Setelah semua masakan matang, Reina menyiapkannya dengan sesegera mungkin, Roy bisa marah jika ia telat sedikit saja. Perempuan berkemeja biru navy seragam kerja, yang belum sempat ia ganti, dan bawahan celana jeans hitam itu menata makanan dengan rapi diatas meja, dan beranjak menuju ruang tengah, dimana Roy berada.
"Mas, makanannya sudah siap. Ayo kita makan dulu! Nanti, keburu dingin," ucap Reina berdiri di dekat sofa yang diduduki oleh Roy.
"Aku tidak lapar," tolaknya dengan nada dingin seperti biasa.
"Mas, bukannya kamu tadi pengen makan? Aku sudah masak enak, buat kamu," ucap Reina dengan hati-hati.
"Aku tidak ingin makan, aku minta, kamu melayaniku sekarang, juga!" pinta Roy lugas, seraya menyentak tangan Reina, menarik tubuh wanita itu hingga hampir jatuh.
"I-iya, Mas," jawab Reina gugup bercampur takut.
Roy menarik tangan Reina ke dalam kamar dengan kasar, tanpa menunjukkan adanya rasa cinta sedikitpun terhadap istrinya.
"Mas, pelan-pelan sakit," sergah Reina, seraya memutar tangannya.
"Diamlah! Reina, aku hanya ingin tahu dengan kesetiaanmu,"
"Maksud, Mas?"
"Lepas bajumu, sekarang!" tunjuk Roy.
Reina menuruti perintah suaminya, melepas bajunya satu persatu. Dengan kasar Roy mendorong tubuh istrinya hingga terhempas ke atas kasur, seperti seorang penjahat memperlakukan korbannya.
Tak seperti Andrew, yang selalu memperlakukan Reina dengan lembut, justru sebaliknya dengan Roy, dia kasar, tak ada kenyamanan dan kenikmatan yang dirasakan oleh Reina saat bersamanya.
"Aku ingin memastikan, ucapanmu itu benar, atau tidak? Apa kau masih setia padaku, dan apakah tubuhmu, sudah pernah di jamah orang lain. Aku hanya ingin tahu," ucap Roy sebelum melakukan hubungan suami istri.
Reina bergeming, takut Roy merasakan perbedaan dalam tubuhnya, hatinya tak menyangkal, bahwa ia lebih sering melayani Andrew di tempat tidur, di bandingkan dengan melayani Roy. Lelaki itu selalu pulang larut malam, apalagi jika Reina kerja shift malam, bahkan Roy jarang pulang, dia lebih sering tidur di rumah ibunya.
Ketika tanggal gajian pun Roy tak memberi uang bulanan untuk resiko dapur, semenjak Reina bekerja, gaji satu bulan untuk memenuhi kebutuhan tidaklah cukup, karena semua ditanggung oleh Reina.
Tak jarang Andrew memberikan uangnya, untuk membantu kebutuhan Reina dan putrinya, termasuk biaya sekolah dan bayar momong Michelle.
Tak ada suara dari mulut lelaki itu, ataupun desahan nikmat yang keluar dari bibirnya, membuat Reina semakin takut, akan kebohongannya terbongkar.
"Berapa orang yang sudah meniduri kamu, Reina?" bentak Roy sesaat setelah melepas birahinya.
Reina menggeleng, dengan dahi berkerut, memasang wajah polos.
"Aku, tidak mengerti ucapanmu, Mas," jawab Reina sambil menutupi tubuh mulusnya dengan selimut.
'Apa Mas Roy menemukan, atau merasakan perbedaan, di sana? Aku takut sekali. Kenapa dia diam saat melakukannya, apa dia merasakan hal yang berbeda, dalam diriku?' batin Reina bermonolog penuh rasa cemas.
"Baiklah, untuk saat ini, aku percaya padamu. Tapi, jika aku menemukan sesuatu yang kau sembunyikan dariku, awas saja! Hidupmu, tidak akan lama lagi," ucap Roy dengan suara rendah dan menakutkan.
Napas Reina tersengal menahan rasa takut, mendengar ancaman suaminya. Lelaki itu menyambar celana cargo pendek, dan mengenakannya, kemudian melangkah menuju kamar mandi, letaknya samping tembok dapur. Sepeninggalnya Roy, ia bangkit mengambil ponselnya dari dalam tas kecil.
Ada beberapa panggilan tak terjawab dari nomor yang sangat ia kenal, 'Anindi' kontak dengan nama samaran untuk Andrew kekasih gelapnya, sengaja ia menerapkan mode hening, agar tak terdengar nada dering, jika sedang berada di rumah.
Dan beberapa pesan masuk dari Andrew, yang belum di buka.
"Sayang, kamu sedang apa? Dari tadi Mas hubungi kamu, tapi, kamu tak merespon. Mas rindu," isi chat Andrew di aplikasi hijau tersebut.
"Mas, ingin sekali bertemu denganmu nanti siang, setelah jam makan, mau gak?" pinta Andrew diakhiri dengan emoticon love.
Reina gegas membalas chat dari lelaki yang ada di seberang sana, "Maaf, Mas, aku baru pegang HP. Ada Suamiku di rumah, tadi aku lagi masak buat dia, ini juga baru selesai," dusta Reina.
Tatapan dan pendengarannya waspada, takut Roy tiba-tiba saja masuk, pesan yang ia kirimkan centang biru, tak lama balasan dari Andrew pun muncul.
"Gimana, mau gak?" tanya Andrew lagi memastikan, "Mas, kangen banget,"
"Mas, bukannya semalam kita sudah menghabiskan waktu berdua, kenapa sekarang minta lagi? Aku letih, tubuhku butuh istirahat," jawab Reina dengan suara lelahnya.
Tanda panggilan masuk dari Andrew, yang tidak sabar ingin bicara dengan Reina, lelaki itu tak puas dengan jawabannya. Perempuan yang masih terbaring di tempat tidur itu menyentak napas kasar merasa bingung, ini yang membuat dia malas dengan seorang Andrew, tak pernah mengerti saat dia lelah, atau sedang tidak ingin, Reina harus tetap datang untuk menemuinya, jika Andrew sedang membutuhkan sesuatu darinya.
Meskipun jasa Andrew begitu banyak pada Reina, tapi lelaki itu tak pernah mengerti situasi, dan tak mau mengerti.
"Ia, Mas. Ada apa?" tanya Reina dengan segera, seraya menyandarkan punggungnya di sandaran ranjang.
"Rei sayang, tolonglah. Datang jam satu siang, Mas sedang ingin!" pintanya memelas. Ia kini berada di dalam kamarnya, duduk di sofa sambil memainkan bagian tubuhnya yang sensitif, matanya fokus ke layar TV, yang sedang memutar adegan video panas, memancing birahi kelelakiannya.
"Tapi, Mas. Bagaimana aku bisa pergi? Sementara, suamiku ada di rumah," jawab Reina dengan nada lembut, takut Andrew marah.
"Sayang, buat alasan yang tepat, dan minta izinnya! Agar kamu bisa menemuiku!"
"Alasan apa, Mas." Reina mulai malas, ia benar-benar lelah, dan tak ingin beranjak dari tempat tidur, karena semalam melayani lelaki yang kini sedang menghubungi dan menunggu kedatangannya hingga pagi. Dan barusan ia melayani sang suami, rasanya sudah tak ada hasrat lagi saat ini, bagi Reina untuk melakukan hubungan seperti itu.
"Please honey, aku mau dirimu, sekarang!" Dari suara Andrew terdengar sedikit memaksa.
"Hm, baiklah. Tapi, aku minta uang," seru Reina seraya menarik napas, "Oh, iya. Aku lupa, tadi pagi gak minta uang sama kamu. Maaf ya, bukan maksudku ingin morotin, kamu,"
"Itu, masalah kecil, tak apa sayang," jawab Andrew enteng, "Yang penting saat ini, jagoanku bisa bertemu denganmu, kalau soal uang, itu gampang, berapapun yang kau minta,"
"Baiklah." Reina menutup sambungan telepon, dan menghapus semua chat dari Andrew, berikut riwayat panggilan, gegas ia memasang mode pesawat di ponselnya sebelum mengisi daya, dan beranjak ke kamar mandi.
"Mas, aku sudah siapkan baju untukmu," ucap Reina saat berpapasan dengan Roy yang baru keluar dari kamar mandi, lelaki itu tak menjawab, tubuh kekarnya dibalut handuk yang melilit di pinggang, rambutnya basah menetes di dahi, ia memang tampan, tapi, sifatnya terlalu arogan.
Reina masuk kedalam kamar mandi, untuk membersihkan tubuh, "Kalau bukan karena uang, dan jasamu, Mas. Aku tak mau menjadi pelacurmu," gumam Reina sambil memindai tubuhnya yang sudah kotor, karena sudah dijamah tangan lelaki lain.
Ia ingat dengan dosa. Namun, ia sangat takut, dan bingung bagaimana caranya lepas dari jerat Andrew, sementara ia begitu banyak berhutang pada lelaki itu.
*
"Mas, aku minta izin. Aku mau keluar sebentar, ya," ucap Reina pada Roy, lelaki itu duduk di tepi ranjang, pandangannya tak lepas dari memperhatikan gerak-gerik istrinya.
"Keluar, mau apa? Bukannya kamu baru pulang, dan sekarang mau keluar lagi?" ujar Roy dengan nada datar.
"Aku mau belanja, kebutuhan Michelle, dan keperluan dapur," jelas Reina, ia duduk di kursi meja rias seraya mengeringkan rambutnya dengan hairdryer.
"Apa kau mau menemui kekasih, gelapmu?" Bentak Roy membuat hati Reina berdegup kencang.
"Ti-tidak Mas, kamu jangan berprasangka buruk terhadapku! Lihat di dalam kulkas, susu Michelle habis, perlengkapan mandi juga habis, sayur mayur juga tak ada. Mungpung aku masih punya sedikit uang, kalau ditunda nanti uangnya habis terpakai," sergah Reina memberi pengertian.
"Baiklah, tapi, aku yang mengantarmu!" tegas Andrew.
'Bagaimana ini, kalau Mas Roy ikut? Aku tak bisa menemui Mas Andrew,' gumam Reina dalam hati, ia mulai gelisah bagaimana caranya untuk bisa menemui kekasihnya.
Jika ia di antar oleh Roy, Reina mau belanja pakai apa? Dia sendiri tidak punya cukup uang. Hanya alasan saja izin untuk berbelanja, niatnya setelah menemani Andrew dan mendapatkan uang, ia baru belanja, sebagai alibi untuk menutupi kebohongannya.
"Mas, kamu di rumah saja, ya! Biasanya juga aku belanja sendiri, takutnya kamu bosan menemaniku seharian keliling mall," ujar Reina seraya memoles wajah cantiknya dengan bedak, dan lipstik natural ia oles tipis. "Kan, tahu sendiri, kalau aku belanja gak cukup waktu sebentar."Roy hening sejenak, "Ok, aku akan diam di rumah. Tapi, ajak Michelle!""Iya, tapi, Michelle belum pulang, Mas,""Tunggu, sebentar lagi! Aku tak mau direpotkan sama anakmu! Kalau dia ditinggal di rumah, mengganggu saja!" ujarnya dingin.Bukannya Michelle juga anak Roy. Lelaki itu, memang tak pernah merasa punya tanggung jawab, bahkan dengan darah dagingnya sendiri, ia tak mau direpotkan, apalagi membantu mengurus. Lebih parahnya, ia tak mau menyebutnya anak kita, seolah Michelle anak Reina sendiri."Iya, Mas. Lagipula, Michelle udah lama gak aku ajak jalan,""Terserah, kamu! Sebelum pergi temani aku makan," pinta Roy. Reina mengangguk setuju, ia berjalan menuju dapur.
"Michelle, sayang, kita sudah sampai. Ayo turun, Nak!" pinta Reina. "Iya, mah," sahut gadis itu dibarengi anggukan, kemudian keduanya turun dari taksi. Ibu dan anak itu berjalan memasuki gedung apartemen. Reina menggenggam tangan Michelle, menaiki lift menuju tempat tinggal Andrew yang berada di lantai 15. "Mah, kita mau ngapain kesini? Ini rumah atau tempat apa?" tanya Michelle polos. Reina tersenyum seraya menatap putrinya, "Ini, rumah Om baik. Mama, ada urusan pekerjaan dengannya. Nanti, kamu jangan ganggu mama ya, sayang!" ucap Reina sebelum menekan bell yang berada di sampingku pintu. "Baik, Mah," angguk Michelle lagi. Reina menekan tombol bell yang ada di sisi pintu atas, tak lama kemudian seorang wanita berbaju dress putih kombinasi warna hitam, membukakan pintu dan menyambut ramah kedatangan Reina. "Selamat siang, Bi," sapa Reina dengan senyuman. "Pak Andrew, ada?" "Siang, Bu. Silahkan ma
Reina membawa belanjaannya ke dapur dan meletakkan plastik berisi kebutuhan pokok di atas meja makan. Ia membuka lemari pendingin dan menata semua sayuran ke vegetable room dan menyimpan; ayam juga ikan serta daging di chiller room, untuk persediaan satu Minggu ke depan. Ponsel yang berada dalam saku celana Reyna bergetar tanda panggilan masuk dari seseorang. Gegas Reina mengusap layar pada benda pipih tersebut dan menjauh, ia masuk ke dalam kamar mandi, takut sewaktu-waktu Roy masuk dan mendengar percakapannya dengan seseorang di seberang sana. "Halo, Mas. Ada apa?" tanya Reina dengan suara tertahan. Ada rasa kekhawatiran dalam hatinya ketika berbicara dengan Andrew, karena lelaki itu tak bisa ditebak, terkadang ia meminta bertemu di waktu yang tidak tepat dan terkadang memaksa. "Hai, sayang. Kamu lagi apa?" tanya Andrew basa-basi. "Apa kamu sudah pulang ke rumah?" "Baru, aja sampe." Reina menjawab. "Mas, badanku capek banget, sakit semua, sehabis dari apartemen mu tadi. Dan aku
"Jam berapa ini, Reina?""Mas, kamu kok ada di rumah, gak kerja?" Reina balik bertanya dengan gugup."Heh, malah balik tanya! Jelaskan, sama aku! Kamu semalam habis dari mana, hah? Jam segini baru pulang!" bentak Roy dengan tatapan menelisik, ia menyambar tangan Reina dengan kasar."Apa sih, Mas? Kok pertanyaannya kayak gitu? kan, kamu tahu. Aku ini baru pulang kerja, masuk shift malam, bukannya aku sudah meminta izin, tadi, aku di suruh over time," jawab Reina dengan tenang.Ia tersenyum untuk menyamarkan dustanya, lalu melepaskan tangan Roy dari pergelangan, kemudian berjalan masuk ke kamarnya, tubuhnya butuh istirahat dan terasa begitu letih, tenaganya terkuras karena pergumulannya semalam dengan lelaki lain."Oh, iya. Sudah mulai pintar berbohong, rupanya kamu sekarang," ucap Roy tersenyum miring."Mas, aku tidak berbohong," ujar Reina tanpa menatap Roy, ia meletakan tas kecil di atas kasur."Halaaah … mana ada pemboh
"Re-Reina, buka matamu! aku mencintaimu, sayang. Aku tak mau kehilanganmu, bangunlah Reina!" Roy mengusap pipi istrinya dengan punggung ruas jemari tangan, lalu mengangkat kepala Reina dan meletakkannya di atas pangkuan.Hampir lima belas menit Reina masih terbaring tak berdaya. Roy merasa sangat takut akan kehilangan istrinya, meskipun dia kesal dan marah, tapi, ia tidak rela jika sang istri meninggalkannya dengan cara seperti ini. Bukan karena rasa sayang, melainkan takut dengan hukum yang berlaku di negara ini."Reina, maafkan aku."Baru pertama kalinya Roy mengucapkan kata maaf pada Reina, mungkin dia keceplosan saking paniknya, ia merasa cemas karena istrinya tak kunjung membuka mata, ia menepuk-nepuk pipi Reina pelan, lalu meraba pergelangan tangannya, untuk memastikan bahwa sang istri masih bernyawa."Syukurlah, masih ada denyut nadinya," gumam Roy lega. "Rei, bangun! Reina, cepat bangun! Kau jangan menakut-nakuti aku!" Roy mulai panik, karen
"Reina!" panggil Roy, suaranya menggelegar memenuhi ruang kamar. Membuat Reina mengangkat tubuhnya seraya menoleh."Apa lagi, Mas? Apa kamu tidak puas menyakitiku?" ucap Reina, meskipun takut. Namun, ia selalu menunjukkan bahwa ia adalah wanita yang tegar dan berani."Aku takkan pernah puas. Jika kamu belum menjadi istri seperti yang kuinginkan!""Apa maksudmu? Aku sudah menjadi wanita penurut, dan tak pernah menuntut apapun darimu. Cukup tak cukup uang yang kamu berikan, aku selalu terima dengan ikhlas, apa kurangnya aku?!""Oh, jadi. Sekarang kamu berani berkata seperti itu, tak terima dengan yang kujatah setiap bulannya? Semenjak kamu memiliki penghasilan sendiri.""Bukannya aku tak terima, tapi, sebagai suami seharusnya kamu mengerti! Kamu selalu mengekangku, dan selalu mencurigaiku. Kerja salah, tidak kerja apalagi. Jika aku hanya mengandalkan uang pemberian kamu, aku dan Michelle bisa kelaparan, Mas!""Beberapa bulan terakhir ini, kamu
Reina membawa belanjaannya ke dapur dan meletakkan plastik berisi kebutuhan pokok di atas meja makan. Ia membuka lemari pendingin dan menata semua sayuran ke vegetable room dan menyimpan; ayam juga ikan serta daging di chiller room, untuk persediaan satu Minggu ke depan. Ponsel yang berada dalam saku celana Reyna bergetar tanda panggilan masuk dari seseorang. Gegas Reina mengusap layar pada benda pipih tersebut dan menjauh, ia masuk ke dalam kamar mandi, takut sewaktu-waktu Roy masuk dan mendengar percakapannya dengan seseorang di seberang sana. "Halo, Mas. Ada apa?" tanya Reina dengan suara tertahan. Ada rasa kekhawatiran dalam hatinya ketika berbicara dengan Andrew, karena lelaki itu tak bisa ditebak, terkadang ia meminta bertemu di waktu yang tidak tepat dan terkadang memaksa. "Hai, sayang. Kamu lagi apa?" tanya Andrew basa-basi. "Apa kamu sudah pulang ke rumah?" "Baru, aja sampe." Reina menjawab. "Mas, badanku capek banget, sakit semua, sehabis dari apartemen mu tadi. Dan aku
"Michelle, sayang, kita sudah sampai. Ayo turun, Nak!" pinta Reina. "Iya, mah," sahut gadis itu dibarengi anggukan, kemudian keduanya turun dari taksi. Ibu dan anak itu berjalan memasuki gedung apartemen. Reina menggenggam tangan Michelle, menaiki lift menuju tempat tinggal Andrew yang berada di lantai 15. "Mah, kita mau ngapain kesini? Ini rumah atau tempat apa?" tanya Michelle polos. Reina tersenyum seraya menatap putrinya, "Ini, rumah Om baik. Mama, ada urusan pekerjaan dengannya. Nanti, kamu jangan ganggu mama ya, sayang!" ucap Reina sebelum menekan bell yang berada di sampingku pintu. "Baik, Mah," angguk Michelle lagi. Reina menekan tombol bell yang ada di sisi pintu atas, tak lama kemudian seorang wanita berbaju dress putih kombinasi warna hitam, membukakan pintu dan menyambut ramah kedatangan Reina. "Selamat siang, Bi," sapa Reina dengan senyuman. "Pak Andrew, ada?" "Siang, Bu. Silahkan ma
"Mas, kamu di rumah saja, ya! Biasanya juga aku belanja sendiri, takutnya kamu bosan menemaniku seharian keliling mall," ujar Reina seraya memoles wajah cantiknya dengan bedak, dan lipstik natural ia oles tipis. "Kan, tahu sendiri, kalau aku belanja gak cukup waktu sebentar."Roy hening sejenak, "Ok, aku akan diam di rumah. Tapi, ajak Michelle!""Iya, tapi, Michelle belum pulang, Mas,""Tunggu, sebentar lagi! Aku tak mau direpotkan sama anakmu! Kalau dia ditinggal di rumah, mengganggu saja!" ujarnya dingin.Bukannya Michelle juga anak Roy. Lelaki itu, memang tak pernah merasa punya tanggung jawab, bahkan dengan darah dagingnya sendiri, ia tak mau direpotkan, apalagi membantu mengurus. Lebih parahnya, ia tak mau menyebutnya anak kita, seolah Michelle anak Reina sendiri."Iya, Mas. Lagipula, Michelle udah lama gak aku ajak jalan,""Terserah, kamu! Sebelum pergi temani aku makan," pinta Roy. Reina mengangguk setuju, ia berjalan menuju dapur.
Setelah semua masakan matang, Reina menyiapkannya dengan sesegera mungkin, Roy bisa marah jika ia telat sedikit saja. Perempuan berkemeja biru navy seragam kerja, yang belum sempat ia ganti, dan bawahan celana jeans hitam itu menata makanan dengan rapi diatas meja, dan beranjak menuju ruang tengah, dimana Roy berada."Mas, makanannya sudah siap. Ayo kita makan dulu! Nanti, keburu dingin," ucap Reina berdiri di dekat sofa yang diduduki oleh Roy."Aku tidak lapar," tolaknya dengan nada dingin seperti biasa."Mas, bukannya kamu tadi pengen makan? Aku sudah masak enak, buat kamu," ucap Reina dengan hati-hati."Aku tidak ingin makan, aku minta, kamu melayaniku sekarang, juga!" pinta Roy lugas, seraya menyentak tangan Reina, menarik tubuh wanita itu hingga hampir jatuh."I-iya, Mas," jawab Reina gugup bercampur takut.Roy menarik tangan Reina ke dalam kamar dengan kasar, tanpa menunjukkan adanya rasa cinta sedikitpun terhadap istrinya."Mas
"Reina!" panggil Roy, suaranya menggelegar memenuhi ruang kamar. Membuat Reina mengangkat tubuhnya seraya menoleh."Apa lagi, Mas? Apa kamu tidak puas menyakitiku?" ucap Reina, meskipun takut. Namun, ia selalu menunjukkan bahwa ia adalah wanita yang tegar dan berani."Aku takkan pernah puas. Jika kamu belum menjadi istri seperti yang kuinginkan!""Apa maksudmu? Aku sudah menjadi wanita penurut, dan tak pernah menuntut apapun darimu. Cukup tak cukup uang yang kamu berikan, aku selalu terima dengan ikhlas, apa kurangnya aku?!""Oh, jadi. Sekarang kamu berani berkata seperti itu, tak terima dengan yang kujatah setiap bulannya? Semenjak kamu memiliki penghasilan sendiri.""Bukannya aku tak terima, tapi, sebagai suami seharusnya kamu mengerti! Kamu selalu mengekangku, dan selalu mencurigaiku. Kerja salah, tidak kerja apalagi. Jika aku hanya mengandalkan uang pemberian kamu, aku dan Michelle bisa kelaparan, Mas!""Beberapa bulan terakhir ini, kamu
"Re-Reina, buka matamu! aku mencintaimu, sayang. Aku tak mau kehilanganmu, bangunlah Reina!" Roy mengusap pipi istrinya dengan punggung ruas jemari tangan, lalu mengangkat kepala Reina dan meletakkannya di atas pangkuan.Hampir lima belas menit Reina masih terbaring tak berdaya. Roy merasa sangat takut akan kehilangan istrinya, meskipun dia kesal dan marah, tapi, ia tidak rela jika sang istri meninggalkannya dengan cara seperti ini. Bukan karena rasa sayang, melainkan takut dengan hukum yang berlaku di negara ini."Reina, maafkan aku."Baru pertama kalinya Roy mengucapkan kata maaf pada Reina, mungkin dia keceplosan saking paniknya, ia merasa cemas karena istrinya tak kunjung membuka mata, ia menepuk-nepuk pipi Reina pelan, lalu meraba pergelangan tangannya, untuk memastikan bahwa sang istri masih bernyawa."Syukurlah, masih ada denyut nadinya," gumam Roy lega. "Rei, bangun! Reina, cepat bangun! Kau jangan menakut-nakuti aku!" Roy mulai panik, karen
"Jam berapa ini, Reina?""Mas, kamu kok ada di rumah, gak kerja?" Reina balik bertanya dengan gugup."Heh, malah balik tanya! Jelaskan, sama aku! Kamu semalam habis dari mana, hah? Jam segini baru pulang!" bentak Roy dengan tatapan menelisik, ia menyambar tangan Reina dengan kasar."Apa sih, Mas? Kok pertanyaannya kayak gitu? kan, kamu tahu. Aku ini baru pulang kerja, masuk shift malam, bukannya aku sudah meminta izin, tadi, aku di suruh over time," jawab Reina dengan tenang.Ia tersenyum untuk menyamarkan dustanya, lalu melepaskan tangan Roy dari pergelangan, kemudian berjalan masuk ke kamarnya, tubuhnya butuh istirahat dan terasa begitu letih, tenaganya terkuras karena pergumulannya semalam dengan lelaki lain."Oh, iya. Sudah mulai pintar berbohong, rupanya kamu sekarang," ucap Roy tersenyum miring."Mas, aku tidak berbohong," ujar Reina tanpa menatap Roy, ia meletakan tas kecil di atas kasur."Halaaah … mana ada pemboh