Bintang menepis segelas teh hangat yang diberikan oleh suaminya. Ia bahkan enggan menatap Douglass.
Douglass memahami perasaan istrinya yang masih sangat marah padanya. Karena kata dokter ibu hamil tidak boleh merasa tertekan atau mempunyai banyak pikiran, maka Douglass memilih untuk mengalah, sabar, dan menurunkan segala keegoisannya. "Maaf," kata douglass dengan lembut, seraya menatap Bintang yang terlihat pucat di atas tempat tidur. "Aku ingin perjanjian pernikahan kita dibatalkan!" Bintang berkata dengan pelan tapi datar. Ucapan bintang sukses membuat tugas kembali emosi, namun sekuat tenaga ia menahannya karena kondisi Bintang saat ini sangat lemah. "Perjanjian tetaplah perjanjian sampai kapanpun tidak akan pernah bisa diubah!" Douglass memandang Bintang dengan perasaan berkecamuk di dalam dada. “Kau masih ingat ucapanku dulu? Kau adalah milikku seutuhnya. Kau tidak berhak untuk mengatur hidupku, namun aku berhak mengatur kehidupanmu!" sambung Douglas dengan penuh penekanan. Situasi di dalam kamar tersebut semakin memanas dan menegangkan. "Kalau begitu Aku tidak akan pernah memberikan anak ini kepadamu!” ucap Bintang tak kalah menekan, dan penuh keberanian. Ia tahu tidak akan mudah untuk melawan seorang Douglas Jordan pria kaya raya pengusaha dari Prancis yang mempunyai perusahaan mobil di Negara ini. Namun, ia tahu kelemahan pria tersebut, yaitu seorang anak. Douglass sangat mengingjnkan anak di dalam rahimnya ini. Douglass mengepalkan kedua tangannya, tatapannya semakin ke kelam saat memandang Bintang. Ia tidak pernah menyangka jika gadis itu akan berani berkata seperti itu kepadanya. "Sampai kapanpun aku tidak akan pernah merubah perjanjian itu!!” Douglass berkata dingin dan arogant. "Jangan coba-coba untuk menentangku, Bintang!" Douglas kembali mengingatkan Bintang dengan ancamannya. "Kau menginginkan anak dari rahim seorang gadis muda sepertiku. Kau merenggut masa mudanya dan kebahagiaannya hingga detik ini kau pun masih tetap menguasai hidupnya. Apa salahnya jika kau merubah perjanjian itu. Kau menginginkan anak ini dan aku juga menginginkanmu seutuh!" ucap Bintang dengan lantang dan penuh keberanian kepada suaminya yang kini sudah berdiri di dekat tempat tidurnya. "Jangan lupakan kalau aku sudah membelimu seharga satu miliar!" desis Douglas dengan suara dinginnya. "Seharusnya kau bersyukur karena aku masih berbaik hati kepadamu memberikanmu hidup yang layak ,tempat tinggal dan segala keinginanmu aku penuhi! Jangan lupa diri bahwa kau hanyalah seorang gadis rendahan yang sangat menjijikan!" Douglas menunjuk wajah Bintang dengan penuh emosi yang membara di dalam hatinya. Kemudian berlalu dari kamar tersebut meninggalkan Bintang yang termangu seorang diri di atas ranjang dengan penuh kesedihan dan penderitaan. .... Beberapa hari telah berlalu. Douglass masih berada di Jakarta. Ia tidak akan meninggalkan Bintang sebelum keadaan gadis itu membaik. Hubungannya dengan Bintang semakin renggang karena perdebatan yang terjadi beberapa hari yang lalu. Dan sampai saat ini Bintang pun tidak ingin berbicara dengannya. Bintang berjalan melintasi ruang keluarga, tanpa sengaja ia mendengar percakapan Douglas dengan seseorang di ujung telepon sana. Suaminya berdiri dengan resah mondar-mandir sambil mengusap tengkuk, berbicara menggunakan bahasa Inggris namun Bintang masih bisa memahami. "Tidak bisa! Aku tidak bisa kembali ke Perancis sekarang. Perusahaan di Jakarta sedang membutuhkanku, mohon pengertiannya sayang,” ucap Douglas dengan penuh kelembutan. Semenjak menikahi Bintang, Douglass jadi pandai berbohong kepada istri pertamanya. Selalu saja menggunakan alasan urusan bisnis untuk menemui bintang di Jakarta. Bintang yakin kalau suaminya tengah berbicara dengan istri pertamanya. Perasaan cemburu dan sakit menyeruak dan memenuhi rongga dadanya hingga membuatnya merasa sesak. Bintang berusaha untuk mengabaikan perasaan itu namun semakin diabaikan malah semakin besar rasanya. Salahkah dia menginginkan pria itu menjadi miliknya seutuhnya? Bintang menggeleng pelan, berusaha keras untuk menepis segala perasaan itu. Sekarang yang ia pikirkan adalah bagaimana caranya membuat pria itu membatalkan perjanjian pernikahan mereka. Sumpah demi apapun dia tidak ikhlas memberikan anaknya. "Nyonya Anda mau ke mana?" Bibi pelayan bertanya kepada nyonya yang akan keluar rumah. “Aku akan jalan santai keliling Taman. Kedua kakiku terlihat bengkak setelah beberapa haro diam di rumah,” jawab Bintang seraya menunjuk kedua kakinya yang terlihat bengkak. Douglas segera mematikan sambungan teleponnya ketika mendengar percakapan Bintang dan pelayan. Kemudian mendekati istrinya, “aku akan menemanimu!" Douglass berkata dengan tegas sekolah tidak ingin menerima penolakan. Selain itu ia tidak ingin istri mudanya ini didekati Pemuda taman. Bintang mendengus, menatap kesal pada suaminya, kemudian berlalu keluar dari rumah tersebut tanpa menjawab ucapan suaminya. Douglass segera mengikuti langkah Bintang menuju Taman Perumahan. "Ingat kata-kataku kau tidak boleh berdekatan dengan pria manapun!" Douglass berkata dengan nada tegas ketika menyadari bahwa di area Taman tersebut banyak pemuda yang menatap kagum pada istrinya. Aura kecantikan Bintang kian terpancar saat gadis itu mengandung. Meski perutnya membuncit namun tubuh Bintang tetap terjaga, ideal dan menawan. Tak khayal jika banyak pria menatap kagum pada gadis berusia 22 tahun itu. "Kau tidak mempunyai hak untuk melarangku. Dan sepertinya aku harus mencari pria baru yang bisa memberikanku kebahagiaan setelah kita berpisah!" Kata-kata Bintang begitu menohok dan membuat hati Douglass terbakar cemburu dan amarah yang begitu besar. Douglass tidak memahami perasaannya, entah kenapa dia tiba-tiba cemburu kepada Bintang, namun dia berusaha untuk meneguhkan hatinya bahwa yang dia rasakan ini bukanlah rasa suka namun hanya kekhawatiran karena bintang telah mengandung calon bayinya. Douglass mengepalkan kedua tangannya, kemudian menarik istri mudanya itu kembali ke rumah, bersamaan dengan pemuda taman berjalan ke arahnya. “Hai, ibu hamil, apa kabar?” Sapa Pemuda tersebut dengan ramah dan ceria kepada Bintang. Tatapannya beralih pada pria berparas blasteran yang terdiri di samping wanita hamil itu. Ia yakin kalau pria ini adalah suami Bintang, tapi kenapa tua? Pikirnya. “Minggir bocah! Jangan pernah mengganggu Istriku lagi!" Kata Douglas penuh peringatan pada pemuda berkulit putih dan bermata sipit itu. "Oh, jadi Bintang adalah istrinya Om. Aku pikir tadi Om ini adalah ayahnya bintang," balasnya dengan nada mengejek sambil tertawa sinis. "Kurang ajar!" Douglass ingin melayangkan tinju ke wajah Pemuda tersebut Namun tangannya ditahan Bintang. "Jangan membuat keributan di sini!" Bintang memperingati, lalu menggiiring suaminya pulang. Sampai rumah, pasangan suami istri itu kembali bertengkar. “Jangan seperti anak kecil!" ucap Bintang kepada suaminya dengan tegas. Ia semakin tidak memahami sikap Douglas yang terkadang baik, terkadang juga kejam padanya. "Aku hanya ingin memberikan pelajaran kepada pemuda yang kurang ajar itu karena sudah berani mengganggu istriku!" Douglass berkata dengan penuh penekanan dingin dan wajahnya tampak menakutkan. Tapi, karena sudah terbiasa melihat sikap suaminya maka Bintang pun tidak takut. Justru Ia merasa jengah dengan segala sikap Douglas yang suka berubah-ubah belakangan ini. Bintang tersenyum sinis, menatap Douglass sambil geleng-geleng kepala, "istri? maksudmu istri di atas kertas?" ucap Bintang dengan nada penuh keberanian. sebelumnya ia tidak pernah seberani ini kepada Douglas, ia selalu patuh dan penurut, mungkin lebih tepatnya ia terlalu takut. "Tutup mulutmu!" Douglass berkata dengan nada dingin dan datar tak lupa memberikan Tatapan yang begitu mematikan kepada gadis tersebut. Bintang mengelola nafas kasar, pria itu selalu saja menekannya, tapi mulai saat ini ia tidak akan mudah lagi untuk ditindas ataupun diremehkan seperti ini. Demi memperjuangkan bayi yang ada di dalam kandungannya ia mengumpulkan keberanian untuk melawan pria Arogan tersebut. "Lebih baik kau kembali saja ke Perancis!" Setelah mengatakan hal itu Bintang melenggang pergi dengan perasaan kesal luar biasa kepada suaminya. "Hei!" Douglass teriak lantang. Ia tidak terima istrinya menyuruhnya kembali ke Perancis.“Jangan memerintahku kembali ke Perancis!” Suara Douglass datar saat bicara dengan istri mudanya. Mereka sekarang berada di dalam kamar. Ini pertama kalinya Douglass memasuki kamar Bintang setelah menikah selama 8 bulan.Bintang membalas tatapan pria tersebut. “Bukankah kau sedang resah karena istri tuamu terus-terusan menelepon dan memintamu kembali ke Perancis secepatnya!” sahutnya.“Kau menguping pembicaraanku dengannya?!”“Tidak! Tapi, tidak sengaja mendengarnya,” jawab Bintang ketus, tapi jujur.“Tidak seharusnya kau mendengar pembicaraan kami, meski kau tidak sengaja mendengarnya sekalipun!” tegas Douglass.Bintang malas menanggapi ucapan Douglass yang sama sekali tidak berarti untuknya. “Silahkan keluar dari sini, aku ingin mandi!” usir Bintang.Douglass tersenyum kesal, “aku berhak di sini sampai kapanpun aku mau! Kau tidak berhak melarangku atau mengaturku karena aku adalah suamimu!”“Suami di atas kertas! Pernikahan kita terjadi karena perjanjian!” Skak Bintang dan berhasil
Saat tiba di rumah setelah berbelanja, Bintang langsung berlari menuju kamarnya, mengunci diri di dalam kamar dan tak kuasa menahan isak tangisnya sepanjang hari. Meskipun malam telah menjelang, ia masih terus menyendiri, tak mengizinkan suaminya masuk kecuali saat sang pelayan mengantarkan makanannya."Tuan, Nyonya Bintang masih menangis tanpa henti hingga saat ini. Kondisinya sangat mengkhawatirkan," lapor Bibi, pelayan setia mereka, pada tuannya, Douglass, yang sedang duduk tenang di ruang keluarga sambil mengisap rokoknya dengan dingin.Douglass mendengus, matanya menyala penuh kekesalan, "Biarkan dia menghabiskan air matanya. Setelah semua itu habis, dia tak akan bisa menangis lagi." Ucapnya dengan nada tegas dan arogan, seolah tak ada belas kasihan dalam hatinya.Bibi pelayan hanya bisa menghela napas panjang, merasa iba melihat nasib majikannya, sebelum mengundurkan diri dari ruangan tersebut. Di balik ekspresi beku yang ditampilkan oleh Douglass, hatinya bersikeras menduga bah
"Saya akan membantu, Nyonya, tapi mohon bersabar," pinta Bibi pelayan, menatap sedih dan prihatin, seraya menggenggam tangan Nyonya Bintang dengan erat. Ia dapat merasakan tangan lembut itu berkeringat dingin menandakan ketakutan.Air mata Bintang semakin deras mengalir, dengan berat hati menganggukkan kepala. Sebenarnya ia bisa kabur kapan saja, tapi ia tidak mempunyai tujuan, terlebih lagi kondisinya saat ini sedang hamil tua. Dan sudah lama juga ia putus komunikasi dengan ibu tirinya sejak ia dijual pada Tuan Douglass.Bibi menuntun Nyonya Bintang ke kamar. "Besok pagi saya akan pergi ke pasar. Saya tunggu Anda di dekat gerbang rumah," ucap Bibi pelayan dengan nada pelan."Iya, Bi." Bintang mengangguk cepat.Setelah berbicara dengan Nyonya Bintang. Bibi pelayan segera keluar dari sana, dan melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda.Di lantai bawah. Douglass dan Freya masih bertengkar hebat. Suara lantang Freya menentang keputusan suaminya."Walau kau menikahinya hanya sementara
"Sabar, sayang. Mama tidak akan meninggalkanmu, dan akan terus berjuang untuk mempertahankanmu dari mereka yang ingin merebutmu," bisik Bintang pada bayinya di dalam kandungan, saat ia mendengar pertengkaran Douglass dan Freya di luar kamar. Bintang menggigit bibir ketika ia merasakan kontraksi begitu kuat di area perut. “Tidak! Jangan sekarang, belum waktunya!” Bintang memeluk perut buncitnya, dan memohon pada bayi di dalam kandungannya agar tidak lahir saat ini. Sekuat tenaga ia menahan, tapi rasa sakit itu semakin kuat menggulung tubuh ringkihnya. Air matanya berderai dan keringat dingin membasahi wajahnya. Ia sudah tidak kuat lagi menahan rasa sakit yang semakin terasa menyiksa. Bintang berjalan pelan menuju tempat tidur. Tapi kedua kakinya tak sanggup lagi untuk menopang yang mengakibatkan dirinya jatuh ke lantai. Rasa sakit yang dirasakan Bintang semakin bertambah, kedua matanya terasa berkunang-kunang, dan kepalanya berat, pandangannya juga mulai gelap, tapi Bintang sekuat
Douglass menatap penuh haru bayi mungil berjenis kelamin perempuan yang sudah tak bernyawa, terbaring di atas tempat tidur kecil. Sebelum dimakamkan, ia diberikan kesempatan untuk melihat anaknya itu. Matanya berkaca-kaca, pipinya memerah, sulit untuk menahan air matanya yang terus mengalir."Bayiku," bisiknya parau, pelan, lalu menggendong bayi mungil itu untuk pertama dan terakhir kalinya. Hatinya terasa remuk, luluhlantak menyaksikan kenyataan pedih ini. Di sudut hatinya, ada semacam harapan bahwa semua ini hanyalah mimpi buruk yang akan segera berlalu.Namun tanpa disadari Douglass, bayi yang tengah ia dekap itu bukanlah bayinya yang sebenarnya. Semua ini adalah rencana Bintang. Dengan berat hati, ibu muda itu melakukan segalanya demi mempertahankan bayinya agar tidak direbut oleh Douglass.Perawat itu datang menghampiri, mengabarkan bahwa bayi mungil itu harus segera dipersiapkan untuk dimakamkan. Douglass, dengan hati hancur berkeping-keping, menatap sejenak wajah mungil yang s
Tampang Douglass sangat mengerikan. Tatapan tajamnya seperti ujung pedang yang siap menghunus lawannya. Ia marah, sangat marah mendengar makian Freya untuk Bintang. Pikirannya semakin berantakan, emosinya siap meledak. Langkahnya semakin maju mendekati Freya yang tengah berdiri di tengah ruangan seolah sedang menantangnya. “Jangan pernah menghina Bintang!” sergah Douglasss penuh penekanan. “Kau membentakku karena membela wanita itu?! Katanya kau akan menceraikannya dan hanya mencintaiku, kenapa kau jadi seperti ini? Apa otakmu sudah di cuci wanita jalang itu!” Freya berteriak dalam keputusasaan dan rasa kecewa yang amat dalam kepada suaminya. Wajahnya merah, air matanya kembali mengalir deras membasahi pipi. Hatinya sakit sekali melihat suaminya bersikap seperti itu padanya. Douglass berkacak pinggang, wajahnya merah padam saat amarahnya semakin membumbung tinggi. “Lebih baik kau kembali ke Perancis!” ucap Douglass pada akhirnya. Ia menekan amarahnya, dan tidak mempunyai tenaga
“Ibu tolong aku.” Bintang menangis dan memohon pada wanita paruh baya itu yang membawanya masuk ke dalam rumah. “Iya, kamu tenang saja. Kamu sudah aman di sini. Kasihan sekali kamu, Nak,” ucap wanita paruh baya itu dengan tatapan sendu seraya membantu Bintang merebahkan diri di atas tempat tidur lusuhnya. Lalu memandang bayi merah yang tampak anteng di samping gadis cantik itu, seolah mengerti keadaan ibunya. “Jangan banyak gerak. Bekas operasimu mengeluarkan darah segar. Kamu harus di bawa ke rumah sakit, kalau tidak bisa infeksi,” kata wanita paruh baya itu dengan pandangan prihatin. Bintang menolak keras, ia tidak ingin ke rumah sakit karena tidak mau jika mereka mengambil anaknya. Melihat Bintang yang ketakutan, wanita paruh baya itu pun tidak mau memaksa. Ia segera memikirkan cara membersihkan luka basah di area perut Bintang agar tidak infeksi. Segera ia mengambil kapas, air hangat dan betadine, serta kain kasa. . . “Bodoh! Kenapa kalian tidak mendapatkannya!” Maki Dougl
Bu Indah, seorang janda lanjut usia, menjalani hidup seorang diri pasca kehilangan suaminya sepuluh tahun silam. Meratapi nasib yang mengepungnya dalam kesendirian tanpa anak, ia mengandalkan penghasilan serba terbatas dari warung kecilnya demi mengais rezeki harian. Namun, takdir mempertemukan Bu Indah dengan Bintang dan bayinya, yang tiba-tiba menjadi sinar kebahagiaan dan harapan baru dalam kehidupannya yang hampa. "Makan, Nak." Bu Indah menyajikan sayur sop dan sepiring nasi untuk Bintang, mengelus lembut rambut Bintang yang terkulai lesu. "Maaf, hanya ini yang bisa aku berikan," gumamnya lirih, suara perlahan seperti tercekat di kerongkongan. Bintang tersenyum menguatkan hati Bu Indah, tangannya gemetar menahan rasa sakit yang membelit perutnya–sisa operasi caesar yang ia jalani seminggu yang lalu masih sangat sakit. "Terima kasih banyak, Bu. Ini sudah lebih dari cukup bagiku. Maaf karena sudah merepotkanmu. Aku berjanji setelah sembuh, aku akan pergi dan membalas semua jasa-
"Aww!" Douglas mengaduh kesakitan sambil berusaha menangkis pukulan Bu Indah. "Hentikan, Bu, hentikan!" pinta Douglas dengan suara memohon.Bintang menyaksikan kejadian itu hanya bisa menonton tanpa bisa melerai. Sebenarnya ingin melerai sih, tapi ia takut kena pukulan juga, terlebih lagi Bu Indah sangat membenci Douglas sampai ke urat nadinya. "Rasa sakit yang kamu rasakan ini tidak sebanding dengan rasa sakit yang di rasakan Bintang selama ini!" Kata-Kata Bu Indah seperti belati tajam yang menusuk hati Douglas berulang kali. "Dan rasa sakit dari gagang sapu ini beberapa jam kemudian akan sembuh, sedangkan Bintang ... dia harus menanggung sakit hati dan trauma seumur hidupnya karena ulahmu, PAHAM!" sambung Bu Indah seraya membuang sapu tersebut ke lantai. Nafasnya terengah menandakan amarah masih memuncak di kepala.Douglas terdiam mencerna kalimat yang baru saja terlontar dari bibir wanita paruh baya itu. Yang dikatakannya benar, luka batin yang di derita Bintang akan sulit sirna.
Douglas memaksa dengan tatapan mengancam kepada Bintang, agar istrinya itu membawanya ke rumahnya. Dan di sinilah mereka berada, di depan rumah sederhana yang di tempati Bintang selama ini. Pintu kayu tua dan lapuk, memperlihatkan rumah kecil yang mengagetkan Douglas hingga ke tulang. Sempat terbayang dalam memori, ia pernah menjejakkan kaki di tempat ini berdasarkan laporan anak buahnya, mencari-cari keberadaan Bintang, namun malang, terlambat satu langkah dan gagal menemukan sang istri. "Jadi, selama ini kau bersembunyi di sini?" suara Douglas terdengar serak, mata tajamnya menelisik Bintang yang berdiri di sebelahnya. Bintang hanya mengangguk lemah, tanpa suara seraya menggigit bibirnya. Ketukan penyesalan berdengung di dada Douglas, merasuki setiap sudut pikirannya. 'Ah, betapa tololnya aku!' batinnya sambil mengutuk diri sendiri. Andai saja ia tahu lebih dulu bahwa Bintang telah memilih rumah sederhana ini sebagai sarang persembunyiannya, mungkin semua rasa sakit dan penan
Pitri menyodorkan laporan ke meja atasannya sambil menyelinap pandangan ke arah Bintang yang sedang sibuk membersihkan rak buku. Dalam hati, Pitri tak henti-hentinya mengagumi kegigihan Bintang yang mampu bertahan bekerja dengan sang atasan, Douglas, yang terkenal memiliki temperamen layaknya harimau. Biasanya tidak ada office girl yang mampu bertahan lama di ruangan ini, karena aura Douglas yang begitu menakutkan. "Kenapa kau masih di sini? Keluar sekarang!" seru Douglas dengan suara menggelegar kepada Pitri yang masih terpaku di depan mejanya. Pitri tersentak, seakan tersambar petir, cepat-cepat meminta maaf dan melangkah keluar dari ruangan tersebut dengan langkah buru-buru. Ketika keheningan kembali menyelimuti ruangan, Bintang menghela nafas dalam-dalam, merasakan keleluasaan sejenak setelah Pitri meninggalkan ruangan. Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama, hati Bintang telah dipenuhi keberanian yang meledak-ledak. "Aku mau berhenti bekerja!" ucapnya dengan tegas. "Tidak
Hawa panas menyelimuti ruangan tersebut. Beberapa pakaian berserakan di lantai. Suara decitan sofa bercampur dengan suara desahan terdengar memenuhi ruangan. Douglas bergerak mendominan di atas tubuh Bintang. Meskipun awalnya Bintang menolak dan memberontak tapi tenaganya kalah dengan Douglas. Penyatuan mereka telah usai, Douglas menyemburkan benihnya ke dalam ladang subur Bintang, berharap kalau benihnya segera bertunas subur. Douglas terdiam seraya memandang wajah Bintang yang terpejam dan penuhi keringat. Ia tersenyum puas, akhirnya ia berhasil mendapatkan dan menjerat Bintang ke dalam dekapannya. “Kau tidak bisa lagi kabur dariku, Bintang. Karena aku kembali menyirami rahimmu dengan benihku,” ucap Douglas seraya mengecup bibir Bintang tak lupa menyesapnya sebentar. Bintang menatap tajam Douglas seraya memukul pundak pria tersebut. “Kau adalah lelaki brengsek, Om!” Maki Bintang dengan pandangan kecewa dan berkaca-kaca. “Aku tidak peduli dengan makianmu! Bulan depan aku pastika
Douglas menghela nafas panjang ketika melihat Bintang sangat marah. “Kali ini aku membiarkanmu menang!” ucap Douglas pelan, terkesan lembut, jauh berbeda dengan nada bicaranya yang sebelumnya sangat dingin dan arogant.“Di mana pompa asinya?” tanya Douglas pada Bintang.“Aku bisa mengambilnya sendiri!” ketus Bintang, melengoskan wajah.“Untuk saat ini sebaiknya kita jangan berdebat! Lihat bajumu basah!” Douglas menajamkan matanya pada dada Bintang.Bintang menunjuk tasnya, ia pun tidak mempunyai daya lagi untuk berdebat. Rasa sakit di bagian dadanya semakin nyeri dan menjalar pundak karena asinya yang melimpah tak kunjung dipompa.Douglas mengambil tas Bintang yang teronggok di lantai, kemudian membuka tas tersebut dan mengeluarkan pompa asi dari sana. “Sini aku bantu,” ucap Douglas begitu ringan membuat Bintang mendelikkan mata.“Aku bisa sendiri!!” tolak Bintang, seraya merebut pompa asi tersebut dari tangan suaminya. Tapi, sayangnya, Douglas bukan orang yang mudah untuk menerima p
Sudah lelah dan kesal, Bintang bergegas meninggalkan ruangan itu menuju pantry. Ia mengambil tasnya di sudut ruangan sebelum mengeluarkan pompa asi, lalu terduduk lemah di lantai sembari mulai memompa. Kesegaran terasa menembus pikirannya ketika keringat dingin di keningnya diusap, dan rasa sakit di dadanya berangsur hilang seiring tetesan demi tetesan asinya berhasil di pompa keluar. Sementara itu, Douglas, dalam kebingungan, menggenggam ponselnya—matanya melebar tak percaya saat pencarian ‘pompa asi’ di internet membawa pemahaman baru tentang apa yang dimaksud oleh Bintang. Pria bule itu, terbakar oleh kekhawatiran yang tiba-tiba, beranjak cepat mencari Bintang, diliputi rasa penasaran dan kecemasan yang menyesakkan dada. “Pitri, di mana Bintang?” seru Douglas dengan suara yang mendesak kepada sekretarisnya yang duduk di balik meja kerjanya. “Bintang? Baru saja dia berlari ke pantry, Pak. Ada yang bisa saya bantu? Ataukah Bintang membuat masalah?” Pitri menjawab sambil menatap at
Bintang buru-buru keluar dari ruangan Douglas pada pagi hari itu sebelum pria itu datang. Tapi, ketika di ambang pintu ia berpapasan dengan Douglas yang akan masuk ke dalam ruangan. Seperti biasa, Bintang selalu memakai masker untuk menutupi sebagian wajahnya agar pria itu tidak mengenalinya. “Maaf, Pak.” Suara Bintang terdengar lirih, sekaligus memberikan kode pada pria tampan dan berkarisma tinggi itu tidak menghalangi jalannya. “Mau ke mana?” tanya Douglas dingin, menatap datar pada Bintang. Tapi, percayalah kalau di balik tatapan datar itu terdapat rasa rindu yang membuncah. Rasanya ia ingin menarik masker yang di kenakan Bintang dan memaksa wanita itu agar mau menatapnya. Tapi, sayangnya, ia harus menahan segala keinginannya itu karena takut jika Bintang kembali kabur darinya, dan kembali membawa pergi anaknya. “Mau keluar, mau mengerjakan yang lain,” jawab Bintang pelan, menundukkan kepalanya dengan dalam. Douglas menarik nafas panjang, menahan rasa kesal yang begitu besar
“Sial!” Maki Tari sambil mengentakkan kedua kakinya. Emosi mengepung dada ketika mendengar jawaban Tuan Douglas. “Gagal dapat uang ratusan juta!” geramnya sambil memasukkan ponsel ke dalam tas. Uang satu miliar yang ia dapatkan dari hasil menjual Bintang semakin menipis. Selain untuk membayar hutang, uang itu juga di gunakan untuk berfoya-foya. Rumah peninggalan mendiang suaminya pun sudah ia jual, dan sekarang dia tinggal di kontrakan satu petak untuk tempatnya berteduh. “Tapi, kenapa ya Tuan Douglas sudah tidak membutuhkan Bintang?” Tari bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Ia harus mencari tahu semua ini, terutama harus menemukan Bintang lebih dahulu. . . Bintang sangat lega ketika sudah masuk ke dalam rumah Ibu Indah. Rumah sederhana ini sudah menjadi rumah ternyamannya, tempatnya berteduh dan juga tempatnya untuk berkeluh kesah. Ibu Indah sedang melayani pembeli di warung kecil yang berdiri di depan rumah sambil menggendong putranya. Bayi mungil dan menggemaskan itu terliha
Douglas membaca berkas yang baru saja dikirim oleh HRD dengan penuh keheranan. Alisnya mengernyit, mata membulat saat menyimak nama "Bintang" yang tertera dengan mencolok di dokumen itu. "Pasti Anda sangat terkejut ‘kan, Pak? Biasanya yang melamar ke sini memiliki berkas yang lebih lengkap, bukan hanya KTP. Saya sendiri sempat ragu, namun Bu Pitri tetap menyetujuinya,” ucap pria berkepala pelontos dan berkumis tebal itu dengan nada khawatir, menunggu reaksi dari sang atasan. Keringat dingin mulai membasahi keningnya, menduga-duga kemarahan yang bisa saja muncul dari ekspresi serius yang tersungging di wajah Douglas. Douglas diam raut wajahnya tampak sangat dingin, ia tidak merespons ucapan pria tersebut, tapi bukan berarti dia tidak mendengarkannya. Douglass menggeram di dalam hati, ‘pantas saja gadis itu tampak berpenampilan aneh, memakai masker dan poninya untuk menutupi wajahnya.’ Douglas mengepalkan kedua tangannya erat saat rasa marah, kesal, senang dan rasa rindu menggelayut