"Mas, kamu di rumah saja, ya! Biasanya juga aku belanja sendiri, takutnya kamu bosan menemaniku seharian keliling mall," ujar Reina seraya memoles wajah cantiknya dengan bedak, dan lipstik natural ia oles tipis. "Kan, tahu sendiri, kalau aku belanja gak cukup waktu sebentar."
Roy hening sejenak, "Ok, aku akan diam di rumah. Tapi, ajak Michelle!"
"Iya, tapi, Michelle belum pulang, Mas,"
"Tunggu, sebentar lagi! Aku tak mau direpotkan sama anakmu! Kalau dia ditinggal di rumah, mengganggu saja!" ujarnya dingin.
Bukannya Michelle juga anak Roy. Lelaki itu, memang tak pernah merasa punya tanggung jawab, bahkan dengan darah dagingnya sendiri, ia tak mau direpotkan, apalagi membantu mengurus. Lebih parahnya, ia tak mau menyebutnya anak kita, seolah Michelle anak Reina sendiri.
"Iya, Mas. Lagipula, Michelle udah lama gak aku ajak jalan,"
"Terserah, kamu! Sebelum pergi temani aku makan," pinta Roy. Reina mengangguk setuju, ia berjalan menuju dapur.
"Silahkan, Mas!" titah Reina lembut, ia menarik kursi untuk Roy duduk, dan menyendok nasi beserta lauk, ayam goreng, sayur sup jamur, ke atas piring yang ada di hadapan suaminya.
Roy mulai menyuap nasi beserta lauk, ia merasakan masakan Reina yang memang terasa enak memanjakan lidah, istrinya sangat pandai memasak. Karena semenjak kecil sudah diajari mandiri oleh sang ibu, mengurus rumah dan memasak, karena Reina anak tunggal, dan sering ditinggal ibu dan ayahnya pergi ke ladang seharian, maka Reina lah yang menyiapkan segalanya untuk kedua orang tuanya.
Pintu diketuk di barengi dengan ucapan salam dari depan pintu, Reina bangkit dan bergegas membukakan pintu. Senyumnya mengembang seketika, melihat buah hatinya di antarkan oleh yang momong.
"Sayang," ucap Reina memeluk tubuh mungil putrinya.
"Mama …." Michelle balas memeluk mamanya erat, perasaan yang sangat luar biasa, dirasakan oleh Reina saat bertemu putrinya, meskipun berpisah hanya beberapa jam saja.
"Mama, kangen Nak." Reina mencium gemas pipi chubby gadis berusia lima tahun itu.
"Aku juga kangen, Mama," jawab Michelle manja, Reina mengurai pelukan, kemudian menoleh pada pengasuh putrinya, yang masih berdiri di hadapannya.
"Mbak, ini tas Michelle," ucap seorang wanita berbaju gamis warna coklat, seraya menyodorkan tas sekolah Michelle, pada Reina.
"Terima kasih, ya, Mbak Ambar. Udah momong Michelle, hampir seharian penuh," ujar Reina sedikit berbisik.
Wanita bernama itu mengangguk seraya mengulas senyuman, "Tak apa, Mbak. Lagian Mbak Reina juga sangat baik pada saya, sering memberi uang lebih," ucapnya seolah mengingatkan.
Reina mencondongkan tubuhnya, ke arah Ambar, seraya berbisik. "Mbak, nanti aku kasih lebihnya, setelan pulang dari ATM."
Wanita itu mengangguk mengerti maksud dari Reina, "Iya, itu gampang Mbak. Untuk urusan Michelle percayakan sama aku, di jamin putrimu baik-baik saja, Mbak mau pergi sehari semalam juga, bagiku tak masalah," ujarnya dengan senyuman.
"Ok, Mbak. Aku sangat percaya," balas Reina dengan senyuman manisnya. Ambar pun pamit seraya berlalu dari rumah Reina.
"Papa … kok gak kerja?" tanya Michelle berlari ke arah Roy yang asyik dengan kesibukannya sendiri, memainkan jemari tangannya yang lincah di atas layar gawai.
"Cuti," jawabnya singkat tanpa menatap putrinya yang mengharapkan ciuman atau sekedar pelukan sayang dari seorang ayah.
"Pa, aku mau di ajak jalan-jalan sama Mama, papa mau ikut kami, gak?" tanya Michelle duduk dengan sikap manjanya di dekat Roy.
Pria itu melirik dengan sudut matanya sekilas pada Michelle, "Jangan ganggu, kalau mau pergi, ya sana!" ujarnya dingin dan ketus. Wajah Michelle yang semula dihiasi senyum ceria mendadak muram, ia menundukkan wajahnya kecewa, pada sikap papanya yang tak pernah memberikan sedikit kasih sayangnya.
Reina yang melihat sikap Roy yang tak acuh pada Michelle, hatinya terasa nyeri, ia menghampiri gadis kecilnya, seraya mencondongkan tubuhnya, berjajar dengan putri cantiknya.
"Michelle, kita ke kamar dulu yu! Ganti baju, katanya pengen jalan-jalan," ajak Reina lembut penuh kasih sayang, menghibur Michelle. Gadis kecil itu mengangguk.
"Iya, Mah." Tangan Michelle digamit oleh Reina dan menuntun gadis itu ke dalam kamar.
"Mah, papa kok gak sayang sama aku," protes Michelle, saat sampai di dalam kamar, Reina tersenyum seraya menangkup kedua pipi chubby putrinya.
"Nak, papa capek. Makanya dia seperti itu," ujar Reina berdusta, agar putrinya tak bersedih lagi.
"Papa, beda sama Om. Dia baik, sering gendong aku, ngajak jalan aku," seloroh Michelle, Reina mengerutkan keningnya bingung.
"Om, om yang mana sayang?" tanya Reina keheranan.
"Om, ganteng yang pernah kesini nganterin Mama pulang kerja. Dia pernah ngajak aku main, dan makan ke restoran, Om itu, sayang banget sama aku, mah," terang Michelle polos.
"Ya Tuhan, apa Om yang dimaksud itu mas Andrew, padahal aku belum pernah mengenalkan Michelle dengannya, kalau sampai Michelle ngomong sama Mas Roy, bisa mati aku!" gumam Reina seraya duduk di tepi ranjang.
Ia bergeming, satu tangannya meremas ujung dress dengan hati gelisah. Reina menatap wajah Michelle, kedua tangannya memegang bahu putri kecilnya.
"Sayang, apa kamu pernah, mengatakan hal ini pada papamu?" tanya Reina lembut. Gadis itu menggeleng.
"Tidak, mah. Papa mana mau bicara sama aku, dia jahat! Gak seperti om genteng baik juga ramah," papar Michelle tulus.
Reina menarik napas lega, mendengar pernyataan sang putri, "Dengar mama, Nak. Sekarang kita mau main ke rumah Om itu, tapi, kamu jangan mengatakan apapun pada papa! Dia bisa marah," peringat Reina lembut dan tegas.
"Asik." Michelle berseru seraya mengacungkan kedua tangannya yang dikepal, kegirangan, "Aku senang, bertemu Om, dia sangat sayang sama aku,"
"Yaudah, sekarang kita siap-siap!" pinta Reina.
Kemudian mengganti pakaian Michelle dengan dress brokat warna merah, terpaut pita besar di pinggang kirinya. Dan rambutnya yang panjang dibiarkan terurai, wajah mungilnya di bingkai bando warna senada, sepatu pantofel merah tua bergliter menambah aksen cantik dan lucu, untuk anak seusia Michelle.
Reina dan Michelle berlalu dari rumahnya, setelah berpamitan pada Roy, pamitnya hanya ditanggapi dengan anggukan kecil.
*
"Sayang, kamu dimana?" Pesan dari Andrew.
"Aku di jalan, tapi, aku ajak Michelle. Tak apa 'kan? Apa kamu keberatan, Mas?" tanya Reina ragu.
Beberapa detik belum ada balasan, membuat Reina khawatir kalau Andrew akan marah.
"Oh, tak apa. Aku sudah kenal putrimu, dia gadis yang cantik dan menggemaskan, aku suka dengannya. Bawa saja dia ke rumahku, nanti titip bibi jika sudah sampai kesini. Dan satu hal, dia tak boleh mengganggu kebersamaan kita, aku tak mau, pertemuan kita terganggu sedikitpun!"
Reina menarik napas panjang, karena pertemuannya dengan Andrew sering menghabiskan waktu yang cukup lama, bagaimana jika Michelle menangis minta pulang.
"Michelle, sayang, kita sudah sampai. Ayo turun, Nak!" pinta Reina. "Iya, mah," sahut gadis itu dibarengi anggukan, kemudian keduanya turun dari taksi. Ibu dan anak itu berjalan memasuki gedung apartemen. Reina menggenggam tangan Michelle, menaiki lift menuju tempat tinggal Andrew yang berada di lantai 15. "Mah, kita mau ngapain kesini? Ini rumah atau tempat apa?" tanya Michelle polos. Reina tersenyum seraya menatap putrinya, "Ini, rumah Om baik. Mama, ada urusan pekerjaan dengannya. Nanti, kamu jangan ganggu mama ya, sayang!" ucap Reina sebelum menekan bell yang berada di sampingku pintu. "Baik, Mah," angguk Michelle lagi. Reina menekan tombol bell yang ada di sisi pintu atas, tak lama kemudian seorang wanita berbaju dress putih kombinasi warna hitam, membukakan pintu dan menyambut ramah kedatangan Reina. "Selamat siang, Bi," sapa Reina dengan senyuman. "Pak Andrew, ada?" "Siang, Bu. Silahkan ma
Reina membawa belanjaannya ke dapur dan meletakkan plastik berisi kebutuhan pokok di atas meja makan. Ia membuka lemari pendingin dan menata semua sayuran ke vegetable room dan menyimpan; ayam juga ikan serta daging di chiller room, untuk persediaan satu Minggu ke depan. Ponsel yang berada dalam saku celana Reyna bergetar tanda panggilan masuk dari seseorang. Gegas Reina mengusap layar pada benda pipih tersebut dan menjauh, ia masuk ke dalam kamar mandi, takut sewaktu-waktu Roy masuk dan mendengar percakapannya dengan seseorang di seberang sana. "Halo, Mas. Ada apa?" tanya Reina dengan suara tertahan. Ada rasa kekhawatiran dalam hatinya ketika berbicara dengan Andrew, karena lelaki itu tak bisa ditebak, terkadang ia meminta bertemu di waktu yang tidak tepat dan terkadang memaksa. "Hai, sayang. Kamu lagi apa?" tanya Andrew basa-basi. "Apa kamu sudah pulang ke rumah?" "Baru, aja sampe." Reina menjawab. "Mas, badanku capek banget, sakit semua, sehabis dari apartemen mu tadi. Dan aku
"Jam berapa ini, Reina?""Mas, kamu kok ada di rumah, gak kerja?" Reina balik bertanya dengan gugup."Heh, malah balik tanya! Jelaskan, sama aku! Kamu semalam habis dari mana, hah? Jam segini baru pulang!" bentak Roy dengan tatapan menelisik, ia menyambar tangan Reina dengan kasar."Apa sih, Mas? Kok pertanyaannya kayak gitu? kan, kamu tahu. Aku ini baru pulang kerja, masuk shift malam, bukannya aku sudah meminta izin, tadi, aku di suruh over time," jawab Reina dengan tenang.Ia tersenyum untuk menyamarkan dustanya, lalu melepaskan tangan Roy dari pergelangan, kemudian berjalan masuk ke kamarnya, tubuhnya butuh istirahat dan terasa begitu letih, tenaganya terkuras karena pergumulannya semalam dengan lelaki lain."Oh, iya. Sudah mulai pintar berbohong, rupanya kamu sekarang," ucap Roy tersenyum miring."Mas, aku tidak berbohong," ujar Reina tanpa menatap Roy, ia meletakan tas kecil di atas kasur."Halaaah … mana ada pemboh
"Re-Reina, buka matamu! aku mencintaimu, sayang. Aku tak mau kehilanganmu, bangunlah Reina!" Roy mengusap pipi istrinya dengan punggung ruas jemari tangan, lalu mengangkat kepala Reina dan meletakkannya di atas pangkuan.Hampir lima belas menit Reina masih terbaring tak berdaya. Roy merasa sangat takut akan kehilangan istrinya, meskipun dia kesal dan marah, tapi, ia tidak rela jika sang istri meninggalkannya dengan cara seperti ini. Bukan karena rasa sayang, melainkan takut dengan hukum yang berlaku di negara ini."Reina, maafkan aku."Baru pertama kalinya Roy mengucapkan kata maaf pada Reina, mungkin dia keceplosan saking paniknya, ia merasa cemas karena istrinya tak kunjung membuka mata, ia menepuk-nepuk pipi Reina pelan, lalu meraba pergelangan tangannya, untuk memastikan bahwa sang istri masih bernyawa."Syukurlah, masih ada denyut nadinya," gumam Roy lega. "Rei, bangun! Reina, cepat bangun! Kau jangan menakut-nakuti aku!" Roy mulai panik, karen
"Reina!" panggil Roy, suaranya menggelegar memenuhi ruang kamar. Membuat Reina mengangkat tubuhnya seraya menoleh."Apa lagi, Mas? Apa kamu tidak puas menyakitiku?" ucap Reina, meskipun takut. Namun, ia selalu menunjukkan bahwa ia adalah wanita yang tegar dan berani."Aku takkan pernah puas. Jika kamu belum menjadi istri seperti yang kuinginkan!""Apa maksudmu? Aku sudah menjadi wanita penurut, dan tak pernah menuntut apapun darimu. Cukup tak cukup uang yang kamu berikan, aku selalu terima dengan ikhlas, apa kurangnya aku?!""Oh, jadi. Sekarang kamu berani berkata seperti itu, tak terima dengan yang kujatah setiap bulannya? Semenjak kamu memiliki penghasilan sendiri.""Bukannya aku tak terima, tapi, sebagai suami seharusnya kamu mengerti! Kamu selalu mengekangku, dan selalu mencurigaiku. Kerja salah, tidak kerja apalagi. Jika aku hanya mengandalkan uang pemberian kamu, aku dan Michelle bisa kelaparan, Mas!""Beberapa bulan terakhir ini, kamu
Setelah semua masakan matang, Reina menyiapkannya dengan sesegera mungkin, Roy bisa marah jika ia telat sedikit saja. Perempuan berkemeja biru navy seragam kerja, yang belum sempat ia ganti, dan bawahan celana jeans hitam itu menata makanan dengan rapi diatas meja, dan beranjak menuju ruang tengah, dimana Roy berada."Mas, makanannya sudah siap. Ayo kita makan dulu! Nanti, keburu dingin," ucap Reina berdiri di dekat sofa yang diduduki oleh Roy."Aku tidak lapar," tolaknya dengan nada dingin seperti biasa."Mas, bukannya kamu tadi pengen makan? Aku sudah masak enak, buat kamu," ucap Reina dengan hati-hati."Aku tidak ingin makan, aku minta, kamu melayaniku sekarang, juga!" pinta Roy lugas, seraya menyentak tangan Reina, menarik tubuh wanita itu hingga hampir jatuh."I-iya, Mas," jawab Reina gugup bercampur takut.Roy menarik tangan Reina ke dalam kamar dengan kasar, tanpa menunjukkan adanya rasa cinta sedikitpun terhadap istrinya."Mas
Reina membawa belanjaannya ke dapur dan meletakkan plastik berisi kebutuhan pokok di atas meja makan. Ia membuka lemari pendingin dan menata semua sayuran ke vegetable room dan menyimpan; ayam juga ikan serta daging di chiller room, untuk persediaan satu Minggu ke depan. Ponsel yang berada dalam saku celana Reyna bergetar tanda panggilan masuk dari seseorang. Gegas Reina mengusap layar pada benda pipih tersebut dan menjauh, ia masuk ke dalam kamar mandi, takut sewaktu-waktu Roy masuk dan mendengar percakapannya dengan seseorang di seberang sana. "Halo, Mas. Ada apa?" tanya Reina dengan suara tertahan. Ada rasa kekhawatiran dalam hatinya ketika berbicara dengan Andrew, karena lelaki itu tak bisa ditebak, terkadang ia meminta bertemu di waktu yang tidak tepat dan terkadang memaksa. "Hai, sayang. Kamu lagi apa?" tanya Andrew basa-basi. "Apa kamu sudah pulang ke rumah?" "Baru, aja sampe." Reina menjawab. "Mas, badanku capek banget, sakit semua, sehabis dari apartemen mu tadi. Dan aku
"Michelle, sayang, kita sudah sampai. Ayo turun, Nak!" pinta Reina. "Iya, mah," sahut gadis itu dibarengi anggukan, kemudian keduanya turun dari taksi. Ibu dan anak itu berjalan memasuki gedung apartemen. Reina menggenggam tangan Michelle, menaiki lift menuju tempat tinggal Andrew yang berada di lantai 15. "Mah, kita mau ngapain kesini? Ini rumah atau tempat apa?" tanya Michelle polos. Reina tersenyum seraya menatap putrinya, "Ini, rumah Om baik. Mama, ada urusan pekerjaan dengannya. Nanti, kamu jangan ganggu mama ya, sayang!" ucap Reina sebelum menekan bell yang berada di sampingku pintu. "Baik, Mah," angguk Michelle lagi. Reina menekan tombol bell yang ada di sisi pintu atas, tak lama kemudian seorang wanita berbaju dress putih kombinasi warna hitam, membukakan pintu dan menyambut ramah kedatangan Reina. "Selamat siang, Bi," sapa Reina dengan senyuman. "Pak Andrew, ada?" "Siang, Bu. Silahkan ma
"Mas, kamu di rumah saja, ya! Biasanya juga aku belanja sendiri, takutnya kamu bosan menemaniku seharian keliling mall," ujar Reina seraya memoles wajah cantiknya dengan bedak, dan lipstik natural ia oles tipis. "Kan, tahu sendiri, kalau aku belanja gak cukup waktu sebentar."Roy hening sejenak, "Ok, aku akan diam di rumah. Tapi, ajak Michelle!""Iya, tapi, Michelle belum pulang, Mas,""Tunggu, sebentar lagi! Aku tak mau direpotkan sama anakmu! Kalau dia ditinggal di rumah, mengganggu saja!" ujarnya dingin.Bukannya Michelle juga anak Roy. Lelaki itu, memang tak pernah merasa punya tanggung jawab, bahkan dengan darah dagingnya sendiri, ia tak mau direpotkan, apalagi membantu mengurus. Lebih parahnya, ia tak mau menyebutnya anak kita, seolah Michelle anak Reina sendiri."Iya, Mas. Lagipula, Michelle udah lama gak aku ajak jalan,""Terserah, kamu! Sebelum pergi temani aku makan," pinta Roy. Reina mengangguk setuju, ia berjalan menuju dapur.
Setelah semua masakan matang, Reina menyiapkannya dengan sesegera mungkin, Roy bisa marah jika ia telat sedikit saja. Perempuan berkemeja biru navy seragam kerja, yang belum sempat ia ganti, dan bawahan celana jeans hitam itu menata makanan dengan rapi diatas meja, dan beranjak menuju ruang tengah, dimana Roy berada."Mas, makanannya sudah siap. Ayo kita makan dulu! Nanti, keburu dingin," ucap Reina berdiri di dekat sofa yang diduduki oleh Roy."Aku tidak lapar," tolaknya dengan nada dingin seperti biasa."Mas, bukannya kamu tadi pengen makan? Aku sudah masak enak, buat kamu," ucap Reina dengan hati-hati."Aku tidak ingin makan, aku minta, kamu melayaniku sekarang, juga!" pinta Roy lugas, seraya menyentak tangan Reina, menarik tubuh wanita itu hingga hampir jatuh."I-iya, Mas," jawab Reina gugup bercampur takut.Roy menarik tangan Reina ke dalam kamar dengan kasar, tanpa menunjukkan adanya rasa cinta sedikitpun terhadap istrinya."Mas
"Reina!" panggil Roy, suaranya menggelegar memenuhi ruang kamar. Membuat Reina mengangkat tubuhnya seraya menoleh."Apa lagi, Mas? Apa kamu tidak puas menyakitiku?" ucap Reina, meskipun takut. Namun, ia selalu menunjukkan bahwa ia adalah wanita yang tegar dan berani."Aku takkan pernah puas. Jika kamu belum menjadi istri seperti yang kuinginkan!""Apa maksudmu? Aku sudah menjadi wanita penurut, dan tak pernah menuntut apapun darimu. Cukup tak cukup uang yang kamu berikan, aku selalu terima dengan ikhlas, apa kurangnya aku?!""Oh, jadi. Sekarang kamu berani berkata seperti itu, tak terima dengan yang kujatah setiap bulannya? Semenjak kamu memiliki penghasilan sendiri.""Bukannya aku tak terima, tapi, sebagai suami seharusnya kamu mengerti! Kamu selalu mengekangku, dan selalu mencurigaiku. Kerja salah, tidak kerja apalagi. Jika aku hanya mengandalkan uang pemberian kamu, aku dan Michelle bisa kelaparan, Mas!""Beberapa bulan terakhir ini, kamu
"Re-Reina, buka matamu! aku mencintaimu, sayang. Aku tak mau kehilanganmu, bangunlah Reina!" Roy mengusap pipi istrinya dengan punggung ruas jemari tangan, lalu mengangkat kepala Reina dan meletakkannya di atas pangkuan.Hampir lima belas menit Reina masih terbaring tak berdaya. Roy merasa sangat takut akan kehilangan istrinya, meskipun dia kesal dan marah, tapi, ia tidak rela jika sang istri meninggalkannya dengan cara seperti ini. Bukan karena rasa sayang, melainkan takut dengan hukum yang berlaku di negara ini."Reina, maafkan aku."Baru pertama kalinya Roy mengucapkan kata maaf pada Reina, mungkin dia keceplosan saking paniknya, ia merasa cemas karena istrinya tak kunjung membuka mata, ia menepuk-nepuk pipi Reina pelan, lalu meraba pergelangan tangannya, untuk memastikan bahwa sang istri masih bernyawa."Syukurlah, masih ada denyut nadinya," gumam Roy lega. "Rei, bangun! Reina, cepat bangun! Kau jangan menakut-nakuti aku!" Roy mulai panik, karen
"Jam berapa ini, Reina?""Mas, kamu kok ada di rumah, gak kerja?" Reina balik bertanya dengan gugup."Heh, malah balik tanya! Jelaskan, sama aku! Kamu semalam habis dari mana, hah? Jam segini baru pulang!" bentak Roy dengan tatapan menelisik, ia menyambar tangan Reina dengan kasar."Apa sih, Mas? Kok pertanyaannya kayak gitu? kan, kamu tahu. Aku ini baru pulang kerja, masuk shift malam, bukannya aku sudah meminta izin, tadi, aku di suruh over time," jawab Reina dengan tenang.Ia tersenyum untuk menyamarkan dustanya, lalu melepaskan tangan Roy dari pergelangan, kemudian berjalan masuk ke kamarnya, tubuhnya butuh istirahat dan terasa begitu letih, tenaganya terkuras karena pergumulannya semalam dengan lelaki lain."Oh, iya. Sudah mulai pintar berbohong, rupanya kamu sekarang," ucap Roy tersenyum miring."Mas, aku tidak berbohong," ujar Reina tanpa menatap Roy, ia meletakan tas kecil di atas kasur."Halaaah … mana ada pemboh