“Jangan memerintahku kembali ke Perancis!” Suara Douglass datar saat bicara dengan istri mudanya. Mereka sekarang berada di dalam kamar. Ini pertama kalinya Douglass memasuki kamar Bintang setelah menikah selama 8 bulan.
Bintang membalas tatapan pria tersebut. “Bukankah kau sedang resah karena istri tuamu terus-terusan menelepon dan memintamu kembali ke Perancis secepatnya!” sahutnya. “Kau menguping pembicaraanku dengannya?!” “Tidak! Tapi, tidak sengaja mendengarnya,” jawab Bintang ketus, tapi jujur. “Tidak seharusnya kau mendengar pembicaraan kami, meski kau tidak sengaja mendengarnya sekalipun!” tegas Douglass. Bintang malas menanggapi ucapan Douglass yang sama sekali tidak berarti untuknya. “Silahkan keluar dari sini, aku ingin mandi!” usir Bintang. Douglass tersenyum kesal, “aku berhak di sini sampai kapanpun aku mau! Kau tidak berhak melarangku atau mengaturku karena aku adalah suamimu!” “Suami di atas kertas! Pernikahan kita terjadi karena perjanjian!” Skak Bintang dan berhasil membuat Douglass bungkam. Douglass menatap datar dan tajam pada Bintang, kemudian segera keluar dari kamar tersebut dengan rasa marah yang mulai menyebar ke seluruh hatinya. Bintang yang dulunya gadis penurut dan patuh, sekarang menjadi pembangkang. Tidak pernah sekalipun ia melihat Bintang menatapnya nyalang seperti tadi. Douglass menyesap rokoknya. Sepertinya ia tidak bisa menganggap remeh ancaman Bintang yang tidak akan memberikan anaknya setelah perjanjian pernikahan mereka selesai. Gadis itu semakin berani dan menentangnya. “Tuan ada kiriman bunga untuk Nyonya.” Pelayan memeluk rangkaian bunga mawar merah lalu menyerahkan pada Tuanya yang tengah merokok. Douglass menoleh, alisnya menyatu, menatap tajam pada bunga itu. “Siapa pengirimnya?” tanya Douglass, dingin. “Tidak ada nama pengirimnya.” Pelayan menyerahkan bunga itu, tapi Douglass menyuruhnya untuk membuangnya. Douglass yakin kalau pengirim bunga itu adalah pemuda bermata sipit yang menyukai Bintang. Dadanya bergemuruh, rasa tidak suka dan tidak terima mengepung dadanya. Ia tidak rela dan tidak suka jika istrinya disukai oleh pria lain. Douglass sampai saat ini belum menyadari kalau di dalam hatinya sudah terpatri nama Bintang di sana. ... Bintang sudah cantik mengenakan dress warna navy yang kontras di kulit putihnya. Ia menuruni tangga sambil menyelempangkan tas di pundak. Rambutnya dikuncir kuda memperlihatkan leher jenjangnya yang mulus tanpa cela. Wanita itu hamil itu sangat menawan dan begitu memikat setiap. Bahkan Douglass saja sampai tidak berkedip melihatnya. “Kau belum siap?” tanya Bintang, menatap suaminya yang masih mengenakan kaos dan celana pendek. “Hari ini adalah jadwal pemeriksaan kandunganku.” “Sial! Kenapa kau tidak memberitahuku?!” “Aku sudah memberitahumu sebelumnya! Dasar orang tua, suka pikun!!!” cibir Bintang sambil menatap sebal pada pria tua tapi masih terlihats sangat tampan itu. “Hei! Aku masih muda, usiaku baru 40 tahun!” tegas Douglass tidak suka dikatai ‘tua’. “Ya, terserah! Kau tua tapi kelakuanmu seperti bocah! Cepat bersiap, aku menunggumu di luar!” balas Bintang tidak ada manis-manisnya pada suaminya. Douglass mendengus kesal, lalu berlalu dari sana menuju kamarnya untuk bersiap. Tidak berselang lama ia sudah berganti pakaian. Rambutnya yang berantakan sudah disisir rapi. Visualnya sangat tampan, dan berwibawa layaknya bapak-bapak pada umumnya. Mobil mewah berwarna hitam sudah siap dengan sopir di dalamnya. Bintang segera masuk ke mobil bersamaan dengan Douglass keluar dari rumah. Bintang menatap suaminya sekilas, sejujurnya ia selalu terpesona dengan Visual suaminya yang sangat tampan dan berwibawa. Namun ia harus selalu memberikan sekat di dalam hatinya agar tidak jatuh dalam dekapan pria tersebut untuk selamanya. “Apa aku kelihatan sudah tua?” Tiba-Tiba Douglass melontarkan pertanyaan kepada sopir yang duduk di balik kemudi. Sopir menggeser spion tengah, menatap wajah tuannya sambil tersenyum. “Anda masih sangat tampan, Tuan. Tapi, maaf, uban di kepala Anda tidak bisa membohongi umur.” Sopir itu berbicara jujur kepada tuannya. dengan refleks ia menyentuh kepalanya ,“Tidak masalah, aku bisa pergi ke salon untuk menyamarkannya!” Douglass berkata dengan rasa penuh percaya diri. Bintang hanya menggelengkan kepala sebagai respons atas sikap aneh suaminya. Mobil mewah itu melaju, menyusuri jalanan kota menuju rumah sakit. ... Selesai periksa kandungan. Bintang menyuruh sopir untuk mengantarkannya ke pusat perbelanjaan. “Kata dokter kau harus banyak istirahat, bukan malah berbelanja!” ucap Douglass dingin, tanpa menatap istrinya, karena pandangannya saat ini fokus pada foto USG yang ada di tangannya. Hatinya menghangat, dan perasaan haru meluluh lantakkan hatinya saat melihat foto calon bayinya yang tumbuh kuat, dan sehat. "Sebentar lagi bayi ini akan lahir. Aku harus membeli perlengkapannya," jawab Bintang dengan suara lirih yang penuh kesedihan. Hatinya seperti ditusuk belati tajam ketika menyadari bahwa ia akan segera terpaksa berpisah dengan buah hatinya. Air matanya terasa penuh sesak dan menetes, membasahi pipi yang pucat pasi. Sudah sekuat tenaga ia berusaha membujuk Douglass untuk membatalkan surat pernikahan itu, namun Douglass tetap keras kepala tak mau menanggapi. Sementara itu, Freya - istri pertama Douglass - menuju Jakarta dengan perasaan yang bergolak bak lautan badai. Rasa curiganya terbukti benar, bahwa suaminya ternyata menyimpan selingkuhan. Ia mengeluarkan segala daya dan upaya, bahkan sampai menyewa detektif untuk mengikuti jejak Douglass selama berada di Jakarta. Hatinya hancur berkeping-keping, bagai ditelan bumi saat mengetahui bahwa suaminya ternyata telah menikahi wanita lain, yang bahkan jauh lebih muda darinya. Dua wanita yang tersakiti oleh laki-laki yang sama, kini berada dalam penguasaan perasaan yang sama; hancur, kecewa, dan kehilangan harapan. Douglass dan Bintang tiba di pusat perbelanjaan, berusaha melupakan perasaan kesal dan emosi yang sempat menghantui hati mereka. Begitu melihat deretan pakaian bayi yang imut dan menggemaskan, seolah mendapati oasis di tengah padang pasir, mereka tidak bisa menahan senyuman. Langkah mereka kompak meraih pilihan pakaian, bergelut dalam semangat kebersamaan. Bintang tersenyum penuh harap sambil menggenggam tangan suaminya. Mereka lantas memilih pakaian berwarna netral, sebab mereka belum mengetahui jenis kelamin buah hati yang akan dilahirkan. Setiap sentuhan lembut pada baju bayi itu, membayangkan kebahagiaan yang akan datang. “Nyonya, ini ada pakaian khusus untuk menyusui, apakah Anda tertarik untuk membelinya? Lagi promosi loh,” kata pramuniaga yang menawarkan barang dagangannya pada calon kedua orang tua itu. “Boleh, aku mau membelinya selusin,” jawab Douglass dengan cepat, karena pakaian itu pasti cocok untuk Bintang. “Tidak perlu. Aku tidak membutuhkan pakaian itu!” Bintang segera menyela. “Kenapa? Setelah melahirkan kau sangat membutuhkan pakaian ini agar lebih mudah menyusui bayi kita.” “Apa kau lupa dengan perjanjian kita? Bukankah aku akan pergi setelah melahirkan bayi ini! Jadi jangan membelinya!” jawab Bintang dingin dan sedih seraya mengusap perutnya, di mana bayi di dalamnya bergerak lincah. Douglass diam. Saking bahagianya membeli pakaian bayi ia sampai melupakan tentang perjanjian mereka.Saat tiba di rumah setelah berbelanja, Bintang langsung berlari menuju kamarnya, mengunci diri di dalam kamar dan tak kuasa menahan isak tangisnya sepanjang hari. Meskipun malam telah menjelang, ia masih terus menyendiri, tak mengizinkan suaminya masuk kecuali saat sang pelayan mengantarkan makanannya."Tuan, Nyonya Bintang masih menangis tanpa henti hingga saat ini. Kondisinya sangat mengkhawatirkan," lapor Bibi, pelayan setia mereka, pada tuannya, Douglass, yang sedang duduk tenang di ruang keluarga sambil mengisap rokoknya dengan dingin.Douglass mendengus, matanya menyala penuh kekesalan, "Biarkan dia menghabiskan air matanya. Setelah semua itu habis, dia tak akan bisa menangis lagi." Ucapnya dengan nada tegas dan arogan, seolah tak ada belas kasihan dalam hatinya.Bibi pelayan hanya bisa menghela napas panjang, merasa iba melihat nasib majikannya, sebelum mengundurkan diri dari ruangan tersebut. Di balik ekspresi beku yang ditampilkan oleh Douglass, hatinya bersikeras menduga bah
"Saya akan membantu, Nyonya, tapi mohon bersabar," pinta Bibi pelayan, menatap sedih dan prihatin, seraya menggenggam tangan Nyonya Bintang dengan erat. Ia dapat merasakan tangan lembut itu berkeringat dingin menandakan ketakutan.Air mata Bintang semakin deras mengalir, dengan berat hati menganggukkan kepala. Sebenarnya ia bisa kabur kapan saja, tapi ia tidak mempunyai tujuan, terlebih lagi kondisinya saat ini sedang hamil tua. Dan sudah lama juga ia putus komunikasi dengan ibu tirinya sejak ia dijual pada Tuan Douglass.Bibi menuntun Nyonya Bintang ke kamar. "Besok pagi saya akan pergi ke pasar. Saya tunggu Anda di dekat gerbang rumah," ucap Bibi pelayan dengan nada pelan."Iya, Bi." Bintang mengangguk cepat.Setelah berbicara dengan Nyonya Bintang. Bibi pelayan segera keluar dari sana, dan melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda.Di lantai bawah. Douglass dan Freya masih bertengkar hebat. Suara lantang Freya menentang keputusan suaminya."Walau kau menikahinya hanya sementara
"Sabar, sayang. Mama tidak akan meninggalkanmu, dan akan terus berjuang untuk mempertahankanmu dari mereka yang ingin merebutmu," bisik Bintang pada bayinya di dalam kandungan, saat ia mendengar pertengkaran Douglass dan Freya di luar kamar. Bintang menggigit bibir ketika ia merasakan kontraksi begitu kuat di area perut. “Tidak! Jangan sekarang, belum waktunya!” Bintang memeluk perut buncitnya, dan memohon pada bayi di dalam kandungannya agar tidak lahir saat ini. Sekuat tenaga ia menahan, tapi rasa sakit itu semakin kuat menggulung tubuh ringkihnya. Air matanya berderai dan keringat dingin membasahi wajahnya. Ia sudah tidak kuat lagi menahan rasa sakit yang semakin terasa menyiksa. Bintang berjalan pelan menuju tempat tidur. Tapi kedua kakinya tak sanggup lagi untuk menopang yang mengakibatkan dirinya jatuh ke lantai. Rasa sakit yang dirasakan Bintang semakin bertambah, kedua matanya terasa berkunang-kunang, dan kepalanya berat, pandangannya juga mulai gelap, tapi Bintang sekuat
Douglass menatap penuh haru bayi mungil berjenis kelamin perempuan yang sudah tak bernyawa, terbaring di atas tempat tidur kecil. Sebelum dimakamkan, ia diberikan kesempatan untuk melihat anaknya itu. Matanya berkaca-kaca, pipinya memerah, sulit untuk menahan air matanya yang terus mengalir."Bayiku," bisiknya parau, pelan, lalu menggendong bayi mungil itu untuk pertama dan terakhir kalinya. Hatinya terasa remuk, luluhlantak menyaksikan kenyataan pedih ini. Di sudut hatinya, ada semacam harapan bahwa semua ini hanyalah mimpi buruk yang akan segera berlalu.Namun tanpa disadari Douglass, bayi yang tengah ia dekap itu bukanlah bayinya yang sebenarnya. Semua ini adalah rencana Bintang. Dengan berat hati, ibu muda itu melakukan segalanya demi mempertahankan bayinya agar tidak direbut oleh Douglass.Perawat itu datang menghampiri, mengabarkan bahwa bayi mungil itu harus segera dipersiapkan untuk dimakamkan. Douglass, dengan hati hancur berkeping-keping, menatap sejenak wajah mungil yang s
Tampang Douglass sangat mengerikan. Tatapan tajamnya seperti ujung pedang yang siap menghunus lawannya. Ia marah, sangat marah mendengar makian Freya untuk Bintang. Pikirannya semakin berantakan, emosinya siap meledak. Langkahnya semakin maju mendekati Freya yang tengah berdiri di tengah ruangan seolah sedang menantangnya. “Jangan pernah menghina Bintang!” sergah Douglasss penuh penekanan. “Kau membentakku karena membela wanita itu?! Katanya kau akan menceraikannya dan hanya mencintaiku, kenapa kau jadi seperti ini? Apa otakmu sudah di cuci wanita jalang itu!” Freya berteriak dalam keputusasaan dan rasa kecewa yang amat dalam kepada suaminya. Wajahnya merah, air matanya kembali mengalir deras membasahi pipi. Hatinya sakit sekali melihat suaminya bersikap seperti itu padanya. Douglass berkacak pinggang, wajahnya merah padam saat amarahnya semakin membumbung tinggi. “Lebih baik kau kembali ke Perancis!” ucap Douglass pada akhirnya. Ia menekan amarahnya, dan tidak mempunyai tenaga
“Ibu tolong aku.” Bintang menangis dan memohon pada wanita paruh baya itu yang membawanya masuk ke dalam rumah. “Iya, kamu tenang saja. Kamu sudah aman di sini. Kasihan sekali kamu, Nak,” ucap wanita paruh baya itu dengan tatapan sendu seraya membantu Bintang merebahkan diri di atas tempat tidur lusuhnya. Lalu memandang bayi merah yang tampak anteng di samping gadis cantik itu, seolah mengerti keadaan ibunya. “Jangan banyak gerak. Bekas operasimu mengeluarkan darah segar. Kamu harus di bawa ke rumah sakit, kalau tidak bisa infeksi,” kata wanita paruh baya itu dengan pandangan prihatin. Bintang menolak keras, ia tidak ingin ke rumah sakit karena tidak mau jika mereka mengambil anaknya. Melihat Bintang yang ketakutan, wanita paruh baya itu pun tidak mau memaksa. Ia segera memikirkan cara membersihkan luka basah di area perut Bintang agar tidak infeksi. Segera ia mengambil kapas, air hangat dan betadine, serta kain kasa. . . “Bodoh! Kenapa kalian tidak mendapatkannya!” Maki Dougl
Bu Indah, seorang janda lanjut usia, menjalani hidup seorang diri pasca kehilangan suaminya sepuluh tahun silam. Meratapi nasib yang mengepungnya dalam kesendirian tanpa anak, ia mengandalkan penghasilan serba terbatas dari warung kecilnya demi mengais rezeki harian. Namun, takdir mempertemukan Bu Indah dengan Bintang dan bayinya, yang tiba-tiba menjadi sinar kebahagiaan dan harapan baru dalam kehidupannya yang hampa. "Makan, Nak." Bu Indah menyajikan sayur sop dan sepiring nasi untuk Bintang, mengelus lembut rambut Bintang yang terkulai lesu. "Maaf, hanya ini yang bisa aku berikan," gumamnya lirih, suara perlahan seperti tercekat di kerongkongan. Bintang tersenyum menguatkan hati Bu Indah, tangannya gemetar menahan rasa sakit yang membelit perutnya–sisa operasi caesar yang ia jalani seminggu yang lalu masih sangat sakit. "Terima kasih banyak, Bu. Ini sudah lebih dari cukup bagiku. Maaf karena sudah merepotkanmu. Aku berjanji setelah sembuh, aku akan pergi dan membalas semua jasa-
Freya memungut amplop coklat yang teronggok di dekat kakinya. Ia membuka amplop tersebut dan mengeluarkan isi. Kedua matanya membola sempurna dan tangannya bergetar hebat sehingga beberapa lembar fotonya dengan seorang pria sedang dalam pose erotis di pinggiran kolam renang terjatuh dan terburai di permukaan lantai dingin. Syok! Sudah pasti! Lalu bagaimana bisa suaminya mendapatkan foto-foto ini. Ia masih mengingat jelas kolam renang ini berada di area privasi karena di dalam panthouse milik pria tersebut yang mempunyai keamanan super ketat. Jadi, sangat tidak mungkin suaminya mendapatkan foto ini, kecuali ... jika pria itu yang memotretnya lalu mengirimkannya pada suaminya. Kedua mata Freya bergetar, air matanya berlinang, tubuhnya panas dingin dan jantungnya berdebar-debar tak karuan saat rasa takut dan ketegangan membuncah menguasai jiwa dan raganya. “Dog, ini tidak seperti yang kau lihat.” Di sela rasa panik dan ketakutan ia berusaha menjelaskan kepada suaminya. Tapi, sayan
"Aww!" Douglas mengaduh kesakitan sambil berusaha menangkis pukulan Bu Indah. "Hentikan, Bu, hentikan!" pinta Douglas dengan suara memohon.Bintang menyaksikan kejadian itu hanya bisa menonton tanpa bisa melerai. Sebenarnya ingin melerai sih, tapi ia takut kena pukulan juga, terlebih lagi Bu Indah sangat membenci Douglas sampai ke urat nadinya. "Rasa sakit yang kamu rasakan ini tidak sebanding dengan rasa sakit yang di rasakan Bintang selama ini!" Kata-Kata Bu Indah seperti belati tajam yang menusuk hati Douglas berulang kali. "Dan rasa sakit dari gagang sapu ini beberapa jam kemudian akan sembuh, sedangkan Bintang ... dia harus menanggung sakit hati dan trauma seumur hidupnya karena ulahmu, PAHAM!" sambung Bu Indah seraya membuang sapu tersebut ke lantai. Nafasnya terengah menandakan amarah masih memuncak di kepala.Douglas terdiam mencerna kalimat yang baru saja terlontar dari bibir wanita paruh baya itu. Yang dikatakannya benar, luka batin yang di derita Bintang akan sulit sirna.
Douglas memaksa dengan tatapan mengancam kepada Bintang, agar istrinya itu membawanya ke rumahnya. Dan di sinilah mereka berada, di depan rumah sederhana yang di tempati Bintang selama ini. Pintu kayu tua dan lapuk, memperlihatkan rumah kecil yang mengagetkan Douglas hingga ke tulang. Sempat terbayang dalam memori, ia pernah menjejakkan kaki di tempat ini berdasarkan laporan anak buahnya, mencari-cari keberadaan Bintang, namun malang, terlambat satu langkah dan gagal menemukan sang istri. "Jadi, selama ini kau bersembunyi di sini?" suara Douglas terdengar serak, mata tajamnya menelisik Bintang yang berdiri di sebelahnya. Bintang hanya mengangguk lemah, tanpa suara seraya menggigit bibirnya. Ketukan penyesalan berdengung di dada Douglas, merasuki setiap sudut pikirannya. 'Ah, betapa tololnya aku!' batinnya sambil mengutuk diri sendiri. Andai saja ia tahu lebih dulu bahwa Bintang telah memilih rumah sederhana ini sebagai sarang persembunyiannya, mungkin semua rasa sakit dan penan
Pitri menyodorkan laporan ke meja atasannya sambil menyelinap pandangan ke arah Bintang yang sedang sibuk membersihkan rak buku. Dalam hati, Pitri tak henti-hentinya mengagumi kegigihan Bintang yang mampu bertahan bekerja dengan sang atasan, Douglas, yang terkenal memiliki temperamen layaknya harimau. Biasanya tidak ada office girl yang mampu bertahan lama di ruangan ini, karena aura Douglas yang begitu menakutkan. "Kenapa kau masih di sini? Keluar sekarang!" seru Douglas dengan suara menggelegar kepada Pitri yang masih terpaku di depan mejanya. Pitri tersentak, seakan tersambar petir, cepat-cepat meminta maaf dan melangkah keluar dari ruangan tersebut dengan langkah buru-buru. Ketika keheningan kembali menyelimuti ruangan, Bintang menghela nafas dalam-dalam, merasakan keleluasaan sejenak setelah Pitri meninggalkan ruangan. Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama, hati Bintang telah dipenuhi keberanian yang meledak-ledak. "Aku mau berhenti bekerja!" ucapnya dengan tegas. "Tidak
Hawa panas menyelimuti ruangan tersebut. Beberapa pakaian berserakan di lantai. Suara decitan sofa bercampur dengan suara desahan terdengar memenuhi ruangan. Douglas bergerak mendominan di atas tubuh Bintang. Meskipun awalnya Bintang menolak dan memberontak tapi tenaganya kalah dengan Douglas. Penyatuan mereka telah usai, Douglas menyemburkan benihnya ke dalam ladang subur Bintang, berharap kalau benihnya segera bertunas subur. Douglas terdiam seraya memandang wajah Bintang yang terpejam dan penuhi keringat. Ia tersenyum puas, akhirnya ia berhasil mendapatkan dan menjerat Bintang ke dalam dekapannya. “Kau tidak bisa lagi kabur dariku, Bintang. Karena aku kembali menyirami rahimmu dengan benihku,” ucap Douglas seraya mengecup bibir Bintang tak lupa menyesapnya sebentar. Bintang menatap tajam Douglas seraya memukul pundak pria tersebut. “Kau adalah lelaki brengsek, Om!” Maki Bintang dengan pandangan kecewa dan berkaca-kaca. “Aku tidak peduli dengan makianmu! Bulan depan aku pastika
Douglas menghela nafas panjang ketika melihat Bintang sangat marah. “Kali ini aku membiarkanmu menang!” ucap Douglas pelan, terkesan lembut, jauh berbeda dengan nada bicaranya yang sebelumnya sangat dingin dan arogant.“Di mana pompa asinya?” tanya Douglas pada Bintang.“Aku bisa mengambilnya sendiri!” ketus Bintang, melengoskan wajah.“Untuk saat ini sebaiknya kita jangan berdebat! Lihat bajumu basah!” Douglas menajamkan matanya pada dada Bintang.Bintang menunjuk tasnya, ia pun tidak mempunyai daya lagi untuk berdebat. Rasa sakit di bagian dadanya semakin nyeri dan menjalar pundak karena asinya yang melimpah tak kunjung dipompa.Douglas mengambil tas Bintang yang teronggok di lantai, kemudian membuka tas tersebut dan mengeluarkan pompa asi dari sana. “Sini aku bantu,” ucap Douglas begitu ringan membuat Bintang mendelikkan mata.“Aku bisa sendiri!!” tolak Bintang, seraya merebut pompa asi tersebut dari tangan suaminya. Tapi, sayangnya, Douglas bukan orang yang mudah untuk menerima p
Sudah lelah dan kesal, Bintang bergegas meninggalkan ruangan itu menuju pantry. Ia mengambil tasnya di sudut ruangan sebelum mengeluarkan pompa asi, lalu terduduk lemah di lantai sembari mulai memompa. Kesegaran terasa menembus pikirannya ketika keringat dingin di keningnya diusap, dan rasa sakit di dadanya berangsur hilang seiring tetesan demi tetesan asinya berhasil di pompa keluar. Sementara itu, Douglas, dalam kebingungan, menggenggam ponselnya—matanya melebar tak percaya saat pencarian ‘pompa asi’ di internet membawa pemahaman baru tentang apa yang dimaksud oleh Bintang. Pria bule itu, terbakar oleh kekhawatiran yang tiba-tiba, beranjak cepat mencari Bintang, diliputi rasa penasaran dan kecemasan yang menyesakkan dada. “Pitri, di mana Bintang?” seru Douglas dengan suara yang mendesak kepada sekretarisnya yang duduk di balik meja kerjanya. “Bintang? Baru saja dia berlari ke pantry, Pak. Ada yang bisa saya bantu? Ataukah Bintang membuat masalah?” Pitri menjawab sambil menatap at
Bintang buru-buru keluar dari ruangan Douglas pada pagi hari itu sebelum pria itu datang. Tapi, ketika di ambang pintu ia berpapasan dengan Douglas yang akan masuk ke dalam ruangan. Seperti biasa, Bintang selalu memakai masker untuk menutupi sebagian wajahnya agar pria itu tidak mengenalinya. “Maaf, Pak.” Suara Bintang terdengar lirih, sekaligus memberikan kode pada pria tampan dan berkarisma tinggi itu tidak menghalangi jalannya. “Mau ke mana?” tanya Douglas dingin, menatap datar pada Bintang. Tapi, percayalah kalau di balik tatapan datar itu terdapat rasa rindu yang membuncah. Rasanya ia ingin menarik masker yang di kenakan Bintang dan memaksa wanita itu agar mau menatapnya. Tapi, sayangnya, ia harus menahan segala keinginannya itu karena takut jika Bintang kembali kabur darinya, dan kembali membawa pergi anaknya. “Mau keluar, mau mengerjakan yang lain,” jawab Bintang pelan, menundukkan kepalanya dengan dalam. Douglas menarik nafas panjang, menahan rasa kesal yang begitu besar
“Sial!” Maki Tari sambil mengentakkan kedua kakinya. Emosi mengepung dada ketika mendengar jawaban Tuan Douglas. “Gagal dapat uang ratusan juta!” geramnya sambil memasukkan ponsel ke dalam tas. Uang satu miliar yang ia dapatkan dari hasil menjual Bintang semakin menipis. Selain untuk membayar hutang, uang itu juga di gunakan untuk berfoya-foya. Rumah peninggalan mendiang suaminya pun sudah ia jual, dan sekarang dia tinggal di kontrakan satu petak untuk tempatnya berteduh. “Tapi, kenapa ya Tuan Douglas sudah tidak membutuhkan Bintang?” Tari bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Ia harus mencari tahu semua ini, terutama harus menemukan Bintang lebih dahulu. . . Bintang sangat lega ketika sudah masuk ke dalam rumah Ibu Indah. Rumah sederhana ini sudah menjadi rumah ternyamannya, tempatnya berteduh dan juga tempatnya untuk berkeluh kesah. Ibu Indah sedang melayani pembeli di warung kecil yang berdiri di depan rumah sambil menggendong putranya. Bayi mungil dan menggemaskan itu terliha
Douglas membaca berkas yang baru saja dikirim oleh HRD dengan penuh keheranan. Alisnya mengernyit, mata membulat saat menyimak nama "Bintang" yang tertera dengan mencolok di dokumen itu. "Pasti Anda sangat terkejut ‘kan, Pak? Biasanya yang melamar ke sini memiliki berkas yang lebih lengkap, bukan hanya KTP. Saya sendiri sempat ragu, namun Bu Pitri tetap menyetujuinya,” ucap pria berkepala pelontos dan berkumis tebal itu dengan nada khawatir, menunggu reaksi dari sang atasan. Keringat dingin mulai membasahi keningnya, menduga-duga kemarahan yang bisa saja muncul dari ekspresi serius yang tersungging di wajah Douglas. Douglas diam raut wajahnya tampak sangat dingin, ia tidak merespons ucapan pria tersebut, tapi bukan berarti dia tidak mendengarkannya. Douglass menggeram di dalam hati, ‘pantas saja gadis itu tampak berpenampilan aneh, memakai masker dan poninya untuk menutupi wajahnya.’ Douglas mengepalkan kedua tangannya erat saat rasa marah, kesal, senang dan rasa rindu menggelayut