Jangan lupa klik tanda + dan follow akun Author ya
“Ibu tolong aku.” Bintang menangis dan memohon pada wanita paruh baya itu yang membawanya masuk ke dalam rumah. “Iya, kamu tenang saja. Kamu sudah aman di sini. Kasihan sekali kamu, Nak,” ucap wanita paruh baya itu dengan tatapan sendu seraya membantu Bintang merebahkan diri di atas tempat tidur lusuhnya. Lalu memandang bayi merah yang tampak anteng di samping gadis cantik itu, seolah mengerti keadaan ibunya. “Jangan banyak gerak. Bekas operasimu mengeluarkan darah segar. Kamu harus di bawa ke rumah sakit, kalau tidak bisa infeksi,” kata wanita paruh baya itu dengan pandangan prihatin. Bintang menolak keras, ia tidak ingin ke rumah sakit karena tidak mau jika mereka mengambil anaknya. Melihat Bintang yang ketakutan, wanita paruh baya itu pun tidak mau memaksa. Ia segera memikirkan cara membersihkan luka basah di area perut Bintang agar tidak infeksi. Segera ia mengambil kapas, air hangat dan betadine, serta kain kasa. . . “Bodoh! Kenapa kalian tidak mendapatkannya!” Maki Dougl
Bu Indah, seorang janda lanjut usia, menjalani hidup seorang diri pasca kehilangan suaminya sepuluh tahun silam. Meratapi nasib yang mengepungnya dalam kesendirian tanpa anak, ia mengandalkan penghasilan serba terbatas dari warung kecilnya demi mengais rezeki harian. Namun, takdir mempertemukan Bu Indah dengan Bintang dan bayinya, yang tiba-tiba menjadi sinar kebahagiaan dan harapan baru dalam kehidupannya yang hampa. "Makan, Nak." Bu Indah menyajikan sayur sop dan sepiring nasi untuk Bintang, mengelus lembut rambut Bintang yang terkulai lesu. "Maaf, hanya ini yang bisa aku berikan," gumamnya lirih, suara perlahan seperti tercekat di kerongkongan. Bintang tersenyum menguatkan hati Bu Indah, tangannya gemetar menahan rasa sakit yang membelit perutnya–sisa operasi caesar yang ia jalani seminggu yang lalu masih sangat sakit. "Terima kasih banyak, Bu. Ini sudah lebih dari cukup bagiku. Maaf karena sudah merepotkanmu. Aku berjanji setelah sembuh, aku akan pergi dan membalas semua jasa-
Freya memungut amplop coklat yang teronggok di dekat kakinya. Ia membuka amplop tersebut dan mengeluarkan isi. Kedua matanya membola sempurna dan tangannya bergetar hebat sehingga beberapa lembar fotonya dengan seorang pria sedang dalam pose erotis di pinggiran kolam renang terjatuh dan terburai di permukaan lantai dingin. Syok! Sudah pasti! Lalu bagaimana bisa suaminya mendapatkan foto-foto ini. Ia masih mengingat jelas kolam renang ini berada di area privasi karena di dalam panthouse milik pria tersebut yang mempunyai keamanan super ketat. Jadi, sangat tidak mungkin suaminya mendapatkan foto ini, kecuali ... jika pria itu yang memotretnya lalu mengirimkannya pada suaminya. Kedua mata Freya bergetar, air matanya berlinang, tubuhnya panas dingin dan jantungnya berdebar-debar tak karuan saat rasa takut dan ketegangan membuncah menguasai jiwa dan raganya. “Dog, ini tidak seperti yang kau lihat.” Di sela rasa panik dan ketakutan ia berusaha menjelaskan kepada suaminya. Tapi, sayan
Hari demi hari terasa begitu singkat, seakan waktu berlari begitu cepat dihadapannya. Hampir satu bulan penuh Douglas mencari keberadaan Bintang dan bayinya, namun semuanya terasa sia-sia. Dalam kesibukan mencari Bintang, Douglas juga tengah memproses perceraian dengan Freya. Seiring berjalannya waktu, Freya berupaya memenangkan hati Douglas kembali dengan berbagai cara, berharap agar ia tak menceraikannya. Namun, bagai pohon yang tak akan menerima embun lagi, Douglas telah menutup hatinya untuk menerima perempuan yang telah menyakiti hatinya. Bukti perselingkuhan Freya dengan pengusaha ternama di Kota Perancis menjadi ranjang pahit dalam hidupnya. Freya terpuruk dalam kekalahan, menelan getir atas kesalahannya. Nasib semakin menghimpit, ia terpaksa kembali ke negaranya--batas waktu kunjungannya ke Indonesia telah berakhir. Douglas menegaskan pada asistennya agar segera mempercepat proses perceraian dengan Freya. Berbekal bukti perselingkuhan Freya yang kuat, Douglas berhasil te
DEG! Jantung Bintang terasa hendak copot saat ia menatap name tag yang tertempel di pintu besar ruang CEO. Matanya terpejam sejenak, berusaha mengumpulkan keberanian, sebelum memaksakan diri membaca nama yang terpahat di sana—Douglas Jordan, Chief Executive Officer. Kakinya gemetar tak terkendali dan tubuhnya terasa seperti jatuh ke dalam kolam es. Sungguh, kehadiran Douglas membawa hantu masa lalunya yang kelam. Sebuah dilema yang mencengkeram jiwa; di satu sisi, Bintang membutuhkan pekerjaan ini untuk bertahan hidup, tetapi di sisi lain, ia terancam kembali terperosok ke dalam bayangan sang pria yang telah lama menghantui pikirannya. Langkah Bintang terhenti, dia mundur perlahan dari pintu itu, matanya berkaca-kaca, dan pikirannya serasa terputus dari kenyataan. Keringat dingin bercucuran membasahi dahinya, dan dengan cepat ia mengusapnya dengan telapak tangan yang juga gemetar. Dalam keheningan yang memekakkan, hanya suara degup jantungnya yang terdengar, bertalu-talu, semaki
“Tidak bisa, Bintang! Kau sudah tanda tangan kontrak di atas materai!” Pitri berkata tegas kepada Bintang yang ingin mengundurkan diri. “Kecuali kalau kau ingin membayar denda sebesar 10 juta, dua kali lipat gajimu!” sambungnya sangat serius dan menatap tajam Bintang yang tercengang. Bintang seketika lesu, punggungnya terhenyak di sandaran kursi yang ia duduki. Jika ia tahu perusahaan ini milik suaminya, mungkin dia sudah kabur dan tidak akan menandatangani surat kontrak kerja itu. Kini menyesal pun tiada arti, pasalnya jika ingin mengundurkan diri harus membayar denda sebanyak itu. Uang dari mana dia. “Pilihan sudah aku berikan! Kau tinggal pilih saja, mau tetap lanjut atau berhenti!” Pitri menatap Bintang nyalang dan serius. Tidak mempunyai pilihan lain, Bintang menarik nafas panjang sebelum bicara. “Ya udah, Mbak, aku lanjut aja,” jawab Bintang lemas. “Nah! Gitu dong! Lagi pula gajimu besar loh. Lima juta sebulan itu pun belum termasuk bonus dan tunjangan lain.” Pitri menjelask
Douglas membaca berkas yang baru saja dikirim oleh HRD dengan penuh keheranan. Alisnya mengernyit, mata membulat saat menyimak nama "Bintang" yang tertera dengan mencolok di dokumen itu. "Pasti Anda sangat terkejut ‘kan, Pak? Biasanya yang melamar ke sini memiliki berkas yang lebih lengkap, bukan hanya KTP. Saya sendiri sempat ragu, namun Bu Pitri tetap menyetujuinya,” ucap pria berkepala pelontos dan berkumis tebal itu dengan nada khawatir, menunggu reaksi dari sang atasan. Keringat dingin mulai membasahi keningnya, menduga-duga kemarahan yang bisa saja muncul dari ekspresi serius yang tersungging di wajah Douglas. Douglas diam raut wajahnya tampak sangat dingin, ia tidak merespons ucapan pria tersebut, tapi bukan berarti dia tidak mendengarkannya. Douglass menggeram di dalam hati, ‘pantas saja gadis itu tampak berpenampilan aneh, memakai masker dan poninya untuk menutupi wajahnya.’ Douglas mengepalkan kedua tangannya erat saat rasa marah, kesal, senang dan rasa rindu menggelayut
“Sial!” Maki Tari sambil mengentakkan kedua kakinya. Emosi mengepung dada ketika mendengar jawaban Tuan Douglas. “Gagal dapat uang ratusan juta!” geramnya sambil memasukkan ponsel ke dalam tas. Uang satu miliar yang ia dapatkan dari hasil menjual Bintang semakin menipis. Selain untuk membayar hutang, uang itu juga di gunakan untuk berfoya-foya. Rumah peninggalan mendiang suaminya pun sudah ia jual, dan sekarang dia tinggal di kontrakan satu petak untuk tempatnya berteduh. “Tapi, kenapa ya Tuan Douglas sudah tidak membutuhkan Bintang?” Tari bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Ia harus mencari tahu semua ini, terutama harus menemukan Bintang lebih dahulu. . . Bintang sangat lega ketika sudah masuk ke dalam rumah Ibu Indah. Rumah sederhana ini sudah menjadi rumah ternyamannya, tempatnya berteduh dan juga tempatnya untuk berkeluh kesah. Ibu Indah sedang melayani pembeli di warung kecil yang berdiri di depan rumah sambil menggendong putranya. Bayi mungil dan menggemaskan itu terliha