"Kau juga datang menemuiku di hari libur?" tanya Esme sedikit menyelipkan teguran untuk Sebastian dalam ucapanya.Sebastian tersenyum lembut, matanya bersinar penuh kehangatan ketika dia menatap Esme. "Ya, aku datang kemari khusus untukmu. Aku merasa ini adalah kesempatan yang tepat untuk menghabiskan waktu bersama."Esme merasa hangat mendengar jawaban itu meskipun dia mencoba menyembunyikan senyumnya. "Rasanya benar-benar aneh ada pria lain yang datang ke rumahku selain sahabatku, tapi... terima kasih, Sebastian. Aku benar-benar menghargainya."Tetapi di balik senyumannya, Esme merasa sedikit terkejut. Dia tidak terbiasa dengan seseorang yang begitu peduli dan berdedikasi untuk menghabiskan waktu bersamanya, terutama di hari libur. Ini adalah perubahan yang menyenangkan dari rutinitas sehari-harinya.Sebastian mengangguk, memahami bahwa kehadirannya mungkin mengejutkan Esme. "Tidak perlu berterima kasih. Aku senang bisa menghabiskan waktu bersamamu," ujarnya dengan tulus. "Ini untuk
Setelah mengantar Esme pulang selepas jam pulang kantor, Sebastian memutuskan untuk singgah sebentar di rumah mereka. Dengan senyum ramah, dia diam di belakang Esme yang mengetuk pintu rumahnya dan segera disambut oleh Matthew yang membukakan pintu dengan antusias."Sebastian! Senang sekali kamu datang berkunjung!" seru Matthew dengan gembira, wajahnya berseri-seri melihat kedatangan orang yang sudah dia anggap temannya.Sebastian tersenyum hangat. "Halo, Matthew! Aku membawa kue untuk kita nikmati bersama. Apa kamu suka kue cokelat?" tawarnya sambil menunjukkan kue yang dibawanya.Matthew mengangguk cepat. "Iya, aku suka sekali kue cokelat! Terima kasih, Sebastian!" jawabnya antusias sambil mengambil kue dari tangan Sebastian.Esme hanya tersenyum tipis melihat respon putranya itu pada Sebastian. "Masuklah terlebih dahulu," ajaknya. Mempersilakan Sebastian untuk ikut masuk ke dalam rumahnya.Matthew lekas mengajak Sebastian untuk duduk sedangkan Esme menyiapkan minuman dan juga memot
Lena dan Oliver duduk di ruang tunggu klinik dokter kandungan dengan perasaan yang campur aduk. Mereka telah menunggu beberapa saat sebelum dipanggil masuk. Lena memain-mainkan jari-jarinya dengan gugup, sedangkan Oliver duduk di sebelahnya dengan tatapan serius."Bagaimana perasaanmu?" tanya Oliver, mencoba mencairkan ketegangan.Lena menarik napas dalam-dalam. "Aku gugup," ucapnya pelan. "Apa menurutmu semuanya akan baik-baik saja?"Oliver menyentuh tangannya dengan lembut. "Tentu saja, sayang. Kita sudah melakukan yang terbaik untuk menjaga kesehatan kita. Semoga hasilnya baik."Mereka dipanggil masuk oleh suster, dan dengan hati-hati mereka berdua masuk ke dalam ruang dokter. Dokter kandungan mereka menyambut mereka dengan ramah dan memulai konsultasi."Bagaimana perasaan anda, Mrs. Eduardo? Apakah ada keluhan kesehatan atau pertanyaan lain yang ingin kamu tanyakan?" tanya dokter.Lena menggeleng. "Tidak, dokter. Tapi... kami ingin memeriksa kesehatan kami untuk memastikan semuany
"Lagi-lagi dia mencari-cari alasan untuk pergi ke ruangan tuan Eduardo bukan? Dia terang-terangan berniat menggoda, dasar perempuan aneh."Sayup-sayup Lena mendengar percakapan itu di dalam toilet wanita. Suara itu berasal dari dua orang karyawan yang sedang bercermin di wastafel untuk membetulkan riasan."Padahal semua orang tahu kalau bos kita itu sudah beristri. Dia bahkan sering membawa istrinya ke kantor ini. Apa si Sarah itu tetap mengabaikan fakta dan tetap memilih menggoda bosnya sendiri? Dasar perempuan gila."Kembali terdengar kalimat penuh cibiran itu, membuat Lena yang berada di dalam bilik kamar mandi itu merasa ragu untuk melangkah keluar ketika objek yang dibicarakan oleh kedua perempuan di luar toilet adalah tentang dia dan Oliver.Untuk beberapa saat, Lena tetap berada di dalam bilik toilet sampai akhirnya suara langkah kaki pun terdengar pergi dan ketika suasana toilet sudah benar-benar senyap, dia pun memberanikan diri untuk keluar dan menghela napas panjang saat t
"Sayang, kenapa kamu duduk di teras? Masuklah, udara luar mulai dingin karena sebentar lagi akan hujan. Ayo masuk ke dalam," tegur Oliver penuh kekhawatiran ketika mendapati Lena yang menunggunya di teras ketika sore itu langit benar-benar gelap karena akan turun hujan.Namun, Lena menolak ajakan suaminya itu. "Aku sengaja menunggumu disini karena aku ingin mengajakmu bermain hujan."Oliver mengernyit bingung. "Bermain hujan? Sayang, ada apa hm? Kenapa tiba-tiba ingin bermain hujan, apa ada hal yang mengganggu pikiranmu?" tanyanya kian khawatir. Dia mengulurkan tamgannya untuk mengusap lembut puncak kepala Lena."Orang-orang bilang, bermain hujan dengan pasangan lalu setelahnya bersenggama, akan memperbesar peluang untuk bisa punya anak karena bermain hujan meningkatkan kadar kebahagian sehingga itu jadi momen yang baik untuk perencanaan kehamilan," ujar Lena lirih dan penuh harap.Oliver terdiam sejenak. Merasa kalau ucapan Lena hanyalah mitos yang tak berdasar, tapi dia tak sampai h
"Bagaimana perasaanmu pagi ini," tanya Oliver penuh perhatian sambil menatap Lena dengan tatapan lembut.Lena yang saat itu sedang memasangkan dasi untuk Oliver pun menengadah sebentar untuk sekadar melayangkan senyuman pada suaminya itu."Perasaanku cukup baik hari ini," jawab Lena, suaranya lembut dan penuh kehangatan. "Bagaimana denganmu?" tambahnya sambil menyempurnakan simpul dasi Oliver dengan penuh ketelitian.Oliver tersenyum, merasa bahagia melihat senyum di wajah Lena. "Aku pun baik," jawabnya dengan semangat yang sama, tatapannya masih terpaku pada wajah Lena yang mempesona. Dia merasa beruntung memiliki Lena sebagai pendamping hidupnya, setiap detik bersamanya adalah anugerah yang tak ternilai harganya. "Aku senang mendengar perasaanmu cukup baik." Lena menatap Oliver dengan senyum hangat. "Aku juga senang melihatmu baik-baik saja, sayang."Setelah selesai memasangkan dasi, Lena meluruskan pakaian Oliver dengan lembut, memastikan semuanya rapi. "Selesai," ujarnya dengan b
Oliver menatap layar ponselnya dengan sedikit kebingungan saat sambungan telepon dengan Esme tiba-tiba diputus sepihak. Dia menggelengkan kepala, merasa agak heran dengan sikap sahabatnya yang terkesan terburu-buru setelah dia mengatakan nama Sarah."Esme itu... dia benar-benar bersikap waspada terhadap Sarah," gumam Oliver sambil menaruh ponselnya kembali ke meja. Saat itu dia merasa kalau menghubungi Esme adalah hal yang tepat karena dia tak mungkin memakan makanan yang diberikan perempuan lain.Dia kemudian memandangi bingkisan sushi yang masih tergeletak di atas meja. Rasanya sayang jika makanan mahal itu harus terbuang, dia tak ingin menyia-nyiakan gestur baik dari Sarah.Oliver pun memutuskan untuk membuka kotak sushi itu dan menata beberapa potong di atas piring sambil menunggu kedatangan Esme. Di sisi lain. Tanpa ragu, Esme segera menuju ke ruang kerja Oliver. Sambil membawa makan siang yang dia beli di kantin, Esme melangkah terburu-buru dan ekspresi wajah yang benar-benar
Di kantor, suasana seolah menjadi canggung ketika beberapa karyawan dari divisi yang sama dengan Sarah mulai menegurnya secara terang-teragan. Mereka berkumpul di sudut ruangan, menatap tiap pergerakan Sarah cukup intens dengan ekspresi serius di wajah mereka."Sarah, apa yang sebenarnya kau pikirkan? Mengirim dokumen ke ruangan pak bos lagi?" bisik salah satu karyawan perempuan dengan nada ketus.Sarah menatap mereka dengan tatapan bertanya, tidak mengerti apa yang salah. "Apa masalahnya? Aku hanya menjalankan tugasku."Karyawan lain yang duduk di sebelahnya menjelaskan dengan nada rendah. "Kamu harus berhati-hati dengan sikapmu, Sarah. Tuan Eduardo sudah memiliki istri. Jangan sampai sikapmu menimbulkan masalah di kantor."Sarah terlihat agak bingung dengan sikap rekan-rekannya yang bersikap sinis kepadanya. "Aku tak tahu kalau memberikan dokumen yang memang membutuhkan tanda tangan tuan Eduardo adalah hal buruk, sampai-sampai kalian menegurku seperti ini."Namun, suasana menjadi se
Kali pertama dalam hidupnya, Vincent baru merasakan kalau melihat langit biru dengan awan putih yang bergerak ternyata begitu membahagiakan setelah ia bebas dari penjara. Dulu, sebelum hidupnya jungkir balik seperti sekarang, Vincent tidak pernah merasa bersyukur pada hal sekecil apa pun yang ia dapatkan. Fokus Vincent pada hal besar serta hal-hal yang belum ia dapatkan sehingga ia melupakan hal yang sudah ia punya dan raih selama ini. “Udara pagi ini terasa begitu segar. Tidak pernah kudengar kicauan burung semerdu ini.” Vincent berkata pada dirinya sendiri sembari tersenyum kecut. Hari-hari yang ia lewati sebelum hari ini adalah hari penyiksaan. Hidup di penjara bagaikan neraka. Hanya jeruji besi, atap, baju dan selimut tipis yang menemani Vincent selama di penjara. Hidup Vincent di penjara tidak pernah menyenangkan. Ia dipaksa oleh keadaan untuk menyesuaikan diri. Mengerjakan pekerjaan kasar yang sebelumnya tidak pernah ia lakukan. Menyapu, mencuci, membersihkan
"Sayang, apa kamu sudah siap?" teriak Esme dari dapur. Wanita itu tampak sibuk menata bekal untuk anak-anaknya dan juga untuk Sebastian tentunya. Karena tidak mendengar jawaban apa pun, Esme menjeda terlebih dahulu kegiatannya dan berjalan untuk masuk ke kamar putrinya. Dia takut kalau ada yang perlu dibutuhkan oleh putrinya. "Kamu perlu bantuan?" tanya Esme saat baru membuka pintu kamar putrinya. Gisel, gadis berusia sembilan tahun itu masih berdiri di depan cermin dengan seragam sekolahnya itu tersenyum manis. "Sebenarnya aku ingin bersiap sendiri tanpa bantuan Mama, tapi sepertinya aku tetap ingin dibantu. Lihat, terlihat masih belum rapi, kan?" tanya Gisel sambil melihat seragamnya yang kusut. Esme tersenyum, lalu mendekati putrinya itu. Dengan cekatan dia membantu merapikan seragam yang sudah dipakai Gisel agar terlihat lebih rapi. "Anak gadis Mama rupanya ingin belajar lebih mandiri, ya. Seragamnya sudah cukup rapi, Mama hanya perlu membenarkan sedikit saja," tuturnya. Gi
"Sayang!" Lena berseru saat keluar kamar menuju ruang tamu, membawa perutnya yang kini sudah sebesar semangka lalu duduk di samping Oliver. "Apa, Sayang?" tanya Oliver tanpa menghentikan gerakan tangannya menggulir tab. Kurang dari lima belas menit lagi dia harus berangkat ke kantor, tetapi sampai sekarang masih sibuk mengurusi materi meeting siang nanti. "Lihat ini dulu sebentar." Lena menyodorkan ponselnya hingga menutupi layar tab. Membuat si empunya menghela napas pasrah dan terpaksa menekan tombol home. Pada layar ponsel Lena, terpampang gambar sebuah taman bunga. Sebagian besar isinya diisi oleh bunga mawar, sedangkan yang lain Oliver tidak paham. Lelaki itu mengangkat sebelah alis sembari bertanya, "kamu mau ke situ? Memang itu di mana? Dalam negeri atau luar negeri? Nanti kita ke situ setelah kamu melahirkan dan anak kita cukup besar." "Aku maunya lihat sekarang!" Lena cemberut dan langsung membelakangi tubuh Oliver. "Iya, tapi ...." Belum sempat Oliver menyelesa
Pagi ini kediaman Oliver lebih ramai daripada biasanya. Banyak orang berlalu lalang untuk mempersiapkan acara tujuh bulanan Lena yang akan dilaksanakan sore nanti. Oliver mempersiapkan acara ini dengan sangat matang. Dia menyewa vendor terbaik untuk membantu terselenggaranya acara. Ruang keluarga yang luas disulap dengan dekorasi cantik yang penuh dengan bunga karena Lena menyukai itu. Oliver sengaja memesan semua bunga segar. Ada mawar, tulip, lili, ester hingga bunga matahari. Semua itu ditata dengan begitu apik. Membuat acara perayaan kehamilan Lena yang sudah memasuki usia tujuh bulan itu semakin terasa meriah. Di sisi kiri dan kanan ruangan juga ditata dengan meja yang sudah dihias. Nantinya meja tersebut akan diisi dengan aneka minuman, dessert serta hidangan utama. Tentu saja Oliver memesan semua hidangan terbaik dan memanjakan lidah. Awalnya Lena menginginkan acara digelar di halaman belakang tetapi Oliver tidak setuju mengingat cuaca sekarang yang tidak menentu.
Mobil Sebastian sudah berhenti di depan rumah Oliver, pria itu turun dari mobil dan menekan bel. Suasana rumah masih terlihat sepi, sepertinya dia datang terlalu pagi, tapi jika dia tidak datang pagi-pagi takutnya Matthew nanti merepotkan.Setelah menekan bel dua kali, akhirnya Oliver sendiri yang membukakan pintu. Dari wajahnya, Oliver baru bangun tidur."Oh, kamu rupanya. Aku kira siapa," ucap Oliver dengan suara serak lhas orang baru bangun tidur."Maaf aku datang pagi sekali. Sebenarnya aku ingin menjemput Matthew kemarin malam, tapi aku pulang terlalu larut. Jadi kupikir lebih baik aku menjemput pagi ini saja agar tidak mengganggu kalian." Sebastian merasa tidak enak.Oliver tersenyum. "Tidak masalah. Ayo masuk."Lena juga baru saja beranjak dari sofa, wanita itu menggulung rambutnya agar lebih rapi. "Kamu datang pagi sekali, Matthew masih di kamar dan sepertinya dia belum bangun," ucapnya."Aku akan menggendongnya saja, tid
Malam ini Matthew tidur di tengah-tengah Oliver dan Lena sebab Sebastian dan Esme mengatakan akan menghabiskan waktu berdua saja di hotel sebagai perayaan. Tentu saja keputusan itu disambut baik dengan mereka berdua karena Oliver sudah menganggap Matthew sebagai putranya sendiri. "Apa kau senang bisa tidur bersama kami?" tanya Oliver. "Tentu saja aku sangat senang sekali!" jawab Matthew antusias. "Baguslah. Kau memang anak pintar," puji Oliver sembari mengusap lembut kepala Matthew. Di sisi lain, Lena senyum-senyum sendiri sambil menatap ke arah suaminya dan Matthew secara bergantian. Sepertinya Lena sangat bahagia dengan situasi sekarang ini. Siapa sangka sikapnya tersebut ternyata disadari oleh Oliver. "Sepertinya ada yang senang juga di sini selain Matthew," celetuk Oliver. Lena sedikit terkejut ketika Oliver menegurnya. Namun, ia tak dapat menyangkal jika ia memang sangat senang.
Puas mengobrol sekaligus menemani istri tuan rumah, Sebastian mengajak Esme pulang. Karena Lena masih belum pulih, Oliverlah yang kebagian mengantar tamunya hingga ke depan pintu.Esme menggandeng tangan Matthew di depan sedangkan Sebastian dan Oliver berjalan di belakang. Kedua lelaki berbeda usia itu kembali membahas mengenai rencana Sebastian melamar."Apa kamu sudah melamar Esme secara resmi? Atau baru sebatas obrolan biasa?" tanya Oliver."Aku belum melamarnya secara resmi. Baru mengutarakan niat kemarin saat kami berbaikan," sahut Sebastian. it"Ah, seperti itu. Tidak apa-apa, itu pun sudah menjadi langkah awal yang bagus. Setidaknya, Esme jadi tahu kalau kamu serius dengan hubungan kalian."Oliver menepuk pundak Sebastian. Memuji keberanian lelaki itu."Aku selalu serius dengan Esme. Walaupun kami beberapa kali bertengkar, tetapi aku tidak pernah memiliki niat meninggalkan."Tatapan mata Sebastian fokus pada dua o
Begitu mendengar kabar bahwa Lena telah diperbolehkan pulang oleh dokter, Esme langsung berinisiatif untuk pergi ke rumah wanita itu dan menolongnya beberes. Esme yakin walaupun di rumah nanti Lena akan banyak dibantu oleh pembantunya, tapi tetap saja dia pasti membutuhkan support system dari sahabatnya. Esme ke sana tentu saja tidak seorang diri. Matthew dan Sebastian juga ikut menemani. Sejak meminta maaf kepada Sebastian atas kesalahannya tempo hari, dada dan pundak Esme terasa lebih ringan, seolah beban berat yang ia pikul selama ini menghilang dalam sekejap. Apalagi setelah Sebastian mengutarakan niatnya kepada Esme untuk mengikat hubungan mereka ke jenjang pernikahan, hidup Esme terasa berubah. Ia jauh lebih bahagia, tenang dan selalu tersenyum. Yang paling bahagia tentu saja Matthew. Meskipun mereka belum bilang secara langsung kepada bocah tujuh tahun itu, tapi dengan kehadiran Sebastian yang lebih sering dari sebel
Setelah lama di rumah sakit, Lena akhirnya diperbolehkan untuk pulang. Oliver sengaja menyewa banyak pengawal tambahan untuk mengawal kepulangannya dan Lena. Istrinya itu sampai terheran melihat semua pengawalnya."Kenapa kamu sampai menyewa banyak sekali pengawal?" tanya Lena saat sudah berada di dalam mobil dan melihat mobilnya dikelilingi.Oliver menggenggam tangan Lena dengan lembut. "Aku melakukan itu untuk keselamatanmu, aku tidak ingin terjadi sesuatu padamu lagi.""Tapi bukankah ini terlalu berlebihan?""Tidak, ini semua normal."Lena tidak bisa membantah lagi, jika Oliver sudah melakukan sesuatu tidak ada gunanya berdebat lagi. Toh juga ini semua juga untuk keselamatannya dan juga calon bayinya.Setelah perjalanan beberapa menit dari rumah sakit, akhirnya rombongan mobil sampai juga di kediaman Oliver, saking banyaknya seperti ada iring-iringan.Tidak kalah banyak pengawal saat perjalanan, di rumah pun Oliver me