Tengah malam, ketika hening menyelimuti kamar hotel, Lena terlihat tenang dalam tidurnya, bibirnya yang lembut sedikit terbuka, dan napasnya yang teratur menandakan dia tengah dalam mimpi yang damai. Oliver merasakan kehangatan di hatinya saat melihat istrinya itu tertidur dengan nyenyak, meskipun dia tahu Lena sedang melewati masa-masa yang sulit. Dengan hati-hati, Oliver duduk di tepi ranjang, berusaha agar tidak membuat suara yang bisa mengganggu tidur Lena. Sejenak dia memperhatikan wajah Lena dengan penuh kasih sayang. "Semoga malam ini dia bisa tidur dengan tenang," gumamnya pelan dalam hati. Dengan langkah kakinya yang ringan, Oliver mengambil ponselnya dan menelpon pelayanan kamar dengan pelan. "Maaf mengganggu, bisakah Anda membantu saya dengan sesuatu?" bisik Oliver dengan suara lembut, berharap tidak membangunkan Lena. Saat pelayanan kamar menjawab, Oliver dengan hati-hati menjelaskan situasinya. "Apakah Anda bisa membantu saya dengan membersihkan tong sampah di kamar say
Sebastian semakin gencar mendekati Esme, dan kini dia bahkan dengan terang-terangan menunjukkan perhatiannya. Meskipun pria itu tetap mempertahankan ekspresi datarnya yang khas, namun tindakannya yang penuh perhatian terhadap Esme cukup mencolok bagi setiap orang yang melihatnya, sehingga membuat mereka menyadari bahwa Sebastian sedang berusaha mendekati Esme. Esme merasa tak nyaman dengan perhatian yang berlebihan dari Sebastian. Setiap kali dia berpapasan dengannya di koridor kantor, dia merasa seperti diawasi dengan seksama oleh mata pria itu. Meskipun dia mencoba untuk tetap tenang dan tidak menunjukkan ketidaknyamanannya, namun dalam hati Esme merasa risih dan tidak nyaman. "Nona Esme, apakah kamu ingin makan siang bersamaku hari ini?" tanya Sebastian dengan suara lembut saat mereka bertemu di ruang kopi. Esme menatapnya dengan ragu, mencoba mencari alasan untuk menolak tawaran tersebut. "Maaf, Sebastian, aku sudah memiliki rencana untuk makan siang hari ini," jawabnya dengan s
"Kenapa kau tak pulang saja dengan perempuan itu alih-alih datang menghampiriku seperti ini. Kau pria muda, sangat tak cocok jika kau menyatakan cinta pada perempuan tua sepertiku," ujar Esme masih belum bisa menghentikan tangisnya. Saat itu Esme pun merasa bingung kenapa dirinya jadi seperti ini.Mendengar itu, Sebastian pun tertegun untuk beberapa saat. Dia menatap Esme lekat-lekat, lalu kemudian mengulum senyumnya. "Perempuan? Oh, tadi anda melihatku berbincang dengan Grace. Dia adik kelasku saat SMA dulu, kami hanya bertegur sapa karena dulu kami adalah teman satu klub musik dan aku senang karena mendengar dia yang kini sudah jadi seorang ibu. Aku berniat untuk menjenguk bayinya dengan teman-teman yang lain," ujar Sebastian menjelaskan. Kemudian, dia pun mengambil posisi duduk di samping Esme sembari mengulurkan sapu tangan.Esme menerima uluran sapu tangan itu untuk menyeka air matanya lalu tiba-tiba dia berdecak sebal dan menatap Sebastian dengan tatapan tajam. "Kenapa kau harus
Hari ketiga Lena dan Oliver berada di kota itu, keduanya telah menikmati wisata kota tersebut, menjelajahi setiap sudut yang menarik, dan mencicipi hidangan lezat yang ditawarkan. Tapi, pada pukul 2 dini hari, ketenangan mereka terganggu oleh telepon yang tak terduga dari rumah sakit. "Ada apa?" tanya Lena saat melihat bagaimana Oliver mengangkat telepon dengan khawatir. "pihak rumah sakit baru saja memberi kabar kalau anak itu kritis," jawab Oliver risau. Ketegangan segera menguasai wajahnya saat mendengar kabar tentang kondisi kritis anak panti asuhan yang menjadi tanggung jawab mereka. Tanpa ragu, Lena dan Oliver segera bersiap-siap, menutupi piyama mereka dengan mantel tebal untuk melindungi dari dinginnya udara malam. Dengan kepanikan it, Oliver benar-benar melajukan mobil mereka dengan kecepatan tinggi. Mereka tiba lebih cepat di rumah sakit karena hal itu. Tanpa membuang waktu lama keduanya berlarian masuk, dan dengan panik melewati lorong ICU untuk kemudian berhenti di dep
Esme duduk di meja kerjanya, tenggelam dalam pekerjaannya, ketika tiba-tiba seorang office girl muncul di sampingnya dengan membawa sebuah paper bag putih dan sebuah buket bunga anyelir yang cantik. Kejutan yang tiba-tiba itu membuat Esme sedikit terkejut, dan dia mengangkat kepalanya dengan ekspresi heran. "Ada bingkisan dan buket bunga untuk Nona Esme," ucap office girl itu dengan senyuman ramah, sebelum melenggang pergi dengan santai. Esme menatap paper bag putih dan buket bunga yang diletakkan di meja kerjanya dengan tatapan bingung. Dia merasa aneh karena tidak ada yang memberi tahu atau memberitahukannya tentang kedatangan hadiah tersebut. "Siapa yang mengirimkan ini?" gumamnya pelan, sambil meraba-raba paper bag putih dengan hati-hati. Tidak ada label atau catatan yang terpasang, membuatnya semakin penasaran. Esme kemudian melirik ke arah buket bunga anyelir yang indah. Warnanya yang cerah dan keharumannya mengisi sekeliling meja kerjanya, menambahkan sentuhan keindahan yang
Pemakaman Sean dihadiri oleh banyak orang, baik dari panti asuhan tempatnya tinggal, teman-temannya, maupun relawan dan staf yang bekerja di sana. Wajah-wajah terlihat suram, terisi dengan kesedihan yang mendalam, dan aura keheningan menyelimuti seluruh acara.Oliver, dengan berat hati, memimpin prosesi pemakaman itu. Dia memegang guci kecil yang berisi abu Sean dengan penuh kehormatan, matanya terasa berat dan penuh dengan kesedihan yang tak terucapkan. Setiap langkahnya terasa menyakitkan, membawa beban kesedihan yang begitu besar.Di sampingnya, Bunda Loria tak pernah hentinya menangis sejak hari pertama kepergiannya hingga hari ini. Tangisannya meluluhkan hati siapa pun yang melihatnya, mencerminkan kehilangan yang begitu mendalam dan kekosongan yang ditinggalkan oleh anak asuhnya itu."Surga pasti akan menyambutmu dengan tangan terbuka, nak," gumam Oliver, suaranya serak oleh kesedihan. Dia menatap langit, mencari hembusan angin yang bisa membawa pesan dan doa mereka ke tempat ya
"Olaf," panggil Lena seraya memeluk Oliver erat-erat dan membenamkan wajahnya pada dada bidang sang suami. Dan membiarkan hangat napasnya membelai permukaan dada telanjan Oliver.Setelah kegiatan ranjang mereka yang cukup melelahkan, Lena tak bisa tidur. Sedangkan Oliver justru sebaliknya, pria itu dilanda rasa kantuk setelah hasratnya terpenuhi dengan baik."Ya sayang," sahutnya dengan mata yang terpejam tapi pelukannya pada sang istri tak terlepas.Lena tak langsung mengutarakan hal yang ingin dia katakan pada suaminya itu. Sejenak, dia mengambil napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan, membuat Oliver perlahan membuka matanya dan mengernyit bingung karena mendengar helaan napas resah dari istrinya itu."Sayang?" panggil Oliver memastikan karena Lena masih terus menghela napas berat, seolah tengah mengumpulkan keberaniannya untuk mengatakannya sisa kalimatnya. "Ada apa?"Lena pun mengurai sedikit pelukannya untuk menatap Oliver lekat-lekat. "Sayang... bagaimana kalau aku tak
Untuk pertama kalinya Lena duduk di teras rumah pagi-pagi sekali untuk sekadar minum teh dan biskuit sambil memperhatikan Oliver yang sedang melakukan olahraga paginya."Kamu tak mau ikut bergabung denganku? Lari pagi saja, ini olahraga yang ringan," ajaknya.Lena menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Tidak terima kasih. Itu melelahkan, Olaf... aku tak suka ketika aku sangat kelelahan sampai rasanya kehabisan napas," tolaknya penuh alasan.Oliver terkekeh geli dan memilih untuk tak menyelesaikan putaran ketiga dari lari paginya dan pergi menghampiri Lena setelah mengambil handuk kecil dari maid dan segera duduk di samping Lena untuk mencuri biskuit dan juga meneguk segelas teh milik istrinya itu tanpa permisi."Begitukah? Kamu tak suka kelelahan sampai kehabisan napas?" Oliver menatap Lena dengan tatapan jenaka sembari menaik turunkan alisnya. "Tapi anehnya kamu selalu suka olahraga yang kita lakukan di atas ranjang sekalipun itu melelahkan dan tak jarang membuatmu kehabisan napas," lan