"Sabar, sayang. Mama tidak akan meninggalkanmu, dan akan terus berjuang untuk mempertahankanmu dari mereka yang ingin merebutmu," bisik Bintang pada bayinya di dalam kandungan, saat ia mendengar pertengkaran Douglass dan Freya di luar kamar.
Bintang menggigit bibir ketika ia merasakan kontraksi begitu kuat di area perut.
“Tidak! Jangan sekarang, belum waktunya!” Bintang memeluk perut buncitnya, dan memohon pada bayi di dalam kandungannya agar tidak lahir saat ini. Sekuat tenaga ia menahan, tapi rasa sakit itu semakin kuat menggulung tubuh ringkihnya. Air matanya berderai dan keringat dingin membasahi wajahnya. Ia sudah tidak kuat lagi menahan rasa sakit yang semakin terasa menyiksa.
Bintang berjalan pelan menuju tempat tidur. Tapi kedua kakinya tak sanggup lagi untuk menopang yang mengakibatkan dirinya jatuh ke lantai. Rasa sakit yang dirasakan Bintang semakin bertambah, kedua matanya terasa berkunang-kunang, dan kepalanya berat, pandangannya juga mulai gelap, tapi Bintang sekuat tenaga mempertahankan kesadarannya agar tidak pingsan.
Bintang berusaha bangkit dari lantai mengerahkan sisa tenaganya. Nafasnya tersengal, rasa sakit di area perutnya kian menjalar seluruh tubuhnya, bersamaan dengan itu ada cairan mengalir dari bagian intinya, dan membasahi kedua kakinya. Bintang menundukkan pandangan, kedua matanya membulat sempurna dan kepalanya menggeleng saat melihat cairan merah mengalir dari pangkal pahanya.
BRAK!
BRAK!
Suara dobrakan terdengar dari luar kamar diiringi teriakan Douglass memanggil nama Bintang. Tidak berselang lama pintu kamar terbuka, jeritan Douglass memenuhi seluruh ruangan itu saat pria itu melihat kondisi Bintang berlumuran darah di area kaki.
“BINTANG!!” Douglass segera berlari lalu memeluk Bintang yang tak berdaya, kemudian menggendong istri mudanya itu, membawanya keluar menuju rumah sakit.
“Tuan, Nyonya Bintang!” Bibi pelayan terkejut dan syok melihat keadaan majikannya. Ketegangan dan kecemasan bercampur menjadi satu di dalam dada membuat situasi di sana semakin terasa mencekam. Bibi pelayan segera mengikuti tuannya.
Dan mereka menuju rumah sakit.
Sementara itu, Freya masih berteriak dari dalam kamar sambil menggedor pintu tanpa mengetahui kejadian di luar sana.
“Dog! Keluarkan aku dari sini! Siapa pun diluar sana, buka pintunya!!!” teriak Freya sampai serak suaranya, namun tidak ada satu orang pun yang membukakan pintu kamar tersebut. Padahal di rumah itu ia melihat beberapa pelayan yang bekerja. Apakah mereka semua sudah di perintahkan Douglass agar tidak membukakan pintu kamar ini untuknya? Pikir Freya semakin emosi dan frustrasi.
...
Sampai di rumah sakit terdekat. Para medis langsung memberikan pertolongan pertama untuk Bintang yang mengalami pendarahan hebat.
Douglass mondar-mandir di depan ruang operasi. Ia sangat cemas, dan takut jika terjadi sesuatu pada bayinya. Beberapa orang memperhatikannya, menatap penampilannya kacau dan ada bercak darah menempel di kaos putih yang ia gunakan. Tapi, ia cuek dan tidak peduli.
Di dalam ruang operasi. Bintang sadar, kedua matanya menyipit saat melihat cahaya lampu terang menusuk retinanya. Lalu tatapannya turun, menatap para tim medis sedang mengeluarkan bayinya melalui operasi Caesar. Air matanya keluar dari setiap sudut matanya. Rasanya ia belum siap jika bayinya lahir di waktu yang tidak tepat. Rasanya ia ingin berteriak dan menghentikan Tim medis agar tidak mengeluarkan bayinya, namun hal itu tidak mungkin ia lalukan. Perutnya sudah terlanjur di sayat.
“Suster, tolong ...,” lirih Bintang di sela tangisnya.
Perawat yang berdiri tak jauh darinya mendekati, kemudian Bintang membisikkan sesuatu kepada perawat tersebut.
Perawat itu terkejut, kedua matanya terbuka lebar, tak berselang lama menganggukkan kepala. Entah apa yang dibisikkan Bintang, hanya mereka yang tahu, tapi sepertinya hal itu cukup serius karena membuat perawat itu syok.
...
Satu jam menunggu dalam kecemasan dan ketegangan. Akhirnya pintu ruang operasi terbuka. Seorang perawat memberikan kabar buruk kepada Douglass.
“Maaf, Tuan. Bayi Anda tidak selamat, pendarahan hebat yang dialami istri Anda yang menjadi pemicunya,” kata Perawat wanita itu dengan perasaan berat dan tidak tega. “Tapi, istri Anda baik-baik saja, sekarang berada di ruang obervasi.”
Douglass tidak peduli dengan keadaan Bintang. Ia hanya memikirkan bayinya. Seperti di sambar petir di siang bolong. Tubuh Douglass menegang, jantungnya berpacu cepat dari biasanya. Dadanya seperti dihantam batu besar, terasa sesak dan sangat sakit. Kedua matanya memerah menahan tangis dan emosi.
“Tidak mungkin!!! Kau pasti bohong!!! Bayiku tidak mungkin mati!” teriak Douglass tidak menerima kenyataan. Ia menatap nyalang kepada perawat tersebut.
Bersambung...
Douglass menatap penuh haru bayi mungil berjenis kelamin perempuan yang sudah tak bernyawa, terbaring di atas tempat tidur kecil. Sebelum dimakamkan, ia diberikan kesempatan untuk melihat anaknya itu. Matanya berkaca-kaca, pipinya memerah, sulit untuk menahan air matanya yang terus mengalir."Bayiku," bisiknya parau, pelan, lalu menggendong bayi mungil itu untuk pertama dan terakhir kalinya. Hatinya terasa remuk, luluhlantak menyaksikan kenyataan pedih ini. Di sudut hatinya, ada semacam harapan bahwa semua ini hanyalah mimpi buruk yang akan segera berlalu.Namun tanpa disadari Douglass, bayi yang tengah ia dekap itu bukanlah bayinya yang sebenarnya. Semua ini adalah rencana Bintang. Dengan berat hati, ibu muda itu melakukan segalanya demi mempertahankan bayinya agar tidak direbut oleh Douglass.Perawat itu datang menghampiri, mengabarkan bahwa bayi mungil itu harus segera dipersiapkan untuk dimakamkan. Douglass, dengan hati hancur berkeping-keping, menatap sejenak wajah mungil yang s
Tampang Douglass sangat mengerikan. Tatapan tajamnya seperti ujung pedang yang siap menghunus lawannya. Ia marah, sangat marah mendengar makian Freya untuk Bintang. Pikirannya semakin berantakan, emosinya siap meledak. Langkahnya semakin maju mendekati Freya yang tengah berdiri di tengah ruangan seolah sedang menantangnya.“Jangan pernah menghina Bintang!” sergah Douglasss penuh penekanan.“Kau membentakku karena membela wanita itu?! Katanya kau akan menceraikannya dan hanya mencintaiku, kenapa kau jadi seperti ini? Apa otakmu sudah di cuci wanita jalang itu!” Freya berteriak dalam keputusasaan dan rasa kecewa yang amat dalam kepada suaminya. Wajahnya merah, air matanya kembali mengalir deras membasahi pipi. Hatinya sakit sekali melihat suaminya bersikap seperti itu padanya.Douglass berkacak pinggang, wajahnya merah padam saat amarahnya semakin membumbung tinggi.“Lebih baik kau kembali ke Perancis!” ucap Douglass pada akhirnya. Ia menekan amarahnya, dan tidak mempunyai tenaga lagi m
“Ibu tolong aku.” Bintang menangis dan memohon pada wanita paruh baya itu yang membawanya masuk ke dalam rumah. “Iya, kamu tenang saja. Kamu sudah aman di sini. Kasihan sekali kamu, Nak,” ucap wanita paruh baya itu dengan tatapan sendu seraya membantu Bintang merebahkan diri di atas tempat tidur lusuhnya. Lalu memandang bayi merah yang tampak anteng di samping gadis cantik itu, seolah mengerti keadaan ibunya. “Jangan banyak gerak. Bekas operasimu mengeluarkan darah segar. Kamu harus di bawa ke rumah sakit, kalau tidak bisa infeksi,” kata wanita paruh baya itu dengan pandangan prihatin. Bintang menolak keras, ia tidak ingin ke rumah sakit karena tidak mau jika mereka mengambil anaknya. Melihat Bintang yang ketakutan, wanita paruh baya itu pun tidak mau memaksa. Ia segera memikirkan cara membersihkan luka basah di area perut Bintang agar tidak infeksi. Segera ia mengambil kapas, air hangat dan betadine, serta kain kasa. . . “Bodoh! Kenapa kalian tidak mendapatkannya!” Maki Dougl
“Apa dia masih perawan?” tanya pria perut buncit dengan tampilan parlente itu, matanya menatap seorang perempuan muda yang cantik seakan-akan santapan nikmat.Tari adalah ibu tiri Bintang. Ia begitu membenci anak sambungnya itu sebab baginya Bintang adalah penyebab segala kesialan yang menimpanya.Hidp Bintang semakin sengsara tatkala ayah meninggal beberapa bulan lalu karena kanker otak. Hutang yang menumpuk serta biaya rumah sakit yang membuat kehidupannya semakin menderita.Dan kini, untuk melunasi segala hutang-hutang itu, Bintang harus menanggung semuanya.“Kalau kamu mau harga satu miliar aku tidak sanggup. Tapi, aku bisa membawamu pada Tuan Douglass. Dia adalah pengusaha sukses dari Perancis yang tengah mencari gadis perawan untuk dijadikan istri kedua. Aku sangat kenal baik padanya,” kata pria tersebut dengan serius.“Tunggu apalagi? Lebih cepat lebih baik!” sahut Tari penuh semangat yang menggebu, tanpa peduli perasaan Bintang.“Ibu.” Bintang terisak ketika Ibunya menariknya
Sebenarnya Douglass sudah berkeluarga. Dia sangat mencintai istrinya. Istrinya sangat cantik dan berprofesi menjadi seorang model ternama di Perancis.Diusia pernikahannya yang ke-lima tahun, sampai saat ini mereka belum dikaruniai keturunan. Sebab istrinya yang bernama Freya tidak ingin hamil karena tidak ingin tubuhnya rusak. Freya yang mempunyai sifat keras kepala, egois, dan sangat ambisius dalam berkarir membuat Douglass mulai muak. Ia sangat ingin memiliki anak seperti teman-temannya.Maka dari itu Douglass mencari wanita lain yang bisa memberikannya keturunan. Hari itu dia datang ke Indonesia untuk urusan bisnis. Tapi, sampai di klub malam ternyata ia mendapatkan apa yang ia cari yaitu Bintang.Bintang menangis terisak sambil memunguti pakaiannya yang berserak di lantai. Menahan perih dan rasa sakit yang terasa menyayat di tubuhnya, ia berusaha mengenakan pakaiannya kembali. Mimpi indah masa depannya kini telah musnah, karena kehormatannya dicabik oleh pria matang itu.Douglass
Bintang menepis segelas teh hangat yang diberikan oleh suaminya. Ia bahkan enggan menatap Douglass.Douglass memahami perasaan istrinya yang masih sangat marah padanya. Karena kata dokter ibu hamil tidak boleh merasa tertekan atau mempunyai banyak pikiran, maka Douglass memilih untuk mengalah, sabar, dan menurunkan segala keegoisannya."Maaf," kata douglass dengan lembut, seraya menatap Bintang yang terlihat pucat di atas tempat tidur."Aku ingin perjanjian pernikahan kita dibatalkan!" Bintang berkata dengan pelan tapi datar.Ucapan bintang sukses membuat tugas kembali emosi, namun sekuat tenaga ia menahannya karena kondisi Bintang saat ini sangat lemah."Perjanjian tetaplah perjanjian sampai kapanpun tidak akan pernah bisa diubah!" Douglass memandang Bintang dengan perasaan berkecamuk di dalam dada. “Kau masih ingat ucapanku dulu? Kau adalah milikku seutuhnya. Kau tidak berhak untuk mengatur hidupku, namun aku berhak mengatur kehidupanmu!" sambung Douglas dengan penuh penekanan.Sit
“Jangan memerintahku kembali ke Perancis!” Suara Douglass datar saat bicara dengan istri mudanya. Mereka sekarang berada di dalam kamar. Ini pertama kalinya Douglass memasuki kamar Bintang setelah menikah selama 8 bulan.Bintang membalas tatapan pria tersebut. “Bukankah kau sedang resah karena istri tuamu terus-terusan menelepon dan memintamu kembali ke Perancis secepatnya!” sahutnya.“Kau menguping pembicaraanku dengannya?!”“Tidak! Tapi, tidak sengaja mendengarnya,” jawab Bintang ketus, tapi jujur.“Tidak seharusnya kau mendengar pembicaraan kami, meski kau tidak sengaja mendengarnya sekalipun!” tegas Douglass.Bintang malas menanggapi ucapan Douglass yang sama sekali tidak berarti untuknya. “Silahkan keluar dari sini, aku ingin mandi!” usir Bintang.Douglass tersenyum kesal, “aku berhak di sini sampai kapanpun aku mau! Kau tidak berhak melarangku atau mengaturku karena aku adalah suamimu!”“Suami di atas kertas! Pernikahan kita terjadi karena perjanjian!” Skak Bintang dan berhasil
Saat tiba di rumah setelah berbelanja, Bintang langsung berlari menuju kamarnya, mengunci diri di dalam kamar dan tak kuasa menahan isak tangisnya sepanjang hari. Meskipun malam telah menjelang, ia masih terus menyendiri, tak mengizinkan suaminya masuk kecuali saat sang pelayan mengantarkan makanannya."Tuan, Nyonya Bintang masih menangis tanpa henti hingga saat ini. Kondisinya sangat mengkhawatirkan," lapor Bibi, pelayan setia mereka, pada tuannya, Douglass, yang sedang duduk tenang di ruang keluarga sambil mengisap rokoknya dengan dingin.Douglass mendengus, matanya menyala penuh kekesalan, "Biarkan dia menghabiskan air matanya. Setelah semua itu habis, dia tak akan bisa menangis lagi." Ucapnya dengan nada tegas dan arogan, seolah tak ada belas kasihan dalam hatinya.Bibi pelayan hanya bisa menghela napas panjang, merasa iba melihat nasib majikannya, sebelum mengundurkan diri dari ruangan tersebut. Di balik ekspresi beku yang ditampilkan oleh Douglass, hatinya bersikeras menduga bah