.Dan kini, keduanya duduk di bangku depan ruangan Nilam. Mereka duduk bersebelahan dan mengobrol di sana. Saling bertanya kabar. Saling mengucapkan maaf, dan beberapa hal penting lainnya."Aku tau ini pasti berat sekali buat kamu kan?" Itulah kira-kira yang Bu Mala ucapkan pertama kali setelah mendengar gagasan Jean mengenai hal apa yang selanjutnya akan dia lakukan."Saya pikir, ini yang terbaik buat kita semua Tante. Buat, Nilam, Qila, dan saya." Jean menatap lawan bicaranya tanpa ragu sedikitpun. "Lagi pula saya sedikit khawatir tidak bisa menjalankan amanat yang tante berikan."Bu Mala menghela nafas panjang. Dia tau Jean mungkin masih sakit hati dengan perkataannya dulu. Tapi apa yang dia ucapkan itu berdasarkan fakta, walau terasa sangat m
"Di mana Elisha sekarang?""Aku ga tau.""Berapa lama kamu bakal nyembunyiin keberadaannya? Kamu ga takut bakal di hukum berat karena nyembunyiin dia?!"Dikta melihat beberapa penyidik yang duduk di depannya. Hampir semalaman dia berada disebuah ruangan interogasi guna menyelidiki di mana keberadaan Elisha, si pelaku utama."Mau ditanya berapa kali pun, jawabannya tetap sama. Aku ga tau di mana Elisha."Braak!Suara gebrakan meja yang cukup keras tak membuat nyali Dikta menciut. Dia sudah sering menghadapi orang-orang seperti mereka. Segala tekanan selama menjabat jadi CEO hampir mirip dengan kondisinya sekarang."Padahal semua bukti itu sudah jelas. Tapi kenapa kamu keras kepala sekali?" tukas polisi berpakaian preman tersebut. "Bahkan di mobil itu ada sidik jari Elisha di sana."Dikta berusaha untuk tetap memasang raut tenangnya. Dia tidak mau goyah walaupun semua tuduhan itu tepat tertuju padanya."A
"Papa... Mana Mama?" Jean sedang menyiapkan sarapan untuk putrinya ketika gadis itu muncul dan berjalan menghampirinya di dapur. "Mama belum pulang ya Pa?"Duda tampan dengan celemek warna maroon di perutnya itu mendekati Qila yang baru bangun tidur dan memegangi bahunya. "Mama ada urusan penting sayang," jawab Jean lembut. "Jadi belum bisa pulang dalam waktu dekat.""Tapi urusan apa Pa? Kenapa sampai ada polisi juga?" tanya Qila lagi. Dia terlalu mengkhawatirkan sang mama sampai tidak menyadari jika papanya sendiri dalam kondisi penuh memar karena pertengkarann dengan Dikta."Mama harus pergi ke luar kota. Dan Papa sendiri juga ga tau kapan mama balik. Jadi— kamu sabar aja ya."Qila mulai terisak. Ia sedih sekali karena sang mama pergi tanpa pamit padanya. "Hiks... Hiks...""Sayang..." Jean memeluk Qila dan mengusap punggung kecil bocah 8 tahun tersebut. "Kamu jangan sedih. Kan, ada Papa di sini.""Qila maunya sama Mama, Pa. Qil
"Tunggu dulu, Dikta!" Jean menyergap pundak Dikta yang baru keluar dari mobilnya. "Kita harus bicara."Dikta menepis tangan Jean dari bahunya. Pria itu menoleh ke arah tamunya dengan wajah garang. "Gue capek. Gue mau istirahat.""Gue cuma mau waktu lo lima menit aja.""Lo nggak denger gue ngomong apa? Gue capek!" tekan Dikta di akhir kalimatnya. Dikta berbalik dan bersiap untuk pergi.Tapi belum sempat ia melangkah menjauh, Jean kembali buka suara. "Di mana Elisha. Elo kan yang bantuin dia kabur?"Dikta terkesiap. Tapi dia berusaha rileks dan bersikap santai. Seolah tidak terjadi apa-apa."Gue nggak tau.""Jangan bohong kamu!" tukas Jean dengan tegas. "Pihak kepolisian bilang kalau Elisha melarikan diri saat digiring ke kantor polisi. Dan gue yakin, orang yang bantuin dia lolos itu elo.""Cih! Emang dia siapa gue? Kenapa gue harus bantuin dia? Kurang kerjaan.""Dikta! Gue tau lo yang nolong Elisha. Dan
Serangan terakhir Dikta di perutnya membuat Elisha kembali batuk darah. Wanita itu tidak bisa melakukan perlawanan apapun kecuali meratapi nasibnya.Bayang-bayang senyum cerah Qila di meja makan tadi, membuat air matanya menetes perlahan.Qila... Maafin Mama Nak... Maafin Mama karena udah terlalu rakus sebagai manusia. Maafin Mama karena nggak bisa jagain kamu lebih lama..."Mati lo Sha! Sana pergi aja ke neraka! Itu tempat yang lebih cocok buat lo dibandingkan mendekam di penjara."Mas... Jean... Maafin aku Mas... Aku— bukan istri yang baik selama ini. Aku wanita egois. A-aku ibu yang bodoh, Mas.Mas Jean... A-aku percaya... aku percaya kamu bisa jaga Qila dengan baik sampai dia dewasa. A-aku tau Qila bakal bahagia jika tumbuh bersama Papa yang baik seperti kamu, Mas.Nafas Elisha kian melemah. Matanya terpejam erat sementara kepalanya kian berat.Nilam... Maafin aku... Maafin aku Nilam. Maaf aku udah terlalu jahat sama
"Kali ini lo bakal habis di tangan gue, Sha. Gue udah muak banget ama tingkah laku, lo!"Siapa yang tidak gemetaran ketika ada seseorang berkata seperti itu dengan wajah mengancam. Ekspresi wajah Dikta sudah seperti malaikat pencabut nyawa. Yang seakan sudah siap menghabisi nyawanya."K- kamu ngomong apa sih? Kamu cuma gertak aja kan?" Sambil mundur ke belakang, Elisha coba bertanya demikian. Jantungnya sudah berdegup kencang ditambah sorot mata tajam Dikta yang seolah serius dengan ucapannya.Dikta menyeringai. Wajah ketakutan Elisha membuat darahnya berdesir penuh semangat. Adrenalinenya seperti terpacu melihat keringat dingin membasahi wajah wanita itu."Kenapa? Lo takut sekarang?" desis Dikta. "Mana nyali lo tadi, hah? Mana gertakan lo tadi, Sha? Kenapa sekarang lo menciut gini?"Elisha tak bisa berbicara. Ia hanya menelan ludah beberapa kali ketika Dikta mencengkram wajahnya dengan satu tangan. Dan jujur, itu membuat rahangnya sakit."Jangan macam-macam Dikta!""Kenapa? Sekarang
"Hm?" Nana mengerutkan keningnya. "Maksudnya?""Tante nyuruh Jean putus sama Nilam, Na," aku Bu Mala. "Tante pikir, Jean itu cuma pembawa sial dan nggak bisa tegas ama masa lalunya. Makanya Tante minta dia buat jauhin Nilam."Nana menjilat bibir bawahnya. Sekarang dia paham kenapa Jean pamit dan menyuruhnya untuk menjaga Nilam selama dia pergi."Emang kurang ajar banget si Elisha sama Dikta. Mereka itu beneran kayak ular berbisa." Bu Mala terlihat mengumpat kesal karena kelakuan dua orang itu."Rasanya Tante pengen temuin mereka terus ngelabrak Elisha. Mereka bikin Tante emosi," umpat Bu Mala."Itu nggak perlu kok, Tante.""Hem?""Jean lagi bekerja buat bongkar semua kebusukan mantan istrinya itu."Bu Mala kian lesu ketika mendengar ucapan Nana. "Yang bener kamu?""Iya, Tante. Terakhir kali aku dapat info kalau pelaku penabrakan Nilam udah ketangkep. Dan ternyata pelakunya itu orang suruhan Elisha." Nana memang tau semuanya. Jean menganggap Nana sebagai orang yang bisa dia andalkan. K
Di mobil polisi, Elisha terus menerus memantau keadaan. Ia menunggu bantuan Dikta datang untuk menolongnya bebas dari tuduhan. Tapi setelah 30 menit ia meninggalkan SPBU, ia tidak melihat tanda kemunculan dikta di sekitarnya.'Apa Dikta bohong ya?''Jangan-jangan dia nggak mau nolongin aku?'Pikiran Elisha mulai kacau. Dia begitu kesal karena sang Bos sudah tega mengabaikan dirinya.'Lihat aja si Dikta. Kalau sampai malam ini dia nggak muncul, aku jamin semua rahasia miliknya akan terbongkar secepatnya.' Wanita 29 tahun itu sudah menyiapkan begitu banyak ancang-ancang untuk menyerang bosnya. Dia tidak rela kalau harus mendekam di tahanan seorang diri.'Aku harus bagaimana? Dikta— beneran nggak bisa diandalkan.''Sumpah ya! Aku bakal bilang ke pihak berwajib kalo dia juga turut andil atas kecelakaan Nilam. Biarin aja dia tau rasa.'Disaat Elisha sedang menyusun rencana, tiba-tiba terdengar suara decitan yang cukup nyaring. Disusul dengan suara brak yang keras tak jauh di depan sana.Ke
Elisha di giring ke mobil polisi. Dia di paksa masuk ke dalam dengan tangan di borgol ke depan. Wanita itu tidak banyak bicara dan terus menunduk. Otaknya terus bekerja memikirkan cara untuk bisa menelfon Dikta. Sementara hatinya harus kuat dengan tidak menengok ke arah Qila yang memanggil namanya.'Aku harus cari cara supaya bisa telfon Dikta. Aku nggak mau masuk penjara. Aku nggak mau mendekam di sana.'Perempuan itu menatap jalanan di depannya. Ia benar-benar tak bisa berkutik karena diapit oleh dua petugas kepolisian. 'Seenggaknya, kalau aku emang harus jadi tersangka, Dikta harus bantuin aku cari pengacara terbaik. Pokoknya aku harus bebas.'Selama 30 menit perjalanan, Elisha tidak banyak berbicara. Dia sibuk berpikir untuk meloloskan diri. Sampai akhirnya..."Pak!""Kenapa?""P-perut saya sakit banget. Kita boleh nggak mampir ke toilet dulu?""Toilet? Enggak-enggak! Pasti itu alasan kamu aja kan supaya bisa cari cela buat kabur?"Elisha masih berusaha tenang meskipun rencananya