"Reina!" panggil Roy, suaranya menggelegar memenuhi ruang kamar. Membuat Reina mengangkat tubuhnya seraya menoleh.
"Apa lagi, Mas? Apa kamu tidak puas menyakitiku?" ucap Reina, meskipun takut. Namun, ia selalu menunjukkan bahwa ia adalah wanita yang tegar dan berani.
"Aku takkan pernah puas. Jika kamu belum menjadi istri seperti yang kuinginkan!"
"Apa maksudmu? Aku sudah menjadi wanita penurut, dan tak pernah menuntut apapun darimu. Cukup tak cukup uang yang kamu berikan, aku selalu terima dengan ikhlas, apa kurangnya aku?!"
"Oh, jadi. Sekarang kamu berani berkata seperti itu, tak terima dengan yang kujatah setiap bulannya? Semenjak kamu memiliki penghasilan sendiri."
"Bukannya aku tak terima, tapi, sebagai suami seharusnya kamu mengerti! Kamu selalu mengekangku, dan selalu mencurigaiku. Kerja salah, tidak kerja apalagi. Jika aku hanya mengandalkan uang pemberian kamu, aku dan Michelle bisa kelaparan, Mas!"
"Beberapa bulan terakhir ini, kamu berbeda, Reina,"
"Karena aku muak, dengan semua kelakuanmu! Pemabuk, sering memukul, dan tak pernah cukup memberi nafkah, kau sibuk dengan kehidupanmu, dengan teman-temanmu, tak pernah sekalipun memikirkan aku,"
"Semakin kesini, kau makin berani melawanku. Kecurigaanku sepertinya memang benar, bahwa kau memiliki pria lain, selain aku. Jangan-jangan, yang dikatakan temanmu itu benar, semalam kau tidak bekerja dan menjajakan kenikmatan pada lelaki lain! Berapa uang yang kau peroleh hasil menjual tubuhmu?!"
"Mas, kamu bicara apa sih? Ucapanmu semakin ngawur saja,"
"Reina … berani sekali kau menyanggah ucapanku!" Roy menyambar rambut panjang Reina dan menjambaknya kuat, sehingga wajah perempuan itu menengadah, "Dengar cantik, aku tanyakan padamu sekali lagi! Apa benar semalam kau bekerja, hm? tapi, semua orang tak melihat keberadaanmu, ini aneh sekali," ujar Roy seraya menghempaskan cengkraman tangannya dari rambut Reina.
"Tapi Mas, aku semalam memang bekerja, kalau kamu dapat informasi bukan dari mandorku. Jangan di percaya, semalam aku ditugaskan di gudang, berdua sama Ratna bagian Qc, Mas. Jika orang lain yang kamu tanyakan itu, mengatakan aku semalam tidak masuk kerja, kamu salah Mas. Tolong percaya sama aku ...! Akan kubuktikan sekarang, aku telpon mandorku dulu!" ucap Reina, sakit di leher belum mereda, kini kepalanya berdenyut kembali, bekas jambakan jemari besar Roy.
"Hallah ... untuk apa? Aku sudah tak percaya lagi padamu. Selama ini kamu punya uang banyak dari mana? Aku mendengar selentingan kabar dari tetangga bahwa kamu sering pergi keluar rumah, dengan lelaki lain, dan meninggalkan Michelle, bersama yang momong," ucap Roy membuat hati Reina terasa mencelos.
Memang itu kenyataannya, meski dibibir menepis. Namun, hatinya mengakui semua kesalahan yang ia perbuat.
"Aku gak seburuk itu Mas, aku punya uang hasil kerjaku, selama ini, jangan tuduh aku seperti itu!" sanggah Reina.
"Reina, yang keluar dari mulutmu, semuanya bohong! Sebaiknya kamu berhenti kerja! Dan buktikan kesetiaanmu!" tegas Roy.
"Gak Mas, aku masih butuh pekerjaan, aku masih butuh uang," sergah Reina.
"Berani, kamu!"
Plak!! Roy menampar pipi Reina, seolah tak puas, tangannya digunakan untuk memukul, dan memukul lagi.
"Aw, sakit." Reina meringis kesakitan, sekujur tubuhnya yang lelah, kini di tambah dengan memar di beberapa bagian kulitnya.
"Sakit, kasian, itu hanya hukuman yang paling ringan untuk seorang pembohong!" Roy tersenyum menyeringai.
Air mata Reina mengalir kembali dengan deras, menahan rasa sakit. Bukan hanya kekerasan fisik yang kerap di terima Reina, hatinya pun sudah terlalu banyak luka.
"Rasanya, aku ingin sekali mematahkan leher indahmu, yang jenjang ini!" Roy menyusuri leher Reina dengan hidungnya. Jemari tangannya menyusup kembali kedalam sela rambut istrinya, dan mencengkeram kuat.
"Mas, jangan seperti ini! Tolong, lepaskan tanganmu dari rambutku!" lirih Reina. Ia mengiba berharap Roy sedikit kasihan padanya. Namun, tangisan Reina malah mengindahkan aksinya.
"Ma'afkan aku sayang," bisiknya dengan suara berat. Kata maaf yang tidak tulus dan bukan dari hati, melainkan mengejek juga menantang.
"Iya, aku memaafkanmu Mas," lirih Reina, mengangguk.Bibir Roy terus menyusuri pipi dan seluruh wajah Reina. Napasnya yang hangat dan memburu mengenai daun telinga Reina, tangannya tak lepas dari rambut wanita muda itu sedikitpun, sakit kian menjalar. Namun, ia tahan. Aksi Roy bukan untuk merayunya atau memberikan kasih sayang, tapi sebaliknya.
Roy membelai pipi Reina dengan ruas punggung jemari tangannya lembut, bukan belain cinta, atau kasih sayang, melainkan bagian dari amarah, dan luapan emosinya. Bukan kenyamanan yang didapat oleh Reina, malah ketakutan dan kecemasan yang menggerogoti perasaannya.
"Rei, kau jangan pernah membohongiku, dan berani menduakan aku. Dengar, Reina sayang! Wajahmu yang cantik ini, akan aku kuliti habis! Jika kamu ketahuan selingkuh!" ancam Roy dengan suaranya yang serak, membuat bulu kuduk Reina merinding.
Dada Reina sesak, napas pun tersengal mendengar ucapan Roy yang membuat hatinya kian berkecamuk. Tangan Roy turun membelai leher serta dada Reina.
"Tubuhmu yang molek ini, akan kuhabisi, dan akan kuberikan pada anjing yang kelaparan di luar sana, untuk santapan lezat mereka!" ancamnya lagi, Reina memicingkan mata seraya memalingkan wajahnya dari wajah Roy yang begitu rapat.
"Mas, jangan lakukan itu, aku mencintaimu. Percaya sama aku, di hati ini, tak ada lelaki lain selain kamu," ujar Reina dengan perasaan takut dan gusar, di hati Reina tak menyimpan rasa cinta lagi untuk pria jahat dan organ ini.
"Aku, akan percaya dengan ucapanmu, asalkan kau bersumpah, dan bersujud di kakiku!" pinta Roy.
"Baik." Reina mengangguk.
Roy melepaskan cengkraman tangannya dari rambut Reina, dengan menghempaskan tangan dan mendorong tubuh wanita itu ke depan, hingga ia terhuyung dan hampir jatuh.
"Cepat!" Roy menunjuk jari ke arah kakinya.
"I-iya." Reina mendeku kedua tangannya menumpu di lantai, seraya mencondongkan tubuh ke depan, kepalanya masih mengambang ragu.
Reina tak mau mencium kakinya, meskipun ia seorang pendosa. Namun ia tak mungkin bersujud kepada sesama manusia.
"Aww ... sakit Mas." Roy menekan kepala Reina dengan telapak kakinya yang dibalut sepatu pantofel, outsole-nya yang keras menginjak kepala Reina. Sehingga pipinya menempel di lantai yang dingin.
"Cepat, kau bersumpah!" bentaknya. Reina menarik napas perlahan, untuk mengucapkan kata-kata.
"Maafkan aku Mas, jika aku salah! Aku bersumpah demi Tuhan, bahwa aku tidak menduakanmu, dan tidak akan pernah mengkhianatimu, aku sangat mencintaimu," sumpah yang terpaksa ia ucapkan meski dengan suara tercekat.
"Bagus." Roy tertawa puas, seraya mengangkat kakinya dari kepala Reina.
"Bangun!" Roy menarik kerah kemeja bagian belakang Reina dan mengangkatnya.
"Iya Mas." Reina bangkit, dan mencoba berdiri kembali.
"Buatkan, aku makanan!" pinta Roy, dia benar-benar tak punya hati dan perasaan, setelah menyiksa Reina habis-habisan sekarang meminta wanita yang sudah ia siksa, membuatkan makanan untuknya.
"Baik." Reina beranjak ke dapur setengah berlari, menghindari Roy, untuk membuat makanan yang diperintahkan oleh lelaki kejam itu.
"Ya Tuhan ... aku sungguh tak sanggup hidup seperti ini, jika aku pergi, bagaimana nasib Michelle, sama ibu? Mas Roy tak pernah main-main dengan ancamannya." Reina bergumam sambil mengupas bawang untuk membuat bumbu masakan.
Setelah semua masakan matang, Reina menyiapkannya dengan sesegera mungkin, Roy bisa marah jika ia telat sedikit saja. Perempuan berkemeja biru navy seragam kerja, yang belum sempat ia ganti, dan bawahan celana jeans hitam itu menata makanan dengan rapi diatas meja, dan beranjak menuju ruang tengah, dimana Roy berada."Mas, makanannya sudah siap. Ayo kita makan dulu! Nanti, keburu dingin," ucap Reina berdiri di dekat sofa yang diduduki oleh Roy."Aku tidak lapar," tolaknya dengan nada dingin seperti biasa."Mas, bukannya kamu tadi pengen makan? Aku sudah masak enak, buat kamu," ucap Reina dengan hati-hati."Aku tidak ingin makan, aku minta, kamu melayaniku sekarang, juga!" pinta Roy lugas, seraya menyentak tangan Reina, menarik tubuh wanita itu hingga hampir jatuh."I-iya, Mas," jawab Reina gugup bercampur takut.Roy menarik tangan Reina ke dalam kamar dengan kasar, tanpa menunjukkan adanya rasa cinta sedikitpun terhadap istrinya."Mas
"Mas, kamu di rumah saja, ya! Biasanya juga aku belanja sendiri, takutnya kamu bosan menemaniku seharian keliling mall," ujar Reina seraya memoles wajah cantiknya dengan bedak, dan lipstik natural ia oles tipis. "Kan, tahu sendiri, kalau aku belanja gak cukup waktu sebentar."Roy hening sejenak, "Ok, aku akan diam di rumah. Tapi, ajak Michelle!""Iya, tapi, Michelle belum pulang, Mas,""Tunggu, sebentar lagi! Aku tak mau direpotkan sama anakmu! Kalau dia ditinggal di rumah, mengganggu saja!" ujarnya dingin.Bukannya Michelle juga anak Roy. Lelaki itu, memang tak pernah merasa punya tanggung jawab, bahkan dengan darah dagingnya sendiri, ia tak mau direpotkan, apalagi membantu mengurus. Lebih parahnya, ia tak mau menyebutnya anak kita, seolah Michelle anak Reina sendiri."Iya, Mas. Lagipula, Michelle udah lama gak aku ajak jalan,""Terserah, kamu! Sebelum pergi temani aku makan," pinta Roy. Reina mengangguk setuju, ia berjalan menuju dapur.
"Michelle, sayang, kita sudah sampai. Ayo turun, Nak!" pinta Reina. "Iya, mah," sahut gadis itu dibarengi anggukan, kemudian keduanya turun dari taksi. Ibu dan anak itu berjalan memasuki gedung apartemen. Reina menggenggam tangan Michelle, menaiki lift menuju tempat tinggal Andrew yang berada di lantai 15. "Mah, kita mau ngapain kesini? Ini rumah atau tempat apa?" tanya Michelle polos. Reina tersenyum seraya menatap putrinya, "Ini, rumah Om baik. Mama, ada urusan pekerjaan dengannya. Nanti, kamu jangan ganggu mama ya, sayang!" ucap Reina sebelum menekan bell yang berada di sampingku pintu. "Baik, Mah," angguk Michelle lagi. Reina menekan tombol bell yang ada di sisi pintu atas, tak lama kemudian seorang wanita berbaju dress putih kombinasi warna hitam, membukakan pintu dan menyambut ramah kedatangan Reina. "Selamat siang, Bi," sapa Reina dengan senyuman. "Pak Andrew, ada?" "Siang, Bu. Silahkan ma
Reina membawa belanjaannya ke dapur dan meletakkan plastik berisi kebutuhan pokok di atas meja makan. Ia membuka lemari pendingin dan menata semua sayuran ke vegetable room dan menyimpan; ayam juga ikan serta daging di chiller room, untuk persediaan satu Minggu ke depan. Ponsel yang berada dalam saku celana Reyna bergetar tanda panggilan masuk dari seseorang. Gegas Reina mengusap layar pada benda pipih tersebut dan menjauh, ia masuk ke dalam kamar mandi, takut sewaktu-waktu Roy masuk dan mendengar percakapannya dengan seseorang di seberang sana. "Halo, Mas. Ada apa?" tanya Reina dengan suara tertahan. Ada rasa kekhawatiran dalam hatinya ketika berbicara dengan Andrew, karena lelaki itu tak bisa ditebak, terkadang ia meminta bertemu di waktu yang tidak tepat dan terkadang memaksa. "Hai, sayang. Kamu lagi apa?" tanya Andrew basa-basi. "Apa kamu sudah pulang ke rumah?" "Baru, aja sampe." Reina menjawab. "Mas, badanku capek banget, sakit semua, sehabis dari apartemen mu tadi. Dan aku
"Jam berapa ini, Reina?""Mas, kamu kok ada di rumah, gak kerja?" Reina balik bertanya dengan gugup."Heh, malah balik tanya! Jelaskan, sama aku! Kamu semalam habis dari mana, hah? Jam segini baru pulang!" bentak Roy dengan tatapan menelisik, ia menyambar tangan Reina dengan kasar."Apa sih, Mas? Kok pertanyaannya kayak gitu? kan, kamu tahu. Aku ini baru pulang kerja, masuk shift malam, bukannya aku sudah meminta izin, tadi, aku di suruh over time," jawab Reina dengan tenang.Ia tersenyum untuk menyamarkan dustanya, lalu melepaskan tangan Roy dari pergelangan, kemudian berjalan masuk ke kamarnya, tubuhnya butuh istirahat dan terasa begitu letih, tenaganya terkuras karena pergumulannya semalam dengan lelaki lain."Oh, iya. Sudah mulai pintar berbohong, rupanya kamu sekarang," ucap Roy tersenyum miring."Mas, aku tidak berbohong," ujar Reina tanpa menatap Roy, ia meletakan tas kecil di atas kasur."Halaaah … mana ada pemboh
"Re-Reina, buka matamu! aku mencintaimu, sayang. Aku tak mau kehilanganmu, bangunlah Reina!" Roy mengusap pipi istrinya dengan punggung ruas jemari tangan, lalu mengangkat kepala Reina dan meletakkannya di atas pangkuan.Hampir lima belas menit Reina masih terbaring tak berdaya. Roy merasa sangat takut akan kehilangan istrinya, meskipun dia kesal dan marah, tapi, ia tidak rela jika sang istri meninggalkannya dengan cara seperti ini. Bukan karena rasa sayang, melainkan takut dengan hukum yang berlaku di negara ini."Reina, maafkan aku."Baru pertama kalinya Roy mengucapkan kata maaf pada Reina, mungkin dia keceplosan saking paniknya, ia merasa cemas karena istrinya tak kunjung membuka mata, ia menepuk-nepuk pipi Reina pelan, lalu meraba pergelangan tangannya, untuk memastikan bahwa sang istri masih bernyawa."Syukurlah, masih ada denyut nadinya," gumam Roy lega. "Rei, bangun! Reina, cepat bangun! Kau jangan menakut-nakuti aku!" Roy mulai panik, karen
Reina membawa belanjaannya ke dapur dan meletakkan plastik berisi kebutuhan pokok di atas meja makan. Ia membuka lemari pendingin dan menata semua sayuran ke vegetable room dan menyimpan; ayam juga ikan serta daging di chiller room, untuk persediaan satu Minggu ke depan. Ponsel yang berada dalam saku celana Reyna bergetar tanda panggilan masuk dari seseorang. Gegas Reina mengusap layar pada benda pipih tersebut dan menjauh, ia masuk ke dalam kamar mandi, takut sewaktu-waktu Roy masuk dan mendengar percakapannya dengan seseorang di seberang sana. "Halo, Mas. Ada apa?" tanya Reina dengan suara tertahan. Ada rasa kekhawatiran dalam hatinya ketika berbicara dengan Andrew, karena lelaki itu tak bisa ditebak, terkadang ia meminta bertemu di waktu yang tidak tepat dan terkadang memaksa. "Hai, sayang. Kamu lagi apa?" tanya Andrew basa-basi. "Apa kamu sudah pulang ke rumah?" "Baru, aja sampe." Reina menjawab. "Mas, badanku capek banget, sakit semua, sehabis dari apartemen mu tadi. Dan aku
"Michelle, sayang, kita sudah sampai. Ayo turun, Nak!" pinta Reina. "Iya, mah," sahut gadis itu dibarengi anggukan, kemudian keduanya turun dari taksi. Ibu dan anak itu berjalan memasuki gedung apartemen. Reina menggenggam tangan Michelle, menaiki lift menuju tempat tinggal Andrew yang berada di lantai 15. "Mah, kita mau ngapain kesini? Ini rumah atau tempat apa?" tanya Michelle polos. Reina tersenyum seraya menatap putrinya, "Ini, rumah Om baik. Mama, ada urusan pekerjaan dengannya. Nanti, kamu jangan ganggu mama ya, sayang!" ucap Reina sebelum menekan bell yang berada di sampingku pintu. "Baik, Mah," angguk Michelle lagi. Reina menekan tombol bell yang ada di sisi pintu atas, tak lama kemudian seorang wanita berbaju dress putih kombinasi warna hitam, membukakan pintu dan menyambut ramah kedatangan Reina. "Selamat siang, Bi," sapa Reina dengan senyuman. "Pak Andrew, ada?" "Siang, Bu. Silahkan ma
"Mas, kamu di rumah saja, ya! Biasanya juga aku belanja sendiri, takutnya kamu bosan menemaniku seharian keliling mall," ujar Reina seraya memoles wajah cantiknya dengan bedak, dan lipstik natural ia oles tipis. "Kan, tahu sendiri, kalau aku belanja gak cukup waktu sebentar."Roy hening sejenak, "Ok, aku akan diam di rumah. Tapi, ajak Michelle!""Iya, tapi, Michelle belum pulang, Mas,""Tunggu, sebentar lagi! Aku tak mau direpotkan sama anakmu! Kalau dia ditinggal di rumah, mengganggu saja!" ujarnya dingin.Bukannya Michelle juga anak Roy. Lelaki itu, memang tak pernah merasa punya tanggung jawab, bahkan dengan darah dagingnya sendiri, ia tak mau direpotkan, apalagi membantu mengurus. Lebih parahnya, ia tak mau menyebutnya anak kita, seolah Michelle anak Reina sendiri."Iya, Mas. Lagipula, Michelle udah lama gak aku ajak jalan,""Terserah, kamu! Sebelum pergi temani aku makan," pinta Roy. Reina mengangguk setuju, ia berjalan menuju dapur.
Setelah semua masakan matang, Reina menyiapkannya dengan sesegera mungkin, Roy bisa marah jika ia telat sedikit saja. Perempuan berkemeja biru navy seragam kerja, yang belum sempat ia ganti, dan bawahan celana jeans hitam itu menata makanan dengan rapi diatas meja, dan beranjak menuju ruang tengah, dimana Roy berada."Mas, makanannya sudah siap. Ayo kita makan dulu! Nanti, keburu dingin," ucap Reina berdiri di dekat sofa yang diduduki oleh Roy."Aku tidak lapar," tolaknya dengan nada dingin seperti biasa."Mas, bukannya kamu tadi pengen makan? Aku sudah masak enak, buat kamu," ucap Reina dengan hati-hati."Aku tidak ingin makan, aku minta, kamu melayaniku sekarang, juga!" pinta Roy lugas, seraya menyentak tangan Reina, menarik tubuh wanita itu hingga hampir jatuh."I-iya, Mas," jawab Reina gugup bercampur takut.Roy menarik tangan Reina ke dalam kamar dengan kasar, tanpa menunjukkan adanya rasa cinta sedikitpun terhadap istrinya."Mas
"Reina!" panggil Roy, suaranya menggelegar memenuhi ruang kamar. Membuat Reina mengangkat tubuhnya seraya menoleh."Apa lagi, Mas? Apa kamu tidak puas menyakitiku?" ucap Reina, meskipun takut. Namun, ia selalu menunjukkan bahwa ia adalah wanita yang tegar dan berani."Aku takkan pernah puas. Jika kamu belum menjadi istri seperti yang kuinginkan!""Apa maksudmu? Aku sudah menjadi wanita penurut, dan tak pernah menuntut apapun darimu. Cukup tak cukup uang yang kamu berikan, aku selalu terima dengan ikhlas, apa kurangnya aku?!""Oh, jadi. Sekarang kamu berani berkata seperti itu, tak terima dengan yang kujatah setiap bulannya? Semenjak kamu memiliki penghasilan sendiri.""Bukannya aku tak terima, tapi, sebagai suami seharusnya kamu mengerti! Kamu selalu mengekangku, dan selalu mencurigaiku. Kerja salah, tidak kerja apalagi. Jika aku hanya mengandalkan uang pemberian kamu, aku dan Michelle bisa kelaparan, Mas!""Beberapa bulan terakhir ini, kamu
"Re-Reina, buka matamu! aku mencintaimu, sayang. Aku tak mau kehilanganmu, bangunlah Reina!" Roy mengusap pipi istrinya dengan punggung ruas jemari tangan, lalu mengangkat kepala Reina dan meletakkannya di atas pangkuan.Hampir lima belas menit Reina masih terbaring tak berdaya. Roy merasa sangat takut akan kehilangan istrinya, meskipun dia kesal dan marah, tapi, ia tidak rela jika sang istri meninggalkannya dengan cara seperti ini. Bukan karena rasa sayang, melainkan takut dengan hukum yang berlaku di negara ini."Reina, maafkan aku."Baru pertama kalinya Roy mengucapkan kata maaf pada Reina, mungkin dia keceplosan saking paniknya, ia merasa cemas karena istrinya tak kunjung membuka mata, ia menepuk-nepuk pipi Reina pelan, lalu meraba pergelangan tangannya, untuk memastikan bahwa sang istri masih bernyawa."Syukurlah, masih ada denyut nadinya," gumam Roy lega. "Rei, bangun! Reina, cepat bangun! Kau jangan menakut-nakuti aku!" Roy mulai panik, karen
"Jam berapa ini, Reina?""Mas, kamu kok ada di rumah, gak kerja?" Reina balik bertanya dengan gugup."Heh, malah balik tanya! Jelaskan, sama aku! Kamu semalam habis dari mana, hah? Jam segini baru pulang!" bentak Roy dengan tatapan menelisik, ia menyambar tangan Reina dengan kasar."Apa sih, Mas? Kok pertanyaannya kayak gitu? kan, kamu tahu. Aku ini baru pulang kerja, masuk shift malam, bukannya aku sudah meminta izin, tadi, aku di suruh over time," jawab Reina dengan tenang.Ia tersenyum untuk menyamarkan dustanya, lalu melepaskan tangan Roy dari pergelangan, kemudian berjalan masuk ke kamarnya, tubuhnya butuh istirahat dan terasa begitu letih, tenaganya terkuras karena pergumulannya semalam dengan lelaki lain."Oh, iya. Sudah mulai pintar berbohong, rupanya kamu sekarang," ucap Roy tersenyum miring."Mas, aku tidak berbohong," ujar Reina tanpa menatap Roy, ia meletakan tas kecil di atas kasur."Halaaah … mana ada pemboh