"Jam berapa ini, Reina?"
"Mas, kamu kok ada di rumah, gak kerja?" Reina balik bertanya dengan gugup.
"Heh, malah balik tanya! Jelaskan, sama aku! Kamu semalam habis dari mana, hah? Jam segini baru pulang!" bentak Roy dengan tatapan menelisik, ia menyambar tangan Reina dengan kasar.
"Apa sih, Mas? Kok pertanyaannya kayak gitu? kan, kamu tahu. Aku ini baru pulang kerja, masuk shift malam, bukannya aku sudah meminta izin, tadi, aku di suruh over time," jawab Reina dengan tenang.
Ia tersenyum untuk menyamarkan dustanya, lalu melepaskan tangan Roy dari pergelangan, kemudian berjalan masuk ke kamarnya, tubuhnya butuh istirahat dan terasa begitu letih, tenaganya terkuras karena pergumulannya semalam dengan lelaki lain.
"Oh, iya. Sudah mulai pintar berbohong, rupanya kamu sekarang," ucap Roy tersenyum miring.
"Mas, aku tidak berbohong," ujar Reina tanpa menatap Roy, ia meletakan tas kecil di atas kasur.
"Halaaah … mana ada pembohong, jujur,"
"Sudah, kukatakan Mas. Aku ini habis kerja, masih saja kamu tidak percaya," jawab Reina menoleh pada Roy yang terus mengikuti langkahnya, ia bicara masih dengan nada tenang, meskipun dalam hati berkecamuk dilanda rasa takut, karena ia memang berbohong.
"Bagaimana aku bisa percaya, kalau belum melihat kejujuranmu, Reina,"
"Lalu, bagaimana caranya, aku membuktikan kejujuranku?"
"Sudah salah, masih saja berkilah!"
"Mana buktinya? kalau aku bersalah!" Reina menoleh dan menatap seketika ke arah Roy.
"Aku tak perlu bukti, tapi, aku tahu, kau tidak setia lagi padaku," tekannya.
"Terserah, kamu, Mas! Aku lelah." Reina berjalan ke arah tempat tidur, kemudian duduk di tepi ranjang seraya menjuntai kaki. Malas berdebat dengan suaminya, meski hatinya mengakui bahwa ia memang salah, dan semalam mangkir dari pekerjaan.
"Dasar perempuan murahan! Istri, tak tahu diri! Sudah salah masih saja menyangkal!" Roy mengepalkan tangannya, sambil berdiri tak jauh dari Reina.
"Maksudmu apa, Mas?" Wanita itu, mulai terbawa emosi.
"Jangan mentang-mentang, sekarang kamu sudah punya pekerjaan, kamu sudah tidak hormat lagi padaku, dan mulai berani macam-macam!"
"Macam-macam, bagaimana?!" jawab Reina lantang seraya menatap Roy tak suka.
"Berani, kamu bicara dengan suara tinggi, pada suamimu!" Amarah Roy mulai meluap, dan melayangkan telapak tangannya, mendarat di pipi Reina dengan keras.
Plakk!!
"Mas, apa-apaan sih kamu ini?" sergah Reina seraya mengusap pipinya yang terasa panas.
"Itu pelajaran kecil untukmu, Reina. Jangan kau kira aku ini bodoh! Dan tidak tahu apapun tentangmu!" Roy lebih mendekat dan menarik tubuh Reina hingga berdiri.
"Aku capek, Mas. Jangan pancing aku untuk berdebat!" sanggah Reina memutar dan berusaha melepaskan cengkraman tangan Roy.
"Capek kau bilang! Capek setelah melayani laki-laki lain di atas ranjang, hm!"
"Kamu, bicara apa, Mas? Aku malas bertengkar, pagi-pagi kamu malah ngajak ribut,"
"Reina, kamu, yang duluan memancing amarahku." Dengan kasar, Roy mendorong istrinya, hingga tubuh mungil Reina terhuyung dan jatuh menghantam dinding tembok kamar, ia merasa curiga pada Reina, selama beberapa bulan terakhir ini istrinya tak pernah mengeluh masalah ekonomi, meski ia jarang di kasih uang.
"Ahh ... shh," ringis Reina sambil memegangi tangan dan pinggangnya yang terasa ngilu, akibat menghantam tembok.
"Mas. Kenapa kamu berbuat seperti ini lagi, padaku?" lanjut Reina.
Karena bukan satu dua kali Roy menyakiti Reina, jangankan ada masalah besar, hanya hal sepele pun ia kerap kali memukul.
Wanita muda itu duduk meringkuk di pojok kamar, dengan perasaan takut. Jika Roy sudah marah, maka ia sulit di kendalikan.
"Katakan! Semalam, kamu menemani siapa, hah?! Laki-laki mana, yang membeli tubuhmu?!" teriak Roy, membuat jantung Reina mencelos.
"Mas, kenapa kamu menuduhku dengan tuduhan yang tidak benar! Siapa bilang aku berselingkuh, apalagi menjual tubuhku!" sangkal Reina, terus membela diri, suaranya mulai gemetar ketakutan, melihat amarah Roy yang membuncah.
"Reina, kamu tak usah pura-pura polos! Semalam, kamu tidak masuk kerja 'kan?" Roy memandang wajah Reina geram, kedua telapak tangannya terkepal.
"Ya. Aku kerja, Mas. Sudah kukatakan berulang kali, tapi kamu malah terus menuduhku, dan tidak mempercayai istrimu sendiri!" jawab Reina, masih berbohong dan membela diri, agar Roy tak lebih menyakiti dia lagi.
Roy berjalan dengan langkah cepat maju ke arah Reina, yang masih meringkuk sambil menggigit bibir bawahnya, menahan rasa takut melihat wajah Roy yang merah padam. Lelaki itu mencondongkan badannya sejajar dengan Reina, tangan kanannya terulur bergerak cepat dan menjepit leher wanita itu dengan keras.
"Mas, jangan sakiti aku, lepaskan! Aku mohon, percayalah padaku!" pekik Reina menatap iba memohon pada sang suami. Tenggorokannya begitu sakit, akibat cekikikan tangan Roy, hingga ia kesulitan untuk bernapas.
"Dengar, Reina, kau jangan coba-coba berbohong sama aku! Sekali, kau berani bermain api, akan kupatahkan batang lehermu! Dan Michelle takkan pernah punya ibu sepertimu, kupastikan kau akan menyesal, seumur hidup!" tegas Roy dengan suara rendah penuh tekanan, membuat Reina tersentak, buliran bening pun perlahan keluar dari kedua mata indahnya.
"Mas, tolong lepas, sakit!" pekik Reina lagi sembari memegangi tangan Roy agar dia mengendurkan cekalannya. Suara Reina hampir habis tak terdengar, karena cengkeraman tangan Roy yang semakin kuat dan membabi buta.
"Reina! kalau kau terbukti sudah menghianatiku, akan kuhabisi dirimu! Bukan hanya kamu; putrimu, ibumu, juga akan merasakan hal yang sama!" tekan Roy suaranya pelan. Namun, begitu menakutkan.
Air mata Reina tak terbendung lagi mengalir deras membasahi pipinya, tak sanggup mendengar ancaman Roy, yang tak pernah main-main. Ia harus segera mencari cara, bagaimana menjauhkan diri dan keluarganya, dari monster bergelar suami itu.
Roy memang tak segan untuk menyakiti istrinya, sikapnya yang temperamental, membuat Reina harus terbiasa mendapatkan pukulan dan tamparan dari tangan Suami.
Jika Reina terus menjalani rumah tangga bersama Roy, ia akan terus tersiksa, bukan hanya fisiknya, hatinya akan semakin terluka, karena sikap Roy yang tak pernah menganggap Reina sebagai seorang istri.
Dia memperlakukan Reina tak manusiawi, jika ia butuh maka Reina harus melayaninya dengan baik, tapi, jika ia tak butuh, maka Roy akan semena-mena memperlakukan Reina halnya seekor binatang.
Tubuh Reina terasa lemas dan hampir kehabisan napas, pandangan matanya pun mulai kabur, tak ada tenaga lagi yang tersisa, walau sekedar untuk menggerakkan tangan.
"Tolong … lepas Mas, lepaskan, aku!" mohon Reina, suaranya sangat lirih. Dengan sedikit kekuatan ia mencoba melawan rasa sakitnya. Perlahan pandangannya meredup, seiring dengan hilang kesadaran.
Wanita itu tergeletak tak berdaya dengan mata terpejam, tangannya terjatuh ke lantai, tubuh wanita itu terkulai lemas tak berdaya.
"Re-Reina," panggil Roy terbata-bata, tangannya gemetar melihat istrinya yang tak sadarkan diri. Perlahan ia melepaskan tangannya dari leher Reina.
"Reina, kamu jangan mati!" ucap Roy yang di selimuti rasa takut, melihat Reina tak bergerak, ia begitu takut jika menjadi pembunuh, dan nantinya akan menjalani hukuman, menghabiskan sisa hidup, di dalam penjara.
"Re-Reina, buka matamu! aku mencintaimu, sayang. Aku tak mau kehilanganmu, bangunlah Reina!" Roy mengusap pipi istrinya dengan punggung ruas jemari tangan, lalu mengangkat kepala Reina dan meletakkannya di atas pangkuan.Hampir lima belas menit Reina masih terbaring tak berdaya. Roy merasa sangat takut akan kehilangan istrinya, meskipun dia kesal dan marah, tapi, ia tidak rela jika sang istri meninggalkannya dengan cara seperti ini. Bukan karena rasa sayang, melainkan takut dengan hukum yang berlaku di negara ini."Reina, maafkan aku."Baru pertama kalinya Roy mengucapkan kata maaf pada Reina, mungkin dia keceplosan saking paniknya, ia merasa cemas karena istrinya tak kunjung membuka mata, ia menepuk-nepuk pipi Reina pelan, lalu meraba pergelangan tangannya, untuk memastikan bahwa sang istri masih bernyawa."Syukurlah, masih ada denyut nadinya," gumam Roy lega. "Rei, bangun! Reina, cepat bangun! Kau jangan menakut-nakuti aku!" Roy mulai panik, karen
"Reina!" panggil Roy, suaranya menggelegar memenuhi ruang kamar. Membuat Reina mengangkat tubuhnya seraya menoleh."Apa lagi, Mas? Apa kamu tidak puas menyakitiku?" ucap Reina, meskipun takut. Namun, ia selalu menunjukkan bahwa ia adalah wanita yang tegar dan berani."Aku takkan pernah puas. Jika kamu belum menjadi istri seperti yang kuinginkan!""Apa maksudmu? Aku sudah menjadi wanita penurut, dan tak pernah menuntut apapun darimu. Cukup tak cukup uang yang kamu berikan, aku selalu terima dengan ikhlas, apa kurangnya aku?!""Oh, jadi. Sekarang kamu berani berkata seperti itu, tak terima dengan yang kujatah setiap bulannya? Semenjak kamu memiliki penghasilan sendiri.""Bukannya aku tak terima, tapi, sebagai suami seharusnya kamu mengerti! Kamu selalu mengekangku, dan selalu mencurigaiku. Kerja salah, tidak kerja apalagi. Jika aku hanya mengandalkan uang pemberian kamu, aku dan Michelle bisa kelaparan, Mas!""Beberapa bulan terakhir ini, kamu
Setelah semua masakan matang, Reina menyiapkannya dengan sesegera mungkin, Roy bisa marah jika ia telat sedikit saja. Perempuan berkemeja biru navy seragam kerja, yang belum sempat ia ganti, dan bawahan celana jeans hitam itu menata makanan dengan rapi diatas meja, dan beranjak menuju ruang tengah, dimana Roy berada."Mas, makanannya sudah siap. Ayo kita makan dulu! Nanti, keburu dingin," ucap Reina berdiri di dekat sofa yang diduduki oleh Roy."Aku tidak lapar," tolaknya dengan nada dingin seperti biasa."Mas, bukannya kamu tadi pengen makan? Aku sudah masak enak, buat kamu," ucap Reina dengan hati-hati."Aku tidak ingin makan, aku minta, kamu melayaniku sekarang, juga!" pinta Roy lugas, seraya menyentak tangan Reina, menarik tubuh wanita itu hingga hampir jatuh."I-iya, Mas," jawab Reina gugup bercampur takut.Roy menarik tangan Reina ke dalam kamar dengan kasar, tanpa menunjukkan adanya rasa cinta sedikitpun terhadap istrinya."Mas
"Mas, kamu di rumah saja, ya! Biasanya juga aku belanja sendiri, takutnya kamu bosan menemaniku seharian keliling mall," ujar Reina seraya memoles wajah cantiknya dengan bedak, dan lipstik natural ia oles tipis. "Kan, tahu sendiri, kalau aku belanja gak cukup waktu sebentar."Roy hening sejenak, "Ok, aku akan diam di rumah. Tapi, ajak Michelle!""Iya, tapi, Michelle belum pulang, Mas,""Tunggu, sebentar lagi! Aku tak mau direpotkan sama anakmu! Kalau dia ditinggal di rumah, mengganggu saja!" ujarnya dingin.Bukannya Michelle juga anak Roy. Lelaki itu, memang tak pernah merasa punya tanggung jawab, bahkan dengan darah dagingnya sendiri, ia tak mau direpotkan, apalagi membantu mengurus. Lebih parahnya, ia tak mau menyebutnya anak kita, seolah Michelle anak Reina sendiri."Iya, Mas. Lagipula, Michelle udah lama gak aku ajak jalan,""Terserah, kamu! Sebelum pergi temani aku makan," pinta Roy. Reina mengangguk setuju, ia berjalan menuju dapur.
"Michelle, sayang, kita sudah sampai. Ayo turun, Nak!" pinta Reina. "Iya, mah," sahut gadis itu dibarengi anggukan, kemudian keduanya turun dari taksi. Ibu dan anak itu berjalan memasuki gedung apartemen. Reina menggenggam tangan Michelle, menaiki lift menuju tempat tinggal Andrew yang berada di lantai 15. "Mah, kita mau ngapain kesini? Ini rumah atau tempat apa?" tanya Michelle polos. Reina tersenyum seraya menatap putrinya, "Ini, rumah Om baik. Mama, ada urusan pekerjaan dengannya. Nanti, kamu jangan ganggu mama ya, sayang!" ucap Reina sebelum menekan bell yang berada di sampingku pintu. "Baik, Mah," angguk Michelle lagi. Reina menekan tombol bell yang ada di sisi pintu atas, tak lama kemudian seorang wanita berbaju dress putih kombinasi warna hitam, membukakan pintu dan menyambut ramah kedatangan Reina. "Selamat siang, Bi," sapa Reina dengan senyuman. "Pak Andrew, ada?" "Siang, Bu. Silahkan ma
Reina membawa belanjaannya ke dapur dan meletakkan plastik berisi kebutuhan pokok di atas meja makan. Ia membuka lemari pendingin dan menata semua sayuran ke vegetable room dan menyimpan; ayam juga ikan serta daging di chiller room, untuk persediaan satu Minggu ke depan. Ponsel yang berada dalam saku celana Reyna bergetar tanda panggilan masuk dari seseorang. Gegas Reina mengusap layar pada benda pipih tersebut dan menjauh, ia masuk ke dalam kamar mandi, takut sewaktu-waktu Roy masuk dan mendengar percakapannya dengan seseorang di seberang sana. "Halo, Mas. Ada apa?" tanya Reina dengan suara tertahan. Ada rasa kekhawatiran dalam hatinya ketika berbicara dengan Andrew, karena lelaki itu tak bisa ditebak, terkadang ia meminta bertemu di waktu yang tidak tepat dan terkadang memaksa. "Hai, sayang. Kamu lagi apa?" tanya Andrew basa-basi. "Apa kamu sudah pulang ke rumah?" "Baru, aja sampe." Reina menjawab. "Mas, badanku capek banget, sakit semua, sehabis dari apartemen mu tadi. Dan aku
Reina membawa belanjaannya ke dapur dan meletakkan plastik berisi kebutuhan pokok di atas meja makan. Ia membuka lemari pendingin dan menata semua sayuran ke vegetable room dan menyimpan; ayam juga ikan serta daging di chiller room, untuk persediaan satu Minggu ke depan. Ponsel yang berada dalam saku celana Reyna bergetar tanda panggilan masuk dari seseorang. Gegas Reina mengusap layar pada benda pipih tersebut dan menjauh, ia masuk ke dalam kamar mandi, takut sewaktu-waktu Roy masuk dan mendengar percakapannya dengan seseorang di seberang sana. "Halo, Mas. Ada apa?" tanya Reina dengan suara tertahan. Ada rasa kekhawatiran dalam hatinya ketika berbicara dengan Andrew, karena lelaki itu tak bisa ditebak, terkadang ia meminta bertemu di waktu yang tidak tepat dan terkadang memaksa. "Hai, sayang. Kamu lagi apa?" tanya Andrew basa-basi. "Apa kamu sudah pulang ke rumah?" "Baru, aja sampe." Reina menjawab. "Mas, badanku capek banget, sakit semua, sehabis dari apartemen mu tadi. Dan aku
"Michelle, sayang, kita sudah sampai. Ayo turun, Nak!" pinta Reina. "Iya, mah," sahut gadis itu dibarengi anggukan, kemudian keduanya turun dari taksi. Ibu dan anak itu berjalan memasuki gedung apartemen. Reina menggenggam tangan Michelle, menaiki lift menuju tempat tinggal Andrew yang berada di lantai 15. "Mah, kita mau ngapain kesini? Ini rumah atau tempat apa?" tanya Michelle polos. Reina tersenyum seraya menatap putrinya, "Ini, rumah Om baik. Mama, ada urusan pekerjaan dengannya. Nanti, kamu jangan ganggu mama ya, sayang!" ucap Reina sebelum menekan bell yang berada di sampingku pintu. "Baik, Mah," angguk Michelle lagi. Reina menekan tombol bell yang ada di sisi pintu atas, tak lama kemudian seorang wanita berbaju dress putih kombinasi warna hitam, membukakan pintu dan menyambut ramah kedatangan Reina. "Selamat siang, Bi," sapa Reina dengan senyuman. "Pak Andrew, ada?" "Siang, Bu. Silahkan ma
"Mas, kamu di rumah saja, ya! Biasanya juga aku belanja sendiri, takutnya kamu bosan menemaniku seharian keliling mall," ujar Reina seraya memoles wajah cantiknya dengan bedak, dan lipstik natural ia oles tipis. "Kan, tahu sendiri, kalau aku belanja gak cukup waktu sebentar."Roy hening sejenak, "Ok, aku akan diam di rumah. Tapi, ajak Michelle!""Iya, tapi, Michelle belum pulang, Mas,""Tunggu, sebentar lagi! Aku tak mau direpotkan sama anakmu! Kalau dia ditinggal di rumah, mengganggu saja!" ujarnya dingin.Bukannya Michelle juga anak Roy. Lelaki itu, memang tak pernah merasa punya tanggung jawab, bahkan dengan darah dagingnya sendiri, ia tak mau direpotkan, apalagi membantu mengurus. Lebih parahnya, ia tak mau menyebutnya anak kita, seolah Michelle anak Reina sendiri."Iya, Mas. Lagipula, Michelle udah lama gak aku ajak jalan,""Terserah, kamu! Sebelum pergi temani aku makan," pinta Roy. Reina mengangguk setuju, ia berjalan menuju dapur.
Setelah semua masakan matang, Reina menyiapkannya dengan sesegera mungkin, Roy bisa marah jika ia telat sedikit saja. Perempuan berkemeja biru navy seragam kerja, yang belum sempat ia ganti, dan bawahan celana jeans hitam itu menata makanan dengan rapi diatas meja, dan beranjak menuju ruang tengah, dimana Roy berada."Mas, makanannya sudah siap. Ayo kita makan dulu! Nanti, keburu dingin," ucap Reina berdiri di dekat sofa yang diduduki oleh Roy."Aku tidak lapar," tolaknya dengan nada dingin seperti biasa."Mas, bukannya kamu tadi pengen makan? Aku sudah masak enak, buat kamu," ucap Reina dengan hati-hati."Aku tidak ingin makan, aku minta, kamu melayaniku sekarang, juga!" pinta Roy lugas, seraya menyentak tangan Reina, menarik tubuh wanita itu hingga hampir jatuh."I-iya, Mas," jawab Reina gugup bercampur takut.Roy menarik tangan Reina ke dalam kamar dengan kasar, tanpa menunjukkan adanya rasa cinta sedikitpun terhadap istrinya."Mas
"Reina!" panggil Roy, suaranya menggelegar memenuhi ruang kamar. Membuat Reina mengangkat tubuhnya seraya menoleh."Apa lagi, Mas? Apa kamu tidak puas menyakitiku?" ucap Reina, meskipun takut. Namun, ia selalu menunjukkan bahwa ia adalah wanita yang tegar dan berani."Aku takkan pernah puas. Jika kamu belum menjadi istri seperti yang kuinginkan!""Apa maksudmu? Aku sudah menjadi wanita penurut, dan tak pernah menuntut apapun darimu. Cukup tak cukup uang yang kamu berikan, aku selalu terima dengan ikhlas, apa kurangnya aku?!""Oh, jadi. Sekarang kamu berani berkata seperti itu, tak terima dengan yang kujatah setiap bulannya? Semenjak kamu memiliki penghasilan sendiri.""Bukannya aku tak terima, tapi, sebagai suami seharusnya kamu mengerti! Kamu selalu mengekangku, dan selalu mencurigaiku. Kerja salah, tidak kerja apalagi. Jika aku hanya mengandalkan uang pemberian kamu, aku dan Michelle bisa kelaparan, Mas!""Beberapa bulan terakhir ini, kamu
"Re-Reina, buka matamu! aku mencintaimu, sayang. Aku tak mau kehilanganmu, bangunlah Reina!" Roy mengusap pipi istrinya dengan punggung ruas jemari tangan, lalu mengangkat kepala Reina dan meletakkannya di atas pangkuan.Hampir lima belas menit Reina masih terbaring tak berdaya. Roy merasa sangat takut akan kehilangan istrinya, meskipun dia kesal dan marah, tapi, ia tidak rela jika sang istri meninggalkannya dengan cara seperti ini. Bukan karena rasa sayang, melainkan takut dengan hukum yang berlaku di negara ini."Reina, maafkan aku."Baru pertama kalinya Roy mengucapkan kata maaf pada Reina, mungkin dia keceplosan saking paniknya, ia merasa cemas karena istrinya tak kunjung membuka mata, ia menepuk-nepuk pipi Reina pelan, lalu meraba pergelangan tangannya, untuk memastikan bahwa sang istri masih bernyawa."Syukurlah, masih ada denyut nadinya," gumam Roy lega. "Rei, bangun! Reina, cepat bangun! Kau jangan menakut-nakuti aku!" Roy mulai panik, karen
"Jam berapa ini, Reina?""Mas, kamu kok ada di rumah, gak kerja?" Reina balik bertanya dengan gugup."Heh, malah balik tanya! Jelaskan, sama aku! Kamu semalam habis dari mana, hah? Jam segini baru pulang!" bentak Roy dengan tatapan menelisik, ia menyambar tangan Reina dengan kasar."Apa sih, Mas? Kok pertanyaannya kayak gitu? kan, kamu tahu. Aku ini baru pulang kerja, masuk shift malam, bukannya aku sudah meminta izin, tadi, aku di suruh over time," jawab Reina dengan tenang.Ia tersenyum untuk menyamarkan dustanya, lalu melepaskan tangan Roy dari pergelangan, kemudian berjalan masuk ke kamarnya, tubuhnya butuh istirahat dan terasa begitu letih, tenaganya terkuras karena pergumulannya semalam dengan lelaki lain."Oh, iya. Sudah mulai pintar berbohong, rupanya kamu sekarang," ucap Roy tersenyum miring."Mas, aku tidak berbohong," ujar Reina tanpa menatap Roy, ia meletakan tas kecil di atas kasur."Halaaah … mana ada pemboh