Nilam menghela nafas pelan. Pria ini keras kepala sekali.
"Udah-udah, biar aku aja yang lanjut cuci piringnya. Kamu istirahat aja sana!" Jean mengambil alih piring yang Nilam pegang dan membawanya ke wastafel."Jangan Pak! Ini kan udah tugas saya." Nilam menghampiri bosnya. Mana bisa dia santai-santai sementara Jean mengerjakan itu semua."Udah, nggak apa! Kamu balik aja ke kamar. Timbang cuci piring doang, aku juga bisa."Nilam mengerutkan keningnya. Ia menggigit bibir bawahnya karena Jean memaksanya untuk kembali ke kamar."Udah nggak apa Nilam. Santai aja kamu kalau ama aku.""Tapi saya nggak enak ama Bu Elisha.""Aduh, udah deh! Kamu fokus aja ama ke—""Apa ada Mas? Kok dari tadi aku dengar kalian ribut banget?"Nilam maupun Jean langsung menjaga jarak ketika Elisha datang ke dapur."Ini Bu, Pak Jean. Masa saya mau beres ini semua nggak dibolehin," jawab Nilam cepat."Ya soalnya kaElisha reflek menelan ludah. Dia menatap suaminya dengan perasaan tak menentu. "Nggak mungkinlah aku selingkuh ama atasan," elaknya."Tapi kamu kan punya bos ganteng. Apalagi gosip di luar sana sering menyebut kalau sekertaris itu juga bisa jadi selingkuhan si Bos.""Mas ngomong apa sih? Kan nggak mungkin aku ngelakuin hal kayak gitu," ujarnya dengan nada merajuk."Nah sama! Aku juga nggak mungkin ngelakuin hal aneh-aneh, Sha." Jean menatap tajam ke arah istrinya. "Jadi please ya Sha! Kita jangan saling tuduh lagi kayak gitu. Mending kita fokus ama pekerjaan dan saling percaya aja. Yang kayak-kayak gini cuma bikin kita berantem doang."Elisha menganggukkan kepalanya. Ia langsung memeluk suaminya sambil meminta maaf. Perempuan itu berjanji untuk tidak lagi menuduh Jean sembarangan.'Aku lega kalau kamu masih mau percaya sama aku, Mas. Tapi maaf, aku udah melanggar kepercayaan kita, aku selingkuh sama Bos kita Mas. Aku yang jahat di sini.'
Keesokan harinya, suasana di rumah Jean terasa sepi. Dan itu wajar, karena si penghuni rumah sudah sibuk di kantor. Dan Qila juga sedang berada di sekolah. Lalu Jean?Seperti biasanya, Jean sibuk di depan laptop untuk melakukan pekerjaanya. Di temani secangkir kopi dan biskuit untuk cemilan.Saat sedang asik menggarap novelnya, tiba-tiba seorang kurir paket datang."Permisi, paket Pak."Jean berdiri lalu menghampiri kurir tersebut. "Buat siapa?" tanyanya."Mbak Nilam."Alis Jean berkerut. "Nilam? Kapan dia pesennya.""Ini Pak, paketnya. Saya permisi dulu."Bapak satu anak itu hanya mengganggukan kepalanya, sambil memperhatikan paket yang sepertinya berisi pakaian. Tanpa banyak berpikir, Jean pun masuk ke dalam dan menyerahkan benda tersebut kepada sang pembantu.Nilam tampak girang ketika menerima paket tersebut dari si Bos. "Makasih ya Pak, udah bawa masuk paketnya.""Isinya apa?" Iseng Jean b
Sementara itu di kantin tempat Elisha bekerja. Terlihat istri sah Jean tersebut sedang mengobrol seru dengan kedua temannya sambil melihat beberapa model jam tangan di platform jual beli."Eh, jam ini bagus nggak?" Elisha menunjuk sebuah jam tangan pria kepada kedua orang temannya."Bagus Sha. Emang kamu mau beli itu buat siapa?""Buat Mas Jean lah, siapa lagi emangnya.""Wah. Keren kamu Sha. Itu jam mahal lho." Sahut teman Elisha yang lain. Melihat harga jam di atas dua digit membuat ia reflek geleng-geleng kepala."Hm. Emang agak mahal, tapi sesekali nggak masalah deh kayaknya," balas Elisha santai."Dalam rangka apa kamu ngasih hadiah ke suami?""Jadi, weekend nanti kita mau ngerayain anniversary pernikahanku sama Mas Jean.""Waaah, selamat ya Sha," ucap kedua orang yang duduk di depan Elisha itu dengan kompaknya.Elisha tersenyum bahagia. "Makasih ya.""Kalian nggak ada rencana buat makan m
"Gini aja, gimana kalau kamu tetap ikut sama aku. Tapi setelah rapat penting sama Mr. Smith kamu bisa pulang lebih awal? Jadi kan— kamu bisa tetep makan malam sama suami kamu."Tawaran Dikta itu terdengar lebih baik di telinga Elisha. Karena tidak memberatkan satu sisi saja."Sebenarnya, setelah meeting kita harus makan malam juga sama Mr Smith, tapi kalau soal itu biar aku yang handel. Toh perjalanan Jakarta-Bali kan cuma 2 jam. Jadi cukup dong buat kamu ke restoran tempat kamu sama suami dinner?" ucap Dikta lagi."Beneran bisa kayak gitu ya Pak?" Elisha menatap bosnya dengan ekspresi muka yang sedikit ragu. "Soalnya aku takut ada hal-hal yang menghambat gitu, makanya aku sedikit ragu."Dikta berdiri dari duduknya lalu menghampiri perempuan yang bukannya hanya jadi sekertarisnya, tapi juga sudah menjadi teman tidurnya ini. "Nggak usah khawatir Elisha, semuanya pasti bakal berjalan lancar sesuai jadwal."Elisha memejamkan mata efek kegeli
Jean membuka lemari Nilam. Mencari baju ganti yang cocok untuk perempuan itu. Lalu dengan hati-hati ia mulai melepaskan pakaian Nilam yang basah hingga meninggalkan bra dan celana dalamnya saja. "Aduh, ini gimana? Masa harus di lepasin semua? Terus kalau aku khilaf gimana?" Jean memejamkan matanya. Bukannya apa, melihat tubuh putih gak gitar spanyol dan cuma pakai bra doang, siapa yang nggak tertarik coba? Bahkan Jeanana sudah setinggi harapan orang tua sejak ia menggendong Nilam masuk ke sini. "Nilam, dari hari pertama kamu masuk sini, aku udah pengen perkosa kamu lho. Tapi aku tahan-tahan karena masih inget anak istri." "Tapi kamu ini lho, kenapa sih tiap hari bikin rudal punyaku ON? Jangankan cuma pakai dalaman kayak gini, kamu kedip aja aku udah 'bangun' lho Nilam." Sambil menggerutu Jean mendudukkan Nilam dan membuat tubuh perempuan itu bisa bersandar di dadanya. Soalnya susah juga kalau harus melepaskan ikatan bra Nil
"Mau cobain susu perawan nggak Pak?""Emm—" Jean mengatupkan bibirnya sambil mundur beberapa centi ketika Nilam menyodorkan nipple-nya ke depan mulut Jean."Bapak keliatan haus banget gitu?" Nilaaam? Emang boleh ya sebinal ini?" tanya bapak satu anak itu dengan wajah depresi. "Kalau aku beneran khilaf terus kamu nggak bisa jalan seharian karena aku terlalu nafsu gimana? Kamu siap?""Kalau belum dicoba, ya mana saya tau Pak." Nilam terus saja memancing birahi Jean. Padahal ayah kandung Qila itu berusaha untuk tidak tergoda."Nilaaam..." rengek Jean depresi. "Aku udah punya anak istri. Aku nggak mau aneh-aneh sama kamu, Nilam.""Ck! Bapak munafik." Nilam jengah juga. Dengan hati dongkol ia turun dari pangkuan Jean dan mundur dari dekat sang majikan."Maaf kemarin-kemarin aku udah ngelakuin hal yang aneh ke kamu. Tapi aku nggak ada maksud apapun, Nilam. Yang namanya manusia memang suka khilaf, apalagi aku yang otak mesumny
Malam harinya suasana di rumah Jean masih biasa saja seperti sebelumnya, tak ada yang spesial saat makan malam tersebut berlangsung, semua menyantap masakan buatan Nilam dengan santai seperti biasanya. Sesekali mereka mengobrol ringan mengenai apa saja yang terjadi seharian ini."Oh ya Mas, habis ini aku mau ngomong sesuatu ke kamu."Jean menoleh ke arah istrinya. Dia heran kenapa tiba-tiba Elisha ingin mengatakan sesuatu yang penting padanya. Bukannya apa, dia hanya khawatir kalau diam-diam Nilam mengadu ke istrinya perkara siang tadi."Emang kamu mau ngomong apa?""Nanti aja, Mas. Soalnya ini penting banget."Jean menjilat bibir bawahnya, perasaannya semakin tidak enak ketika Elisha berkata seperti itu. "Kamu bikin aku penasaran aja.""Hehehe. Udah Mas, makan aja dulu! Nanti juga tau."Sementara mereka sedang menikmati makan malam mereka. Berbeda dengan Nilam yang sedang duduk melamun di halaman belakang. Dia menatap l
"Pokoknya infoin aja di mana lokasi makan malam kita, dan jam berapa, oke Mas."Jean masih diam."Mas...""Oke-oke. Aku nggak batalin acara kita. Tapi— janji ya kamu harus datang. Soalnya, booking tempat kan nggak murah.""Kamu sih dibayarin nggak mau.""Bukannya nggak mau, tapi aku juga pengen buktiin kalau aku ini suami yang bertanggung jawab."Elisha tersenyum lebar mendengar ucapan suaminya. Dia lega karena berhasil membujuk pria itu. "Makasih ya Mas, buat pengertiannya.""Hm. Sama-sama Sha.""Ya udah, aku mau tidur ya. Ngantuk banget soalnya."Jean menganggukkan kepalanya. Ia menatap sang istri yang tidur dengan posisi memunggunginya. Ia menghela nafas lega setelah Elisha mengungkapkan isi hatinya. Ia pikir istrinya itu akan mengatakan sesuatu yang berhubungan dengan Nilam. Ternyata perkiraannya salah besar. Padahal dia sudah OVT sejak beberapa saat yang lalu.Pagi harinya, Jean terlihat a
“Baik, Nilam. Kalau boleh tahu, apa alasan kamu melamar di perusahaan kami? Apa yang membuat kamu tertarik?”Nilam tersenyum lagi, kali ini sedikit lebih canggung. “Saya pikir, perusahaan ini menawarkan peluang yang baik untuk berkembang, dan posisinya juga sesuai dengan yang saya cari.” Jean mengamati Nilam dengan cermat. Matanya yang tajam menangkap kegelisahan kecil di wajah gadis itu “Baiklah,” kata Jean, menutup berkas di depannya. “Nilam, apa yang kamu harapkan dari pekerjaan ini? Selain, tentu saja, penghasilan yang kamu sebutkan tadi.”Nilam tampak berpikir sejenak sebelum menjawab. “Saya ingin menambah pengalaman dan belajar lebih banyak. Saya percaya, lingkungan kerja yang mendukung seperti perusahaan ini akan memberikan banyak peluang untuk itu.”"Jadi kamu kerja hanya untuk pengalaman saja?""Bukan cuma itu saja sih, Pak.""Lalu?""Saya juga cari penghasil yang lebih baik daripada pekerjaan saya yang sebelu
Jean tidak bisa membohongi dirinya lagi. Pertemuan singkat dengan Nilam tadi membuat semua kenangan yang ia pendam selama bertahun-tahun mendadak menyeruak ke permukaan. Meski tahu tidak seharusnya ia terlibat lagi dalam kehidupan Nilam, hatinya tidak bisa tenang sebelum memastikan satu hal—apakah gadis itu benar-benar mantan kekasihnya yang dulu begitu ia cintai.Ia segera bergegas menuju ruang HRD. Napasnya sedikit berat, bukan karena lelah, tetapi karena perasaan gugup yang bercampur dengan rasa rindu. Sesampainya di depan pintu, Jean mengetuk pelan sebelum masuk."Selamat siang, Pak Jean," sapa salah satu staff HRD sambil berdiri. Jean mengangguk kecil. "Siang. Aku ingin bicara sebentar, soal salah satu kandidat yang kalian interview hari ini.""Oh, tentu saja, Pak. Kandidat yang mana ya?" tanya staff itu sambil membuka berkas daftar kandidat di tangannya.Jean menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Namanya Nilam."
"Nilam udah sadar, Je. Tapi dia kehilangan memorinya selama beberapa tahun terakhir.""Bukannya itu lebih baik Tante? Supaya Nilam bisa melupakan hal-hal buruk saat sama saya.""Tapi dulu Nilam pernah bilang, meskipun menjadi pacar kamu terlalu berisiko dan berat tapi dia tetap menyukainya.""Itu karena dia yang terlalu baik Tante. Padahal kalau ga ada saya, hidup dia pasti bisa lebih baik lagi."***"Ini Pak berkasnya! Tolong jangan marah ya! Saya beneran ga sengaja." Nilam mengulurkan kertas yang dia pegang ke arah lelaki di depannya. Dia panik sekali karena sudah membuat kekacauan."P- Pak... Bapak kenapa?" beo gadis berkemeja putih itu ketika melihat si pria yang hanya melamun sambil memandanginya. 'Dia kenapa ngeliatin aku kayak gitu? Apa aku cepirit di rok?' Dengan muka panik dia mengecek roknya.'Huh... Ternyata enggak.' "Pak... Bapak!""Eh- Maaf." Sentakan pelan Nilam membuat pria itu tersadar
Dua tahun kemudian... "Mama!" Bu Mala tersentak kecil saat Nilam putrinya, mendadak muncul dan memeluk pinggangnya. Wanita paruh baya itu balik ke belakang hanya untuk mendapati cengiran polos anak tunggalnya. "Ya ampun, Nilam! Kamu bikin Mama kaget aja." Gadis itu hanya meringis. Ia menarik salah satu kursi yang ada dan duduk di sana. "Mama tuh yang terlalu fokus. Sampai ga sadar pas aku turun." Bu Mala mendengkus. Ia melanjutkan kegiatannya, mengoles mentega sebelum di masukkan ke dalam mesin Breadtoats. "Kamu rapi banget? Mau ada janji ama Nana?" Gadis berambut sebahu itu menggeleng. "Enggak." "Terus mau ke mana?" "Hari ini aku mau cari kerja, Ma." Bu Mala, bukannya senang mendengar ucapan putrinya, justru langsung mengerutkan dahi sambil memasang wajah sangsi. "Ada angin apa kamu tiba-tiba pengen cari kerja?" "Nilam bosen, Ma," jawab gadis itu setelah menenggak habis segelas jus jeruk buatan ibunya. "Hampir 2 tahun setelah lulus kuliah, Nilam jadi beban Mama." "Lah kamu,
Sebulan kemudian, Jean memberanikan diri untuk mendatangi Bu Mala dan sekaligus menjenguk Nilam. Dia tidak yakin akan disambut baik oleh Bu Mala, tapi setidaknya dia harus datang untuk menyampaikan sesuatu.Dan kini, keduanya duduk di bangku depan ruangan Nilam. Mereka duduk bersebelahan dan mengobrol di sana. Saling bertanya kabar. Saling mengucapkan maaf, dan beberapa hal penting lainnya."Aku tau ini pasti berat sekali buat kamu kan?" Itulah kira-kira yang Bu Mala ucapkan pertama kali setelah mendengar gagasan Jean mengenai hal apa yang selanjutnya akan dia lakukan."Saya pikir, ini yang terbaik buat kita semua Tante. Buat, Nilam, Qila, dan saya." Jean menatap lawan bicaranya tanpa ragu sedikitpun. "Lagi pula saya sedikit khawatir tidak bisa menjalankan amanat yang tante berikan."Bu Mala menghela nafas panjang. Dia tau Jean mungkin masih sakit hati dengan perkataannya dulu. Tapi apa yang dia ucapkan itu berdasarkan fakta, walau terasa sangat m
"Di mana Elisha sekarang?""Aku ga tau.""Berapa lama kamu bakal nyembunyiin keberadaannya? Kamu ga takut bakal di hukum berat karena nyembunyiin dia?!"Dikta melihat beberapa penyidik yang duduk di depannya. Hampir semalaman dia berada disebuah ruangan interogasi guna menyelidiki di mana keberadaan Elisha, si pelaku utama."Mau ditanya berapa kali pun, jawabannya tetap sama. Aku ga tau di mana Elisha."Braak!Suara gebrakan meja yang cukup keras tak membuat nyali Dikta menciut. Dia sudah sering menghadapi orang-orang seperti mereka. Segala tekanan selama menjabat jadi CEO hampir mirip dengan kondisinya sekarang."Padahal semua bukti itu sudah jelas. Tapi kenapa kamu keras kepala sekali?" tukas polisi berpakaian preman tersebut. "Bahkan di mobil itu ada sidik jari Elisha di sana."Dikta berusaha untuk tetap memasang raut tenangnya. Dia tidak mau goyah walaupun semua tuduhan itu tepat tertuju padanya."A
"Papa... Mana Mama?" Jean sedang menyiapkan sarapan untuk putrinya ketika gadis itu muncul dan berjalan menghampirinya di dapur. "Mama belum pulang ya Pa?"Duda tampan dengan celemek warna maroon di perutnya itu mendekati Qila yang baru bangun tidur dan memegangi bahunya. "Mama ada urusan penting sayang," jawab Jean lembut. "Jadi belum bisa pulang dalam waktu dekat.""Tapi urusan apa Pa? Kenapa sampai ada polisi juga?" tanya Qila lagi. Dia terlalu mengkhawatirkan sang mama sampai tidak menyadari jika papanya sendiri dalam kondisi penuh memar karena pertengkarann dengan Dikta."Mama harus pergi ke luar kota. Dan Papa sendiri juga ga tau kapan mama balik. Jadi— kamu sabar aja ya."Qila mulai terisak. Ia sedih sekali karena sang mama pergi tanpa pamit padanya. "Hiks... Hiks...""Sayang..." Jean memeluk Qila dan mengusap punggung kecil bocah 8 tahun tersebut. "Kamu jangan sedih. Kan, ada Papa di sini.""Qila maunya sama Mama, Pa. Qil
"Tunggu dulu, Dikta!" Jean menyergap pundak Dikta yang baru keluar dari mobilnya. "Kita harus bicara."Dikta menepis tangan Jean dari bahunya. Pria itu menoleh ke arah tamunya dengan wajah garang. "Gue capek. Gue mau istirahat.""Gue cuma mau waktu lo lima menit aja.""Lo nggak denger gue ngomong apa? Gue capek!" tekan Dikta di akhir kalimatnya. Dikta berbalik dan bersiap untuk pergi.Tapi belum sempat ia melangkah menjauh, Jean kembali buka suara. "Di mana Elisha. Elo kan yang bantuin dia kabur?"Dikta terkesiap. Tapi dia berusaha rileks dan bersikap santai. Seolah tidak terjadi apa-apa."Gue nggak tau.""Jangan bohong kamu!" tukas Jean dengan tegas. "Pihak kepolisian bilang kalau Elisha melarikan diri saat digiring ke kantor polisi. Dan gue yakin, orang yang bantuin dia lolos itu elo.""Cih! Emang dia siapa gue? Kenapa gue harus bantuin dia? Kurang kerjaan.""Dikta! Gue tau lo yang nolong Elisha. Dan
Serangan terakhir Dikta di perutnya membuat Elisha kembali batuk darah. Wanita itu tidak bisa melakukan perlawanan apapun kecuali meratapi nasibnya.Bayang-bayang senyum cerah Qila di meja makan tadi, membuat air matanya menetes perlahan.Qila... Maafin Mama Nak... Maafin Mama karena udah terlalu rakus sebagai manusia. Maafin Mama karena nggak bisa jagain kamu lebih lama..."Mati lo Sha! Sana pergi aja ke neraka! Itu tempat yang lebih cocok buat lo dibandingkan mendekam di penjara."Mas... Jean... Maafin aku Mas... Aku— bukan istri yang baik selama ini. Aku wanita egois. A-aku ibu yang bodoh, Mas.Mas Jean... A-aku percaya... aku percaya kamu bisa jaga Qila dengan baik sampai dia dewasa. A-aku tau Qila bakal bahagia jika tumbuh bersama Papa yang baik seperti kamu, Mas.Nafas Elisha kian melemah. Matanya terpejam erat sementara kepalanya kian berat.Nilam... Maafin aku... Maafin aku Nilam. Maaf aku udah terlalu jahat sama